Showing posts with label yusroful kholili. Show all posts
Showing posts with label yusroful kholili. Show all posts

Sunday, January 3, 2016

Mana Yang Bahasa Asing?


Oleh: Yusroful Kholili

Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) telah selesai saya jalani di MA Raudlatul Ulum Ganjaran Gondanglegi Malang. Banyak pengalaman menarik yang saya temui selama Praktik di Sekolah Berbasis Pesantren tersebut. Memang, pendiri awal sekolah ini adalah para kiai pesantren seperti KH. Bukhori Isma’il, KH. Yahya Syabrowi, dll. Tradisi belajar a la pesantren, seperti bandongan dan sorogan, masih dipertahankan sampai kini.

Sebagai informasi, siswa MA Raudlatul Ulum berasal dari berbagai daerah, di antaranya Malang, Surabaya, Madura, Pontianak, dll. Bahkan Pontianak, daerah terjauh dibanding daerah asal lain, menjadi daerah terbanyak penyuplai siswa di sekolah ini. Dengan asal daerah yang beda, bahasa sehari-hari siswa beragam pula. Ada Madura, Jawa, dan Melayu. Meskipun bahasa paling belakang disebutkan paling jarang terdengar. Ya, satu lagi bahasa yang sering didengar, biasanya kita sebut saja dengan bahasa Jawa Sasa’an. Bahasa ini sangat akrab dengan siswa karena satu-satunya bahasa yang digunakan saat memaknai kitab kuning. Bahasa ini dipahami, namun dari mana bahasa ini berasal, saya yakin tidak sedikit dari siswa MA RU yang tidak tahu, yang berasal dari suku Jawa sekalipun. Termasuk penulis sendiri.

Nah, terkait dengan masalah bahasa, pengalaman ‘menarik’ penulis temui saat pelakasanaan PPL di MA RU. Jika disusun, kira-kira ceritanya begini:

Suatu kali, saya masuk kelas X (identitas khususnya tidak perlu disebutkan di sini) yang sedang tidak ada gurunya. Saya nyelonong masuk, tahu-tahu ketepatan waktunya jam pelajaran Bahasa Inggris. “Wah, saya jurusan PAI, orang madura lagi. bagaimana mungkin ‘menggurui’ pelajaran bahasa inggris?” pikirku sesaat. Tapi saya terlanjur memperlihatkan muka, lengkap dengan atribut Mahasiswa Praktikan. Apa boleh buat, saya harus mengisi. Tidak bisa tidak.

Secepat kilat, saya paksa otak searching jalan. Tidak lama kemudian permainan yang saya sebut dengan‘ Kereta Kata’ muncul sebagai jalan alternatifnya. Paling tidak bisa mengisi sampai bel pergantian jam. Pembelajaran dengan menggunakan  aturan main Kereta Kata saya tawarkan, meskipun ujung-ujungnya tidak bisa ditawar-tawar.  Saya aturkan peraturan mainnya. Di depan mereka saya jelaskan, “Saya akan menunjuk seseorang untuk menyebutkan satu kata, kemudian saya akan menunjuk peserta yang lain untuk menyebutkan kata yang huruf awalnya merupakan huruf akhir dari kata yang disebutkan oleh peserta yang saya tunjuk sebelumnya.” Misalnya, peserta yang ditunjuk pertama menyebutkan kata “aku”, peserta kedua akan meneruskan dengan menyebut kata “ujian”, peserta ketiga meneruskan dengan “ nasi”, dan begitu pun selanjutnya sampai masing-masing peserta menyebutkan kata lanjutannya. Dari kata “aku” diteruskan menjadi “ujian”,  dari “ujian” dilanjutkan menjadi “nasi”, dan seterusnya”. Tidak ketinggalan, sanksi akan diberikan kepada siswa yang tidak dapat melanjutkan kata.  Semua paham dan sepakat.

