Wednesday, August 24, 2016

Hikayat Para Pencuri Buku


Oleh: Irham Thoriq*

Seorang pustakawan militan dari Malang berulang kali menentang. Dia tidak setuju dengan anggapan banyak orang, yang belakangan mungkin sudah dianggap sebagai kebenaran. Anggapan itu memang pahit. Terlampau pahit.

Anggapan itu adalah bangsa kita dicap sebagai bangsa yang minat bacanya rendah. Lalu, anggapan itu diperkuat hasil survey yang menyatakan kalau minat baca kita peringkat kedua terbawah dari total 61 negara yang diteliti. Sudah 71 tahun merdeka, tapi kita secara tak sadar  mengamini hal itu.

Pustakawan ini mengatakan kalau anggapan ini salah. Masyarakat kita sebenarnya tidak malas membaca, tapi bacaan yang tidak ada. Mau beli buku tidak punya uang, mau pinjam ke perpustakaan kota, terlampau jauh. Karena inilah, pustakawan ini memimpikan suatu saat bisa membangun seribu perpustakaan di desa-desa. Agar buku tak lagi jauh dari orang-orang kampung.

Jika buku dekat dengan masyarakat, mau tidak mau masyarakat akan membaca. Minimal membaca buku resep masakan, minimal membaca kiat sukses membeli rumah tanpa uang muka, minimal membaca buku kiat sukses menjadi pembawa acara, minimal lagi membaca judul buku.

Saya kira, kesalahan pembuat kebijakan di negeri ini adalah kurangnya upaya mendekatkan buku kepada masyarakat. Lalu, masyarakat tidak mencintai buku. Kau tahu, buku pelajaran saat kita kecil terlalu banyak hafalan. Orang disuruh menghafal tokoh-tokoh, rumus-rumus, sejarah dan lain-lain.

Pelajar tidak diajari bagaimana mencintai dan menikmati buku serta pengetahuan. Mungkin karena ini, setelah lepas dari sekolah atau kuliah, orang menjadi jauh dari buku. Meninggalkan buku, meninggalkan pengetahuan. Atas semua itu, jawababannya hanya satu: karena kita tidak pernah diajari bagaimana cara mencintai buku dan mencintai pengetahuan.

Hal inilah mungkin yang tidak dialami sastrawan Chairil Anwar, sastrawan angkatan 45 yang hanya berusia 26 tahun tapi saja-sajaknya masih hidup hingga kini. Meski tidak pernah sekolah tinggi, tapi Chairil sangat mencintai buku dan pengetahuan.”Kata mama saya, ayah mending besok tidak makan daripada besok tidak beli buku,” kata Evawani Alissa, anak satu-satunya Chairil Anwar dalam sebuah diskusi yang diadakan Tempo baru-baru ini yang tayangannya saya lihat melalui Youtube.

Sejak itu, saya baru tahu kalau Chairil Anwar memang maniak buku. Bahkan, ada cerita tersohor tentang Chairil Anwar dan sastrawan Asrul Sani. Suatu hari, Chairil dan Asrul mengunjungi toko buku yang cukup terkenal di Jakarta waktu itu, namanya Van Dorp.

Di toko buku ini Chairil dibuat ngiler dengan buku berjudul Also sparch Zarahustra karya filsuf  Fredrich Nietzsche. Mereka lantas mencuri buku ini. Chairil mempunyai pembenaran kenapa dia menucuri buku di toko buku milik belanda tersebut.”Bangsa mereka juga merampok kekayaan negeri ini,” kata Chairil.

Tapi menurut saya apa yang dinyatakan Chairil ini hanya pembenaran saja. Dari cerita teman-temannya, Chairil yang hidup susah di Jakarta memang sering mencuri. Bahkan teman-temannya pernah iuran menebus Chairil, setelah ‘si binatang jalang’ ditangkap polisi karena ketahuan mencuri seprai.

Chairil mencuri buku mungkin karena kehausannya terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai penyair, Chairil juga butuh bahan untuk mengarang puisi yang bertenaga. Dia tidak mungkin membuat puisi hanya berbekal imajinasi dan angan-angan kosong.

