Wednesday, February 25, 2015

Puisi dan Propaganda

[sumber]

Oleh: Irham Thoriq
 
“Jika Kau Menghamba Kepada Ketakutan,
Kita Memperpanjang Barisan Perbudakan”

Kita bertemu pertama kali di penghujung 2013 silam. Pada siang yang teduh di Perpustakaan Kota Malang, kita mengobrol ngalor ngidul tentang puisi, dan juga korupsi. Rambutnya gondrong, berkumis, dan pakaiannya tidak terlalu necis untuk ukuran gentleman. 

Pada 7 Februari lalu, Sosiawan Leak kembali ke Malang. Kali ini dia menyempatkan mampir ke Kantor Radar Malang untuk berdiskusi tentang sastra dengan awak redaksi dan para budayawan di Malang. Karena sedang liputan, saya absen dari diskusi yang menggairahkan itu.

Dalam sekali perjumpaan serta sekali gagal berjumpa itu, saya kagum dengan kegetolannya: membuat perubahan dengan Puisi. Saya kira ini “jalan pedang” bagi orang yang menginginkan perubahan hanya dengan kata-kata.

Ketika pertama kali bertemu, Leak sedang melakukan sosialisasi tentang programnya bernama Puisi Menolak Korupsi (PMK). Dia terlihat antusias menjawab pertanyaan saya yang baru tahu program ini. Diakhir obrolan, dia meminta alamat email saya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, ketika saya sudah tidak mengingat-ingat lagi pertemuan singkat itu. Leak berkirim email, isinya tentang jadwal sosialisasi PMK, berapa buku yang sudah diterbitkan, sejarah gerakan PMK dan lain-lain. Sampai beberapa bulan, email terus masuk dari Leak.

Saya menganggap Leak adalah sastrawan yang tidak hanya mengandalkan keindahan kata-kata. Puisi menurutnya harus mempunyai dampak perubahan, saya kira konsepnya sama dengan filsuf Karl Marx yang mengatakan kalau filsafat harus mempunyai dampak terciptanya masyarakat tanpa kelas.  

Tapi, yang menjadi pertanyaan saya waktu itu, apakah bisa puisi mengurangi korupsi di negeri ini? Jujur saya pesimis. Kita tahu, korupsi di Negeri antah berantah ini sudah sangatlah akut. Tidak mungkin seorang pejabat bisa insaf hanya setelah membaca satu atau dua bait puisi dan sajak.

Jika diibaratkan sakit kepala, sakitnya para pejabat yang korup ini sudah tidak lagi bisa diobati dengan obat apotek atau yang dijual di jalanan. Perlu obat dengan campuran sedikit racun untuk menyembuhkan sakit kepala mereka, karena dengan begitu mereka akan mati tanpa lagi merasakan sakit kepala. Atau kalau tidak demikian, butuh banyak hidayah yang diturunkan tuhan dari langit paling atas.

Saya menganalogikan korupsi dengan hal-hal tidak masuk akal ini karena memang korupsi seolah sudah menjadi budaya. Tengoklah televisi, mereka mengumbar senyum tanpa rasa malu meski sudah terbukti memakan uang rakyat, mencuci uang dengan menghamburkannya kepada para artis, dan lain-lain. Saraf kemaluan mereka seolah sudah habis.

Tapi rupanya Leak tidak berpandangan sesempit saya, dia beranggapan kalau Puisi meski bukan kalam Tuhan bisa menginsafkan orang. Setidaknya bagi mereka orang baik atau orang jahat yang masih bisa diselamatkan oleh bait-bait puisi.

Mungkin karena alasan inilah, yang disasar Leak bukanlah pejabat. Tapi para pelajar, mahasiswa, aktivis sosial, guru dan orang-orang muda yang mempunya peluang menjadi pemimpin kelak. Mereka tidak hanya jadi sasaran sosialisasi, tapi mereka jugalah yang menuliskan puisi dan dijadikan buku ontologi puisi.

Dengan gerakannya itu, Leak seolah meyakini kalau puisi bisa menjadi alat propaganda. Meski tindakan korup para politisi tidak bisa dirubah dengan puisi, Leak sadar kalau menanamkan alam bawah sadar kepada anak-anak butuh jejalan kata-kata, jika yang diinginkan mereka anti korupsi, maka kata-kata anti korupsi perlu dikumandangkan terus menerus.

Tentang puisi dan propaganda, kita layak bercermin pada Widji Tukul. Dia diculik sejak 1998 dan tidak pernah kembali sampai saat ini karena puisi-puisinya. Sebelum dinyatakan hilang, dia berpindah-pindah tempat tinggal, lari dari kejaran aparat Orde Baru.

Dalam pelariannya, Tukul masih menulis puisi tentang perlawanan. Melalui kata-kata, dia berhasil “mempropaganda” para aktivis untuk tak surut melawan kesewenang-wenangan. Hanya karena kata-kata pula dia dihilangkan.

Membaca puisi dan tulisannya yang tidak terlalu puitis karena lebih banyak tentang perlawanan, saya sering kali merasa sedih sekaligus haru. Suatu ketika dalam pelarian, Tukul berkirim puisi pada anak perempuannya, Fitri Nganthi Wani: Kalau Teman-temanmu tanya/ kenapa bapakmu dicari-cari polisi/jawab saja:/ karena bapakmu orang berani,”.