Untuk percobaan, permainan kata Bahasa Indonesia pun dimulai. Permainan berjalan lancar, tidak satupun peserta yang kesulitan untuk meneruskan kata-kata peserta sebelumnya. Selanjutnya permainan dilanjutkan dengan kosakata Bahasa Inggris. Misal kata “say” menjadi “you” kemudian “uncle” dan seterusnya. Di awal-awal sesi, permainan berjalan agak lambat. Setiap peserta yang ditunjuk terlihat ada jeda berpikir huruf akhir peserta sebelumnya (misal, huruf “i” ataukah “e” akhir dari kata “see” itu?), sebagai penentu kata selanjutnya yang akan disebutkan. Sekitar  30 menit “Kereta Kata” Bahasa Inggris berputar dengan lancar. Bahkan peserta antusias sekali melanjutkan deretan kosakatanya. Harapan permainan untuk segera terputus tidak nampak. Terkejut dan senang terpancar dari air muka peserta saat aku menunjuknya untuk melanjutkan “kata” sebagai deret gerbong kereta selanjutnya. Asyik.

Permainan kata sudah berjalan di putaran ketiga. Namun, tidak satupun hukuman dibagian, lantaran kata demi kata dilanjutkan dengan baik. Saya pun berpikir untuk mengubah kosakata permainan. Dari Bahasa Inggris ke bahasa lokal.  Melihat  daerah asal peserta didik berbeda, ada dua bahasa daerah yang mereka kuasai. Mereka yang berbahasa Madura paham dengan bahasa Jawa, yang berbahasa Jawa paham dengan bahasa Madura, meskipun sebatas pendengaran. Dalam berucap, hanya sebagian kecil yang sudah menguasai. Dengan itu, Bahasa Jawa dan Bahasa Madura sekaligus, menjadi bahasa permainan yang saya pilih. Aturan main lebih dikendorkan, yang biasa berbahasa Madura menyebutkan kata lanjutan dengan kosakata Madura, begitupula bagi yang berbahasa jawa.

Aturan  saya utarakan. Sebagian siswa masih belum yakin akan keseriusan saya untuk melakukan permainan itu. Komentar “malu, pak” terlontar dari salah satu siswa, kemudian bersambut gelak tawa mengiyakan dari  yang lain—kebanyakan suara tawa ini bermuasal dari siswa yang duduk di kursi belakang. Sebagian lain—sebagian besar dari mereka duduk di kursi depan, mejanya berdekatan dengan meja guru—hanya memilih diam. Saya jelaskan bahwa permainan terakhir ini diniati  untuk  menghormati Bahasa warisan nenek moyang. Karena itu, tidak ada sanksi bagi yang gagal melanjutkan dengan bahasa daerah masing-masing. “Pola permainan terakhir ini juga bertujuan untuk mengasah kosakata bahasa daerah,” saya meyakinkan mereka. Dan mereka sepakat.

Saya mulai permainan dengan menyebutkan kata “tak ollé agejek” sebagai kata permulaan, kemudian dilanjutkan oleh siswa yang ditunjuk. Lanjutan kata yang munculpun bervariasi, kadang berbahasa Madura, kadang bahasa Jawa, tergantung bahasa asal peserta yang ditunjuk. Kadang kata “agejek” bersambut kata “konco”, lalu berlanjut dengan kata “ongguen” dan seterusnya. Jangan dibayangkan lanjutan kata keluar dengan mulus. Lanjutan kata akan muncul setelah menunggu kejelasan huruf akhir kata sebelumnya. Setelah jelas huruf akhirnya, permainan masih harus mandek di lampu merah selanjutnya, siswa yang ditunjuk mengernyutkan dahi, cerminan  otaknya berputar-putar mencari kata yang berasal dari huruf akhir kata yang baru saja di sebut. Saya pun harus sabar menunggu kata yang akan diucapkan, lebih sabar dibanding menuggu lanjutan kata di  permainan sebelumnya. Permainan Kosakata bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris sekalipun.