Perihal mencuri buku, saya kira setiap zaman selalu mempunyai pencuri bukunya masing-masing. Di Perpustakaan Kota Malang sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar Malang,ada 4.725 buku buku hilang atau bahasa halusnya belum kembali selama bertahun-tahun. Dan ironisnya, yang banyak buku hilang adalah buku bertema kedokteran.

Mungkin mahasiswa kedokteran yang pinjam dan tidak dikembalikan itu kepalanya sedang pening. Dia bingung karena dituntut segera menyelesaikan kuliah oleh orang tua, buku di kampus tidak tersedia, mengurus kartu perpustakaan Kota Malang sulit bagi orang luar kota, maka lahirlah ide mencuri. Dalam hati mungkin mereka bergumam: nanti kalau saya sudah jadi dokter akan saya kembalikan bukunya.

Atau mungkin mahasiswa tersebut tidak niat mencuri. Tapi buku yang mereka pinjam di perpustakaan dicuri teman. Lalu, mahasiswa ini takut mau melaporkan karena sudah terlanjur lama buku menghilang. Ini jugalah yang dirasakan seorang teman ketika menghilangkan buku di perpustakaan kampus. Karena buku hilang dan denda di sistem peminjaman berjalan terus, teman saya ini disuruh bayar hampir sejuta. Untung, dia dapat diskon dengan membayar Rp.300 ribu di penghujung kuliah. Jika tidak membayar, tidak bisa ikut yudisium yang itu sama saja artinya tidak bisa lulus.

Seorang ilmuan barat David J Leiberman juga pernah menulis tentang cerita pencurian buku. Menurut dia, sebodoh-bodohnya orang itu adalah orang yang meminjam buku tapi buku tersebut dikembalikan.

Lalu, berdosakah orang yang mencuri buku? Saya kira tulisan ini tidak hendak membahas halal dan haram, karena sudah ada lembaga yang memiliki kewenangan memberi fatwa. Maka saya turunkan lagi pertanyaannya, boleh tidak mencuri buku?

Atas pertanyaan itu saya kira jawabannya boleh. Kita perlu mencuri buku dari seorang kutu buku yang setelah dibaca buku tersebut diendapkan saja di bawah kolong kamar tidur. Kita juga perlu mencuri buku dari orang-orang yang hanya senang membeli buku tapi tidak pernah berhasil menuntaskan membaca buku yang mereka beli. Lalu, Anda masuk kriteria yang mana ya?

Buku hasil curian itu bisa kita buat perpustakaan gratis. Hitung-hitung, dengan mencuri buku dan membuat perpustakaan gratis, kita sudah menyebarkan ilmu Tuhan. Bukankah itu pahala, bukan malah berdosa.

Seorang pustakawan yang ceritanya saya sebut di atas juga pernah memberi tip dan trik cara mencuri buku di perpustakaan. Caranya, sobek sampul depan dan belakang. Jika di dalam buku masih ada penanda yang dikhawatirkan pintu perpustakaan berbunyi ketika kita keluar, maka lembaran itu jangan lupa disobek.

Karena kita hanya akan jadi bahan tertawaan semut ketika kita mencuri buku, lalu pintu berbunyi dan kita masuk penjara karena buku yang tak seberapa harganya. Padahal niat kita mulia, yakni demi literasi. Jangan lupa, kita mencuri buku karena alasan keadilan sosial juga yakni agar buku-buku tidak hanya dinikmati orang kuliahan dan orang gedongan saja.

Lalu bagaimana kalau kita tertangkap beneran? Semoga saja para penggiat literasi bisa bersatu dan berdemontrasi di depan kantor polisi sambil menenteng poster bertuliskan: Hentikan Kriminalisasi kepada Pejuang Literasi.[]

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
- Sumber gambar: Admirable sentiment

Saturday, August 20, 2016

Ilusi


Oleh: Muhammad Madarik

Di teras langgar desa berkumpul beberapa anak-anak kecil seusai salat Isya berjamaah yang diimami Abah Pud, seorang kiai kampung yang bernama lengkap Haji Mahfud Shobri, lelaki sepuh berusia hampir menginjak 80-an. Sang ustadz yang sabar mengajarkan Alquran setiap bakda salat Magrib sampai Isya. Karena malam ini merupakan malam keramat, kegiatan sebelum salat Isya diisi dengan salawatan diba' seperti tradisi masyarakat di mushalla-mushalla tetangga.

