Sebagian fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia adalah kegiatan prostitusi,
atau kegiatan yang dilakukan oleh para tunasusila. Jika kita membahas tentang
prostitusi, mungkin dalam
benak kita terdapat pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi, dosa, atau mungkin
yang ada di benak kita terdapat kesenangan,
tergantung persepsi kita dari sudut
mana kita melihatnya. Berkaitan dengan hal seperti ini, saya mencoba untuk memaparkan fakta dan persepsi masyarakat terhadap Tunasusila
(PSK).
Tunasusila bisa diartikan orang yang tidak
mempunyai norma kesusilaan (Pius A Darto M. Dahlan Al Barry. 2001:765). Menurut
bidang ilmu sosiologi kegiatan prostitusi adalah kegiatan yang menyimpang atau
yang kita kenal dengan perilaku menyimpang, karena hal ini keluar dari
kebiasaan masyarakat umum (Soerjono Sukanto. 2013: 269). Walaupun sosiologi
sendiri bersifat non etis/ non normatif yang tidak menjelaskan baik atau
buruknya masyarakat dan tidak memaparkan apa yang harus terjadi. Didalam buku
pengantar sosiologi yang dikarang oleh Soerjono Sukanto dijelaskan perilaku
menyimpang diakibatkan oleh sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga keluar
dari kebiasaan masyarakat umum (brojol
selaning garu).
Tunasusila bila di pandang dari agama Islam sendiri
sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran yang berbunyi:
ولا
تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. - QS. Al-Israa' (17) Ayat 32.
Dalam agama Islam, mendekati zina saja tidak boleh, apalagi kita
melakukannya. Jadi jelas
sekali dalam pandangan Islam zina diharamkan. Hukuman bagi para pelaku zina adalah
didera 100 kali kemudian diasingkan selama satu tahun, hukuman ini hanya untuk
orang yang melakukan zina tetapi belum menikah. Lain halnya dengan orang yang
melakukan zina tetapi ia sudah menikah maka hukumannya yaitu dirajam sampai
mati (hal ini disebutkan dalam mayoritas kitab hukum Islam atau fiqh).
Tunasusila bila dipandang
dari agama katolik dan protestan juga tidak bisa ditolerir. Menurut Indah Attas Nugraheni dan Erita, kegiatan
perzinaan yang disebutkan dalam kitab Injil pada Perjanjian Lama, ada sepuluh
dosa besar yang dilarang oleh Tuhan, di antaranya adalah perzinahan. Menurut mereka berdua, ayat tentang perzinahan
itu disebutkan beberapa kali dalam Injil. Konsekuensi terhadap
pelaku zina (tunasusila) dalam agama Kristen dan Protestan ialah kehilangan kasih
sayang Yesus terhadapnya, dan Yesus tidak bisa menebus dosa tunasusila
tersebut, kecuali bertobat dengan sungguh-sungguh. Jadi sangat jelas sekali
semua agama melarang melakukan perzinahan dengan alasan apapun.
Tetapi lain halnya apabila
Tunasusila itu dilihat dari sudut pandang humanisme, tentunya hasil yang kita
peroleh berbeda dari apa yang kita bahas di atas. Para tunasusila juga manusia, sama dengan kita,
mereka tetap saudara kita, mereka juga memerlukan simpati dari kita, karena
mereka sebagai mahluk sosial yang butuh diperhatikan. Tetapi yang ada dibenak
kita hanyalah bisa menyalahkan mereka dan memandang mereka hanya dengan sebelah
mata, bukankah manusia dilahirkan sama dalam keadaan suci, dan agama kita
adalah rahmat bagi seluruh alam.
Menurut bunga (nama
samaran) salah seorang tunasusila mengatakan dia tidak ada keinginan sedikitpun
untuk berprofesi sebagai PSK (tunasusila) karena menurut dia pekerjaan yang ia
lakukan bukan pekerjaan yang halal, dan keluar dari kebiasaan masyarakat
banyak, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena terdorong oleh keadaan
ekonomi. Dia harus membiayai dua orang anak tanpa suami. Dia juga menuturkan,
pekerjaanya tidak diketahui oleh anaknya. Ia ingin kelak anaknya
tidak seperti pekerjaan ibunya dan bisa hidup normal dalam masyarakat. Lain
halnya dengan Fani (nama samaran) menuturkan, dia menjadi seorang tunasusiala
dikarenakan ia mengalami tekanan psikologis, dia baru bercerai dengan suaminya,
dan ia tidak menemukan jalan lain selain berprofesi sebagai PSK.
Tetapi fenomena seperti
hal di atas seyogyanya bisa diatasi dengan bijak. Tidak jarang akhir-akhir ini
terjadi pen-sweeping-an oleh ormas-ormas tertentu dengan dalih
memberantas kemaksiatan atau amar makruf nahi mungkar. Juga tidak jarang dari anggota ormas itu melakukan
pemukulan, pengrusakan, perampasan dan lainya. Hal seperti itulah yang dialami
oleh tunasusila. Tidakkah kita melihat konsekuensi yang lain ketika kita
melakukan kekerasan. Kemudian di mana letak agama Islam sebagai agama rahmatal
lilalamin (kasih bagi seluruh alam) kalau umatnya sendiri melakukan
kekerasan dan menimbulkan keresahan? Nusron Wahid, selaku ketua Ansor, menuturkan menegakkan amar makruf harus bi al-ma‘rûf, mencegah yang mungkar
harus pula bi al-ma‘rûf. Tidak boleh menegakkan
amar ma’ruf tetapi bi al-munkar atau mencegah yang mungkar bi al-munkar,
jelas tentu tidak sesuai dengan kaidah keagamaan.
Semoga pemaparan ini bisa
bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi saya pribadi. Dan saya meminta kritik
dan sarannya terhadap tulisan ini sebagai koreksi untuk tulisan berikutnya.
Wallâh al-muwaffiq ilâ aqwam ath-tharîq.
Muhammad Ilyas
adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment