Wednesday, October 30, 2013

Soekarno: Pemimpin Bersahaja dan Garang



Oleh:  Abdul Rahman Wahid


Judul:
The Leadership Secrets of SOEKARNO
Penulis:
Argawi Kandito
Penerbit:
ONCOR Semesta Ilmu
Tahun:
 2012
Tebal:
x + 124 halaman
ISBN:
978-602-96828-8-5

Ir. Soekarno, yang akrab dengan sapaan Bung Karno, adalah sebuah nama yang mengingatkan kita semua akan masa-masa perjuangan Indonesia dari penjajahan bangsa-bangsa kolonial. Peran besar Bung Karno dalam kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu, bukan hal yang tidak mungkin jika beberapa gelar disandingkan pada beliau.


Presiden RI (Republik Indonesia) pertama, sekaligus sang proklamator kemerdekaan ini, yang merupakan sebagian gelar bagi Bung Karno, hingga saat ini namanya masih harum dan dikenang di Bumi Pertiwi tercinta.

Monday, October 14, 2013

Hidden Paradise; Sebuah Catatan Perjalanan

Oleh: Muhammad Hilal

hidden paradise, difoto dari tebing. By: cupid



Setelah berkali-kali berbincang soal persiapan, akhirnya hari itu (13.10.2013) kami berangkat ke Poktunggal, sebuah lokasi wisata pantai di Yogyakarta yang baru-baru ini jadi bahan perbincangan. Selama 2 jam kami berempat berkendara sepeda motor.

Lokasi-lokasi pantai yang biasanya jadi tujuan para wisatawan di Yogyakarta tak lagi menyenangkan. Ramainya minta ampun! Apalagi saat itu bertepatan dengan liburan panjang, pengunjung luar Yogyakarta tentu berduyun-duyun ke situ. Kabarnya, Poktunggal belum begitu dikenal banyak orang, makanya kami ke sana.

Kokop, Drini, glagah, Indrayanti kami lewati dengan perasaan jengah. Benar adanya, tempat-tempat itu dipenuhi orang-orang tak ubahnya pasar malam. Tempat parkir penuh sesak dengan kendaraan berbagai macam jenis. Bahkan jalanan pun macet, karena bis ukuran besar harus berbagi jalan dengan bis lain. Jika kamu mau ke pantai bertepatan dengan hari libur panjang, jangan sekali-kali melupakan pertimbangan ramainya pengunjung ini.

Friday, October 11, 2013

Beberapa Sudut Pandang terhadap Tunasusila

Oleh: Muhammad Ilyas*



Sebagian fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia adalah kegiatan prostitusi, atau kegiatan yang dilakukan oleh para tunasusila. Jika kita membahas tentang prostitusi, mungkin dalam benak kita terdapat pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi, dosa, atau mungkin yang ada di benak kita terdapat kesenangan, tergantung persepsi kita dari sudut mana kita melihatnya. Berkaitan dengan hal seperti ini, saya mencoba untuk memaparkan fakta dan  persepsi masyarakat terhadap Tunasusila (PSK).


Tunasusila bisa diartikan orang yang tidak mempunyai norma kesusilaan (Pius A Darto M. Dahlan Al Barry. 2001:765). Menurut bidang ilmu sosiologi kegiatan prostitusi adalah kegiatan yang menyimpang atau yang kita kenal dengan perilaku menyimpang, karena hal ini keluar dari kebiasaan masyarakat umum (Soerjono Sukanto. 2013: 269). Walaupun sosiologi sendiri bersifat non etis/ non normatif yang tidak menjelaskan baik atau buruknya masyarakat dan tidak memaparkan apa yang harus terjadi. Didalam buku pengantar sosiologi yang dikarang oleh Soerjono Sukanto dijelaskan perilaku menyimpang diakibatkan oleh sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga keluar dari kebiasaan masyarakat umum (brojol selaning garu).

Wednesday, October 9, 2013

Menguak Mitos Presiden-Jawa di Indonesia

[photo credit: here]
Oleh: Ghufron AM* 

Bangsa yang besar dan bermartabat  tidak terlepas dari siapa yang menjadi pemimpinnya dan bagaimana cara memimpin bangsa itu. Indonesia merupakan kelanjutan dari Nusantara, dengan warisan sejarah dan budaya yang begitu kompleks dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara, seperti Majapahit, Singosari, Sriwijaya, Mataram Kuno, Samudera Pasai, Kutai Kertanegara, Kesultanan Demak, Mataram, Banjar, Sambas, Bone, Ternate, Tidore dan lain sebagainya. Dengan demikian, wajar jika di awal kemerdekaan Indonesia perdebatan tentang asas yang sesuai nilai, kultur dan watak Nusantara begitu pelik dan menguras pikiran dari para founding fathers Republik ini. Sebagai bangsa yang multikultural, pluralis, dan demokratis sudah sewajarnya siapapun, dari suku manapun, dan keturunan siapapun boleh memimpin bumi pertiwi ini. 

