Showing posts with label muhammad zaini. Show all posts
Showing posts with label muhammad zaini. Show all posts

Friday, April 15, 2016

Keadaan Tersesat


Oleh: Muhammad Zeini

Di dalam hidup, kita kerap kali merasa tersesat. Kita kehilangan pegangan hidup, karena masalah dan krisis datang bertubi-tubi, seolah tanpa henti. Ibaratnya keluar dari mulut harimau, dan masuk ke mulut singa. Tegangan hidup menghantam terus, tanpa memberi jeda. Kita pun juga kerap kali merasa kehilangan arah. Kita tidak lagi punya tujuan hidup yang jelas. Pegangan hidup seolah rapuh, dan begitu mudah lepas. Kita tidak lagi menemukan makna dari apa yang sedang kita lakukan. Ketika ini terjadi, buahnya ada dua, yakni kecemasan dan penderitaan. Kita merasa cemas atas apa yang akan terjadi di masa depan. Kecemasan itu melahirkan tegangan dan penderitaan di dalam diri kita. Pada tingkat yang ekstrem, kita jatuh ke dalam depresi, dan bahkan bunuh diri.

Hal yang sama kiranya bisa terjadi di tingkat politik. Politik yang tersesat adalah politik yang tanpa tujuan. Politik menjadi tidak bermakna. Semua kebijakan tidak bertujuan untuk menyejaterahkan rakyat, melainkan untuk memperkaya para pejabat yang korup dan biadab. Ketika ini terjadi, buahnya dua, yakni kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang merajalela di masyarakat. Di satu sisi, ada orang memiliki lebih dari lima mobil mewah di rumahnya. Di sisi lain, ada keluarga yang kekurangan uang sekedar untuk makan hari ini. Inilah pemandangan di ibu kota, dan juga di berbagai kota besar di Indonesia.

Mencari Mata Air. Dalam keadaan semacam ini, apa yang mesti dilakukan? Ketika tersesat, kita perlu mencari pegangan hidup. Kita perlu mencari titik tolak, dimana kita bisa memulai untuk menemukan kejernihan. Cerita pendek ini kiranya bisa membantu.

Ada orang yang mendaki gunung. Begitu tingginya gunung tersebut, sampai ia melewati batas awan. Ketika melewati batas awan, gunung tersebut dipenuhi kabut. Cuaca begitu dingin, dan mata nyaris tak dapat melihat. Ia tersesat. Ia tidak dapat menemukan jalan pulang. Seketika itu, ia teringat. Air selalu mengalir ke bawah. Ia pun mulai mencari mata air kecil, dan mengikuti alirannya, berharap bisa menemukan jalan turun ke bawah. Akhirnya, ia berhasil melewati batas awan, dan menemukan jalan pulang. Mata air kecil yang mengalir ke bawah telah menjadi petunjuknya untuk menemukan jalan pulang. Mata air tersebut telah menjadi pegangannya. Ia mengikutinya, dan akhirnya menemukan jalan yang ia cari.

Melestarikan Kehidupan. Mata air adalah sumber kehidupan. Tidak ada satupun kehidupan yang bertahan di alam ini, tanpa air. Dari sini, kita bisa belajar, bahwa ketika tersesat, kita perlu untuk mencari pegangan yang juga merupakan sumber kehidupan. Pegangan itu haruslah berupa seperangkat nilai atau pun tindakan yang melestarikan kehidupan itu sendiri. Melestarikan kehidupan itu berarti berbuat baik. Melestarikan kehidupan juga berarti sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ada di sekitar kita. Berbuat baik disini juga harus dipahami dalam arti luas. Ia bukan hanya sekedar memberi uang untuk mendapat pahala, tetapi merupakan dorongan alami dari dalam batin untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang sedang terjadi.

Ketika kita terus berusaha melestarikan kehidupan, maka kita akan kembali menemukan arah. Kita akan kembali menemukan makna di dalam hidup kita. Secara perlahan tapi pasti, kita akan melihat jalan pulang untuk melampaui segala bentuk kecemasan dan penderitaan di dalam hidup. Pendek kata, kita akan menemukan jalan pulang.

Ketika dunia politik tersesat, hal yang sama kiranya perlu dilakukan. Korupsi dan kebiadaban politik tidak pernah menyeluruh. Selalu ada orang yang teguh berpegang pada prinsip-prinsip keberadaban, pun ketika krisis politik terjadi. Mereka tidak boleh larut ke dalam korupsi, melainkan harus tetap berpegang pada petunjuk ketika tersesat, yakni melestarikan kehidupan. Sikap melestarikan kehidupan akan berbuah banyak. Banyak orang akan terinspirasi. Ide-ide baru demi kebaikan bersama dan pelestarian kehidupan akan berkembang. Jalan menuju keadilan dan kemakmuran bersama pun akan terbuka, walaupun mungkin tak akan pernah terwujud sepenuhnya.[]

sumber gambar:

Sunday, January 10, 2016

Sebuah Monolog Tentang Usia


Oleh: Muhammad Zeini

Semuanya dimulai dari titik nol dalam hitungan waktu dan semakin hari kian bertambah dalam penghabisan yang sebenar-benarnya sangat nyata. Detik demi menit menghitung jam berganti hari muncul bulan melewati tahun, semuanya akan terlihat amat sangat jelas, betapa hidup ini hanyalah menanti keputusan sang waktu yang selalu berlalu menghitung mundur.