Murid-murid Abah Pud itu duduk membentuk lingkaran sebagaimana biasa. Mereka bercengkrama membicarakan berbagai hal, mulai dari soal guru mereka yang seringkali menjewer, membentak, memukul dampar sampai persoalan ngerasani anak gadis yang acapkali menjadi buah bibir di antara mereka.

"Hei, malam ini Jumat kan?" Kata Mat Jupri membuka perbincangan. Memang, Mat Jupri merupakan anak yang paling tua di antara murid-murid Abah. Dia pandai memancing suasana berubah sesuai kehendak muatan hikayat yang diceritakan. Ia lihai membawa kawan-kawannya ke dalam keadaan riang menyenangkan atau takut mencekam.

"Ya, kenapa?" Timpal Edi Santoso.

"Biasanya arwah nenek kita datang. Konon katanya mereka menjenguk ke rumahnya hanya sekadar ingin melihat keluarganya yang masih hidup," sambung anak yang lebih dikenal dengan sapaan Mamat itu.

"Hiii... Sudahlah, jangan ngomong-ngomong yang begituan teman!" Sela Badrul.

"Huuu...." Serempak suara teman-temannya. Badrul yang berbadan bongsor memang penakut.

"Dulu, ada seorang wanita tua di sebuah kampung. Dia hidup sebatang kara. Anaknya meninggal semenjak usia balita karena terkena penyakit parah sehingga nyawanya tak tertolong, sedangkan suaminya kecelakaan sampai harus menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Dia menjanda hingga menua. Menunggu rumah setelah sekian lama tidak lagi memiliki harta benda. Satu-satunya yang menjadi haknya cuma rumah tua yang berada di pojok kampung. Setiap hari ia mencari kayu bakar untuk kemudian dijajakan di pinggir jalan pasar sebuah kecamatan. Namanya saja menjual seutas ranting, terkadang dibeli kadang pula harus dipikul kembali ke rumahnya." Mamat menghela nafas seakan ikut menanggung getir nasib perempuan papa itu.

"Terus gimana Mat?" Tanya Edi.

"Sang nenek lama tak terlihat di pinggir jalan pasar seperti ia lakukan dalam mencari nafkah. Beberapa orang yang biasa membeli barang jualannya itu saling bertanya. Tetapi satu sama yang lain merasa tidak tahu-menahu soal sang nenek."

"Kemudian sebagian mereka menyepakati untuk menjenguk sekadar ingin memaklumi kabarnya. Berangkatlah beberapa orang ke kediaman perempuan tua itu. Sesampai di halaman rumah, mereka mulai ragu. Kira-kira orang yang dicari ada di rumah atau keluar. Mereka semakin tanda tanya ketika memperhatikan kondisi rumah yang terlihat tak terawat dengan dedaunan yang berserakan dan nyata tidak pernah dibersihkan. Mereka semakin tercengang tatkala tangga demi tangga dan teras begitu kotor. Daun pintu yang sedikit menganga membuat syak wasangka mereka kian berkecamuk."

Belum sempat Mat Jupri melanjutkan kisahnya, tampak Abah Pud keluar dari mushalla seraya menutup pintu setelah sejak tadi berada di mihrab.

"Hach, belum pulang anak-anak?"

"Belum!" Jawab mereka nyaris serentak.

