Wednesday, February 24, 2016

Stigma Terhadap Polisi


Oleh: Moh Wahyudi

Selain polisi sebagai penjaga keamanan masyarakat  (guard of public security), tidak sedikit daya pikir umum masyarakat mengarah pada “Polisi Mata Duitan” karena kerapnya oknum polisi melakukan tilang yang tidak proporsional. Stigma lain yang tidak kalah miringnya adalah tentang represifnya polisi dalam konflik KPK vs POLRI (Politisasi kasus). 

Segala hal yang berbau polisi menjadi sesuatu yang menakutkan (phobia), semisal seorang warga Ibu Kota yang dibuat pingsan akibat aksi tilang-menilang yang dilakukan anggota polisi, serta seorang warga yang pura-pura gila agar dapat lolos dari tilang polisi. Peristiwa tersebut menorehkan narasi tentang “Polisi Momok” dari pada “Polisi Sosok” di tataran masyarakat.

Harus diakui dan disadari dengan sesadar-sadarnya bahwa asumsi minor masyarakat terhadap polisi bukan cerita fiktif atau seperti hikayat Rahwana di cerita pewayangan. Setidaknya lembaga survei dan media ternama-kredibel di Indonesia mengamini terhadap kondisi dan kinerja institusi kepolisian secara umum bahwa mereka merupakan institusi dengan kinerja kurang dipercaya (LSI/01/15).

Persoalan polisi hari ini harus dipandang komprehensif. Stigma  “Polisi Mata Duitan”, “Polisi Tilang”, dan “Raport Merah Polisi” hanyalah bagian terkecil dari narasi sebenarnya. Bagi kalangan terkecil masyarakat, tidak cukup memberi stigma terhadap polisi dengan berdasarkan cerita dan tuturan mulut ke mulut, bahkan sangat naïf kalau asumsi demikian teramini oleh civitas academica yang notabennya mereka sangat hati-hati dalam mendiskusikan dan menyatakan sikap terhadap segala persoalan.

Kuasa stigma yang menempatkan kepolisian sebagai institusi low profile dan polisi sebagai momok, terutama di bagian masyarakat terkecil merupakan asumsi pinggiran yang terlalu inklusif  untuk membaca “Polisi Sosok”. Jenderal Hoegeng mantan Kapolri (1968-1971) adalah simbol polisi berintegritas, kharismatik, jujur dan sederhana. Bahkan Allahummaghfirlah Gusdur pernah melontarkan guyonan tentang integritas polisi ini, bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, satu patung polisi, kedua polisi tidur, dan ketiga polisi Hoegeng. Di awal tahun 2015 berita pertelevisian digemparkan dengan sosok polisi miskin-teladan, Bripda Taufik, seorang polisi sederhana yang hidup di bekas kandang kambing bersama ayah dan tiga adiknya, atau aksi koboi polisi yang berhasil mengamankan negara dari aksi anarkisme terorisme di Sarinah beberapa waktu lalu.

Cerita dan track record di atas adalah sebagian sisi lain atas stigma buruk terhadap polisi serta naifnya daya pikir masyarakat untuk melihat “Polisi Sosok”. Premis di kalangan polisi harus dipandang sebagai oknum dari sekian anggota polisi di Republik ini. Buku karangan Yushasni dan Arifin Saleh Siregar dengan judul Oegroseno: Pengabdian Polisi tidak Kenal Lelah adalah salah satu upaya mengeliminasi negative stereotype tentang polisi yang saat ini menjamur di kalangan masyarakat luas. Setidaknya membaca buku ini akan me-refresh daya pikir pembacanya agar tidak stagnan pada sifat suudzon yang hanya berdasar pada cerita-tutur mulut ke mulut.

Tentu saja, integritas polisi dan prestasi polisi yang tergambar di atas tidak serta-merta membebaskan phobia dan alergi masyarakat seutuhnya terhadap citra polisi. Apalagi menjadikan polisi inklusif untuk melakukan restorasi dan reformasi. Pembenahan di tubuh institusi guard of public security itu perlu dicanangkan di tengah pesoalannya, terutama dalam membangun personalia keanggotaan; polisi perlu melakukan pendekatan yang lebih komprehensif kepada masyarakat dan menumbuhkan sikap integritas yang tidak perlu menunggu orang lain (masyarakat) menilai atas kinerjanya, apalagi menunggu momentum kelahiran institusi tersebut. Bertahap dan Perlahan pembenahan tersebut harus dilaksanakan.

Menjadikan kepolisian sebagai institusi kredibel menjadi harapan warga negara dan sekaligus tantangan berat bagi para anggota polisi di tengah kuasa para oknum yang tumbuh liar di tubuh institusi tersebut. Tantangan tersebut bukan hal sulit jika barisan para jenderal mempunyai tekad dan misi linier dengan harapan masyarakat terhadap institusi ini, namun jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan stigma masyarkat akan tetap berlanjut bahkan institusi ini akan semakin terpinggirkan dalam melaksanakan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang selama ini kerap menyulut konflik antara dua lembaga penegak hukum sejak satu dekade terakhir.[]

Penulis adalah Pemerhati Hukum dan Konstitusi di ROEANG inisiatif,
saat ini aktif di Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) D.I. Yogyakarta.

