[sumber] |
Oleh: Muhammad Hilal
Saya lupa, kapan tepatnya hari kelahiran blog Amanah Online
ini. Ya sudah, itu tidak penting. Kapanpun itu, anggaplah tulisan ini sebagai
laporan tahunan yang bertepatan dengan hari kelahirannya. Semacam kado ulang
tahunlah.
Oleh sebab yang sedang ulang tahun adalah sebuah blog, maka
kadonya berupa semacam laporan-laporan. Laporannya pun akan dikemas dengan
sederhana, biar ada nuansanya.
Saya ingat, gagasan membikin blog ini tercetus saat kami
sedang ngopi bareng. Saat itu, sepertinya pas buka puasa bareng, Gufron AM usul
di hadapan kami untuk membuat terbitan majalah atau bulletin seperti waktu
mereka di pondok dulu.
Saya berpikir, rasanya akan sulit kalau harus bikin majalah
atau bulletin. Maksud saya, letak kesulitannya bukan di saat mau mencari
tulisan, sebab saya yakin mereka semua adalah orang-orang yang jago menulis. Saya
tidak ragu itu. Hanya saja, majalah atau bulletin yang akan diterbitkan nanti
akan sulit bisa terbit secara berkala dan konsisten. Pikiran ini berdasarkan
pengalaman dan hasil pengamatan.
Pengalaman yang dimaksud adalah saat saya menjadi Pemimpin
Umum di sebuah majalah di kampus. Bukan main, menerbitkannya sulit minta ampun.
Padahal biaya sudah ditanggung kampus, beberapa fasilitas seperti komputer, alat
perekam, co-card, dll. juga sudah dikasih, tapi masih saja sulit
mengorganisir beberapa orang untuk menerbitkan majalah.
Karena itu, saya menaruh rasa hormat sangat dalam pada
mereka, terutama anak-anak muda, yang berusaha menerbitkan majalah atau bulletin.
Meskipun bulletin yang mereka terbitkan terlihat menggunakan standar minimal,
baik dari segi isi tulisan maupun tata letak, tapi saya sadar bahwa itu adalah
hasil kerja ekstra mereka. Menghadapi anak muda yang seperti itu, saya selalu angkat
topi secara imajiner.
Saya juga melihat di tempat lain orang-orang yang berusaha menerbitkan
majalah. Persoalan yang dialami juga mirip. Persoalan yang dihadapi bukan
ketersediaan fasilitas, tapi SDM yang memangku tugas penerbitan itu tidak
memadai, entah dari segi pengalaman, wawasan, keterampilan, jaringan, visi-misi,
semuanya atau sebagiannya minim. Akhirnya, majalah yang mereka terbitkan tidak
bertahan lama.
Nah, secara objektif, kondisi teman-teman yang ngopi saat
itu tidak jauh berbeda. Jadi, saya tidak langsung mengiyakan usulan Gufron waktu
itu.
Di sisi lain, juga harus saya akui bahwa usulan itu bagus
sekali. Usulan Gufron itu revolusioner. Jadi sayang rasanya kalau usulan itu
harus saya tolak.
Karena itu saya usulkan agar medianya jangan berbentuk
majalah atau bulletin. Alasannya jelas, majalah atau buletin cetak itu butuh
biaya. Selain itu, media cetak juga harus didistribusikan secara manual. Jadi kita
perlu manajemen lain selain keredaksian. Padahal, pada saat yang sama, kita
masih perlu memperbaharui (upgrade) pengalaman, wawasan, keterampilan
juga jaringan. Jadi terlalu menguras energi. Belum lagi kita harus
mengurusi kesibukan kita masing-masing sebagai mahasiswa.
Saya usulkan waktu itu, medianya berupa majalah atau bulletin
elektronik saja. Keuntungannya banyak sekali. Hal-hal yang terasa sulit di
media cetak, bisa menjadi sangat mudah di media elektronik. Teman-teman waktu
itu setuju. Maka, lahirlah blog Amanah Online ini.
Rohim Warisi yang multitalented langsung ambil alih
pengolahan tata letaknya. Kita tak pernah tahu, kapan dan dari mana dia punya kemampuan
itu. Tapi, mau dipercayakan ke siapa lagi?