Permainan kata berjalan terseot-seot. Tambah lama, lanjutan kata muncul tambah alot. Hanya saat bel pergantian jam berbunyi, permainan saya akhiri. Kealotan ikut terhenti. Saya beranjak keluar kelas. Rekaman permainan yang baru saja di akhiri masih berputar di otak. “Kenapa bahasa sendiri  lebih sulit pencarian kosakatanya di banding dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris? Aneh!” pikirku sambil terus meyeret kaki menuju kantor madrasah. Masuk kantor pikiran lebih tertarik pada secangkir kopi. Sedang rekaman permainan kata di kelas, perlahan musnah bersama asap rokok yang aku kepulkan.

Di lain waktu, saya berkesempatan masuk kelas lain untuk mengisi mapel bahasa Inggris. Permainan di atas aku mainkan kembali. Sama persis. Jalannya dan antusiasmenya. Hanya saja saat aku utarakan untuk berpindah ke bahasa daerah, lontaran kata ‘malu’ dan kurang ‘seru’ menanggapi ajakan saya. Khawatir kejadian serupa —menunggu dan alot jalannya—di kelas sebelumnya terulang. Aku turuti permainan kata bahasa daerah tidak terjadi.

Dari pengalaman itu, aku mulai bertanya pada pikiran sendiri, “Apakah mereka mulai malu untuk menggunakan bahasa sendiri dalam forum formal? Atau, minimnya pengetahuan kosakata dan gramatikal bahasa daerah mereka alami? Aneh!” bisikku pada angin. Pikirku mulai berjejal untuk menghakimi mereka. Sebelum penghakiman semakin mendalam ke arah mereka, kubanting setir untuk menghakimi diri sendiri. Sesaat, khayalanku berputar dalam ingatanku tentang perkenalanku dengan bahasa.

Seingatku, bahasa Madura merupakan satu-satunya  bahasa yang aku dengar sejak di lingkungan keluarga. Lebih dari itu, Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari bapak dan ibu.  Selanjutnya saat bersama dengan teman sebaya, tetangga dan keluarga di perantauan, bahasa Jawa juga mulai akrab terdengar. Meskipun di masa ini bahasa Madura masih menempati peringkat satu. Di saat memasuki dunia sekolah dasar kedudukan bahasa Madura dan Jawa berimbang. Bahasa Indonesia, masih asing sama sekali.

Baru saat masuk bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) saya mulai bertemu dan berkenalan dengan bahasa Indonesia.  Bahasa Indonesia berangsur akrab di telinga sebatas di dalam kelas saja. 6 tahun di sekolah dasar Bahasa Indonesia mulai sering diperdengarkan baik oleh guru atau TV.

Kini bahasa Indonesia telah akrab didengar sehari-hari, bahkan berposisi sebagai bahasa  utama saat berkomunikasi. Gramatikal-nya  telah dipelajari—dari MI sampai bangku kuliah—sampai  titik penyempurnaan, meskipun tidak sempurna betul. Posisinya sebagai bahasa utama di media sosial dan media lain, setidak-tidaknya telah nyenggol  bahasa Madura dan Jawa sebagai bahasa ibu. Khususnya bagi penulis.

Saat-saat akhir belajar di MI, bahasa Inggris datang sebagai bahasa asing kedua dalam hidupku. Di MI, saya tidak punya waktu panjang untuk mengenal lebih bahasa asing ini. Baru saat duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) kesempatan untuk mengenal bahasa Ingris mulai saya dapatkan. Cara bacanya, gramatikalnya memang salah satu pelajaran wajib di SMP. Bahkan kategori pelajaran yang di ujikan di UN (ujian Nasional). Saya  harus mempelajari. Mau tidak mau.

Saat SMP, Gramatikal bahasa Jawa lengkap dengan aksaranya baru saya dapati. Pembelajaran bahasa sendiri (Jawa), dan bahasa asing (Inggris) sama-sama baru dapat saya pelajari di bangku yang sama. Hebatnya lagi, pembelajaran bahasa ibu berada  di muatan lokal, dan bahasa Inggris berposisi sebagai penentu kelulusan. Saat mengingat hal ini, pikiran”aneh, bukan?” mengusikku.