sumber gambar:
Polisi Cilik Darmayu, by Yulian Hendriana

Tuesday, February 23, 2016

Rahasia Dari Bilik Santri Putri



Oleh: Halimah Garnasih
Pertama kali saya menemukan tanda akil-baligh untuk  perempuan, saya tengah nyantri di Pesantren Raudlatul Ulum (PPRU) I Ganjaran Gondanglegi Malang. Hal itu saya dapati tepatnya di tahun pertama saya nyantri.Waktu itu, saya cemas, bingung dan ingin menangis menghadapi pengalaman pertama ini tanpa Ibu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, ditambah rasa sakit di perut bagian bawah dan tubuh yang terasa lemas. Perasaan semakin tergulung-gulung antara senang, takut, juga malu. Namun beruntung sekali bahwa rupanya mbak-mbak santri sekamar peka atas apa yang sedang saya alami. Waktu itu saya paling kecil di kamar, dan tentu saja mbak-mbak yang lebih dewasa telah berpengalaman tentang hal ini. Mereka serempak memberi selamat dengan rona wajah bahagia yang menyurutkan rasa cemas dan takut saya tadi.Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada perasaan aneh menyusup, semacam bangga karena telah benar-benar menjadi perempuan.
Mbak-mbak yang sekolah di Madrasah Aliyah memberi bimbingan kepada saya terkait perempuan dan menstruasi, apa yang dianjurkan dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan selama kedatangan “tamu” ini. Mbak-mbak yang sekolah di Madrasah Diniyah juga berbagi pengetahuan menstruasi dari sudut pandang agama Islam, lebih spesifiknya Fikih. Bahkan sampai tentang resep alami ala Madura yang dibagikan oleh seorang mbak asli Desa Ganjaran.Saya melihat bahwa teman-teman sekamar merasa senang dengan keakil-balighan saya.Sepulang sekolah, ada yang berinisiatif menelponkan Bapak-Ibu saya untuk menyampaikan kabar menggembirakan ini, juga agar supaya dilaksanakan selametan di rumah saya. Katanya, itu sudah menjadi bagian tradisi yang baik. Saya terharu, melihat dan merasakan bahwa jauh dari Bapak-Ibu bukan berarti saya hidup tanpa keluarga.Waktu itu juga, saya mulai paham maksud dan tujuan Bapak-Ibu mengirim saya ke Pesantren di mana mulanya saya merasa tidak ikhlas dikirim jauh dari mereka berdua. Apalagi, mengingat apa yang disampaikan Guru SD saya terkait nilai saya yang tinggi dan bisa masuk ke salah-satu SMP bergengsi di kota Malang. Jangan sampai berujung diasingkan ke sebuah Pesantren salaf di tengah desa, katanya. Pada akhirnya, di samping pelajaran-pelajaran di Madrasah, banyak nilai-nilai yang saya dapatkan dari Pesantren sederhana di tengah desa ini. Terutama nilai-nilai yang terpahami dan terbangun itu lebih banyak melewati jalan kultural yang sifatnya sehari-hari. Saya temukan dan hayati mulai dari kamar saya, salah satu bilik di Pesantren ini, bilik PPRU I Putri. 

Keragaman Bagian Dari Khazanah Bilik RU
Umumnya, masa liburan setiap pesantren tidaklah sama sehingga saat saya libur, saya bisa berkunjung ke pesantren-pesantren saudara yang secara bangunan lebih besar dari pesantren saya yang di desa. Beberapa pesantren yang saya jumpai itu, setiap kamarnya tidak dihuni oleh santri dari jenjang umur dan jenjang sekolah yang beragam seperti di pesantren saya. Di pesantren-pesantren yang saya maksudkan, setiap kamar atau setiap kompleks dihuni oleh para santri dari satu jenjang madrasah saja. Madrasah Ibtidayah saja, Madrasah Tsanawiyah saja, dan Madrasah Aliyah saja. Pendeknya, tidak beragam.


Menurut saya, sistem semacam itu barangkali bagus untuk efektifitas belajar santri.Tapi masalahnya, di pesantren, santri tidak hanya memiliki tanggungjawab mempelajari mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah saja, banyak beberapa kelas atau kelompok musyawaroh yang merupakan kegiatan Pesantren. Apalagi, menurut saya, yang membedakan santri dengan para pelajar di sekolah-sekolah pada umumnya adalah pendidikan sosial antar teman yang dibangun mulai dari bilik masing-masing. Semakin banyak keragaman yang ada di sebuah kompleks (atau khos sebagaimana khazanah PPRU I menyebutnya) dan bilik pada khususnya, akan menempa dan membentuk kemampuan santri dalam menanggapi keragaman itu sendiri. Hal ini sangat membantu santri saat kelak ketika boyong, mereka telah siap menghadapi realitas yang sangat beragam dan majemuk. Mereka akan terselamatkan dari yang namanya “gagap realitas”. Terutama, mereka para santri yang berasal dari daerah yang majemuk atau mereka para santri yang memiliki kesempatan merantau baik untuk bekerja, berdakwah di daerah asing, dan melanjutkan menimba ilmu di daerah yang lain.

Banyak sekali corak keragaman yang saya temui dari bilik santri PPRU I, mulai dari suku, bahasa, adat-sitiadat, umur, jenjang pendidikan, pola pikir, watak, dan kelas sosial. 

Keragaman Suku
Jawa, Madura, Betawi, Sunda dan Melayu. Lima suku itu setidaknya yang saya temui saat saya masuk pesantren RU I pada tahun 2002 silam. Suku Jawa datang dari daerah Malang kota seperti kelurahan Muharto, kelurahan Mergosono, kelurahan Gadang, dan kelurahan Bumiayu. Beberapa dari mereka merupakan santri peranakan Madura-Jawa. Semakin keselatan, mereka datang dari kecamatan Bululawang, Wajak, Ampelgading, Dampit, Turen, Pagak, Donomulyo, Kalipare, Bantur, Gedangan, Tajinan, dan Sumber Manjing Wetan. Beberapa juga merupakan peranakan Madura-Jawa. Sebagaimana pula para santri yang berasal dari Lumajang.


Santri yang berasal dari Suku Madura murni terbilang banyak. Mulai dari Kabupaten Sumenep sampai Kabupaten Bangkalan hampir semuanya ada. Hanya pulau-pulau timur Madura seperti Kangean dan Sapeken yang belum saya temui di RU I, karena saya amati, masyarakat kepulauan itu lebih banyak nyantri ke daerah Probolinggo dan Situbondo.

Suku Betawi berasal dari Jakarta. Suku Sunda yang berasal dari Bandung dan suku Melayu yang berasal dari Pontianak ternyata rata-rata adalah peranakan Madura. Ada pula yang campuran suku setempat, dan adapula yang memang asli peranakan satu suku seperti suku Melayu yang pernah saya temui. Meskipun, rata-rata yang berasal dari Pontianak adalah asli suku Madura. Nah, hal ini setidaknya saya temui di PPRU I sejak 2002-2009, tepatnya saat saya masih di Pesantren. Bagaimana perkembangan asal santri selama enam tahun ke belakang ini saya tidak tahu.

