Thursday, May 30, 2013

Tradisi

Oleh: Muhammad Hilal*

Sejak kurang lebih dua bulan yang lalu, saya menggarap sebuah naskah untuk diketik ulang. Naskah ini adalah salah satu buah tangan dari mendiang Kiai Zainullah Bukhari, salah satu ulama yang menjadi pilar peradaban di Desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Memang betul, buah karya beliau bukan ini saja. Di tangan saya juga terdapat beberapa naskah lain berupa kitab tentang Ilmu Tauhid dan sebuah naskah yang menjelaskan tentang praktek Khwajahan dalam tarekat. Barangkali terdapat karya lain buah tangan beliau, namun belum tersebar luas karena belum dicetak ulang atau masih berupa manuskrip tulisan tangan.

Tidak banyak yang saya ketahui tentang profil dan kisah hidup dari Kiai Zainullah Bukhari ini. Hal ini sebenarnya cukup disayangkan sebab jika profil dan sejarah hidup beliau terdokumentasikan dengan baik, saya tidak akan ragu sedikit pun, kita akan bisa meneladaninya dalam hidup kita. Terutama buat adik-adik remaja kita yang saat ini diterpa badai informasi yang serba tak terbendung, kisah hidup dan kebijaksanaan mendiang menjadi terasa amat diperlukan sebagai panutan dan tuntunan kehidupan mereka. Orang-orang bilang, anak-anak remaja jaman sekarang telah mengambil panutan yang keliru melalui media-media sosial, sehingga efeknya bisa ditebak, bangsa ini semakin saja terpuruk dari segi kemanusiaan dan keadilan. Secara ekonomi, anak-anak remaja ini semakin sejahtera, dan ke depan pun masih terdapat tanda-tanda bahwa ekonomi secara makro semakin membaik, namun dari segi yang lebih dalam dari itu, tampaknya jalan ke arah sana masih cukup jauh—untuk tidak mengatakan tidak beranjak sama sekali.

Tuesday, May 7, 2013

Feodalisme dalam Demokrasi






Oleh: Imron Haqiqi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.

Di Indonesia kata feodalisme sering dirujukkan terhadap pemimpin yang lalim seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Di masa era Orde Baru, misalnya, masyarakat  tidak banyak diberi ruang gerak untuk berekspresi. Di era reformasi seperti sekarang ini mungkin secara formal sistem penguasaan feodal telah dihapus dalam ketatanegaraan Indonesia. Namun secara komunal nampaknya feodalisme masih melekat di sekitar kita. Terbukti di pedesaan masih ada penguasaan tanah secara besar-besaran oleh orang-orang kota. Bahkan, di kota-kota atau pinggiran kota juga terjadi penguasaan tanah secara besar-besaran untuk berbagai tujuan. Nah, konotasi seperti itulah yang dimaksud dengan “Neo-Feodalisme”.[1] 
Feodalisme Orde Baru
Kata Orde Baru adalah istilah masa (masa pemerintahan) yang dideklarasikan oleh pemimpin Negara Indonesia kedua, Soeharto. Soeharto sering menjadi bahan obrolan baik di kalangan masyarakat pedesaan, bangsawan, cendekiawan, negarawan, dan wan-wan yang lain, karena ia dipandang oleh masrakat kebanyakan sebagai sosok pemimpin yang lalim, dictator, serta totaliter. Hal seperti itu yang menurut bangsa Indonesia adalah sebuah praktek sistem pemerintahan Feodal. Sistem feodal Orde Baru, penulis mengamini dan mengimani perkataan Fachry Ali dalam esainya yang diterbitkan dalam bentuk antologi, Jika Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, bahwa:

“Dalam konsep kesatuan, segala bentuk gejala alamiah atau akibat dari tindakan-tidakan manusia tidaklah dihayati sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri, karena masing-masing darinya merupakan bagian dari totalitas sistem yang dikoordinasikan oleh sesuatu kekuatan supernatural”.[2]

Membaca ungkapan tersebut, saya berkesimpulan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ada keterkaitan dengan sistem kerajaan Jawa pada masa lampau. Memang, jika kita mencoba menilik sejarah, kerajaan Jawa kuno mempraktekkan dua sistem kepemimpinan yang murni feodalisme. Pertama, raja adalah dewa. Setiap perkataan dan perintah raja harus di turuti, karena perkataan dan perintah raja mengandung doa yang akan menghadirkan keberuntungan. Bahkan, sampai pada anak dari raja tersebut meskipun masih berumur lebih muda daripada masyarakat sekitar yang dipimpin oleh salah seorang raja, namun masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap anak raja tersebut. Padahal di dalam praktek agama Islam, yang muda patuh dan tunduk terhadap yang tua—siapa pun itu. Namun masyarakat Jawa berbeda, mereka mempercayai bahwa sikap tunduk dan patuh terhadap raja beserta keluarganya dipercaya akan menimbulkan sebuah keberuntungan tersendiri terhadap masyarakat tersebut. Sikap masyarakat seperti itu akibat kepercayaan mistik masyarakat Jawa terdahulu, yang biasa di sebut etika primordialisme, yang mana masyarakat pada hakikatnya berbeda antara kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Etika seperti itu tetap melekat hingga pada masyarakat Jawa era modern, bahkan semakin meluas ke seluruh daerah di Indonesia.