Saya kembali tertegun, ketika membaca tulisan Fitri Nganthi Wani di Majalah Tempo edisi mengenang sepuluh tahun Munir yang terbit akhir tahun lalu. Tulisan ini seolah menjadi curahan hati dari seorang anak yang ayahnya diculik. ”Dia membeli sepaket kebenaran dengan nyawanya,” Begitulah salah satu penggalan tulisan Nganthi Wani yang menurut saya begitu menohok. 

Saya kira Nganthi Wani layak berbangga, mempunyai ayah yang tidak menghamba pada ketakutan. Dari puisi-puisi, kita bisa memutus garis perbudakan sebagaimana bunyi Puisi Tukul pada pengantar tulisan ini.[]

Tuesday, February 24, 2015

Warisi yang Fiksi

[sumber]

Oleh: Halimah Garnasih

Cantaka Yucantiku Cantiykan, Din,
Mbuh!
            Percayalah, hidup ini rumit, Din!
            Opo iyo?
Sedang mata dan tangan tetap berkelana pada titi kolo mongsonya
Namun wajahnya yang akrab dengan semut di rumah ini terbayang pada lantai yang hijau muda
Mulailah ada hati  yang menjalar…
Apa iya, kerumitan itu benar
Barangkali lebih rumit dari wajahnya
Apa mungkin skenario hidupnya juga rumit?
Serumit makna kata yang meluncur di antara kedua bibirnya
Serumit ucapan dan tindakannya
Darsam, Din!
Lalu si Darsam yang pernah singgah dalam bagasi imaji turun dari andong
Berjalan tegap, wajahnya yang nDarsam, dan pusat peradabannya yang tak fungsi
Ora yo! Uwadoh puoolll
            Buku dan Putut EA
            Senyum-senyum di atas cangkir kopi yang berantak
Piuuh… hahaha
Aku menggeleng dan mengangkat tangan
Datang lagi, dengan masyarakat semutnya
“Aku harus menyelamatkan mereka, Din!”
Bengong, dan mantap mengangguk.
“Semoga kau berhasil menjadi pemimpin! Dan masyarakat semutmu selamat sejahtera”
Aamiin
            Oh, belum khatam
Suaranya yang kini kerap datang
Menyodorkan nama-nama dan karakter-karakter perempuan
“Mengapa aku”?
“Please…”
“Mengapa tanya, bukankah tentangnya hidupmu telah lalu-lalang dan makan garam?”
“Di depannya aku mati, Din!”
“Hahaha. Sudah-sudah. Sudah saatnya berhenti. Mulailah menanam baik dari keningnya”
Kukira masih fiksi
Eee… janur kuning melengkung!
Di antara sukmanya dan jiwa perempuannya
Tak hanya aku, kamu, dia dan mereka
Barangkali, hidup sendiri mulanya sudah fiksi

Jogja, 2015

Thursday, February 19, 2015

Mewujudkan Kulturisasi Politik

[sumber]
Oleh: Abdul Rahman Wahid*

Sering kali Islam disebut sebagai agama yang “kaffah”, sebuah agama yang mengatur semua tatanan kehidupan umatnya. Dari hal yang terkecil, semisal cara memakai dan melepas baju, hingga hal yang besar, semisal tata cara berpolitik yang berorientasi pada bagaimana mengatur kebutuhan orang banyak.

Jika dipahami sebagai tata cara mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh, maka dalam hal ini Islam dan politik mempunyai titik persinggungan yang kuat. Dengan artian, Islam tidak hanya dijadikan alat untuk mencapai kepercayaan dari masyarakat semata. Pun politik, pemaknaannya tidak sebatas perjuangan menduduki kursi kekuasaan dalam otoritas formal belaka, yang hanya berorientasi mencari kesejahteraan individu maupun golongannya.

Tatkala politik hanya dipahami sebatas menuju tampuk kekuasaan dalam otoritas formal, maka semua itu hanya akan mereduksi makna politik secara luas. Serta menghilangkan peran dan kontribusi Islam dalam konteks politik secara umum. Disadari atau tidak, Islam telah menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan, pun politik. Oleh karenanya, untuk menemukan bentuk korelasi antara keduanya, politik harus dipahami secara luas.

Penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara merupakan bentuk kejelasan dari korelasi Islam dan politik di Indonesia. Hal semacam ini bukan bertujuan meniadakan cita-cita luhur Islam atau melenyapkan unsur-unsur Islam dalam dunia percaturan politik di Indonesia. Akan tetapi, unsur Islam dipahami sampai di mana unsur Islam tersebut menjadi sumber inspirasi dalam dunia politik. Dengan kata lain, kalangan muslimin dan muslimat dituntut tampil dengan gaya baru. Sebuah gaya yang dapat mengembangkan khazanah keilmuan secara umum, khususnya politik itu sendiri. Sehingga politik itu mampu menyelesaikan sekian permasalahan sosial yang lebih luas.

Politik merupakan ihwal hidup manusia sebagai warga bangsa dan warga negara. Dalam kajian hukum syariat, tatanan kehidupan berbangsa dan kehidupan bernegara telah disinggungnya, biasa kita kenal dengan sebutan fiqh al-siyasah. Selama kita masih menjadi bagian dari suatu bangsa atau negara, baik secara langsung ataupun tidak langsung, kita akan selalu bersinggungan dengan yang namanya politik. Untuk itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus ada keterlibatan dalam politik.