Mengapa saya bersusah mengingat-ngingat kembali suku-suku dan daerah asal para santri PPRU? Karena suku, daerah, adat-istiadat turut membentuk watak dan pola pikir setiap orang. Sehingga kita bisa membayangkan bagaimana saat orang dengan suku, watak, dan pola pikir itu hidup dalam satu bilik dan menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai santri. Manusia sebagai hukum dasarnya adalah makhluk sosial yang mau tidak mau mereka akan saling membutuhkan satu sama lain. Apalagi, hidup yang penuh dengan keterbatasan sebagaimana di pesantren. Mau tidak mau, para santri akan saling berinteraksi dengan santri lain dengan suku, watak, dan pola pikir mereka yang berbeda. Ada gesekan, tentu saja. Itu sebuah keniscayaan. Dan di titik inilah paling sejatinya para santri itu belajar. Sebuah ruang belajar yang tak kasat mata namun sarat nilai. Dan karena tak kasat mata, barangkali tidak semua pertimbangan sampai pada titik ini. 

Bahasa
Suku dan daerah yang beragam sekaligus unik (karena para santri sudah membawa keunikan bahasa tersendiri dari daerah asalnya, yaitu mereka yang merupakan blasteran Madura dan suku setempat) tadi membentuk fenomena bahasa PPRU I sangat khas. Kita bisa membayangkan seorang peneliti bahasa akan puas dengan temuan barunya saat tenggelam dalam fenomena bahasa PPRU I.


Namun, untuk kali ini saya tidak akan membahas fenomena bahasa RU I dari sisi fonem, morfem, sintaksis, semantik, dialek, atau bahkan munculnya kosakata baru khas anak PPRU yang memang sering terjadi. Hal itu akan panjang dan lebih baik ada dalam satu judul tulisan tersendiri.

Dalam sebuah bilik yang beragam baik dari sisi suku, daerah, maupun jenjang umur, sangat mempengaruhi edukasi bahasa setiap santri. Misalnya, santri Jawa akan teredukasi secara implisit kapan dan kepada siapa ia menggunakan bahasa Jawa Ngoko, Madyo, Kromo, Kromo Inggil dan seterusnya-dan seterusnya. Begitupula santri yang berkomunikasi dengan bahasa Madura dan lainnya. Hal ini terkait keragaman umur dalam sebuah bilik santri.

Di samping, santri bisa belajar berbagai pengetahuan tentang bahasa, hal ini adalah hal primer yang dilihat oleh wali santri dan masyarakat luar saat santri yang bersangkutan pulang ke rumah. Pengalaman saya, banyak wali santri yang merasa terharu saat mendapati anaknya yang sebelumnya kasar, sepulang untuk liburan dari PPRU telah berbahasa halus kepada kedua orangtua dan lingkungan sekitarnya.Tidak hanya skill berbahasa yang tepat kepada yang lebih tua, tapi kepada yang sepantaran dan yang lebih muda.Ya, karena bilik PPRU I sarat dengan keragaman.

Satu hal penting dan yang pertama dipandang oleh masyarakat kepada santri adalah akhlak (dan dalam dunia pendidikan sendiri, pendidikan karakter memang diutamakan terlebih dulu. Belum lagi jika melihat kenapa Nabi akhir zaman diutus). Dan bahasa, menjadi bagian dari akhlak. Marilah kita bersepakat, bahwa di Pesantren, di PPRU I setidaknya tahun 2001-2009 yang saya ketahui, tidak ada wadah yang memang sengaja dibuat untuk mengedukasi kemampuan berbahasa tersebut. Dan hal itu memang tidak perlu, karena PPRU I memiliki satu ruang yang sarat dengan edukasi praktis, solutif, dan tepat sasaran yaitu bilik-biliknya.Yaitu setiap kamar santrinya.

Sebuah kamar santri yang beragam adalah miniatur keluarga, di mana pendidikan karakter pertama adalah dimulai dari keluarga atau rumah. Dan di mana rumah setiap santri RU I? Di bilik mereka masing-masing. Saat penat dan lelah karena kegiatan sekolah atau pesantren, mereka kembali pulang ke bilik, ke rumah, untuk mengayomi dan diayomi. Nah, mengayomi? Satu edukasi tambahan dari yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sungguh tak habis-habis nilai-nilai itu tumbuh dan tergali dari bilik santri. Bilik santri yang beragam. 

Umur dan Jenjang Pendidikan
Bermula dari pengalaman saya di Yogyakarta saat saya satu kamar kost dengan seorang teman yang belum pernah mengenal dunia Pesantren. Waktu itu, saya sedang mengetik di depan laptop dengan duduk bersila. Demikian pula teman saya itu, hanya saja dia duduk selonjor di samping lemari. Dia beberapa bulan lebih muda dari saya. Seorang teman lagi, di atas kasur sedang menyulam. Dia anak Pesantren yang memiliki khazanah kemajemukan di biliknya sebagaimana PPRU I.


“Mbak, tolong ambilkan itu dong,” kata teman saya yang mengetik tadi sambil menunjuk ke lemari di sampingnya, yang sesungguhnya sangat dekat dengannya dan sangat jauh dari tempat saya duduk. Dan sebagaimana dirinya, saya juga tengah fokus di depan laptop. 

Deg! Entah mengapa saya merasa tidak nyaman dengan ini. Ada perasaan asing yang menyusup. Tapi saya memilih berhenti sejenak dari pekerjaan saya, berdiri dan mengambilkannya, tetap dengan perasaan tidak nyaman. Namun belum dapat saya urai mengapa, sebelum teman saya yang menyulam itu menyahut.

“Kenapa gak diambil sendiri?”

“Enggak bisa. Kakiku ini lho susah.”

“Halah, wong tinggal berdiri saja. Tinggal ngambil. Wong lebih dekat dari kamu. Itu namanya bukan minta tolong tapi merintah!” Sungut teman saya.Tapi teman saya yang mengetik masih saja kuat berdalih.

