[sumber] |
Oleh: Halimah Garnasih
Cantaka Yucantiku Cantiykan, Din,
Mbuh!
Percayalah, hidup
ini rumit, Din!
Opo iyo?
Sedang mata dan tangan tetap
berkelana pada titi kolo mongsonya
Namun wajahnya yang akrab dengan
semut di rumah ini terbayang pada lantai yang hijau muda
Mulailah ada hati yang menjalar…
Apa iya, kerumitan itu benar
Barangkali lebih rumit dari
wajahnya
Apa mungkin skenario hidupnya
juga rumit?
Serumit makna kata yang meluncur
di antara kedua bibirnya
Serumit ucapan dan tindakannya
Darsam, Din!
Lalu si Darsam yang pernah singgah dalam bagasi imaji turun dari
andong
Berjalan tegap, wajahnya yang nDarsam, dan pusat peradabannya yang
tak fungsi
Ora yo! Uwadoh puoolll
Buku dan Putut EA
Senyum-senyum di
atas cangkir kopi yang berantak
Piuuh… hahaha
Aku menggeleng dan mengangkat
tangan
Datang lagi, dengan masyarakat semutnya
“Aku harus menyelamatkan mereka, Din!”
Bengong, dan mantap mengangguk.
“Semoga kau berhasil menjadi pemimpin! Dan masyarakat semutmu
selamat sejahtera”
Aamiin
Oh, belum khatam
Suaranya yang kini kerap datang
Menyodorkan nama-nama dan
karakter-karakter perempuan
“Mengapa aku”?
“Please…”
“Mengapa tanya,
bukankah tentangnya hidupmu telah lalu-lalang dan makan garam?”
“Di depannya aku mati, Din!”
“Hahaha. Sudah-sudah. Sudah
saatnya berhenti. Mulailah menanam baik dari keningnya”
Kukira masih fiksi
Eee… janur kuning melengkung!
Di antara sukmanya dan jiwa perempuannya
Tak hanya aku, kamu, dia dan
mereka
Barangkali, hidup sendiri mulanya
sudah fiksi
Jogja, 2015
0 komentar:
Post a Comment