Kedua, kepatuhan terhadap tuan tanah yang menjadi pelindung sosial-ekonomi masyarakat. Seorang tuan tanah yang menjadi gantungan ekonomi masyarakat akan dipatuhi dan dihormati oleh masyarakat kasta bawah, di samping karena takut jika mereka menganggap tuan tanah dan mereka setara di bidang sosial maka akan menimbulkan sesuatu yang tidak mereka inginkan, seperti dipecat, gajinya dipotong, atau segala macam, sekaligus masyarakat merasa tidak etis jika kaum kasta bawah memosisikan diri setara dengan tuan tanah, berdasarkan etika primordialisme yang disebutkan di atas. Kultur seperti ini akhirnya sedikit demi sedikit meluas dari Jawa ke seluruh masyarakat Indonesia. Disebabkan karena letak sentral Negara Indonesia berada di kawasan Jawa. Pusat pendidikan, pusat perkotaan, serta pusat ibukota Indonesia Indonesia terletak di kawasan Jawa. Secara otomatis masyarakat dari luar Jawa akan terobsesi untuk menjalani aktivitas hidupnya di daerah Jawa, dan secara otomatis pula masyarakat dari luar Jawa tersebut terpengaruh oleh kultur Jawa. Hal itulah yang saya kira dimanfaatkan oleh perpolitikan Orde Baru, sehingga meskipun penguasa berbuat yang bertentangan dengan ideologi demokrasi, masyarakat akan tetap patuh dan tunduk terhadap penguasa tersebut.

Relasi Feodalisme Kuno dan Feodalisme Modern
Seperti yang dikatakan di atas bahwa secara sosial masyarakat masih membeda-bedakan antara kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Etika seperti itu masih tetap melekat hingga pada masyarakat Jawa era modern. Hal ini terbukti jelas di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Banyak masyarakat kasta bawah pedesaan dirugikan oleh aturan-aturan adat tradisional serta hubungan ketergantungan bangsawan dan kasta bawah yang sangat kuat. banyak Bangsawan menjadi jaminan sosial-ekonomi buat kasta-kasta bawah. Hubungan ketergantungan ini membuat kasta bawah hampir tidak pernah menggugat bangsawan. Masalah ini melekat pada budaya tradisional di mana tidak ada pemisahan kekuasaan: bangsawan adalah pemimpin politik, ekonomi sekaligus sosial. Kalau bangsawan diadukan sebagai tokoh politik, ada kemungkinan bahwa mereka sebagai tokoh (penguasa) sosial dan ekonomi membalas dendam terhadap para pengadu. Dengan kata lain, kalau kita sebagai rakyat kasta bawah membantah bangsawan, maka ada risiko bahwa kita tidak dibantu kalau misalnya kita sedang mengalami kesulitan. Akibatnya kita tidak berani untuk menggugat bangsawan tersebut, karena mereka sekaligus pelindung sosial-ekonomi kita.[3] Hal ini jelas karena pengaruh sejarah masa lampau, pada era sekitar tahun 300–1602 M. masyarakat Indonesia secara global di bawah masa parktek kepemimpinan perseorangan atas tanah oleh para bangsawan. Sedangkan masyarakat kecil menjadi budak para bangsawan tersebut. Bagaimana tidak mau jadi budak, karena memang masyarakat mempunyai ketergantungan sosial-ekonomi terhadap para tuan tanah, sekaligus masyarakat masih mempertimbangkan etika tradisional.

Di sisi lain memang benar apa yang dikatakan oleh Abdul Malik, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, bahwa orang Indonesia itu dari dulu memang tidak suka konflik (sabar), sehingga dari kesabaran tersebut orang Indonesia mudah diperalat oleh para elit, baik para elit lokal atau para elit luar. Sehingga ketika colonialisme masuk ke Nusantara, mereka sangat mudah membuat masyarakat Indonesia tunduk terhadapnya. Para penjelajah kolonial ini bekerja sama dengan para bangsawan untuk menggerakkan dan menundukkan masyarakat kasta bawah, maka otomatis hasil kerja keras kasta bawah mengalir ke kolonial dan dibagi hasil dengan bangsawan pemilik tanah.



Oleh karena itu kita sebagai orang-orang yang sadar dengan kegelisahan bangsa kita selama ini agar menggugah para masyarakat yang masih tertidur dengan keadaan ini. Demokrasi sampai mati![]


sumber gambar: pexels.com



[1] M. Dawam Rahardjo, “Neo-Feodalisme dan Demokratisasi Ekonomi” dalam Andito (Tim MAULA) (ed.), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 130.
[2] Ibid, hlm. 145.
[3] Corrie van der Ven, Kepemimpinan: Melampaui Feodalisme dan Primordialisme (Makkasar: Jurnal STT Intim Makassar, 2004), hlm. 36.

Thursday, May 2, 2013

Mengenang Jasa Gus Dur: Harmonisasi Kristen Mojowarno dan Islam Tebuireng


Oleh: Abdul Rahman Wahid


Bukan rahasia umum lagi bahwa jasa besar Gus Dur adalah mengukuhkan panji-panji pluralisme. Sebab itu, pernyataan bahwa Gus Dur adalah pejuang pluralisme merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan lagi.

Gus Dur berada di barisan terdepan dalam memperkuat pluralisme di bangsa ini. Istimewanya, pluralisme yang dikembangkan Gus Dur tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur secara eksplisit menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal, partai tersebut didukung sepenuhnya oleh basis kalangan muslim tradisional. Gus Dur telah mampu menggabungkan antara pemikiran dan tindakan pluralisme.

Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni di dalam kehidupan sosial. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Kenyataannya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top