Dari situlah pikiran saya akhirnya mengelana ke sebuah kamar, kamar C3, salah satu bilik di PPRU I. Saya ingat betapa tempat itu sekaligus penghuni yang terdiri dari ragam umur dan jenjang pendidikan sangat menempa saya dalam nilai saling menghargai dan saling menghormati. Seorang yang muda menghargai yang tua dengan tidak memerintah. Bahkan, meski sesungguhnya yang muda bisa minta tolong kepada yang tua (misalnya karena jarak barang yang dimaksud sangat dekat dengan yang lebih tua), tidak jarang mereka lebih memilih melakukannya sendiri. Seorang yang tua menghargai kepada yang lebih muda dengan menyematkan kalimat “boleh minta tolong?”, “saya minta tolong” dan kalimat-kalimat santun lainnya di setiap minta bantuan kepada yng lebih muda. Begitupula kepada yang sepantaran. Hal seperti ini adalah sikap praktis yang tidak cukup dengan hanya menghayati mata pelajaran PKN atau Kitab Akhlaq. Sikap praktis semacam ini butuh ditempa di kehidupan nyata. Salah-satunya seperti sudah lama diterapkan oleh Pesantren. Karena inilah Pesantren merupakan wadah pendidikan yang unik dibanding wadah pendidikan yang lainnya. Nilai dasarnya adalah kemajemukan, keragaman. 

Kelas Sosial
Di Pesantren, pada umumnya para santri berasal dari semua kalangan kelas sosial. Bawah, menengah, dan atas. Termasuk fenomena kelas sosial di PPRU I. Semboyan pertama yang saya dengar saat saya masih menjadi santri baru adalah: Kalau di Pesantren, semua sama. Tidak ada miskin tidak ada kaya. Kalau si kaya dan si miskin melanggar, sama-sama kena takzir. Tidak ada ceritanya si kaya disayang Ibu Nyai dan si miskin tidak, kalau mau disayang Ibu Nyai ya harus berprestasi. Jadi santri yang baik.


Di ranah yang lebih sempit, yaitu di kamar saat ragam kelas sosial itu berinteraksi secara intensif, ada dua hal yang setidaknya saya amati, yaitu kekeliruan dan pencapaian. Kekeliruan adalah saat si kaya semakin menonjolkan kekayaannya, misalnya (dan memang banyaknya) lewat fashion dan make up, yang seperti sengaja ingin mengatakan perbedaan kelas sosial antara “aku” yang kaya dan “kamu” yang biasa saja apalagi yang miskin. Kekeliruan juga tidak jarang dilakukan oleh santri kelas menengah atau bawah. Mereka berlomba-lomba dengan cara apapun agar sampai pada level yang dimaksud. Termasuk dengan cara ‘memeras’ orangtua sampai pada mencuri. Ini realitas, karena Pesantren bukanlah surga. Dan saya yakin, kita telah maklum. Namun dalam pandangan saya, ketiga kelas di atas sedang menjalani masa prosesnya masing-masing. Bagaimana si kaya mencapai kesadaran menekan egonya, bagaimana si biasa dan si miskin memiliki rasa nriman. Terutama, bagaimana kelas ketiganya mencapai kesadaran tiga nilai-nilai santri yaitu kejujuran, kesederhanaan, dan pengabdian.

Entah proses itu akan bermuara kemana. Apakah sampai pada muara tiga nilai santri di atas, yang berarti ketiganya sampai pada muara pencapaian? Hal tersebut tergantung empat aspek: Sistem Pesantren, kebijakan pengurus, edukasi di tiap-tiap kelas, dan figur atau teladan. Menurut saya, aspek keempatlah yang memiliki peran paling tinggi. Mengapa? Karena di Pesantren, khususnya di PPRU I yang saya ketahui sendiri, berlaku sebuah pop culture yang khas, yaitu idola dan fans, dan ada yang sampai tingkatnya fanatik. Ada santri yang mengidolakan sesama santri, ada yang mengidolakan pengurus, ada yang mengidolakan Gus-gus dan Ning-ningnya, apalagi mengidolakan Kiai dan Bu Nyainya. Dan realitas membuktikan, para fans akan meng-copy-paste alias meniru idolanya, bahkan habis-habisan dan bagaimanapun caranya.

Fenomena unik ini, jika disikapi dengan lebih cerdas, akan sangat membantu dan mendorong progres santri, terarah kepada hal-hal yang positif. Misalnya, karena melihat figur idolanya, mereka berlomba-lomba untuk menjadi sosok yang sederhana dan rendah hati, berlomba-lomba suka berbagi dengan sesama, berlomba-lomba suka membaca, berlomba-lomba belajar menulis, berlomba-lomba hafal Alfiyah, berlomba-lomba mampu membaca kitab, dan seterusnya. Apakah mungkin? Mungkin saja. Anda sekalian tahu, kan, bahkan cara melampahnya seorang Gus saja banyak yang meniru? Setidaknya saya pernah menanyakan pada seorang santri putra mengapa dirinya getol menghafal Alfiyah. Ingin pintar membaca kitab kayak Gus Nasih, katanya. Nah kan! 

Lantas, siapakah figur itu? Semua masyarakat pesantren adalah figur. Dari sesama santri, pengurus, guru, dan terlebih adalah para Kiai dan Bu Nyai (yang lebih akrab disebut Pengasuh di PPRU I), karena mereka adalah idola hampir semua santri. Menurut saya, istilah “Pengasuh” memiliki makna yang sangat komprehensif dan dalam terutama saat disandingkan dengan dunia pendidikan seperti Pesantren. ‘Pengasuh’ yang kata dasarnya adalah ‘asuh’ merupakan satu dari tiga sistem among daripada metode pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajdar Dewantara yaitu “asih-asah-asuh”. Apa itu? Ah, ini sudah berat. Dalam tulisan ini saja, saya merasa terlalu banyak menggurui. Mengakhiri tulisan ini, saya hanya ingin sekadar bernostalgia. Kembali kepada kenangan pembentukan karakter saya di tengah kemajemukan kamar C3, salah satu bilik PPRU I Putri. Merasa beruntung, nyantri di masa itu.[]

sumber gambar:

Monday, February 22, 2016

Mensyukuri Anugerah


Oleh: Muhammad Madarik

Hakikatnya menit, jam, hari dan bulan adalah nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita yang begitu besar dan setiap nikmat itu harus disyukuri. Dalam persekian detik, sudah bermilyar-milyar udara yang telah dihirup.