Keberadaan insan di muka bumi mempunyai keterikatan yang sangat erat dalam dimensi ruang dan waktu, tidak ada seorangpun yang dapat menghindarinya dan menunda kedatangannya, suka atau tidak, siap atau tidak. Usia bertambah seiring tahun berganti menjadikan sebuah ketegasan didalam kehidupan yang sudah kita jalani, berdasarkan hitungan waktu dan masa. Usia menjadi pembeda yang nyata, bukan membeda-bedakan sebagai tujuan, semuanya kembali pada pengelompokan sebagai dasar hitungan dalam setiap awalan yang selalu berbeda, namun itu bukanlah menjadi sebuah keutamaan dalam ukuran hidup dan kehidupan itu sendiri.

Usia bisa menjadi kebanggaan dan juga dapat menjadi kesia-siaan, kita semua tahu siapa manusia yang pertama diciptakan, jadi untuk selanjutnya bukan persoalan siapa yang terlahir duluan dan belakangan, karena itu hanyalah sebuah risiko dari sebuah eksistensi, hanya sebuah tatanan budaya sesuai perintah untuk menghormati yang lebih tua dalam ruang waktu tertentu.

Adalah sebuah kenyataan bahwa usia bukanlah penentu segalanya, bukan hanya dalam kematangan dan kemapanan, tetapi lebih dari itu mampu menjadi motivasi dan memberi inspirasi dalam menjalani serta memaksimalkan rentang waktu kehidupan yang telah ditentukan bagi masing-masing diri, juga mampu menjadi soko guru untuk mengejar ketertinggalan dan membangun sebuah kehidupan yang lebih ideal dengan norma dan tatanan etika budaya yang beragama ditengah-tengah perbedaan dan kemajemukan ciptaan.

Istilah USIA biasanya identik dengan kepanjangan “jika tidak Untung pasti SIA-sia,” sementara manusia dijelaskan menjadi “MANfaatkan USIA” semaksimal mungkin untuk kepentingan diri sendiri, sesama dan alam. Salahkah jika yang muda lebih mendapat restu dan rida dari yang tua? Di manakah letak kesalahan yang sesungguhnya, jika itu memang sebuah kesalahan yang jadi permasalahan? Usia bukanlah jaminan kebijakan dan kebajikan, semua akan terlihat jelas dari niatan mengolah kata dalam wujud lakon yang nyata yang memerlukan bukti.

Sebuah cerita tidak pernah salah, karena kesalahan itu terjadi saat kita dengan serta merta mempercayai cerita tanpa membuktikan kebenaran cerita yang bisa saja itu adalah sebuah dongeng sebelum tidur atau cerita dari sebuah keputusasaan dan kegagalan yang dikemas sebagus mungkin untuk menjadi sarana keakuan dan kesombongan bagi si pencerita yang sebenarnya telah menipu dirinya sendiri, kita boleh menipu orang lain, tetapi kita tidak akan mungkin sedikitpun berhasil menipu diri sendiri.

Untuk kita para kaum yang muda, bersemangatlah dalam kehidupanmu, banyak harapan dan kerinduan digantungkan pada pundakmu, jagalah setiap derap langkahmu agar tetap kokoh dan pasti, dunia sangat membanggakanmu dan hormatilah yang lebih tua dalam usianya dan kelebihannya.

Wahai engkau manusia yang lebih tua, jadikanlah diri Anda sebagi orang tua yang sebenarnya yang harus selalu memberikan semangat lahir-batin kepada generasimu sebagai penerus perjuangan yang mulia yang masih dan akan harus selalu terus diperjuangkan untuk sebuah cita-cita yang dapat memuliakan semua kemuliaan di semesta alam dan seisinya.[]

sumber gambar: lifeofpix.com

Wednesday, December 30, 2015

Moralitas Itu Berbahaya


Oleh: Muhammad Zeini

Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru adalah orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah. Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid. Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kekaisaran Ottoman Turki mengaku bermoral dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke berbagai penjuru negara Timur Tengah.

Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan. Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-orang Yahudi di masa perang dunia kedua. Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan. Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal di berbagai penjuru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.

Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan itu sendiri.

Moralitas adalah pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait dengan moralitas. Kita juga seringkali menggunakan pertimbangan moral dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya? Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?

Satu hal yang pasti adalah, bahwa moralitas adalah pertimbangan pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah kenyataan alamiah. Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia adalah sesuatu. Para filsuf Eropa menyebutnya sebagai Ada (Being, Sein, to on). Para mistikus India menyebutnya sebagai “Diri” (the Self). Namun, sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral, maka orang akan mengikutinya. Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang ini banyak terjadi.