Disadari atau tidak, suatu persepsi telah beredar di tengah masyarakat bahwa presiden Indonesia haruslah dari suku dan orang Jawa. Kenapa demikian, adakah bukti autentik yang membenarkan persepsi tersebut selama ini? Penulis bukan bermaksud mengindahkan mitos dan ramalan-ramalan yang ada, semisal ramalan Joyoboyo, yang dipercaya masyarakat jawa (kejawen) memuat ramalan para pemimpin serta perkembangan Indonesia, dan bentuk ramalan-ramalan lainnya. Persepsi masyarakat tentang Presiden Indonesia haruslah dari orang dan suku Jawa tersebut, bisa benar dan bisa pula salah. 

Di sini perlu adanya telaah kembali atas persepsi dan mitos yang seakan-akan menjadi aturan tak tertulis bagi seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden. Bisa dibenarkan selama ini Presiden RI selalu berlatar belakang Jawa, seperti Soekarno, Soeharto, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang dari Jawa dan keturunan Jawa. Sedangkan BJ. Habibie adalah satu-satunya mantan Presiden yang bukan berlatar belakang Jawa; hal ini adalah sebuah pengecualian sebab BJ. Habibie menjadi Presiden adalah bentuk darurat dan sangat situasional pasca jatuhnya Soeharto di awal reformasi 1998. BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden menggantikan Soeharto untuk mengisi kekosongan kepemimpinan (vacuum of power) saat itu, bukan melalui pemilihan yang sesuai prosedur ketatanegaraan yang berlaku.

Dilihat dari uaraian di atas, maka berdasarakan fakta Presiden RI yang sudah ada notabene bersal dari dan suku jawa. Sedemikian belumlah cukup jika syarat yang tak tertulis ini sebagai pembenar, apalagi hanya dilihat dari sisi metafisisnya. Sekurang-kuranganya ada perihal lain yang bersifat empiris, yang bisa dijadikan pegangan dalam konteks dewasa ini. Pertama, mari kita lihat dari faktor sejarah berdirinya NKRI. Setelah Jepang tunduk oleh tentara Sekutu, yang dikenal dengan peristiwa Hirosima-Nagasaki, maka kemudian Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau yang biasa disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosa Kai, yang beranggotakan 67 anggota. 60 dari bangsa Indonesia dan 7 orang dari bangsa Jepang. Sedangkan pada sidang kedua 10-17 Juli 1945, Jepang menambah keanggotaan 6 orang dari bangsa Indonesia. Jelang beberapa hari setelah pembentukan BPUPKI, Pemerintah Angkatan Darat XVI kembali membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia) atau istilah Jepang Dokuritu Zyunbi Iin Kai. PPKI ini beranggotakan 21 yang diketuai oleh Ir. Soekarno, tanpa adanya anggota luar biasa dari pihak Jepang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang keanggotaan PPKI bertambah 6 orang menjadi 27 anggota. Dari 27 anggota tersebut, 18 berasal dari pulau Jawa, selebihnya representasi dari daerah-daerah di luar Jawa. Pada awalnya PPKI dibentuk bertujuan membentuk asas tunggal dan arah kemerdekaan Indonesia ke depan, dan selebihnya kesepakatan apakah yang diperbincangkan hanya pelaku sejarahlah yang mengetahuinya. Namun melihat dari 18 oarang keanggotaan PPKI berasal dari Jawa, maka rumusnya sangat sederhana apalagi Indonesia menganut sistem demokrasi, demokrasi berdasarkan suara teranyak (majority). Artinya, yang mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, akan tetapi yang mayoritas tidak dibenarkan jika tidak mendapatkan apa-apa. 