Merujuk kepada ilmu pengetahuan, udara merupakan campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara tidak tampak mata, bukan hal yang berbau, dan tak terdapat rasa di dalamnya. Kehadiran udara hanya dapat dilihat dari adanya angin yang menggerakan benda. Udara termasuk salah satu jenis sumber daya alam karena memiliki banyak fungsi bagi makhluk hidup.

Kemampuan menghirup sekaligus menghembuskan udara dari lubang hidung serta rongga mulut adalah nikmat Sang Ilahi yang diberikan kepada anak adam yang tiada tara. Andai sekejap saja Tuhan memenggal sistem pernafasan manusia, maka sedetik itu pula ia tidak memiliki kemampuan untuk melawan-Nya. Sudah banyak contoh nyata di sekeliling kita yang bisa dijadikan saksi bagaimana ujung kehidupan jelas-jelas berada di dalam genggaman takdir-Nya, kendati manusia mengulurnya dengan seluruh  daya dan segenap ikhtiar. Betapa tak terhitung, seorang bocah nyawanya melayang begitu mudah gara-gara seekor nyamuk; makhluk kecil yang seringkali mati hanya sekali tepukan telapak tangan. Kita juga kerap kali melihat seorang kakek dengan nafas terengah, raga membungkuk, hampir seluruh pancaindera tak berfungsi normal dan sudah keluar-masuk rumah sakit, ternyata masih menghirup udara segar dalam jangka sekian tahun. Cermatilah, anak-anak yang begitu disayang oleh ayah bundanya dengan seribu asa masa depan buat buah hati itu, tidak dapat diperpanjang ruang hidupnya. Sementara sosok renta yang cenderung terpinggirkan dari komunitas anak muda, rupanya sejarah hidup tak bisa dihentikan. Sebetulnya dalam hal ini Allah SWT telah menandaskan dengan firman-Nya:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ۖ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَٰلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
[QS.30:40]

Sejatinya, semua aspek kehidupan ini merupakan pemberian Sang Maha Pemurah yang tak pernah berbatas pada manusia. Sangat jelas Allah SWT mengingatkan kita tentang sekian nikmat-nikmat yang telah diwujudkan sebagaimana firman-Nya:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
[QS.16:18]

Kita cermati saja, seperti yang sering diuraikan para ahli kesehatan, bagaimana sistem saraf yang merupakan pusat keputusan dan komunikasi tubuh. Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang dan sistem saraf perifer yang terbuat dari serabut saraf. Bersama-sama SSP itu mengontrol setiap bagian dari kehidupan sehari-hari kita, dari bernafas, berkedip hingga membantu mengingat informasi.

Belum lagi kalau kita baca kembali soal jasad manusia yang terdiri dari sel-sel, otot (muscle), tulang (anatomy), saraf (nerve), darah (blood) dan lain-lain. Jasad manusia pula diibaratkan sebagai sebuah jentera automatik yang senantiasa bertugas siang dan malam sepanjang waktu secara terus menerus tanpa henti sehinga akhir hayat.

Sistem saraf bagi kebutuhan kesehatan manusia merupakan poin proses penyelarasan kerja-kerja dalam organ tubuh, seperti pengaliran darah, pernafasan dan sebagainya. Segala tugas ini dikawal oleh sistem saraf agar dapat berfungsi dengan sempurna. Organisasi badan manusia terdiri dari beribu-ribu urat saraf, baik kecil maupun besar.

Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa tidak terdapat selobang jarum pun yang luput dari kekuasaan-Nya. Oleh sebab itu, bagi orang yang mengaku beriman mengungkapkan terimakasih atas nikmak-Nya merupakan keharusan yang wajib untuk disadari. Jika tidak, maka anugerah itu akan lenyap dan berbalik menjadi ancaman sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

ْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
[QS.14:07]

Tentu dari teks ayat ini kita dapat menangkap bahwa Allah SWT lebih mengedepankan ke-maha kasih sayang-Nya ketimbang kebengisan-Nya. Lihatlah bagaimana syukur dibalas oleh Sang Maha Kuasa dengan "tambahan" tanpa setitikpun perlu diragukan. Dari sisi pendekatan kaidah bahasa Arab, kalimat َأَزِيدْ dibubuhi huruf "lam jawab dan ziyadah" dalam taukid (pengukuhan) untuk qasam (sumpah) yang terletak sebelumnya.

Umumnya berkumpul bersama antara lam qasam dan kalimat setelahnya berupa fi'il mudharik. Contoh firman Allah:


لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
[QS.19:46]

Lam yang pertama pada لئن untuk qasam (sumpah). Sedangkan lam yang kedua pada لَأرجمنّك sebagai jawab bagi qosam.

Dibagian lain kalimat َأَزِيدْ juga diakhiri dengan "nun taukid". Sebagaimana kita tahu bahwa "nun taukid" yangg berfungsi memperkuat (ta'kid) makna kalimah fi’il itu ada dua bentuk : Pertama, "nun taukid tsaqilah" (berat karena bertasydid) dengan bacaan mabni fathah. Kedua, "nun taukid khafifah" (ringan karena sukun) dengan bacaan mabni sukun.

Penaukidan dengan "nun taukid" menimbulkan konsekuensi secara makna pengkhususkan fi’il mudhari’ pada zaman mustaqbal (akan datang). Sedangkan makna faidah taukid, bahwa penguatan makna dalam "nun taukid tsaqilah" lebih kuat  dari pada "nun taukid khafifah".

Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat di atas adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (cermati, QS.14:7) Tetapi ayat yang sama, akibat kekufuran, Allah SWT hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur.

Memperhatikan pendekatan gramatika Arab dan makna ayat sebagaimana diuraikan dapat disimpulkan bahwa betapa anugerah Allah SWT begitu tak terbilang, dan belas kasih-Nya terasa sangat besar bagi mereka yang memahami wujud-Nya.