Beda-beda Karakter.
Blog ini punya kontributor yang lumayan banyak lho. Jumlah ini,
berikut kemampuan masing-masing, sudah lebih dari cukup untuk bisa dibilang
keren. Modal blog ini memadai untuk bersikap optimis bahwa blog ini akan
bertahan hingga entah kapan.
Dari semua tulisan yang ada di blog ini, kebanyakan kontributor
rupanya lebih suka menulis di rubrik opini. Jumlahnya 84 buah. Selanjutnya,
tentu saja, banyak yang suka sastra (35 buah). 9 buah tulisan berupa resensi.
Yang mengejutkan, dari tiga rubrik sastra, kebanyakan
kontributor blog ini lebih suka menulis cerpen ketimbang yang lainnya. Cerpen di
blog ini berjumlah 29 buah, puisi 14 buah, dan belum ada yang mau menulis dialog
drama.
Di antara semua kontributor, yang paling rajin menulis di
blog ini adalah Irham Thoriq. Wartawan Radar Malang ini telah menyumbangkan
tulisan sebanyak 18 tulisan. Semuanya berupa esai. Style-nya adalah
reflektif. Tampaknya, kekagumannya kepada GM mempengaruhi gaya tulisannya. Kita
tentu berharap agar tulisannnya terus terbit di blog ini.
Itu di rubrik opini. Beda lagi kalau di rubrik sastra.
Halimah Garnasih merupakan penyumbang terbanyak untuk genre tulisan ini. Dari 14
tulisan yang sudah terbit, 11 di
antaranya adalah sastra, baik cerpen maupun puisi. Kebanyakan tulisannya
mengangkat isu gender dan relasi lintas iman. Tidak diragukan lagi, Halimah
memang aktivis di dua bidang itu.
Kontributor lain yang layak diapresiasi karena sumbangan
tulisannya yang banyak di blog ini adalah Muhammad Madarik. Kiai muda ini telah
menerbitkan 9 tulisannya di sini. Dua di antaranya berupa opini, sisanya adalah
cerpen. Yang menarik, konsistensinya untuk menulis cerpen menunjukkan bahwa
sastra telah menjadi medianya untuk menyampaikan suatu pesan. Tampaknya, sudah
lama tulisannya tidak terbit lagi. Kita layak menunggu cerpen barunya akan
terbit nanti.
Lalu Rohim Warisi, si cerpenis absurd dan surrealis. Pada awalnya,
Rohim menulis cerpen realis nan melankolis, namun semakin ke belakang cerpennya
makin absurd. Gaya bertuturnya liris. Jelas, kekagumannya kepada penulis novel Cinta
Tak Pernah Tepat Waktu memengaruhinya sangat mendalam. Sudah lama dia tidak
nongol di blog ini. Semoga absurditas masih menjadi gaya tulisan dan gaya
hidupnya. Semoga tulisannya bisa terlihat lagi dalam waktu dekat.
Muhammad Mahrus dan Gufron AM adalah penggagas utama
lahirnya blog ini. Dwitunggal ini tentu punya tanggung jawab moral untuk
berkontribusi di blog ini. Dengan demikian, kita bisa melihat Gufron AM telah
menyumbangkan tulisan sebanyak 4 buah dan Muhammad Mahrus sebanyak 7 buah. Tanggung
jawab moral itu akan terus mereka pikul selama blog ini masih ada di dunia.
Taufik dan Dhofir juga kontributor yang tidak bisa diabaikan.
Yang pertama telah menyumbangkan 3 buah tulisan yang bagus, semuanya tentang
tafsir Alquran; kita tahu, dia memang spesialis di bidang satu ini. Adapun Dhofir
telah menerbitkan 4 buah tulisan. Beberapa di antaranya adalah tentang linguistik,
sebuah bidang yang sedang dia geluti saat ini.
Abdul Rahman Wahid punya perkembangan yang sangat pesat di
bidang kepenulisan. Tampaknya itu berkat komunitasnya yang kondusif untuk
mengembangkannya. Di blog ini, kontribusinya sebanyak 9 buah; jumlah yang amat
sedikit dibandingkan produktivitasnya menulis di media-media lain.