Bahasa Inggris juga aku dekati bagian-bagiannya. Kosakatanya, sedikit-banyak bisa penulis raba-raba untuk dibaca dan diterjemah. Meskipun untuk mengucap  dan mendengar masih sulit. Meskipun begitu, setidaknya bentuk-bentuk regular-irregular verb-nya masih mudah dikenali dibanding saat berhadapan dengan aksara Jawa.

Sedang bahasa Jawa sendiri, hanya sebatas digunakan saat komunikasi dengan teman sebaya, itupun dengan bahasa ngoko. Kromo Alus, Kromo Inggil, bahkan Tembung Lingga dan Andhahan sudah lenyap dalam ingatan. Jangankan untuk memahami aksaranya, ater-ater-nya dan kaidah-kaidahnya pun musnah. Istilah-istilah gramatikalnya saja betul-betul tidak paham. Meskipun pernah kenal, mungkin hanya sebatas istilah untuk hafalan semata. Tulodho-nya, tembang-tembang sastranya sulit ditemui di bangku sekolah. Lain halnya dengan bahasa Madura yang hanya ambil bagian untuk dipakai untuk komunikasi lisan sehari-hari. Lain tidak.

Inilah yang dialami penulis. Mungkin, juga dialami pelajar di sekitar kita. Jika demikian adanya, tidak dapat kita sangkal bahwa yang asing (bahasa Inggris) makin dekat, bahasa pribumi—warisan nenek moyang semisal bahasa Jawa, Madura, Melayu, dan lainnya—makin asing. Lantas, bahasa manakah yang lebih asing?

Penuturan  di atas sebagai bahan refleksi atas  pengalaman pribadi. bukan hendak mengurangi ghiroh membekali diri dan memahami bahasa Inggris. Apalagi bahasa Indonesia. Sama sekali tidak.[]


sumber gambar: aboutworldlanguages.com

Friday, August 7, 2015

Sekadar Desis Saja

[photo credit: here]

Oleh:Yusroful Kholili

Capek dan letih setelah bekerja di sawah memaksa penduduk terlelap dalam buaian tidur malam. Saat siang hari udara dingin di desa yang terletak di kawasan gunung Semeru mendekap seluruh penduduk di dataran tinggi ini. Apalagi saat malam hari, udara dingin datang berlipat-lipat dibanding saat siang, membuat tubuh lebih memilih untuk berlama-lama berlindung di balik selimut. Adalah suatu kewajaran jika saat malam hari desa ini sepi, kebanyakan aktivitas yang dilakukan adalah istirahat di dalam rumah. Malam benar-benar hanya menjadi waktu peristirahatan dari segala pekerjaan berat, dan rumah menjadi benteng dari tajamnya dingin yang menerobos dinding-dinding kehidupan.

****

Sunyi.  Rembulan menyibak malam dengan sinarnya, jejeran buah cabai besar yang sudah siap panen nampak gamang dalam kegelisahan.  Gundah dan pasrah nampak disembunyikan, namun warna kulitnya menunjukkan rasa itu “merah kehitaman”. Yang akan terjadi hanya dapat digantungkan pada detik-detik yang akan datang berkelanjutan. Entah tangan petani sendiri yang akan memetiknya saat siang tiba. Seorang yang dengan tangan itu juga telah menanam dan merawatnya atau mungkin tangan-tangan panjang akan menjamahnya secara diam-diam saat malam. Dan kemudian membawanya lebih dulu dari saat senja hilang sampai sebelum subuh menjelang. Angin bersekongkol dengan malam, menantang siapa saja yang nekat membuka mata di alam terbuka. Hembusan udara dingin yang dihasilkan dari persekongkolan itu menjadi senjata ampuh untuk mendiamkan para penantangnya. Sedangkan sepi turut membuka ruang gerak-gerik yang tidak diharapkan. Inilah di antara bentuk  persekongkolan dari dua benda abstrak yang saling bahu membahu membangun sebuah “keadaan”.