Berkaca pada sejarah, pada masa Nabi Muhammad saw, di mana selain tampil sebagai pemimpin agama beliau juga tampil sebagai pemimpin negara. Muhammad telah melakukan sebuah negosiasi politik bersama penduduk Madinah. Proses negosiasi politik tersebut pada akhirnya melahirkan sebuah “Traktat Politik”, biasa kita kenal dengan sebutan “Piagam Madinah”. Semenjak berlakunya Piagam Madinah masyarakat langsung diatur dengan konstitusi, bukan seperti awalnya perilaku masyarakat yang selalu bergantung pada sosok figur.

Pada saat itu Madinah adalah sebuah negeri yang sangat plural: ada Muslim Muhajirin, Muslim Anshar (ada dari golongan Aus dan dari golongan Khazraj), tiga suku Yahudi (suku Nadhir, Qurainah, dan Qainuqo’), dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala.

Perlu diketahui, pada masa itu umat Islam masih dalam sekala minoritas jika dibandingkan ahli kitab yang terbilang mayoritas. Namun pluralitas agama dan etnik disikapi Muhammad dengan kepiawaian politiknya. Ini salah satu bukti sejarah bahwa Muhammad telah melakukan sebuah komunikasi politik secara kultur dengan berlandaskan nilai-nilai Islam, bukan sebuah formal-politik dan harus menjadikan Islam sebagai rujukan utama. Di sinilah kita mendapatkan sebuah artian politik yang luas serta tujuan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, tidak hanya bermanfaat bagi muslim saja tapi pada seluruh umat manusia.

Selanjutnya pada masa Sahabat juga diterapkan peran ganda sebagaimana Rasulullah saw., yakni selain bertugas merawat agama para sahabat juga mempunyai tugas mengatur dunia. Tugas ganda ini bertujuan untuk mewujudkan maslahah al-ummah. Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa Islam dan Politik mempunyai titik persinggungan yang erat.

Berbeda dengan politik dalam tradisi pemikiran Islam, dalam tradisi Barat atau teori politik sekuler urusan dunia selalu dipisahkan dengan urusan akhirat. Tak heran jika politik maknanya semakin menyempit terhadap bagaimana memperoleh kekuasaan belaka, bukan sebagai sarana mewujudkan maslahah al-ummah. 

Intinya, kekuasaan tidak ada artinya jika hanya berhenti pada kekuasaan semata. Dan hanya berputar pada wilayah siapa yang akan berkuasa serta bagaimana cara memperoleh kekuasaan. Sebab pada hakikatnya kekuasaan adalah amanah yang harus diemban oleh pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.

Penyebaran Islam yang pesat pada berbagai kawasan di luar Arab, termasuk Nusantara, sekarang kita kenal Indonesia. Bukankah penyebaran tersebut merupakan  bentuk dari ekspansi politik? Disadari atau tidak, Islam yang berkembang di Nusantara tidak semata-mata melalui dakwah semata. Akan tetapi, ditopang oleh kekuasaan kerajan-kerajaan Islam, seperti Kerajan Demak di Jawa dan Kerajaan Samudera Pasai di Sumatera.

Membicarakan Islam di Indonesia, memang terkesan Islam seakan-akan tidak berada pada titik ambivalen di negeri ini. Alasan sederhananya, karena ajaran Islam formal tidak bisa menjadi sumber hukum tunggal dalam menentukan kebijakan kehidupan bernegara. Karena negara ini bukan negara Islam. Pun negara ini juga bukan negara sekuler, yang selalu memisahkan urusan kenegaran dengan urusan keagamaan.

Dengan demikian, pemberlakuan Islam secara kultural menjadi hal yang niscaya dalam negeri ini. Bagaimanapun juga kultural menjadi pilihan yang tepat karena nilai-nilai Islam  tidak hanya dikenalkan pada sesuatu yang bersifat Islami atau orang Islam semata. Akan tetapi nilai-nilai Islam tersebut juga akan ditampilkan pada semua, sesuai dengan misi universalnya, Islam agama shalih likulli zaman wal makan.

Di Indonesia nilai-nilai Islam telah menjadi sumber budaya yang penting. Tak heran jika nilai-nilai Islam dengan sendirinya terlibat dalam membentuk dan menentukan budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap dalam mempengaruhi perilaku individu serta kelompok dalam suatu aktivitas politik, serta sistem politik. Hal yang paling nampak di Republik ini adalah keberadaan Pancasila sebagai ideologi politik, lima nilai di dalamnya senafas dengan nilai-nilai Islam.

Bagaimana menerapkan nilai Islam itu sendiri dalam budaya politik Indonesia yang telah final dengan Pancasila. Hal ini sangat bergantung pada kekuatan nilai-nilai Islam dalam mempengaruhi proses perpolitikan negeri ini. Pada intinya, bila yang terjadi kemerosotan pada nilai-nilai Islam dalam budaya politik Indonesia, maka secara otomatis yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Diakui atau tidak, pemisahan pemerintahan dan keagamaan secara kultur lebih membahayakan daripada pemisahan secara formal struktur. Karena masalahnya jelas lebih ribet dan terkesan melebur.

Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan struktur formal keagamaan dalam pemerintahan secara tegas, akan tetapi dalam wilayah kultur politik, sekularisasi bukan menjadi hal yang mustahil terjadi. Bahkan, besar kemungkinan sekularisasi akan terjadi karena seperti apa yang kita lihat dan rasakan saat ini. Dimana, sistem nilai perlahan mengalami perubahan. Hal ini merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi yang signifikan. Pada akhirnya akan mempengaruhi sistem atau perilaku politik, baik formal maupun kultural.