Kedua, berdasarkan populasi dan demografi penduduk di Indonesia. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, terdapat 237,641,326 jiwa jumlah penduduk di Indonesia, dan hampir setengah dari jumlah penduduk di Indonesia merupakan penduduk di pulau Jawa, dengan mencapai 136.610.590 jiwa. Adapun urutan 5 Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat yang mencapai 43,053,732 jiwa, terdiri dari 21,907,040 laki-laki dan 21,146,692 perempuan. Jawa Timur yang mencapai 37,476,757 jiwa, terdiri dari 18,503,516 laki-laki dan 18,973,241 perempuan. Jawa Tengah yang mencapai 32,382,657 jiwa, terdiri dari 16,091,112 laki-laki dan 16,291,545 perempuan. Sumantera Utara yang mencapai 12,982,204 jiwa, terdiri dari 6,483,354 laki-laki dan 6,498,850 perempuan. Banten yang mencapai 10,632,166 jiwa, terdiri dari 5,439,148 laki-laki dan 5,193,018 perempuan. Melihat dari populasi penduduk di Indonesia, pulau Jawa masih merupakan penduduk paling besar dan hampir setengah dari penduduk Indonesia. Itu artinya, pemilih terbesar dalam pemilu 2014 mendatang Pulau Jawa masih pemegang pemilih terbesar, dan tentu kita tidak menafikan seberapa besar angka golput dalam pemilu 2014 mendatang. Jika demikian, maka calon presiden yang berlatang belakang dan berasal dari pulau Jawa mempunyai peluang untuk menang, walaupun tidak semua orang Jawa akan memilih calon presiden berlatar belakang Jawa. Akan tetapi kebiasaan dan tabiat orang Jawa adalah tidak akan memberikan sesuatu kepada orang lain jika tetangga dan sekitarnya masih ada yang membutuhkan, karena prinsipnya adalah guyup lan rukun. 

Ketiga, Indonesia sebagai negara Pancasila sebetulnya sudah final, dengan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika sejak berabad-abad yang silam.  Akan tetapi disadari atau tidak, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang amat sensitif akan isu-isu SARA, walaupun sejatinya Indonesia bukanlah negara Islam, sekuler, apalagi monarkhi, seperti yang pernah dilontarkan Gus Dur, bahwa Indonesia adalah negara bukan-bukan. Pada kenyataannya Presiden Indonesia selama ini selalu berlatang belakang jawa dan beragama Islam. Kenapa demikian? Sangatlah jelas walaupun Indonesia bukanlah negara Islam, akan tetapi penduduk muslim di Indonesia adalah mayoritas. Saat ini jumlah penduduk muslim di Indonesia mecapai 207.176.162 atau setara dengan 87,18% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah terbesar muslim Indonesia berada di Jawa Barat  yang mencapai 41.763.592 jiwa, dengan Prosentase 97,00%. Lalu disusul oleh Jawa Tengah 31.328.341 jiwa 96,74%, Jawa Timur 36.113.396 96,36% dari total jumlah penduduk. Jadi kembali pada rumusan awal, bahwa sistem demokrasi berdasarkan mayoritas dengan ketentuan, tidak menjadi absah jika yang mayoritas tidak mendapatkan apa-apa, dan tidak dibenarkan jika minoritas tidak diberi kebebasan dan perlindungan. Dengan demikian jika pemilihan Presiden menggunakan sitem pemilihan langsung (one man one vote), maka sangat jauh dari harapan jika menginginkan Presiden yang non muslim.  Amerika saja untuk mendapatkan Presiden berkulit hitam harus menunggu 200 tahun. Sedangkan di India tidak pernah ada Perdana menteri dari muslim, karena melihat jumlah penduduk muslim yang hanya berkisaran 10-15% dari jumlah keseluruhan penduduk India.

Dari tiga alasan di atas inilah kenapa sejauh ini Presiden di Indonesia masih berkutat di satu suku, satu pulau, dan satu agama. Tulisan ini bertujuan bukan sebagai pembenar, akan tetapi mencoba mengurai adanya fakta yang selama ini menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Bukan tidak mungkin ke depan Indonesia memiliki Presiden yang bukan dari suku Jawa, bahkan non muslim. Bagi calon Presiden non-Jawa, sejauh mana mampu mendobrak dan meyakinkan pada khalayak akan syarat primordialisme ini, lintas suku, budaya, dan agama. Indonesia ke depan membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai integritas tinggi, visioner, tidak hanya mementingkan suatu kelompok, tapi berdiri di atas kelompo-kelompok lain. tidak hanya cerdas, tapi cerdik dan cendikia.[]

Ghufron AM
adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top