Tak ada yang akan menantang “keadaan”, kecuali ada campur tangan “ keadaan lain” yang mendorong, atau bahkan  memaksa seseorang untuk tak mengalah dengan “keadaan”, dan kemudian mengubahnya menjadi sebuah “kenyataan” yang lebih diharapkan.

***

Malam itu, dingin sebagai salah satu petugas “keadaan” tak ingin terganggu tugasnya oleh selainnya. Sebagaimana seorang petani yang bersikukuh untuk tetap membuka mata di alam terbuka. Alam yang gelap tanpa satu penerangan, rembulan pun nampaknya memilih untuk menyembunyikan sinarnya di balik kabut, bintang-bintang yang diharapkan memberikan sinarnya barang sepercik, juga membututi rembulan. Mengintip dari balik awan, satupun tak tampak. Tidak ada lagi yang diharapkan untuk menerangi. Lampu-lampu penerangan belum lagi terpasang. Di persawahan, penerangan adalah suatu angan-angan, tak lebih konkret dari sekedar bayang-bayang.

****

Dari atas pohon kulihat seseorang duduk di samping gubuknya. Dari cara duduknya yang menyandar pasrah pada pohon jati di belakangnya kelihatan sekali bahwa Kesegaran tubuhnya telah terkuras untuk bekerja, sebagaimana kulitnya yang mulai keriput kering. Sedang bercak hitam tersebar di permukaan kulit kehitaman karena seringnya sinar matahari yang membakar peluh saat berladang. Matanya yang sayu terlihat dipaksakan melawan  kantuk, yang sejak mega merah mulai hilang, kantuk telah bersarang di pelupuk matanya. Capek mungkin telah melandanya dari ujung rambut sampai kakinya.

Tak hanya melawan kantuk, dinginnya malam yang menusuk tulang belulang, dia lawan dengan menyembunyikan kulitnya di balik kain sarung yang dipaksakan untuk menutupi sekujur badan kecuali telapak tangan dan mukanya. Betapa keras kehidupan. Tak hanya kecapekan dan kantuk dari dalam dirinya, dingin dan sunyi ladang dia lawan demi menjaga kelangsungan ekonomi keluarga lebih dipertimbangkn untuk bergelut dengan “keadaan”. Tugas yang lebih berat dibanding dengan tugas untuk meninabobokkan penghuni malam yang diemban oleh “dingin dan malam”. Bagian dari bangunan “keadaan”.

Sesekali kulihat Jari jemarinya merogoh isi plastik hitam, yang kemudian diambilnya tembakau dan cengkeh secukupnya dari dalamnya. Kemudian ramuan tembakau itu ia letakkan di atas selembar kertas rokok, untuk kemudian melintingnya menjadi sebuah batang rokok. Sebuah rokok yang oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan rokok Tengwe (ngelenteng dewe, pilinan sendiri). Lantas tangannya kembali merogoh isi plastik tersebut, dan dikeluarkan sebuah korek api, sembari menyulut rokok itu dengan korek tersebut. Sesaat pancaran sinar dari korek tersebut satu-satunya cahaya yang berani menyingkap kegelapan di sekitarnya. Kepulan asap dari hisapannya yang dalam, kini menjadi teman satu-satunya untuk mengusir kantuk yang mendera.

****

Jauh dari jangkauan si petani, di tempat berbeda yang hanya dibatasi oleh persawahannya, kulihat ada sesuatu bergerak mengendap-endap dalam persembunyian. Tampak seorang berpakaian serba hitam menutupi tubuhnya. Tinggal bola matanya saja terlihat putih di tengah-tengan petang. Dari caranya bergerak menunjukkan manusia hitam itu siap siaga, untuk menyergap buah-buah siap panen yang menjadi intaiannya. Menunggu waktu yang tepat, saat yang jaga dalam kelalaian.