Dengan demikian upaya kulturisasi politik menjadi suatu yang urgen, tanpa harus bergesekan dengan proses perkembangan politik struktural-formal. Hal ini bertujuan untuk memasukkan nilai-nilai Islam tanpa ada kesan paksaan. Karena bagaimanapun juga Islam yang ada di Indonesia tidak sama dengan Islam yang besar di Arab. Islam Indonesia adalah Islam yang bersahabat dengan tradisi bukan Islam yang menentang tradisi.

Kulturisasi politik ini merupakan upaya untuk mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), UUD 1945 sebagai dasar negara, dan Pancasila yang telah kita sepakati sebagai ideologi bangsa. Dalam artian, tidak memaksakan Islam masuk dalam wilyah politik formal-struktural, akan tetapi Islam yang menerapkan nilai-nilainya dalam wilayah politik kultural.[]
*Penulis adalah anak desa 
yang pernah mampir di pesantren tua Kiai Yahya 
untuk belajar tentang esensi agama yang sebenarnya.

Tuesday, February 17, 2015

Bahasa Walikan, Bahasa yang Gagal?

[sumber]

Oleh: Irham Thoriq

Di rubrik ini, mari kita lupakan soal kemelut pemberlakuan bus sekolah oleh Wali Kota Malang Moch. Anton yang banyak ditentang oleh sopir angkot. Eh, maaf maksud saya Bus Halokes. Ya, yang benar adalah Bus Halokes sebagaimana terpampang besar-besar di bus tersebut.

Ketika ada demo, para wartawan dan fotografer yang mengajak temannya liputan pasti mengucap liputan Bus Sekolah. Bukan Bus Halokes, meskipun makna dari dua kalimat ini sama. Lantas kenapa Bus Halokes yang menjadi nama dari bus tersebut sulit kita ucapkan atau kita sering lupa bagaimana melafalkannya.

Membahas ini, saya teringat teori Jacques Derrida, filsuf abad 20 termasyhur dari Perancis. Derrida mengatakan, kalau dalam dunia ini sebenarnya hanya terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tanda, Penanda (signifier) dan Petanda (signified). Setiap yang petanda, pasti ada penandanya, begitulah kira-kira Derrida membagi dunia yang ruwet ini ke dalam dua kata yang simpel.

Singkatnya, Derrida mengatakan, kalau segala sesuatu hal pasti ada penandanya. Ketika zaman masih tidak berlampu, lantas orang menandainya dengan kata Gelap dalam bahasa Indonesia, dan Dark dalam Bahasa Inggris. Kata Gelap dan Dark merupakan penanda, sedangkan keadaan gelap adalah petanda. Adapun sistem itu disebut dengan sistem tanda.

Begitu juga dengan Bus Sekolah. Mungkin, karena bus sekolah ini baru ada pertama kali di Malang, pemerintah ingin ’menandainya’ dengan kata-kata unik dan khas Malangan. Jadilah, kata sekolah dibalik menjadi kata Halokes. Bahasa walikan khas Malangan ini pun dijadikan ’penanda’ dari petanda berupa kendaraan pengangkut siswa yang hendak pulang atau pergi sekolah.

Lantas kenapa kita sering ’melanggar’ dari apa yang sudah ditentukan pemerintah, lidah kita sering keceplosan dengan menyebut bus sekolah. Padahal, pemerintah sudah menandainya dengan kalimat Bus Halokes. Atau mungkin bahasa walikan sudah tidak lagi akrab pada masyarakat Kota Malang?

Atas pertanyaan saya tersebut, memang terlalu dangkal untuk menyimpulkan bahasa walikan sudah tidak banyak digunakan oleh masyarakat Kota Malang. Namun, fakta kalau lidah kita kesulitan mengungkap kata Bus Halokes tidak bisa diabaikan begitu saja.

Saya beranggapan, bahasa walikan sebagai bahasa modifikasi yang hanya ada di Malang, memang lebih tepat digunakan untuk dialog sehari-hari. Bahasa walikan tidak tepat menjadi bahasa publik sebagaimana Bus Halokes yang merupakan bahasa publik. Kita tahu, dalam teori komunikasi bahasa publik yang baik adalah bahasa yang sederhana, bukan bahasa yang malah membuat pengucapnya sering salah melafalkan atau membuat pening kepala karena kalimat tersebut tidak pernah akrab di telinga.

Pertanyaan selanjutnya, benarkah bahasa walikan juga cocok untuk dialog sehari-hari bagi masyarakat Kota Malang? Dari berbagai literatur yang saya baca dari buku dan internet soal bahasa walikan, bahasa ini memang hanya ada di Malang dan diucapkan untuk membuat akrab penuturnya.

Namun, rupanya tidak semua orang asli Malang akrab dengan bahasa walikan. Atau mungkin, bahasa walikan hanya akrab di kalangan kelas menengah ke bawah saja, sangat jarang orang kaya atau terpelajar di kota ini yang menggunakan bahasa walikan. Mungkin ini sangat subjektif, tapi itu yang saya rasakan selama bertahun-tahun tinggal di Malang.

Soal bahasa dan kelas sosial ini, sosiolog asal Surabaya Dede Oetomo pada puluhan tahun lalu menghasilkan penelitian menarik. Menurut dia, masyarakat kelas menengah atas diperkotaan cenderung berkumpul bersama dan berpisah dari penduduk lokal. Di Malang kita bisa temui hal tersebut di Perumahan Araya, Ijen, Griya Santa, dan lain-lain.