"Terus bagaimana selanjutnya Mat?" Tanya Edi setelah Abah Pud tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

"Akhirnya mereka masuk sesaat setelah saling berpandangan. Di ruang depan tak ditemukan seseorang yang dimaksud. Hanya ada kursi kayu jati bersulam rotan, mejanya juga terdiri dari bahan yang sama. Di samping tataan kursi terdapat lemari bupet yang tak lagi terisi perhiasan. Kaca-kacanya banyak yang pecah dan retak. Menuju ruang berikutnya terdapat pintu besar dengan pintu berukir juga. Secara perlahan, mereka memasuki ruang tengah. Cukup gelap di tempat, hanya diterangi oleh cahaya dari pintu depan. Perasaan mereka semakin berkecamuk sebab berhembus bau kian menyengat. Bau itu seperti aroma bangkai yang sudah lama membusuk. Perempuan di antara mereka mulai menghentikan langkahnya. Rasa takut dan merinding menyergap sekujur tubuh beberapa wanita itu, tetapi untunglah laki-laki di antara mereka merupakan pria-pria pemberani. Mereka menyelediki sumber hembusan tak sedap itu. Dan...."

Mat Jupri menghela nafas panjang sebelum meneruskan ceritanya, sementara teman-teman di sekeliling anak yang lihai bercerita itu menunggu kelanjutan kisah yang masih menyisakan tanda tanya besar.

"Dan ... setelah salah satu mereka menyinari dengan sorot lampu lewat HP, ternyata sesosok wanita tua itu tergeletak di lantai. Terlihat duduk bersandar di tembok dengan kaki selonjor ke depan. Tetapi yang membuat kaget, ternyata nenek itu sudah tidak bernyawa lagi. Mata cekungnya membelalak, rambutnya telah bercampur uban terurai dan menjulur agak ke bahu, kedua tangannya teruntai ke samping tubuh kurusnya. Mulutnya menganga. Entah bagaimana peristiwa ajalnya tercabut, kepala orang tua itu mendongak. Hal yang membuat semua yang ada di ruangan itu miris, ternyata tubuh kriput itu dikerubungi semut merah."

"Sebagian perempuan bergegas ke ruang depan, tetapi yang laki-laki segera mengambil tindakan merawat dan menyelesaikan jenazah supaya secepatnya dikebumikan."

"Terus gimana Mat?" Tanya Kholis yang semenjak awal hanya menyimak.

"Ya, seluruhnya termasuk para tetangga berdatangan mengurus mayat itu hingga selesai. Acara ‘selamatan kematian’ dilaksanakan dengan menggunakan biaya hasil swadaya. Selesai sudah acara itu, tetapi karena tidak ada ahli waris lagi, maka kediaman tersebut menjadi rumah tua yang tak berpenghuni. Oleh karena, rumah itu sampai sekarang terlihat mencekam."

Badrul, si anak penakut ini sejak tadi cuma mendengarkan Mat Jupri sambil menopang tangannya ke daun telinga agar tidak kentara bahwa ia sedang menyumbat kupingnya. Ia duduk merapat di antara Kadir dan Nur Hasan untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti perasaannya. Kini jam menunjuk ke arah 21:13 WIB, Mat Jupri beranjak menutup pintu, jendela mushalla dan mematikan lampu-lampunya, menandakan bincang-bincang mereka telah berakhir. Hanya tiga orang yang searah dengan Badrul, selebihnya berada di arah yang berbeda-beda. Anak-anak itu mulai berhamburan keluar halaman mushalla, sementara dada Badrul sesak oleh bayangan nenek yang mati mengenaskan. Walau ia ikut melangkah mengikuti jejak teman sebayanya, tetapi kecamuk pikirannya terus dihantui bayang-bayang sang nenek. Lebih-lebih tatkala akan masuk gang menuju rumahnya harus sendirian, sedangkan dua sahabatnya terus saja melewati gang itu. Badrul mulai dihinggapi bayang-bayang yang kian mencemaskan setelah mengingat akan menelusuri gang ke arah rumahnya sendirian.

Badrul pernah tahu rumah tua itu, ia kadang lewat jalan yang melintasi rumah dalam cerita Mat Jupri itu. Semua anak-anak tentu pernah melihat rumah itu, sebab lokasinya hanya berada di desa tetangga dekat desa mereka. Namun selama ini mereka hanya mendengar tempat tersebut sebagai rumah angker belaka.