Nikmat yang diberikan Allah SWT kepada manusia sangat berlimpah dan bentuknya bermacam-macam. Setiap detik yang dilalui manusia dalam hidupnya tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT. Dialah Tuhan yang mewujudkan kita, membuat pendengaran, penglihatan dan sanubari, seperti ditegaskan dalam firman-Nya:

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
[QS.67:23]

Jika dirunut hanya pada ketiga anugerah tersebut saja, pasti manusia tidak sanggup mengeja sebagaimana pernyataan yang ditegaskan Tuhan sendiri (Rujuk kembali QS.16:18).

Segelintir nikmat di dalam mata, bakal ditemukan berjuta-juta anugerah yang mencengankan. Persoalan tidur misalnya, sebagaimana diungkapkan para ahli kesehatan, ternyata tidur mempunyai manfaat yang banyak sekali, dari mulai meningkatkan kekebalan tubuh manusia sampai membuat diri kita menjadi seseorang dengan kepribadian yang lebih baik. Stres mental yang diakibatkan kurang tidur membuat pembuluh darah mengerut, sehingga darah yang dipompakan ke seluruh tubuh menjadi berkurang, begitu menurut sebuah studi baru dalam Circulation: The Journal of The American Heart Association. 

Manusia tiap hari butuh tidur dalam 24 jam. Bayangkan bagaimana jika Allah berkehendak tidak menghilangkan rasa tidur kita? Jawabannya pasti kita akan merasa tersiksa. Atau setidaknya dicoba saja melakukan "melek" terus selama tiga hari - kalau bisa - dan bagaimana rasanya ? Hasilnya apa yang dikerjakan membuahkan lara yang menyakitkan anggota tubuh. Tentu seluruh fakta hidup disertai faktor sebagai bagian dari sunnah yang ditetapkan Tuhan dalam kehidupan ini. Hal ini diperjelas dalam firman Allah SWT:

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا فَأَتْبَعَ سَبَبًا
[QS.18:84-85]

Sikap melawan takdir merupakan kekonyolan yang cuma dlakukan oleh orang-orang dungu. Apalagi jika rasa kantuk dilenyapkan oleh Sang Maha Hidup dengan serta merta tanpa sebab, maka manusia tidak sanggup mencegahnya. Oleh karena itu, hanya pada tema "tidur" saja kita sudah menjumpai sekian nikmat yang terdapat dalam mata.

Di sinilah rasa syukur perlu selalu dipanjatkan kepada-Nya. Menurut Imam al-Ghazali, syukur merupakan salah satu makam (stage) yang paling tinggi dari maqam sabar, khauf atau zuhud. Adapun panjatan tasyakur itu merupakan makam yang mulia dan pangkat yang tinggi sebagaimana firman Allah SWT:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
[QS.16:114]

Syukur termasuk maqam yang tinggi diantara makam sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya. Sebab, proyeksi maqam-maqam tersebut diperuntukkan bagi hal lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan tonggak perasaan untuk takut kepada Allah SWT, dan zuhud merupakan sikap membebaskan diri dari sesuatu yang mengkerangkeng hati. Tetapi syukur tidak dimaksudkan untuk apapun selain ungkapan suka-cita hanya semat-mata kepada Tuhan atas berbagai anugerah yang dikaruniakan. Oleh karenanya, maqam syukur akan tetap lestari hingga di dalam surga sekalipun. Itulah sebabnya gambaran tentang penutup doa ahli surga seperti firman Allah SWT diwarnai dengan pujian:

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
[QS.10:10]


Secara umum terdapat dua indikasi bersyukur yang dilakukan setiap orang, yaitu: (1) Menyadari dengan sepenuh hati bahwa pemberi nikmat adalah Allah SWT. Oleh karena itu, seluruh anugerah yang telah atau tengah dinikmati selalu dinisbatkan kepada Sang Pemberi nikmat walaupun nikmat yang sampai padanya melalui pihak lain. Bagi orang yang bersyukur, pihak lain tersebut diyakini sebagai perantara yang sengaja diciptakan Tuhan. (2) Menunjukkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Bukti rasa syukur itu diimplementasikan dalam bentuk kebajikan, baik penggunaan, penyaluran maupun bentuk peribadatan.

Sebetulnya landasan persoalan bersyukur kepada Allah SWT banyak sekali terdalam Al-Qur'an ataupun hadits yang dapat dijadikan pijakan agar manusia selalu memanjatkan tasyakur kepada-Nya. Diantara ayat-ayat yang dipaparkan dalam kitab suci firman Allah SWT.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُون
[QS.02:152]

Ekspresi bentuk syukur yang bisa dilakukan diklasifikasikan oleh ulama dalam  tiga bentuk, yaitu: (1) Syukur dengan hati. Yakni menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. (2) Syukur dengan lisan. Cara syukur ini dilakukan dengan ucapan yang mengarah pada  kalimat yang bermakna pujian kepada Allah SWT. Redaksi yang diujarkan merupakan pengakuan bahwa sumber nikmat adalah Allah SWT. Tetapi pada langkah ini, seseorang perlu jeli menempatkan "rasa suka cita" antara hakikat dan syariat. Soal rasa yang terangkum di dalam diri seseorang harus dipilah dan diolah agar mampu membedakan siapa pemberi dan siapa perantara. Secara hakiki, hanyalah Allah SWT Sang Pemberi, dari siapapun anugerah berasal. Tetapi secara syariat, Allah SWT menganugerahkan sesuatu melalui ragam cara. Misalnya, Allah SWT memberikan kita rezeki melewati tangan orang lain, maka seharusnya keyakinan bahwa pemberi rezeki itu adalah Allah SWT, sedangkan seseorang tersebut hanya merupakan diperankan sebagai penyalur belaka. Pada tahap ini, bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan sesuatu, sementara berterima kasih pada orang itu yang sudah menjadi penyambungnya. (3) Syukur dengan perbuatan. Wujud syukur kepada Allah SWT ini dinyatakan dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Potensi yang diberikan, baik yang melekat pada tubuh maupun yang bersifat hal di luar jasad harus semaksimal mungkin diarahkan kepada dua aspek perintah dan larangan. Oleh karenanya, aktifitas kerja sekalipun bisa menjadi panjatan syukur seperti digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
[QS.34:13]

Semoga kita menjadi orang pandai mensyukuri karunia Tuhan, sekecil apapun bentuknya.[]




Bahan Bacaan: 
1- https://systembiosaraf.wordpress.com.
2- http://warisansunankalijaga.blogspot.co.id.
3- http://www.alkhoirot.net/huruf-lam-dalam-bahasa-arab.html.
4- https://nahwusharaf.wordpress.com/pengertian-dua-nun-taukid-dan-penggunaan-nya.
5- http://mahad-aly.sukorejo.com/dimensi-syukur-sebagai-nilai-moral-islam.
6- http://nurfaidah-iedha.blogspot.co.id/manfaat-tidur.
7- http://www.dokumenpemudatqn.com/mengenai-syukur-menurut-imam-al-ghazali.