Ketika orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh kenikmatan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, karena ia telah bertindak jahat. Tindakan tersebut telah menyakiti dirinya dan orang lain. Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup dalam penderitaan. Sebaliknya, ketika orang bertindak baik, maka ia akan berusaha untuk mempertahankan tindakannya tersebut. Ia lalu melekat dan terikat dengan tindakan tersebut. Ia tergantung secara emosional dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.

Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan baik tersebut. Yang muncul kemudian adalah perasaan bersalah, karena orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang merasa munafik atau justru menjadi orang yang munafik. Ia justru malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran, banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru adalah orang yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius. Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat dalam pada orang tersebut.

Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan. Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan. Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari tegangan, penderitaan dan ketakutan batin tersebut, orang justru malah menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti lingkaran setan yang tak bisa diputuskan. Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri, dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak bermoral.

Sayangnya, kita seringkali menggunakan pertimbangan moral di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin. Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin tersebut. Mereka justru menjadi orang yang paling kejam. Maka, menurut hemat saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu sendiri.

Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama. Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan kebencian mewarnai hidup bermasyarakat kita. Kita pun gemar menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas yang justru menghasilkan kemunafikan dan kekejaman.

Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita, selain moralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas adalah sesuatu yang harus dilampaui. penulis menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir. Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah Apakah ini baik atau buruk?, melainkan Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau tidak? Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untung dan rugi.

Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat pada setiap keadaan yang terjadi. Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada situasi di sini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana, berhenti melakukan analisis dan berhenti berpikir! Lakukan apa yang mesti dilakukan di sini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah dari saat ke saat. Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain adalah tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok adalah tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan berbohong adalah tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat pada keadaan-keadaan tertentu.

Ketika pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan terus mengalami ketegangan di dalam hatinya. Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk melakukan pertimbangan untung dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup. Jalan keluar dari masalah ini hanya satu yaitu kejernihan berpikir. Orang yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, tetapi juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?[]

sumber gambar: kaelanunrau.com

Saturday, December 26, 2015

Membangun Idealisme

Oleh: Muhammad Zeini

Jhon, bukan nama sebenarnya, sudah lama bercita-cita untuk menjadi seorang sastrawan. Namun, menurut orang tuanya, pekerjaan sebagai sastrawan tidak akan mampu memberikan uang yang cukup untuk hidup dan bahkan akan sulit mendapat pekerjaan. Maka, mereka menghalangi cita-cita anaknya tercinta tersebut. Jhon pun akhirnya menekuni pendidikan di bidang lain, dan mengalami banyak kesulitan karenanya.

Cerita yang seperti begitu banyak terjadi di masyarakat kita di Indonesia. Orang harus menyerahkan mimpinya, atau ide tentang masa depannya, karena tekanan lingkungan. Dengan proses ini, dua hal kiranya dirugikan. Indonesia kehilangan calon sastrawan berbakat di masa depan di satu sisi, dan Jhon, dan ratusan ribu pemuda lainnya, harus hidup tidak bahagia, karena mengingkari panggilan hidupnya. Dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan dalam tiga analisis yang mungkin bisa kita jadikan refleksi bersama, yaitu:
Idealisme dan Visi
Setiap orang pasti punya ide tentang hidup macam apa yang akan dijalaninya. Dalam arti ini, setiap orang adalah idealis. Artinya amat sederhana, orang perlu untuk hidup sejalan dengan ide yang telah dipilih dan dipikirkannya. Ia bukanlah pemimpi yang tak punya tujuan, melainkan sebaliknya, orang yang memiliki visi tentang hidupnya dan hidup orang sekitarnya di masa depan. Visi radikal tentang hidup semacam inilah yang sekarang ini amat kurang di Indonesia. Orang hidup sekedarnya. Orang bekerja seadanya, tanpa ambisi untuk mencapai sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan untuk lingkungan sekitarnya. Lalu, orang mati, tanpa meninggalkan jejak dirinya yang nyata dan bermakna untuk lingkungan sekitarnya.

Ketika orang memiliki idealisme yang kuat, ia juga akan memiliki visi yang kokoh. Visi yang kokoh ini akan menuntunnya di dalam setiap perjalanan hidup. Visi yang kokoh ini juga akan membuatnya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan hidup yang kerap kali mencekik begitu kuat. Dengan visi ini, orang bisa melampaui dorongan-dorongan negatif dari dalam dirinya, dan berusaha mewujudkan diri terbaiknya.

Korupsi dan Krisis Idealisme
Sebaliknya, tanpa visi yang jelas, tanpa idealisme, orang tidak punya fokus dalam hidupnya. Hari ini, ia banker. Besok, ia guru. Lusanya, ia menjadi sastrawan. Akhirnya, ia tidak menjadi apa-apa dalam hidupnya. Ketika ia sadar akan hal ini, kubur sudah menanti di depan mata. Tanpa visi yang jelas, orang akan mudah tergoda oleh korupsi. Tanpa idealisme, orang akan mudah menyuap dan disuap, sambil merugikan banyak orang lainnya. Penegak hukum tanpa idealisme akan berubah menjadi preman yang berseragam. Guru tanpa idealisme hanya akan berubah menjadi tukang tes tanpa visi yang menyiksa batin anak didiknya.