Kini, Badrul merasa gelisah saat menelusuri gang menuju rumahnya dengan gontai. Lampu yang menerangi ruas jalan hanya terdiri dari beberapa buah dengan jarak yang cukup berjauhan, itupun masih dihalangi dedaunan dan dahan-dahan dari beberapa pepohonan sehingga badan jalan tak begitu jelas terlihat. Kondisi gang yang sepi menambah tegang si anak mata wayang ini. Ia percepat langkah-langkahnya, tetapi serasa semakin berat diayunkan. Merasa seakan-akan diikuti seseorang di belakang tubuhnya, menjadikan bulu kuduknya berdiri.

Memasuki jalan gang memang agak sepi. Kiri-kanan hanya ditumbuhi pohon-pohon, dan beberapa lahan kosong masih berupa pekarangan yang cuma berisi tanaman singkong, pepaya, pisang atau berbagai tumbuhan sayur. Badrul mulai lega saat rumah pertama sudah tampak di mata.

"Heeech..." Badrul menghela nafas panjang.

Belum sampai di depan rumah itu, Badrul merasa kecewa sebab tak seorangpun terlihat. Pintu tertutup, dan hanya lampu luar yang membantu menyinari jalan. Entah kenapa, badrul tak memiliki keberanian menolehkan kepalanya ke arah rumah itu. Kian dekat, detak jantung yang dirasakan Badrul semakin kencang. Apakah ini nyata? Ia benar-benar melihat seseorang sedang duduk di teras rumah itu. Rambut sebahu, berbaju kurung dengan warna putih yang mulai lusuh.

Angin malam yang berhembus, di tambah bunyi jangkrik menyempurnakan pemandangan malam ini. Malam ini memang malam Jumat, malam yang dikeramatkan orang-orang kampung. Begitu senyap terasa gang ini.

Semakin dekat, kian jelas rupa orang itu. Apa yang terurai dalam cerita Mat Jupri tentang detail nenek itu sungguh nyata. Mulutnya menganga, bercak sisa darah menempel di bagian bibirnya, bulatan matanya tampak tenggelam dalam kelopak yang mencekung. Wajahnya putih memudar, jelas-jelas pucat tanpa darah mengalir. Di antara kisaran mata menghitam semakin kelabu hingga pusat mata. Tubuhnya terlihat membungkuk, mengesankan ia sangat renta. Tangan pucat yang kian memperlihatkan kerut-kerut telapak tangannya memegang kedua lututnya. Tetapi tangan yang tampak menua, masih ditumbuhi kuku yang runcing.

Orang itu duduk tanpa suara. Badrul semakin tenggelam dalam ketakutan. Kedua kakinya ia buat melangkah lebih cepat, tetapi nenek berjubah itu seakan mengejar. Ia semakin dekat, sepertinya tangannya akan menjamah bahunya.

"Huuuuuch..." Dengus Badrul begitu lega ia mula memasuki pagar besi rumahnya. Rasa takut ini hilang, ketika jasad perempuan tua itu terlihat berdiri di dekat ujung pagar rumahnya. Segera ia membuka pintu dan masuk. Entah apa yang terjadi dengan tidurnya nanti.


"Heeech..." Kembali Badrul mendengus di ranjang.[]

Sumber Gambar:

Thursday, August 11, 2016

Solusi Pendidikan Melalui Inbox


Oleh: Muhammad Ilyas

Beberapa hari yang lalu saya disibukkan dengan hal yang sangat membosankan. Bagaimana tidak saya dipaksa untuk membuat seabrek administrasi guru, setiap hari saya bergelut dengan bagaimana membuat RPP (Rencana Proses Pembelajaran) yang bagus, membuat silabus,  mempersiapkan Promes (Program Semester), Prota (Program Tahunan), agenda harian guru selama setahun, jadual harian, jadual libur nasional, membuat soal-soal yang sudah terstandar sekaligus dengan kisi-kisinya, membuat ranah kognisinya bloom yang terdiri dari C1, C2, C3, C4, C5, serta C6 dan banyak lagi administrasi yang harus diselesaikan. Maklum sekolah yang saya tempati sedang bersiap-siap untuk akreditasi. Mungkin sekolah ini tetap ingin mempertahankan gengsinya sebagai sekolah terfavorit di lingkungan Kota Gudeg. Maklumlah, di era ini sekolah yang bagus adalah sekolah yang terakreditasi A, sekolah yang mempunyai gedung yang megah, dan tentunya mempunyai kelengkapan administrasi jika tidak memenuhi kriteria di atas, maka sekolah tersebut tidak akan laku.