Thursday, February 18, 2016

Cinta Melengkapi Perbedaan; Potret Ideal Masyarakat Multikultural


Oleh: Muhammad Dhofir

Sederet kata di atas harusnya menjadi salah satu perekat bagi keberadaan masyarak plural (majemuk), keadaan masyarakat yang beragam. “Melengkapi dalam perbedaan” merupakan sebuah frasa yang seharusnya menjadi moto masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya. Lewat ungkapan tersebut, masyarakat diajak untuk membangun wilayah di mana mereka tinggal, walaupun terselip perbedaan di antara mereka. Hendaknya perbedaan tersebut menjadi jembatan untuk kesejahteraan dan kesejajaran bersama. Ungkapan ini mungkin hanya tertera di dalam pikiran, tetapi paling tidak sekembalinya ke Kalimantan Barat bagi para “perantau sudah sangat paham harus bagaimana semestinya membangun cinta melengkapi perbedaan. Sampai pada akhirnya menyebabkan timbulnya kepekaan  sosial masyarakat terhadap perbedaan yang ada.

Multikulturalisme di Indonesia terbentuk dari keanekaragaman suku bangsa, agama, bahasa, etnis, hingga adat istiadat. Kemajemukan bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia. Terbiasa hidup dengan keadaan masyarakat yang beragam suku bangsa, sosial, dan adat istiadat belum tentu membawa kesadaran tentang pentingnya hidup dalam pluralisme (kemajemukan).

Multikulturalisme bukan hanya memandang soal keberagaman, tetapi juga suatu kondisi di mana masyarakat yang majemuk mengakui adanya kesederajatan kultur dan perbedaan yang ada. Dimaksudkan tidak ada nilai budaya yang lebih baik atau budaya yang lebih benar satu sama lain. Integrasi (keterpaduan) terwujud menjadi bentuk konkret dalam kesederajatan dan kegotongroyongan.

Dari konsep kesederajatan dalam multikulturalisme bisa diambil suatu sikap yaitu toleransi. Multikulturalisme bukan hanya tentang menerima keberagaman, namun juga bersikap aktif dalam bertoleransi. Memaknai kembali multikulturalisme dapat diimplementasikan dengan cara menghormati kultur dan kebudayaan masing-masing individu. Di samping itu, mengakui eksistensi  budaya dan kultur serta toleransi atas aktivitas-aktivitas kebudayaan merupakan representasi dalam keharusan hidup masyarakat plural. Kesadaran akan hidup cinta perbedaan dengan semua orang inilah cermin salah satu tipe manusia  pemimpin.

Hal yang tak kalah penting dari penerapan multikulturalisme adalah pendidikan multikulturalisme yang diajarkan kepada siswa/santri. Pendidikan adalah sebuah media sosialisasi multikulturalisme yang efektif, karena dalam dunia pendidikan selain memberikan ilmu juga memberikan pedoman dalam tingkah dan perilaku. Ketika pendidikan berhasil, baik pendidikan  formal atau non-formal menanamkan konsepsi dari multikulturalisme maka siswa/santri akan pandai dalam menyikapi perbedaan yang ada. Tidak mengedepankan keilmuan yang dimiliki tetapi lebih kesejajaran, diharapakan menjadi tauladan dari kemajemukan masyarakat yang ada.

Oleh karena itu, penamanan sikap toleransi kepada siswa/santri dan masyarakat sejatinya perlu ditularkan dari sanubari ulama kepada santrinya, pendidik ke siswanya, orang tua kepada putra-putrinya, dan seterusnya.

Ketika dihadapkan dengan segelintir perbedaan di sekitar kita, kunci utama adalah cinta dan kesejajaran. Melalui cinta dan kesejajaran, kemajemukan bisa menjadi pondasi masyarakat untuk menumbuhkan sikap cinta tanah air dan kepedulian antar sesama. Seperti sederet kata “cinta melengkapai perbedaan” menunjukkan kepada Nusantara bahwa cinta menumbuhkan kebersamaan dan kesejajaran dalam masyarakat multikultural.[]

sumber gambar: Hadapi Kami dulu, by Hery Hehakaya

Sunday, February 14, 2016

Klinik Fasyfini, Ikhtiar Membalik Image; Sebuah Opini dan Kesaksian


Oleh: Muhammad Madarik

Setelah melalui beberap proses, akhirnya klinik kesehatan milik pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran resmi dibuka pada 18 Januari 2016 yang ditandai dengan acara pembacaan shalawat dan doa di ruang klinik. Agenda kegiatan ini dihadiri oleh KH Ahmad Hariri Yahya (Penasihat Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi), Habib Abdul Qodir ibn Muhammad Al-Jufri (tokoh masyarakat), Gus Nasihuddin Khozin (Bendahara Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi), Gus Abdul Mannan Qoffal (Kepala SMK Al-Khozini), dr. Ganang (pelaksana klinik), Bapak Jumadi (Kepala Desa Ganjaran), Bapak Hasyim Khan (Pengurus Hisaniyah RU I) dan beberapa masyarakat sekitar klinik.

Tanggal ini dicanangkan sebagai waktu kelahiran pusat kesehatan yang bertempat di desa Ganjaran ini, meskipun proses lobi-lobi dan penggarapan teknis sudah dimulai sebelum tanggal tersebut.