Yang istimewa adalah Imron Hakiki, salah satu kontributor
kita yang beda dari yang lain. Dia punya keahlian bikin sketsa—saking jagonya
bahkan bisa membikin gadis-gadis kesemsem padanya. Blog ini beruntung
karena beberapa karyanya dia izinkan untuk terbit di sini.
Kita tentu tidak bisa melupakan Muhammad Ilyas. Tulisan-tulisannya
menunjukkan perkembangan yang menjanjikan. Minat kajiannya pun beragam. Seiring
perjalanan waktu, tidak diragukan lagi bahwa Ilyas akan menemukan gayanya yang
khas. Singkat kata, dia berada di jalur yang tepat, on the right track.
Kontributor lainnya masih banyak. Rasanya, laporannya cukup
di sini saja. Capek kalau harus mengurai satu per satu.
Baru Memulai.
Sudah berapa lama blog ini bertahan? Sudah tiga tahun. Sudah
berapa tulisan yang sudah terbit? Cuma 146 tulisan. Rasio jumlah tulisan dan
umur blog jomplang sekali. Reratanya cuma 3 tulisan per bulan. Bisa dibilang,
kita ini pemalas sekali untuk menulis.
Maksud saya, kita malas menulis di blog ini, tapi tidak di
media lain. Saya yakin itu.
Sejauh amatan saya, para kontributor blog ini tak bisa direduksi hanya pada blog ini saja tingkat kreativitasnya. Saya tahu, mereka bergiat dan berkreasi di banyak sekali media. Jangan dihitung di Facebook dan di Twitter. Tulisan mereka di media sosial sudah melebihi buku super tebal dan multi disipliner pula tulisannya.
Dengan kata lain, tujuan dilahirkannya blog ini sebetulnya
sudah terpenuhi. Dalam benak saya, tujuannya sederhana sekali: para kontributor
menggunakannya untuk tujuan yang paling permulaan. Paling permulaan, dalam
benak saya, dimaksudkan sebagai tujuan yang paling sederhana dan remeh-temeh
dari sebuah media. Bisa jadi untuk belajar dan membiasakan menulis. Bisa pula
sebagai alat penyimpan arsip karya pribadi—semacam buku harian. Tidak ada
salahnya juga blog ini dibikin sekadar alat curahan hati. Sesederhana itu
sebetulnya.
Singkat kata, sebetulnya blog ini belum beranjak terlalu
jauh sebagai sebuah media. kita masih berdiri di level yang paling
bawah dalam hierarki sepak terjang sebuah media. Ibarat pertandingan final Liga
Champions baru-baru ini, kita adalah Barcelona FC di babak pertama yang belum
mengerahkan permainan yang sebetulnya.
Tapi ini bukan ekspresi berkecil hati. Kekuatannya sebagai sebuah
media sebetulnya sangat besar. Kita bisa naik level. Dan itu bisa dimulai dari
sekarang. Amanah Online ini bisa kita jadikan apapun semau kita, asalkan naik
level.
Namanya saja media, kita bisa menjadikannya sebagai alat
untuk mempromosikan gagasan-gagasan. Semacam alat propagandalah. Di semua
kelompok kepentingan, selalu ada alat yang demikian. Dan itu wajar saja. Bahkan
bisa jadi mulia. Nah, blog ini berpotensi bertransformasi demikian.
Blog ini juga bisa menjadi alat pengeruk pundi-pundi harta
karun melalui iklan. Persyaratannya pun sederhana: tinggal menyulapnya agar
sesuai standar SEO yang tidak begitu ribet itu. Apalagi kita punya modal sosial
yang memadai. Modal sosial itu maksudnya ya kita-kita, para kontributor yang
sudah ada ini.
Sembari naik level, kita harus menjaring orang-orang yang
lebih banyak agar menjadi bagian dari kita. Itu mutlak diperlukan. Dan ini pun tidak
sulit-sulit amat.[]
0 komentar:
Post a Comment