Pejabat publik tanpa idealisme akan berubah menjadi koruptor yang memakan uang rakyat. Orang tua tanpa idealisme akan berubah menjadi semata penyedia makan, pakaian, dan rumah, tanpa pendidikan nilai yang membuat anaknya menjadi manusia yang utuh. Pekerja tanpa idealisme hanya akan menjelma menjadi mesin-mesin tanpa ide dan kreativitas. Tanpa visi dan idealisme, manusia tidak akan menjadi manusia, melainkan seonggok daging yang bernapas dan berjalan di atas permukaan bumi.

Membangun Idealisme
Pendidikan jelas merupakan alat paling jitu untuk membangun dan mengembangkan idealisme suatu bangsa. Walaupun memiliki peran amat penting, sekolah formal tidak bisa dijadikan satu-satunya penggerak pendidikan. Pendidikan yang tertinggi dan terutama adalah teladan hidup langsung dari orang-orang yang sudah ada sebelumnya. Bourdieu, seorang filsuf Prancis, berulang kali menegaskan, bahwa tindakan jauh lebih kuat dari kata-kata, dan itu paling jelas di dalam pendidikan moral.

Sulit membuat pendidikan anti korupsi, ketika hampir semua golongan tua di Indonesia melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme setiap harinya, seringkali tanpa disadari. Sulit mengajak bangsa ini untuk memiliki nilai moral tinggi, ketika nyaris semua golongan tua hidup untuk menipu dan meraup kekayaan, seringkali dengan cara-cara yang biadab. Sulit mengajak bangsa ini untuk jujur, ketika guru mengajarkan siswanya untuk menyontek saat ujian nasional. Jelaslah, teladan hidup dari orang-orang yang sudah hidup sebelumnya memainkan peranan amat penting dalam pemberadaban bangsa.

Sebagai bagian dari idealisme, visi tak akan pernah utuh menjadi kenyataan. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mendekati visi tersebut, walaupun tak pernah bisa identik sepenuhnya. Itulah sebabnya, di dalam kata idealisme terdapat kata ide, karena itu adalah harapan dan visi, yang perlu terus dikejar sepanjang hidup, walaupun tak bisa direngkuh sepenuhnya.[]

Thursday, December 17, 2015

Menumbuhkan Opini Cerdas


Oleh: Muhammad Zeini

Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argument yang selalu diajukan lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang tertanam di kepala kita. Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai seratus persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi buta yang tertanam di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kebutaan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.

Anatomi Persepsi.
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Dari mana asal persepsi yang tertanam di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca.

Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita. Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang tertanam di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan yang ada.

Menurut hemat saya, pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak menyadarinya. Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni ini?

Hegemoni Media.
Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.

Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.

Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun, pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.

Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian tersebut akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.

Menumbuhkan Opini Cerdas.
Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah positif. Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.

Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.

Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar atau pembacanya.

Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang tertanam di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti Indonesia.

Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas.[]

sumber gambar: enterpriseisrael.org.il

Monday, December 14, 2015

Dunia Dalam Gelembung Balon


Oleh: Muhammad Zeini
 
Secara tidak sadar kita hidup di dunia dalam gelembung balon. Kita menggelembunkan segala yang ada, sehingga hampir semuanya kehilangan akar realitasnya, dan tampak berlebihan. Pada akhirnya, kita pun kehilangan pegangan pada realitas yang sesungguhnya, dan hidup dalam kebohongan. Bagi mereka yang kritis tentu akan bertanya, apakah mungkin, kita mengetahui realitas yang sebenarnya? Bagi mereka, setiap pengamatan dan setiap pendapat selalu berbalut satu teori dan sudut pandang tertentu, sehingga tak pernah bisa sungguh mutlak, dan tak pernah bisa sungguh menangkap, apa yang sesungguhnya terjadi.

Bahkan ada berpendapat, bahwa apa yang dapat kita ketahui hanyalah jejak dari relitas, dan bukan realitas itu sendiri. Maka dari itu, kepastian pengetahuan pun hanya ilusi. Orang yang merasa pasti, bahwa ia mengetahui sesuatu, berarti ia hidup dalam ilusi, karena ia tidak bisa membedakan antara jejak dari realitas, dan realitas itu sendiri. Argumen ini memang masuk akal, dan memiliki kebenarannya sendiri. Akan tetapi, pada hemat saya, kita dapat mengetahui realitas yang sebenarnya, walaupun pengetahuan itu tidaklah mutlak, karena realitas itu berubah, maka pengetahuan manusia pun juga harus berubah.

Di dalam filsafat pengetahuan, dinyatakan dengan jelas, bahwa syarat pertama kebenaran adalah kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan. Syarat ini, menurut hemat saya, bisa digunakan untuk menanggapi argumen di atas, bahwa pengetahuan kita itu relatif, dan kita hanya dapat mengetahui jejak dari realitas, dan bukan realitas itu sendiri. Sampai titik tertentu, manusia mampu menciptakan kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan. Pada titik ini, gelembung balon adalah elemen yang membuat kita tak mampu melihat realitas, tetapi hanya bentuk hiperbolis (berlebihan) dari realitas yang ada. Tidak ada kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan, karena kenyataan tertutup oleh gelembung balon, yang membuatnya seolah lebih, dari kenyataannya. Dalam bahasa gaul, gelembung balon ini bisa juga dibilang sebagai lebay. 