Dalam penelitian Dede tersebut, kebanyakan masyarakat menengah ke atas tersebut menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam kehidupan sehari-hari. Kalau penelitian itu benar, apa yang ditemukan Dede sama dengan apa yang saya rasakan; para orang kaya meskipun asli Malang lebih banyak berbahasa Indonesia dan tidak lagi menggunakan bahasa walikan.

Oleh karenanya, dengan semakin meningkatnya kelas menengah, saya khawatir kalau bahasa walikan yang katanya ’spesial’ itu akan kian ditinggalkan. Dan apakah bahasa walikan adalah bahasa yang gagal karena sulit diucap dan tak cocok bagi si kaya…? Saya kira untuk menjawab itu perlu ikhtiar yang mendalam.

*Tulisan ini pernah terbit di Radar Malang edisi Minggu (15/2/2015)

Monday, February 9, 2015

Hidup yang Mengalir

[sumber]

Oleh: Irham Thoriq 

Harapan kerapkali datang dari arah tidak terduga. Kali ini saya menemukannya dari Slamet Thohari, seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Brawijaya. Di sebuah siang, saya mewawancarainya untuk tulisan feature di Radar Malang.

Dari puluhan orang yang pernah saya wawancarai untuk tulisan feature, menurut saya Slamet yang paling menginspirasi. Ini karena Slamet masuk kategori orang biasa tapi sudah melakukan hal-hal luar biasa.

Bahkan, karena sangat menginspirasi, di awal-awal wawancara saya yakin kalau inspirasi dari Slamet melebihi inspirasi dari kisah Ikal, tokoh utama dalam novel Laskar Pelangi yang laris manis itu.

Kita tahu, Ikal yang katanya diambil dari kisah hidup Andrea Hirata sang penulis novel, menginspirasi karena dia adalah anak kuli timah dengan gaji pas-pasan, tapi berhasil kuliah di Sorbonne, Prancis. Selain cerita itu, dalam novel ini menurut saya hanya berisi adegan-adegan yang kurang “nyastra”.

Sama halnya dengan Ikal, Slamet juga berhasil kuliah di luar negeri. Bukan di Sorbonne, tapi di University of Hawaii, Amerika Serikat. Slamet juga berasal dari keluarga tidak mampu, ayahnya meninggal saat dia baru berumur sepuluh tahun, dan ibunya hanya penjual kue kecil-kecilan.

Dan yang menurut saya Slamet melebihi Ikal karena Slamet mempunyai keterbatasan lain yang tidak dimiliki Ikal. Slamet adalah Difabel yang hanya bisa berjalan dengan kaki kanannya. Sedangkan kaki kirinya mengecil akibat polio yang dia derita saat berumur dua tahun. Sampai sekarang, Slamet tidak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat ketiak.

Karena sejumlah hal yang memilukan itu, saat Slamet kuliah S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Slamet harus banting tulang mencari hidup sendiri. Dia aktif di berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), juga membantu penelitian para dosennya.

Beberapa tahun setelah lulus kuliah, Slamet mendapatkan beasiswa S2 dari Ford Foundation untuk kuliah di Department of Sociology Disability Fakulty University of Hawaii. Jurusan yang saya kira cocok dengan kondisi yang dialaminya.

Saat wawancara, saya begitu antusias mungkin karena kisahnya yang menginspirasi. Saya pun menggiring dengan pertanyaan heroik yang cenderung dibesar-besarkan. Mula-mula, saya bertanya apa cita-citanya sehingga dia begitu semangat menuntut ilmu, sampai ke Paman Sam pula.

Dengan nada kalem, Slamet mengatakan kalau tidak terbersit sedikitpun untuk kuliah di luar negeri.”Dulu saya ingin jadi penulis,” kata dia.”Tapi kalau sekarang saya ingin uang yang banyak,” imbuhnya lantas tertawa terbahak-bahak. Kutipan yang terakhir ini, dia larang untuk dituliskan di koran. Mungkin, saat ditulis di Blog dia tidak akan mempermasalahkan.

Menjawab pertanyaan yang sedemikian singkat itu, pancingan saya rupanya kurang berhasil. Saya gagal mendapatkan jawaban heroik sebagaimana Ikal bercita-cita kuliah sampai ke Prancis saat dia masih kecil, meski hidup orang tuanya pas-pasan.

Saat saya mencoba memancing dengan sebuah pertanyaan lain, lagi-lagi jawaban heroik gagal saya dapatkan. Menurut dia, dalam hidupnya, dia tidak pernah melakukan rencana-rencana untuk melakukan tindakan besar. ”Hidup saya mengalir saja,” katanya. ”Dia anti tesis dari cerita Laskar Pelangi, yang penuh cita-cita dan harapan,” kata salah seorang temannya yang menemani Slamet wawancara.

Rupanya, teman Slamet ini paham kalau saya sedang memancing Slamet dengan pertanyaan heroik. Apalagi, beberapa kali saya menyebut kata “Laskar Pelangi” untuk melambangkan kisah Slamet yang seperti Ikal dalam Novel tersebut.

Tidak hanya itu, dari wawancara dan obrolan ngalor-ngidul yang kurang lebih satu jam itu, saya semakin berkesimpulan kalau hidup Slamet memang mengalir. Saat pertama kali masuk Malang, Slamet tidak pernah membayangkan menjadi dosen. Dirinya ketika itu hanya berkeinginan mendirikan LSM tentang Difabilitas. ”Kenapa tidak di Jogja, karena di Jogja sudah banyak LSM semacam ini, dan di Malang Jarang,” kata dia.