Sepi malam menjadi rekannya untuk meloloskan aksinya. Kewaspadaan tinggi yang dia lakukan mampu mengusir udara dingin dengan sendirinya. Dengan alasan menyambung hidup dan instan, tanpa harus bersusah payah bekerja, keuntungan akan diraup dalam waktu semalam. Dingin pun tak digubris seraya merapatkan rangkulan pada iblis. Pertimbangan akan celaka kalau sampai tertangkap basah oleh yang punya, menciut oleh nafsu untuk dapat memanen buah cabai, walaupun tak ikut menanam dan merawatnya.  “Untuk apa menenanam dan merawat, kalau bibit dan obat-obatan mahal harganya. Lebih baik nekat memanen yang sudah tumbuh saja, hanya modal keberanian, biaya pun bisa ditinggalkan,” bisiknya pada serumpun ilalang yang memberikan tempat untuk menyembunyikan tubuhnya.

“Betapa aneka macam isi tanah ini. ‘Keadaan‘ yang sama, punya fungsi beda di antara keduanya. Di pihak yang satu gelap, dan sunyi menjadi tantangan yang siap mengakhiri pendapatan untuk bertahan hidup, sedang di pihak berbeda sepi dan gelap seakan menjadi rekan kerja ‘instan’nya. Yang sama saja sudah beraneka, apalagi yang jelas-jelas beda. Tapi, kenapa kok masih diributkan? Yah mungkin inilah keniscayaan,” komat-kamit pikiranku bebicara sendiri.

Drama hidup yang berbeda itu, menjadi tontonan saat kakiku nyaman bertengger pada salah satu dahan pohon jati.  Pohon tinggi tegap yang menggagahi gubuk reot yang berada di samping akar pohon ini tertanam. Ya, hanya sebuah gubuk yang salah satu sisinya telah miring, meronta tak kuat saat angin datang menerjang. Suatu kali kudengar perdebatan antara pohon jati dan gubuk itu:

“Aku bangga jadi diriku ini. Walaupun sudah renta begini aku masih bisa menjadi tempat berteduh si petani di bawah atapku, sedang rumput yang tumbuh di tanah menjadi tempat yang nyaman bagi petani untuk sekadar menyeka kucuran keringatnya selepas bekerja di bawah terik matahari. Bahkan di tanahku juga si petani merebahkan badannya untuk melemaskan kembali otot-otot dan tulangnya, setelah dikerahkan untuk merawat tanaman di sawah. Saat malam pun, aku teman satu-satunya saat berjaga malam,” serang gubuk, sementara pohon jati terus beridiri dengan angkuhnya.

***

Di tengah tontonan itu, terdengar suara yang diarahkan kepadaku:

“Burung hantu, ngapain kau di situ?” Sapa kelelawar yang tengah bergelatungan pada ranting di atas dahan yang kugunakan untuk bersantai mengikuti alur kehidupan malam itu.

“Ssst… Jangan rame! Tak tahu apa? Aku lagi menonton drama hidup manusia di bawah pohon ini.”

“Emang ada tontonan apa di bawah dan membuat kau berminat bertengger di markasku ini?” Jawabnya ringan.

“Itu loh, alur hidup si petani. Setelah susah payah bekerja, terik dan hujan dia acuhkan demi untuk merawat tanaman cabainya agar bisa tumbuh, terbebas dari hama yang setiap waktu mencoba memangsa hidup si cabai, agar tidak gagal panen. Saat buah sukses melewati hari-hari pertumbuhannya dan petani siap panen, malamnya tak peduli dingin, capek, kantuk menyerang, dia paksa melawan, untuk menjaga tanamannya dari pemangsa yang berasal dari sebangsanya. Coba lihat sendiri di bawah itu.” Jelasku pada kelelawar itu.

“Wah tontonan semacam ini sudah biasa. Kini untuk melihatnya pun ruangku telah sesak dengan adegan itu. Untung saja aku tak mengikuti episode kelanjutannya, karena alurnya lebih parah lagi. Dilanjutkan saat siang, dan siang waktuku untuk tidur pulas dari kenyataan hidup si petani itu,” jawabnya mantap kepadaku.  Tak terima promosiku tak digubris olehnya, kuajukan pertanyanku.