Begitulah pendidikan, semua serba terstandar. Ah, lupakan saja masalah pendidikan. Pendidikan  memang menjadi masalah klise yang jalan di tempat. Toh sekolah yang bagus dinilai berdasarkan dokumen yang mereka punya. Persoalan sudah selesai ketika kita menerapkan apa yang telah menjadi titah. Sabda pandita mentri….

Lah. membahas pendidikan merupakan hal tak begitu penting lagi. Masih lebih penting masalah politik, penguasa, artis, karena banyak yang beranggapan jalan itu yang bisa membawa kepada jalan perubahan lebih baik. Pendidikan hanyalah sebagai beban negara yang harus diciutkan. Bagaimana tidak, UU telah mengamanatkan minimal anggaran untuk pendidikan sebesar 20%. Wah, ini jelas membuang-buang biaya saja. Belum tentu semua akan selesai hanya dengan cara memperbaiki pendidikan. Hal ini terbukti yang digadang-gadang menerapkan sistem pendidikan terbaik adalah negara-negara Skandinavia. Pendidikan di sana sudah diakui seluruh dunia bahwa menerapkan sistem yang sangat inovatif, memanusiakan dan seabrek pujian. Yah mungkin tak bakalan habis pujian yang diberikan sampai tujuh turunan.

Sulit memang untuk didefinisikan. Sang legenda terkenal, mas Aristoles, mendifinisikan pedagogi itu sebagai ngemong. Lah itu kan dulu. Masak kita melihat masa lalu. Kan kalau zamannnya mas Aris beda dengan sekarang. Dulu enggak ada Google, enggak ada Youtobe, enggak ada acara Inbox, Dahsyat, dan seabreg acara televisi yang layak. Sekarang anak sekolah belajar enggak melulu di bangku sekolah, mendengarkan guru, lalu pulang. Sekarang zamannya adalah belajar di luar ruangan, belajar berinteraksi dengan masyarakat luas, agar tahu kehidupan masyarakat itu seperti apa. Nah, alasan inilah yang membuat sekolah di Trenggalek diliburkan hanya untuk memobilisasi acara Inbox. Keren sekali! Yang diajarkan oleh sekolah di Skandinavia adalah belajar dengan masyarakat. Berhubungan langsung dengan masyarakat. Memobilisasi terhadap acara tersebut merupakan metode pembelajaran terbaru, yang disebut dengan jreng-jreng model education. Tentulah ini nantinya menjadi modal untuk menyumbangkan teori yang sejajar dengan konsep teori Barat seperti, Licona, John Dewey, (bukan John Rame-rame), Bloom, AS Neil, atau selevel Poulo Freire.

Pembelajaran dengan musik di acara Inbox, menurut penelitian dari Arumi Harum (bukan Bachin, soalnya kalau bachin bahasa Jawanya “bau”), menunjukan meningkatkan kecerdasan yang sangat luar biasa, bahkan bisa mengalahkan kecerdasan Einsten. Tak terbayang bagaimana orang Trenggalek cerdas semua karena inovasi dari pemangku kebijakan. Yah, lagi-lagi politik. Maaf, saudara, bukan bermaksud untuk mempolitisasi atau untuk menggiring hal tersebut ke ranah politis (baca: kepentingan penguasa), melainkan kita fokus ke ranah yang lebih rendah lagi, yaitu memperbaiki moral generasi muda.