Pada akhirnya, LSM tersebut gagal berdiri karena teman-temannya di Malang memilih bekerja di luar kota. Slamet pun lantas mendapat tawaran menjadi dosen, dan dia terima tawaran itu. Sampai sekarang, melalui Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Slamet membimbing para Mahasiswa Difabel yang kuliah di UB.

Sebenarnya, cerita soal Ikal dan Slamet hanya bermuara tentang satu kata yakni ‘cita-cita’. Saat masih kecil, saat ditanya tentang cita-cita, mungkin hampir semua anak-anak memunyai cita-cita menekuni profesi “bergengsi” seperti menjadi dokter, guru, pilot, astronot atau yang lain. 

Lantas cita-cita itu berubah saat kita beranjak dewasa, kita tidak lagi bercita-cita menjadi pilot saat kita hanya diterima di kampus agama. Impian menjadi dokter seolah sudah tertutup saat kita sekolah di Madrasah jurusan Bahasa. Saat kecil, saya bercita-cita menjadi guru, ketika Madrasah Aliyah (MA) saya sempat ingin menjadi wartawan, berubah lagi saat kuliah saya ingin menjadi pengusaha, saat menulis catatan ini saya tidak lagi memiliki cita-cita. Mengalir sajalah…[]

Friday, February 6, 2015

Himura Kenshin dan Proyeksi Manusia

[sumber]

Oleh: Muhammad Hilal

Untuk bisa menikmati film Rurouni Kenshin seri the movie (3 sekuel) ini, penonton perlu tahu barang sedikit sejarah jepang pra kekaisaran Meiji. Saya merasa beruntung sudah membaca novelnya Eiji Yoshikawa, Taiko, beberapa tahun lalu. Meski Taiko bercerita soal peristiwa sejarah jauh sebelum Restorasi Meiji, yakni ketika Jepang dikuasai oleh para samurai, namun dari novel itu saya tahu bahwa masa keemasana samurai berakhir pada masa Kaisar Meiji beberapa abad kemudian.

Berbekal sedikit pengetahuan tersebut, saya menonton film ini dengan sedikit gambaran yang cukup gamblang tentang latar ceritanya. Biar bagaimana, Era Meiji adalah sejarah yang menentukan dalam sejarah Jepang. Membikin cerita kepahlawanan Samurai di Era Meiji adalah gagasan cerdas, sebab masa samurai berakhir justru di masa kekaisaran Meiji ini. Sebuah kontradiksi yang sangat memukau!

Selain latar cerita yang menarik, film ini juga mengangkat tokoh-tokoh yang digambarkan punya peran dan terlibat langsung dalam proses sejarah penting itu. Era Meiji adalah transisi menuju Era Baru—begitu mereka menyebutnya. Sebuah fase sejarah yang menghantarkan negara itu menjadi seperti sekarang ini, diperhitungkan di mana-mana, dalam hampir segala aspeknya.

Namun sejarah selalu memakan korban. Perubahan selalu memerlukan tumbal agar ia bisa melunasi tujuannya. Tak terkecuali perubahan yang dicita-citakan oleh Kaisar Meiji ini. Nah, para tokoh utama dalam film ini adalah mereka yang merasakan pahitnya perjuangan menuju perubahan itu.

Himura Kenshin dulu adalah seorang samurai pro perubahan. Perannya adalah memburu para samurai yang menentang kebijakan Kaisar Meiji tersebut. Saking banyaknya dia membunuh para samurai, dia merasa sangat kesepian, terkucil dan sendirian. Setiap kali dia melihat korbannya ditangisi oleh keluarganya, perasaan-perasaan itu menggerogotinya. Akhirnya dia memutuskan uzlah, menghilang dari keramaian, dan berhenti membunuh untuk selamanya.

Shishio Makoto juga pemburu. Dia menggantikan peran Himura Kenshin setelah orang itu menghilang. Sepak terjangnya tak kalah ganas ketimbang pendahulunya. Namun, peran pentingnya sebagai pendukung Era Baru tak dianggap. Dia malah hendak dibunuh dan dibakar. Beruntung, dia berhasil bertahan hidup meski sekujur tubuhnya menderita luka bakar berkepanjangan. Di kemudian hari, dia berencana menghancurkan pemerintah yang dulu dia bela dan menjadi lawan Himura Kenshin.

Saito Hajime, polisi yang selalu menghisap sigaret itu, adalah aparat yang dulunya adalah anggota Shinsengumi, sebuah kesatuan polisi yang bertugas menjaga penguasa Shogun. Dalam beberapa kesempatan dia berduel dengan Himura Kenshin. Belakangan, peran asli Saito ketahuan. Dia adalah agen mata-mata yang mengabdi kepada pemerintahan Meiji. Sejak itu, dia kerap membantu Himura Kenshin dalam aksi-aksinya.

Kamiya Kaoru, perempuan yang kelak menikah dengan Himura Kenshin, adalah juga korban dari sejarah masanya. Ayahnya, yang memimpin sebuah sanggar Hojo, meninggal terbunuh oleh seseorang yang mengaku sebagai Hitokiri Battosai, julukan lawas Himura Kenshin.

Sagara Sanosuke, sahabat Himura Kenshin, dulu adalah anggota Tentara Sekiho. Kelompok tentara ini dihancurkan oleh pemerintah Meiji. Akibatnya, dia putus asa dan kemudian menjadi petarung jalanan untuk mendapatkan uang. Sejak bersahabat dengan Himura Kenshin, dia mulai mendapatkan semangat hidupnya dan bertarung untuk membela orang-orang kecil.