“Emang ada apa saat siang tiba? Sok tahu lho.”

“Suatu kali burung pipit bercerita padaku. Katanya nanti saat buah cabai yang  selamat dari tangan-tangan pemangsa telah dipanen oleh pak tani, hasilnya akan dijual ke pedagang setempat. Anehnya, saat penjualan si petani tidak dapat menentukan harga cabainya sendiri. Pedagang yang akan membeli cabai petani itu yang memberikan  harga cabai.”

“Itu kan sudah menjadi hukum ekonomi. Kebutuhan pasarlah yang menentukan,” sanggahku.

“Padahal mulai dari awal pembelian bibit, obat-obatan, perlengkapan pertanian, semua harga datangnya dari si pemilik toko, si penjual,” balas kelewar tanpa menggubris sanggahanku, seraya melanjutkan, “petani hanya dapat merogoh koceknya dalam-dalam, dengan harga tinggi yang ditawarkan. Bahkan tak jarang si petani memohon-mohon orang lain untuk merogoh uangnya yang kemudian dapat ia pinjamkan. Hanya pedagang cabailah yang dapat memberikan pinjaman itu, yang kemudian dengan pinjaman itu pedagang melilit petani dengan perjanjian hasil panen cabai dijual kepadanya.  Kalau sudah mulai dari modal awal, bibit, dan obat-obatannya menggunakan hasil pinjaman petani kepada pedagan gtersebut, maka jual cabainya harus ke pedagang itu juga, tentunya dengan harga yang tidak sama dengan petani lainnya, dipotong-potong tak jelas,” jelasnya mengguruiku. Aku hanya diam dan menjadi murid yang baik mendengarkan pengetahuan baru itu darinya.

“Dan aneh, baru kali ini kulihat penjual yang tak bisa menentukan harga barang jualannya sendiri, padahal dia pemilik barang itu. Aku rasa ini menyakitkan,” tambahnya di sela-sela pandangan mataku yang mengarah ke petani yang nampak mulai sudah terkalahkan oleh kantuknya.

Cerita itu terus menerus mengaduk-ngaduk pikiranku. Geram aku melihatnya. Dahiku mengernyit memikirkan hal itu. Selebihnya tak ada yang bisa kulakukan. Untuk jadi pahalwan kesiangan pun tak mungkin, karena siang lebih membuatku tertidur dan terbuai dari segala ini.  Puas mendengar keterangan itu, kukepak-kepakkan sayapku, dan kemudian membawa tubuhku mengeliligi persawahan itu. Terlihat gerak orang berpakaian hitam yang mengawasi, sedang si petani nampak menyeka mukanya. Jelas bukan keringat yang ia seka. Keringat yang akan keluar akan membeku sebelum sampai pada pori-pori, gara-gara dingin yang menusuk tulang belulang seperti malam ini. Mungkin kesulitan hidup ini yang ia seka dari mukanya. Atau mungkin kantuk yang ingin ia buang agar tak menambah kesulitan hidupnya.

“Hhhh… Bedebah! Alur kehidupan tercekik oleh ‘keadaan’ yang diciptakan!” Gerutuku menyibak kesunyian. Dan aku terus berjalan, menjauhi si maling yang nampaknya terkejut dengan suaraku.  Raut wajahya nampak kebingungan, ciut sudah nyalinya. Keringat dinginnya keluar namun masih tak membasahi kering hati nuraninya. Sedang si petani nampak baru tersadar dari mimpi-mimpinya. Dan kemudian bergegas untuk menyadarkan dirinya bahwa ini semua hanya alur cerita yang diperankannya. Ulah sutradaralah yang membuatnya pada posisi ini. “Dalam cerita pun aku tak mau memainkan posisi ini,” desisku pada angin. Dan aku pun terus terbang, yang kemudian hilang dalam kegelapan.[]
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top