Tapi sulit sekali jika yang kita bahas di sini hanya spaneng terhadap masalah pendidikan. Mbok yo dibumbui dengan humor politik, biar agak sedap sedikit. Yah, maklumlah isu yang paling disukai itu ketika bersinggungan dengan hal-hal politis. Yah, walaupun Mas Pram pernah bersabda dalam kitabnya kalau seseorang tidak akan lepas dari  politik, bahkan berdua dengan orang lain itu merupakan politik (berdua?). Yah, mungkin politik bagaikan dewa. Dewa agung yang bisa mengubah apapun dengan abracadabra. Yah, pendidikan sebagai tumbal dan digunakan oleh para politisi busuk demi apalah-apalah.

Saya fokuskan lagi terhadap masalah Inbox yang sudah menyumbangkan para intelektual yang nantinya akan berkiprah di dunia international. Akademi Inbox, mungkin itulah yang terbesit dalam benak artis papan lapuk (maksudku papan atas). Artis-artis tersebut menjadi daya pikat tersendiri, menjadi figuran, dan menjadi panutan generasi sekarang. Banyak generasi yang tersugesti oleh kehebatan artis. Bagaimana bisa generasi muda tidak terkesima oleh artis papan Jakarta, lhawong duta Pancasila yang menjadi dasar negara kita saja dari artis. Menurut sang duta, lambang Indonesia adalah bebek nungging. Yah itulah realitas. Itu tak lain adalah—mengutip salah satu tulisan di Amanah RU—humor ala begundal yang tak tahu tata krama. Iyalah, masa lambang negara digituin. Lhawong Bung Hatta saja pernah bersumpah, beliau tidak akan menikah sebelum Indonesia Merdeka. Ngeri sedap! Beliau tidak main-main dengan nasib bangsanya. Tapi walaupun begitu, para pendiri bangsa tidak pernah menjadi duta Pancasila. Hal itu hanya menjadi penghargaan yang besar terhadap artis Inbox. Jadi sangat wajarlah jika sekolah diliburkan hanya demi mobilisasi acara tersebut.

Acara ini juga sebagai solusi kebangsaan yang kian hari kian tak tentu. Yah, daripada mendengarkan dagelannya Senayan, lebih baik mendengarkan dagelan acara Inbox dan Dahsyat. Toh mereka jujur menjelaskan keadaan bangsanya, mereka jujur kalau keadaan bangsa ini sangat kritis, selera humor orang kan berbeda. Siapa yang berhak untuk menghakimi selera orang? Anggaplah ikhtilaf. Mungkin samalah dengan aliran Realisme Magisnya  masa kini. Atau acara tersebut disebut sebagai Magisme Realis? Wah, tak tahulah itu. Pokoknya yang terpenting pahlawan untuk selalu dikenang itu adalah artis Inbox dan Dahsyat.

Mobilisasi siswa untuk mengikuti acara Inbox bukanlah salah. Hal ini dikarenakan para siswa merasa begitu dekat dengan artis-artis bintang Inbox tersebut. Mereka lebih merasa nyaman dan merasa cita-citanya tercapai jika bertemu dengan idolanya. Mereka tak kenal siapa Pak Syahrir, Pak Tan, Pak Cokro, Pak Karno, Pak Hatta. Mereka merasa asing dengan nama-nama tersebut, mereka lebih peduli terhadap apa yang dipakai artis Inbox. Sedang apa, makan apa, dan hal-hal yang sangat penting untuk keperluan artis Inbox. Menurut saya itu wajar, karena duta Pancasila ada di serentetan artis Inbox tersebut.


Kita berharaplah kepada acara Inbox ini agar bisa mengubah dunia, mengubah aspek ekonomi yang sangat membebani rakyat. Dan rakyat pun senang dengan apa yang mereka perbuat. Yah, mungkin ini adalah titik jenuh masyarakat kita terhadap dagelan yang dibuat oleh para badut-badut senayan, atau badut-badut di tempat lain. Jadi sangat maklum dan sangat lumrah jika memperbaiki pendidikan, memperbaiki bangsa dengan karakter Inbox dan Dahsyat.[]

Sumber gambar:
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top