Nah, begitulah keterkaian tokoh-tokoh di film ini dengan jaman di mana mereka hidup. Bisa dibilang, mereka adalah para korban dari peristiwa besar Restorasi itu. Mereka menjalani sebuah lakon hidup sembari menanggung beban masa lalu yang tidak ringan.

Hanya saja, yang membuat film ini semakin menarik ditonton: pertarungan yang terjadi di antara para jagoan samurai adalah orang-orang yang memilih jalan hidup yang berbeda. Jalan hidup itu harus mereka pilih terkait masa lalu mereka di masa transisi menuju Jepang modern.

Di satu sisi, terdapat beberapa korban yang telah mengalami transformasi diri semacam Himura Kenshin yang tetap mempertahankan Era Baru sembari yang mengupayakan pencegahan korban lebih banyak lagi. Orang-orang ini memilih bertahan dalam duka dan nestapanya di gempur Era Baru. Vitalitas dan Kehendak Hidupnya tetap mereka jaga agar upaya meminimalisir korban bisa dilakukan.

Di sisi yang berlawanan, terdapat orang-orang semacam Shishio yang mampu bertahan dari gempuran Era Baru, namun memilih jalan hidup menentangnya habis-habisan. Bahkan dia berupaya menghentikan jalan Era Baru dengan berencana mengambil alih pemerintahan Kaisar. Jalan ini harus dia ambil karena masa depan yang dijanjikan oleh rezim pemerintahan tak bisa dia harapkan akan terwujud. Bagaimana mungkin dia bisa berharap pada pemerintahan yang telah mencampakkannya padahal dulu dia membelanya habis-habisan?

Pergulatan antara tokoh yang menyambut perubahan meski menanggung beban masa lalu dengan para tokoh penentang rezim pengusung Era Baru menjadi daya tarik tersendiri dari film ini. Kita tak bisa membayangkan bahwa tokoh semacam Himura Kenshin, Shishio, atau lain-lainnya pernah ada dalam sejarah. Namun, pada saat yang sama, kita tak bisa mengelak dari kenyataan sejarah bahwa peristiwa Restorasi Meiji adalah nyata. Itulah menariknya cerita film ini, fiksi dan fakta bergumul menjadi cerita yang sangat menarik.
Kita juga disajikan cerita di mana para tokohnya orang-orang yang mengalami sendiri pedihnya sebuah perubahan besar. Seolah-olah, kita dikasih sebuah kenyataan bahwa Bangsa Jepang di Era Restorasi itu sedang mengalami keterbelahan batin. Beban psikologis yang harus ditanggung Bangsa Jepang tidaklah ringan. Building the New Era is much harder work than destroying the old one, demikian dikutip dalam film itu.

Saya percaya, sebuah film tidak sekadar sajian realitas imajitif terhadap penonton semata, namun lebih dari itu merupakan proyeksi terhadap realitas yang dibayangkan akan terwujud. Secara lamat-lamat saya juga menangkap hal ini dalam film ini. Himura Kenshin adalah manusia imajinatif yang diharapkan menjadi manusia Jepang masa depan. Dia memiliki segalanya. Dia hanya tidak beruntung berhadapan dengan sebuah jaman yang memporak-porandakan masyarakatnya.

Namun yang membedakan Himura Kenshin dari lainnya adalah semangatnya untuk bertahan hidup. Sesakit apapun luka batin yang diderita, sedalam berat apapun beban psikologis yang harus dipikul, kehendak untuk tetap hidup harus tetap dijaga. Sebab hanya dengan semangat itulah masa depan bisa diraih. Itulah yang dilakukan Himura Kenshin.
Kebalikan dari Himura Kenshin berarti adalah mereka yang diproyeksikan tidak mewujud. Masa depan tidak mungkin diserahkan kepada mereka yang pandangan dan sikap hidupnya seperti Shishio. Sosok-sosok seperti itu adalah—meminjam istilahnya Metallica—unforgiven.[]

Tuesday, February 3, 2015

Berguru Menulis Kepada Dahlan Iskan, Goenawan Mohamad, dan Seno Gumira Ajidarma

[sumber]

Oleh: Irham Thoriq

’Menulis adalah soal memberi makan konsistensi’. Begitulah saran seorang teman ketika aktivitas menulis saya mulai mengendur suatu ketika. Saya setuju dengan ungkapannya, menulis memang seperti orang makan. Bagi penulis, seharusnya jika lama tidak menulis akan mengalami siksaan yang begitu berat seperti orang yang berhari-hari tidak makan. Siksaan itu bisa berupa kelaparan, menjadi kurus, atau hingga merana.


Ungkapan teman saya yang sudah lama saya lupakan itu kembali terngiang ketika pekan lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan di Jawa Pos. Kali ini Dahlan menulis dalam rubrik New Hope, tulisan ini merupakan yang pertama setelah dua bulan lamanya Dahlan ’berpuasa’ menulis di rubrik Manufacturing Hope yang terbit setiap hari Senin.


Dalam tulisan pertamanya itu, Dahlan memang seperti orang yang ’kelaparan’. Dia merana karena harus berpuasa menulis selama dua bulan. Bagi dia yang sudah 30 tahun lamanya menulis (baik ketika menjadi wartawan atau penulis), menahan untuk tidak menulis merupakan siksaan. Apalagi, jika ada bahan menarik yang perlu dituliskan.