Gelembung informasi dan citra. 
Gelembung informasi, contohnya setiap hari pikiran kita diserang oleh jutaan informasi, mulai dari iklan, berita di koran, sampai dengan dengan gosip terbaru artis ternama. Pemberitaan di TV dan koran pun seringkali berat sebelah, yakni fokus pada satu area tertentu dengan sudut pandang tertentu, tetapi tidak meliput area lainnya, dan dari sudut pandang lainnya. Akibatnya, yang kita peroleh adalah gelembung balon informasi, yakni informasi berlebihan tentang satu area, dan informasi berlebihan dengan menggunakan satu sudut pandang tertentu. Kita mengalami gelembung informasi di satu sisi, sekaligus krisis informasi di sisi lain, karena kita menjadi buta dengan apa yang terjadi di negara lain, dan rabun, karena tak mampu melihat dari sudut pandang lain.

Gelembung informasi berujung pada gelembung balon citra. Gelembung balon citra membuat sesuatu atau seseorang tampak lebih dari aslinya. Balon citra menghasilkan kesalahpahaman, karena orang menghormati dan menghargai gelembung balon tersebut, dan bukan realitas sejatinya, yang amat mungkin tidak seperti balon yang tampak. 

Gelembung balon harapan dan kekecewaan. 
Dengan citra yang menggelembung di dalam balon, orang pun memiliki harapan yang menggelembung pula. Namun, karena gelembung balon bukanlah realitas, bahkan seringkali menipu, maka orang pun akan terjebak dalam kekecewaan. Harapan yang menggelembung pada akhirnya akan bermuara pada kekecewaan yang besar, karena harapan tersebut jauh dari kenyataan yang ada.

Di sisi lain, jika kita memperhatikan berita-berita di media massa, akan terasa sekali adanya gelembung balon negativitas, yakni pemberitaan berlebihan tentang apa yang negatif. Gelembung balon negativitas ini, jika tidak disikapi secara kritis, akan membuat kita melihat dunia juga dengan sikap sinis dan negatif. Cara berpikir negatif adalah awal dari tindakan negatif. Artinya, balon negativitas pemberitaan dunia akan juga menghasilkan balon negativitas cara pandang, yang amat mungkin akan mendorong tindakan-tindakan negatif, atau ketidakpedulian. Balon negativitas juga akan menghasilkan balon kekecewaan, yang pada akhirnya membuat orang tak lagi tergerak untuk memperbaiki keadaan. 

Gelembung balon budaya dan pendidikan. 
Dunia akademik kita juga hidup menggelembung. Kampus-kampus di Indonesia beusaha menggelembungkan dirinya menjadi kampus internasional, tetapi jauh dari jangkar dunia, dan nyaris tercerabut dari persoalan-persoalan mendesak realitas. Penelitian sibuk dengan gelembung balon teknis dan hibah, serta lupa memahami, apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dunia.

Beragam negara berusaha meggelembungkan balon budayanya, sehingga berusaha menutupi borok perilaku politiknya. Data statistik dan analisis dipelitintir sedemikian rupa, sehingga menghasilkan citra balon yang nyaris tak ada kaitannya dengan realitas sebenarnya. Gelembung balon politik adalah kebohongan yang dipelintir seolah menjadi kebenaran.

Gelembung balon di dunia sosial juga mempengaruhi cara orang melihat dirinya sendiri. Pada akhirnya, orang juga akan mengalami gelembung balon diri, yakni melihat dirinya lebih dari yang sesungguhnya ada. Narsisme adalah gelembung balon diri, dan kalau melihat kasus narsisme adalah gejala manusia modern, yakni melihat dirinya lebih dari aslinya.

Gelembung balon adalah dunia semu yang menyelimuti realitas yang sebenarnya. Gelembung balon adalah simbol kemegahan dan kebesaran, tetapi sebenarnya di dalam kosong dan rapuh. Maka dari itu, kita tidak bisa begitu saja percaya pada gelembung-gelembung balon sosial di sekitar kita. Di dalam hidup, kita harus berusaha melihat apa yang melampaui indera. Bukan supernatural, melainkan apa yang tak tampak, yang ada di balik setiap gelembung balon di sekitar kita. Dunia dalam gelembung balon adalah dunia yang penuh pencitraan, yang seringkali juga berubah menjadi dunia yang penuh kebohongan.[]

sumber gambar: redrosela.wordpress.com

Saturday, October 24, 2015

Kharisma Kiai dan Kepemimpinan Pesantren


Oleh: Muhammad Zaini

Sebagai pimpinan dan sekaligus pengasuh pesantren, seorang kiai sangat menentukan dan mewarnai pembentukan tipologi pondok pesantren yang tercermin dalam pola hidup keseharian para santri dan komunitas dalam pondok pesantren tersebut.  Karena itu, menurut Mujammil Qomar (Qomar, 2002: 64), karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kiainya. Apabila Kiainya ahli fikih akan mempengaruhi pondok pesantrennya dengan kajian fikih, kiai ahli ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di pondok pesantrennya untuk mendalami  ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga mempengaruhi idealisme fokus kajian di pondok pesantren yang diasuhnya.