Asal usul klinik yang kemudian diberi nama "Klinik Fasyfini" ini diawali oleh perkenalan antara Gus Abdul Mannan Qoffal (Kepala SMK Al-Khozini Ganjaran) dengan seorang dokter Aji Bayu Wicoksono yang lebih populer dengan panggilan dr. Ganang. Pertautan antara dua orang inilah lalu  membuahkan hasil perencenaan pendirian pusat kesehatan untuk santri dan masyarakat. Bak gaung bersambut, program bidang kesehatan ini dianggap begitu sangat prospektif bagi pengembangan SMK Al-Khozini. Sebagaimana sering diungkapkan, Gus Mannan memang sudah lama mengimpikan adanya jurusan yang berkaitan dengan kesehatan. Bagi putra kiai Qoffal ini, pesantren dengan segala macam potensi yang dimiliki dan sekaligus kekurangan yang selama ini disematkan, ke depan memerlukan generasi muslim yang benar-benar mampu berperan aktif di ranah kesehatan. Sebab selama ini gaya hidup masyarakat muslim, terutama kaum nahdliyin dan bahkan sebagian besar kalangan pesantren sendiri, begitu berjarak dengan prinsip-prinsip hidup sehat. Kehadiran pusat kesehatan diharapkan bisa mengubah dan memperbaiki pandangan dan sikap yang mengabaikan urgensitas kesehatan.

Padahal secara normatif, menurut menantu KH Khozin Yahya itu, dari sisi konsep sebetulnya orang-orang pesantren kaya referensi tentang kesehatan mulai dari jaman klasik hingga masa modern. Setiap melakukan kajian kitab, para santri sering kali menemukan tema-tema yang berkaitan dengan kesehatan. Tetapi sayangnya, potensi besar yang dimiliki kaum "sarungan" itu ternyata lemah di dalam implementasi. Buktinya, lingkungan pesantren tetap saja dikenal sebagai tempat kumuh, tidak bersih dan "sarang kudik."

Hal ini senada dengan asa terpendam dr. Ganang yang mengangankan agar mindset masyarakat yang sudah sekian lama melekat tentang kebersihan dan kesehatan kaum nahdliyin dan dunia pesantren tidak lagi buram. Lompatan yang mengambil start dari upaya mewujudkan pusat kesehatan di pusar nahdliyin diandaikan mampu mengubur mindset tersebut.

Keterkaitan dua mimpi ini melahirkan semangat Gus Mannan untuk melempangkan jalan buat dokter enerjik itu memasuki gerbang PPRU I. Hal pertama yang dilakukan oleh suami Nyai Habibah itu adalah memohon restu kepada saya, selaku pihak Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi. Kemudian saya menyerap pendapat dua orang yang saya anggap penting dilingkungan pesantren Raudlatul Ulum I dalam konteks pengadaan pusat kesehatan, yakni Gus Nasihuddin Khozin dan Gus Abdurrahman Said. Orang pertama, saya anggap mempunyai pengaruh besar di jajaran kepengurusan pesantren, sedangkan kedua saya nilai telah teruji daya kritisnya saat sebelumnya pernah muncul niat yang sama beberapa tahun silam. Setelah presentasi dr. Ganang tentang rencana induk (master plan) pusat kesehatan, keduanya mengapresiasi rancangan ini. Sebagai pihak yang ditunggu jawabannya, saya kemudian mengiyakan tawaran Kepala SMK Al-Khozini dengan menyetujui rancangan dr. Ganang. Walaupun terdapat beberapa orang di kalangan keluarga yang masih "bertanya-tanya" dari berbagai aspek, namun cita-cita ini tetap dilanjutkan sehingga presentasi kedua dari dr. Ganang digelar. Uraian tahap dua kian memuluskan rencana agar PPRU I segera memiliki klinik.

Tanggal 18 Januari 2016 merupakan momen terwujudnya klinik kesehatan yang diberi nama "Fasyfini." Nama ini muncul setelah saya dipercaya oleh Gus Mannan untuk menentukan nama yang tepat bagi klinik. Saya tidak paham asal muasal penamaan ini menggunakan titel itu, tetapi yang jelas makna dibalik nama tersebut mencerminkan harapan kesehatan semua pihak. Apalagi dr. Ganang menginginkan agar nama klinik tidak menggambarkan perwakilan salah satu lembaga. Saya kira nama "Fasyfini" sudah cocok dengan kegiatan yang bergerak di bidang kesehatan dan sesuai dengan keinginan menutup keterwakilan salah satu pihak.

Tentu keberadaan "Fasyfini" bukan merupakan garis finish yang kaprahnya kemudian menepuk dada setelah wujudnya. Rentetan kegiatan berikutnya di dalam "Klinik Fasyfini" perlu terus dikawal mekanisme, prosedur dan aktivitas teknisnya. Oleh karena itu, pada tanggal 9 Pebruari 2016 yang lalu saya mengumpulkan jajaran Dewan Pengasuh, dan dr. Ganang serta timnya untuk menetapkan Gus Ahmad Athok Lukman dan Gus Abdurrohim Said sebagai wakil Yayasan yang diharapkan bisa ikut serta mengkomunikasikan antara Yayasan dan tim pelaksana "Klinik Fasyfini" dan sekaligus melakukan pengawasan. Gus Athok diancang dapat mengoreksi bidang keuangan sedang Gus Abdurrohim diminta mengawasi proses pelaksanaan.

Sebagaimana menjadi impian dr. Ganang, keberadaan "Klinik Fasyfini" tidak saja menjadi pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan anak santri di desa Ganjaran dan sekitarnya, tetapi diharapkan menjadi sayap pengembangan SMK Al-Khozini di bidang kesehatan. Bahkan, menurut saya, "Klinik Fasyfini" dapat dibuat anak tangga bagi dr. Ganang untuk lebih leluasa mengakrabkan diri dengan kalangan pesantren di desa Ganjaran yang selanjutnya secara bersama-sama merekonstruksi mindset dan image tentang kaum nahdliyin dan pesantren dari kumuh menjadi bersih, dari perilaku kotor menuju sehat. Semoga.[]

Sumber gambar: Peaceful Heart Doctor, by Eva Blue
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top