Dari apa yang dialami Dahlan itu, kita layak bercermin. Apa pun aktivitas dan pekerjaan kita, bagi seorang penulis, menulis merupakan sebuah keharusan. Ketika menjadi menteri, Dahlan banyak mengisahkan tentang apa pun aktivitas serta gebrakannya selama menjadi menteri. Dari tulisan-tulisannya, banyak yang terinspirasi terutama ketika membaca bagaimana cara Dahlan menghidupkan BUMN yang lama mati suri.


Begitulah seharusnya kesungguhan bagi seorang penulis. Sebab menulis itu seperti orang makan, tidak mudah menyerah mencari makanan, itu merupakan kunci utamanya. Jika kita bermalas-malasan untuk mencari uang, bisa jadi kita tidak mempunyai uang untuk membeli makan. Apakah tidak merana jika hal itu yang terjadi.


Oleh karenanya, saya setuju jika menulis dianalogikan dengan orang makan beserta prosesnya. Jika kita ingin membuat makanan enak, kita harus mempunyai cukup uang, berbelanja lauk-pauk terbaik, tidak hemat rempah-rempah, dan memasak dengan tidak ala kadarnya.


Begitu juga dengan menulis, tulisan kita akan kering jika kita tidak mempunyai bahan yang cukup. Bahan-bahan itu bisa dari bacaan, pengalaman, cerita orang, dan lain-lain. Karena inilah ada rumus yakni jika negara yang memikirkan soal perbukuan sama pentingnya dengan ketersediaan makanan, orang-orang di negara tersebut akan menghasilkan karya-karya hebat.


Jika perpustakaan merata di setiap sudut desa, perpustakaan kota anggarannya tidak lagi cekak, dan buku-buku bagus bisa kita akses dengan mudah, maka tidak akan kesulitan mencari karya-karya bagus dari penulis kita. Hal yang saat ini memang sedikit sulit kita temukan di tengah banyaknya karya yang kualitasnya pas-pasan.


Nah, mungkin karena berjibunnya bahan inilah, Dahlan bisa menghasilkan tulisan Manufacturing Hope hingga ratusan tulisan. Lantas kenapa tulisannya selalu dinanti orang setiap Senin pagi..? Itu karena Dahlan mempunyai bahan-bahan terbaik dan berhasil menuliskannya dengan baik pula.


Bagaimana dengan tulisan-tulisan New Hope ke depannya, sebagai pembaca, saya hanya bisa membayangkan kalau tulisan-tulisan ini berisi tentang merawat harapan, tentu dengan bahan-bahan yang tidak jauh dari itu.


Di tengah berita-berita tentang keculasan pejabat di negeri ini, kita membutuhkan tulisan yang menggugah semangat. Berita soal konflik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), konflik Partai saat kongres, berita calon kapolri yang korupsi, kepala daerah yang tertangkap tangan menerima suap, dan lain-lain, mau tidak mau membuat kita jengah.


Kerapkali kita dibuat bosan dan putus asa. Bagaimana bisa, pucuk pimpinan penegak hukum akan dijabat orang yang berstatus tersangka. Akal sehat seolah tidak bisa menerima, meskipun toh itu hak prerogratif presiden. Kita juga sudah jengah dengan aneka macam muslihat pejabat mencuci uangnya. Dari keculasan yang monoton itu, kita membutuhkan tulisan yang menghibur, menginspirasi, dan menghidupkan harapan.


Sebenarnya, banyak penulis di negeri ini yang bisa kita dijadikan cermin soal nalar mereka yang menganggap menulis seperti orang makan. Selain Dahlan, Kita tahu, pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad menulis catatan pinggir sejak tahun Sejak 1976 setiap pekan tanpa jeda, kecuali saat Majalah ini diberedel oleh Orde Baru beberapa tahun.


Kenapa Goenawan tidak pernah kehabisan bahan, saya beranggapan karena bahan bacaanya yang luas. Goenawan membahas tentang siapapun dari buku-buku yang pernah dia baca. Saat mengenang kematian Nelson Mandela, pada Tweet-nya di Twitter, Goenawan mengatakan kalau dirinya harus riset soal Mandela. Mungkin, dirinya memakai kata riset karena dia beranggapan kalau menulis bukanlah hal yang main-main meskipun baginya menulis hal yang menyenangkan.


Ada satu orang lagi yang menurut saya tidak pernah main-main dalam menekuni hobinya dalam menulis. Dia adalah Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan yang lebih suka disebut wartawan karena sebutan sastrawan adalah sebutan yang berat.


Beberapa pekan yang lalu, saya membeli kumpulan cerpennya yang pernah dimuat di harian Kompas. Judulnya Senja dan Cinta yang Berdarah. Yang membuat saya geleng-geleng, Seno sudah menulis di Kompas sejak 1978 atau ketika umurnya baru 20 tahun, dan kegiatan itu terus berlangsung sampai 2013.


Setelah membaca beberapa cerpennya, tulisan Seno memang magis meskipun disejumlah artikel tulisannya menurut saya sulit dimengerti. Karena merasa penasaran dan ingin berguru pada Seno, saya iseng-iseng berkirim email melalui Pana Journal, sebuah media online yang dia dirikan. 

Ah, ternyata, iseng-iseng saya itu membuahkan hasil. Meski tak sedikitpun mengajari teknik tulis menulis, Seno menyemangati saya untuk terus menulis. Begini isi balasan emailnya: Halo Mas Irham, Salam sudah kami sampaikan ke Mas Seno. Katanya: "Salam kembali. Yang penting dalam berlatih menulis adalah, terus banyak baca karya bagus dan tulis terus sampai mampus."[]

 
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top