Kepemimpinan seorang kiai sebagaimana yang telah digambarkan Ziemek (Ziemek, 1986: 138) adalah kepemimpinan karismatik yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola pesantren yang didirikannya, Kiai berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di pondok pesantren. Pada sistem yang seperti ini, Kiai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Dengan model ini, kiai berposisi sebagai sosok yang dihormati, disegani, serta ditaati dan diyakini kebenarannya akan segala nasehat-nasehat yang diberikan kepada para santri. Hal ini dipandang karena kiai memiliki ilmu yang dalam (alim) dan membaktikan hidupnya untuk Allah, serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan.

Secara sosiologis peran dan fungsi kepemimpinan kiai sangatlah penting, Ia memiliki kedudukan kultural dan struktural yang tinggi di mata masyarakatnya. Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kepemimpinan kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas (Steenbrink, 1986: 109). Prinsip demikian singkron dengan argumentasi Geertz yang menunjukkan peran kiai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara budaya (cultural broker).  Ini berarti, kiai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya (Wahid, 1987: 200).

Pondok pesantren kalau boleh diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pondok pesantren, karena itu kiai merupakan elemen yang paling esensial dari sebuah pondok pesantren. Imam Bawani mengatakan bahwa maju mundurnya suatu pesantren amat tergantung pada pribadi kiainya, terutama oleh adanya keahlian dan kedalaman ilmu agamanya, wibawa dan kharisma kiai serta keterampilannya dalam mengelola pesantrennya. Hal ini dikarenakan: pertama, Kiai dalam lembaga pesantren adalah elemen penting dan sekaligus sebagai tokoh sentral dan esensial, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren (Bawani, 1997: 14).

Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem kemasyarakatan, keagamaan, kepribadian dan barangkali juga politik, menyebabkan kiai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai.

Di tengah krisis kepemimpinan, sistem pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang tidak memiliki moralitas cukup, pengembalian peran tokoh bermoral seperti kiai menjadi amat penting untuk tidak hanya menjadi penjaga moralitas umat, tetapi juga dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang mengedepankan karakter bangsa dan budaya religius.

Kepemimpinan kiai dalam pesantren merupakan salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu.

Menurut Mastuhu, kepemimpinan kiai dalam pesantren dimaknai sebagai seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan (Wahid,  1987: 243). Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kiai di atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kiai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan yang dipimpinnya.

Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kiai sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam). Oleh karenanya, kiai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kiai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transendental karena kedekatannya dengan sang pencipta. Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kiai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, pemerintahan dan lain sebagainya. Wallahu a’lam

Daftar Bacaan.
Bawani, Imam. 1997. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Qomar, Mujammil. 2002. Manajemnen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga..
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren,  Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman. 1987. Principle of Pesantren Education, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia.  Berlin: Technical University Berlin.
Zeimek. 1986. Pesantren dan perubahan sosial. Jakarta: P3M.

sumber gambar:

Thursday, October 22, 2015

Pesantren Antara Persimpangan Keislaman dan Keindonesiaan

[sumber gambar]

Oleh: Muhammad Zaini 

Pondok pesantren menjadi sebuah lokus yang memiliki budayanya tersendiri, ia menempatkan diri sebagai bagian dari sub-kultur di tengah gejolaknya kebudayaan nusantara. Di dalam perjalanan dinamika pondok pesantren terjadi bermacam-macam kontak interaksi dan hubungan yang tidak sama dengan lingkungan seperti biasanya yang terjadi di masyarakat. Hal ini disebabkan pondok pesantren mempunyai sebuah paradigmanya tersendiri yang tidak terpengaruh secara langsung dengan tuntutan zaman. Bahkan dalam kesehariannya pondok pesantren mempunyai cara tersendiri dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, dan mempunyai ciri khas tersendiri dalam membentuk mental serta sikap para santrinya agar tertanam dan tumbuh jiwa agamis dan nasionalis.

Sistem pembelajaran tradisionalis di dalam pondok pesantren tidak sama dengan sistem-sistem pembelajaran konvensional pada umumnya. Dalam sistem pembelajaran pondok pesantren yang yang tradisionalis ini, pondok pesantren tidak hanya mengajar pengetahuan saja, akan tetapi bersamaan juga dengan pengajaran etika dan spritual. Karena pada dasarnya para santri yang diajarkan di dalam pondok pesantren adalah pembelajaran yang mengajarkan norma yang harus dipegang bagi pelajar dan pengajar. Dalam ajaran kitab tersebut, dipercaya seorang guru adalah seorang wasilah atau penghubung antara duniawi dan ukhrowi, sehingga seorang guru yang mengajar menjadi bernilai sakral oleh para santri, oleh karena itu santri dalam proses pembelajarannya tidak diperbolehkan bertindak menyimpang kepada gurunya, seperti kitab ta’lim wa muta’alim dan adabu ta’lim wa muta’alim. Ada sebuah hadits nabi yang mengatakan bahwa ridho Allah ada pada ridho orang tua, dan murka Allah ada pada murka orang tua. Nah, berkaitan dengan hadits nabi tersebut, guru menjadi konotasi dari orang tua, yang statusnya menjadi pengganti dari orang tua asli. Jadi dalam diri guru terdapat manifestasi spiritual, dan etika. Begitu sedemikian komplek proses pembelajaran yang mampu menerapkan niali intelektual, nilai moral dan bahkan spritual.

Sistem sosial yang di bangun dalam pondok pesantren juga tersendiri, yang dalam hal ini juga bisa di umpamakan sebagai miniatur lingkungan islam. Dimana sang kyai menjadi garda terdepan dan panutan entah sebagai guru, kepala pesantren serta manifest spritual. Yang perlu diketahui juga bahwa bukan pondok pesantren namnya kalau tidak ada yang namanya santri. Oleh karena itu posisi santri sebagai penganut dari apa yang dianut (Kyai), murid serta makmum dari kyainya. Sistem kultur sosial pesantren demikian, telah menjadi ciri khas corak hidup bermasyarakat islami ala pesantren. Oleh karena itu fungsi pesantren bukan hanya menjadi praktek belajar mengajar saja, akan tetapi praktek sosial yang dilebur dalam budaya gotong royong dan praktek kepemimpinan yang demokrasi.

Sebenarnya kebutuhan dalam dunia pendidikan itu tidak hanya bersumber dari kepuasan dalam hal intelektual saja, tetapi kebutuhan kecerdasan emosional dan spritual yang tak kalah pentingnya juga harus diingat. Sebagaimana terjadi di sebagian sekolah umum yang hanya mengutaman basic intelektual semata, walaupun dalam praktek kesehariannya tak jarang sekolah umum melaksanakan berbagai ritual keagamaan, tapi pada dasarnya dalam lingkup sub-kultur di pondok pesantren lebih efektif menjalankan ritual keagamaan yang dilakoni oleh para kyai dan santrinya.

Pondok pesantren mempunyai peran ganda dalam ranah intern dan ekstern. Pada lingkup intern pondok pesantren menjadi wadah pendidikan bagi para santri dalam penggodokan diri mereka menjadi Insan Kamil, sedangkan dalam ranah ekstren pondok pesantren menjadi lembaga pertahanan dalam melestarikan budaya para pendahulunya yaitu para alim ulama dan leluhur terdahulu di tengah lingkungan masyarakat. Hal ini berbeda jauh denga islam kanan yang tidak mengakui wilayah teritorialnya sebagai kenyataan budaya, dan mereka hanya mengakui ajaran pandangan agamanya sebagai sumber pokok ajaran yang tidak bisa di otak atik atau tidak bisa dinegosiasi lagi dengan kultur masyarakat sekitar. Ada kecenderungan yang eksklusif terhadap realita, yang tidak sama dengan pondok pesantren yang sifatnya lebih inklusif pada realita. Hal ini yang menjadikan sistem yang ada dalam pondok pesantren lebih efektif diterima dan mengena ke hati para santri dan masyarakat.

Tak jarang dalam praktek keseharian pondok pesantren pondok pesantren yang silang transformasi dalam kegiatan pondok pesantren. Biasanya para santri diutus oleh kyainya untuk mengajar di lingkungan jauh maupun sekitar pesantren, sebagai proses serta pengalaman sebelum mereka terjun ke kampungnya masing-masing. Demikian halnya dengan masyarakat yang sering kali dilibatkan dalam kegiatan internal pondok pesantren yang mengandung nilai sosial agamis, seperti pengajian umum, bakti sosial dan lain sebagainya.

Jika kita flashback sejarah yang silam, sangat banyak dari para santri serta kyai yang mempunyai peran aktif dalam membela negara. Seperti tokoh religius di Indonesia yang sangat kita kenal K. H. A Wahid Hasyim yang melibatkan diri menjadi salah seorang panitia sembilan untuk merumuskan Pancasila. Ketika itu dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad yang dipelopori oleh Hadrotus Syaikh K.H. M Hasyim Asy’ari, sebagai deklarasi perang kepada penjajah dengan membangun gerakan militer pesantren, seperti Laskar Hizbullah, Mujadihin dan sebagainya. Semua ini menjadi bukti konkrit sumbangsih pesantren terhadap tanah air Indonesia yang tidak bisa dilupakan begitu saja.

Sebenarnya yang harus juga kita pahami adalah tentang ajaran presiden pertama kita yaitu Soekarno tentang Nasionalisme. Nasionalisme ini sebenarnya telah diajarkan di dalam kitab-kitab kuning, yang sering kali dikatakan bahwa kitab kuning hanya berisi tentang pedoman beragama saja, akan tetapi kitab kuning juga memuat prinsip Nasionalisme yang kalau diistilahkan dalam bahasa kitabnya yaitu Hubbul Wathon (Cinta tanah air). Jadi sudah jelas dalam prakteknya, pondok pesantren memiliki wilayah inter dan ekstern yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Karena keduanya memuat semangat Keislaman dan keindonesiaan (Nasionalisme). Itulah kenapa pondok pesantren mempunyai andil besar dalam kemajuan islam khusunya di Indonesia serta dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan indonesia dan keutuhan NKRI. Wallahu a’lam.[]

Sunday, October 18, 2015

Menulis Itu Mencerdaskan

[sumber]

Oleh: Muhammad Zaini

Menulis adalah salah satu cara seseorang untuk mengekspresikan apa yang orang itu pikirkan dan apa hatinya rasakan. Dan terkadang menulis juga menjadi cara seseorang untuk mengungkapkan jati dirinya. Dengan menulis, seseorang tidak hanya memperloleh sebuah karya, akan tetapi juga menciptakan kepuasan hati, yang berdampak pada kesehatan secara emosional. Banyak orang beranggapan, bahwa menulis hanya satu kegiatan yang biasa-biasa saja. Padahal, menulis ternyata menyehatkan dan mencerdaskan seseorang.

Mungkin di antara kita ada yang bertanya, mengapa menulis ternyata menyehatkan dan mencerdaskan? Jawabannya sangat simple, bahwa menulis membuat otak tetap aktif untuk mereview apa saja yang terjadi di lingkungan, sehingga melatih memori agar selalu bekerja dan merekam dengan baik apapun yang terjadi. Dengan menulis, syaraf-syaraf otak akan selalu melakukan fungsinya, agar senantiasa aktif.

Otak seorang manusia tidak sama dengan mesin. Karena bila mesin semakin sering digunakan, maka akan semakin cepat mengalami penurunan daya gunanya, yang dalam bahasa sehari harian disebutkan ”aus” atau tumpul. Tetapi pada otak manusia justru yang terjadi adalah kebalikannya. Semakin digunakan maka akan semakin tajam dan cerdas.

Tak seorangpun dapat menghindar dari kodratnya sebagai manusia, yaitu suatu waktu akan menjadi tua. Memang semakin tua seseorang, maka otaknya akan mengalami berbagai perubahan struktur maupun kimiawi yang khas, sehingga fungsi maksimalnya menjadi menurun. Tetapi tingkat “keausan” otak justru dapat dihambat bila otak semakin sering digunakan. Dengan terus-menerus menstimulasi otak, kemungkinan terjadinya sumbatan (luka) bahkan kalau dalam bahasa Biologi luruhnya sel-sel otak dapat netralisir yakni dengan cara menulis.

Tjiptadinata Effendi dalam catatannya mengatakan bahwa “Menulis Merangsang Dwi Fungsi Otak. Orang yang membaca, hanya merangsang otak dari satu arah. Sedangkan dengan menulis, maka sekaligus merangsang dwi fungsi otak secara maksimal. Orang tidak mungkin menulis tanpa membaca apa yang ditulisnya. Sehingga dengan demikian, menulis merupakan cara terbaik untuk menjaga otak tetap cerdas. Karena menulis tidak hanya melawan lupa, tapi sekaligus terapi jiwa. Sarana dan prasarana untuk sharing and connecting, mengasah otak serta menjadikan hidup semakin bermanfaat.

Jabaran Undang-undang Dasar 1945 tentang pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kata-kata mencerdaskan di sini tidak hanya cerdas dalam membaca saja, akan tetapi dalam hal menulis pun juga harus cerdas. Karena hasil dari apa yang kita baca, harus juga diimplementasikan kepada khalayak umum, salah satunya dengan tulisan.

Menulis itu bukan hanya untuk diri sendiri, akan tetapi buat masyakat juga. Karena pada dasarnya pendidikan dan masyarakat adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan mengabdi untuk masyarakat, sedangkan masyarakat maju dan berkembang melalui pendidikan. Nah, berkembangnya suatu masyarakat melalui pendidikan tidak hanya pendidikan berbasis ceramah saja, akan tetapi mereka juga harus mempunyai acuan kependidikan yang tersaji dalam sebuah tulisan. Oleh sebab itu kontribusi pendidikan lewat tulisan itu sangat berpengaruh terhadap berkembangnya suatu masyarakat.

Bahkan tokoh besar pun seperti Soe Hok Gie, RA Kartini, Tan Malaka, dan tokoh-tokoh lainnya, mereka semua menjadi besar dan dikenal karena sebuah tulisan. Dan ini selaras dengan kata-kata bijak yang sering kita dengar bahkan kita baca “Dengan membaca kita akan mengenal dunia dan dengan menulis kita akan dikenal dunia”. Pengertian dikenal di sini tentu beda dengan terkenal. Terkenal bukanlah menjadi tujuan dalam menulis. Dikenal di sini lebih kepada bagaimana bisa berbuat dan meninggalkan sesuatu yang baik sehingga menjadi inspirasi baik untuk diri sendiri maupun orang lain untuk berbuat baik pula. Wallahu a’lam.[]
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top