Showing posts with label Imron Haqiqi. Show all posts
Showing posts with label Imron Haqiqi. Show all posts

Wednesday, April 30, 2014

Alquran dan Problem Kemasyarakatan

Oleh: Imron Hakiki*




[Judul Buku: Al-Qur’an dan Isu-Isu Aktual | Pengarang: Mahasiswa IAT angkatan 2010 | Penerbit: IDEA Press | Cetakan: 2013 | Tebal: xxvi, 202 Halaman] 

Alquran merupakan kitab pegangan umat beragama Islam. Banyak bentuk dan cara dalam menggali makna Alquran dengan tujuan untuk mencari kesesuaian dengan konteks dan kultur di masing-masing masyarakat. Hal tersebut timbul sebab kepercayaan umat muslim bahwa Alquran bukan sekedar sebuah kitab suci yang sekedar harus diimani, tetapi sebagai way of life yang senantiasa hadir direlung-relung kehidupan. Fakta ini kemudian melahirkan sebuah adagium bahwa Alquran shâlih li kull zamân wa makân (hlm. 01). 

Alquran dan Isu-Isu Aktual merupakan buku kumpulan karya ilmiah tentang isu-isu yang berkembang di masyarakat, dikaitkan dengan perspektif Al-Quran, di mana ini merupakan salah satu bentuk penggalian makna dari Alquran. Bermodalkan kemampuan yang dimiliki dalam bidang Alquran dan tafsir, mahasiswa jurusan Ilmu Alquran dan tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2010 mencoba mengangkat persoalan sosial kemasyarakatan sebagai obyek observasi. Persoalan yang dianggap kerap menggelisahkan tersebut meliputi radikalisme agama, perbedaan agama, korupsi, perbudakan, dan mode busana yang menyimpang dari norma-norma agama.

Tuesday, May 7, 2013

Feodalisme dalam Demokrasi






Oleh: Imron Haqiqi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.

Di Indonesia kata feodalisme sering dirujukkan terhadap pemimpin yang lalim seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Di masa era Orde Baru, misalnya, masyarakat  tidak banyak diberi ruang gerak untuk berekspresi. Di era reformasi seperti sekarang ini mungkin secara formal sistem penguasaan feodal telah dihapus dalam ketatanegaraan Indonesia. Namun secara komunal nampaknya feodalisme masih melekat di sekitar kita. Terbukti di pedesaan masih ada penguasaan tanah secara besar-besaran oleh orang-orang kota. Bahkan, di kota-kota atau pinggiran kota juga terjadi penguasaan tanah secara besar-besaran untuk berbagai tujuan. Nah, konotasi seperti itulah yang dimaksud dengan “Neo-Feodalisme”.[1] 
Feodalisme Orde Baru
Kata Orde Baru adalah istilah masa (masa pemerintahan) yang dideklarasikan oleh pemimpin Negara Indonesia kedua, Soeharto. Soeharto sering menjadi bahan obrolan baik di kalangan masyarakat pedesaan, bangsawan, cendekiawan, negarawan, dan wan-wan yang lain, karena ia dipandang oleh masrakat kebanyakan sebagai sosok pemimpin yang lalim, dictator, serta totaliter. Hal seperti itu yang menurut bangsa Indonesia adalah sebuah praktek sistem pemerintahan Feodal. Sistem feodal Orde Baru, penulis mengamini dan mengimani perkataan Fachry Ali dalam esainya yang diterbitkan dalam bentuk antologi, Jika Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, bahwa:

“Dalam konsep kesatuan, segala bentuk gejala alamiah atau akibat dari tindakan-tidakan manusia tidaklah dihayati sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri, karena masing-masing darinya merupakan bagian dari totalitas sistem yang dikoordinasikan oleh sesuatu kekuatan supernatural”.[2]

Membaca ungkapan tersebut, saya berkesimpulan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ada keterkaitan dengan sistem kerajaan Jawa pada masa lampau. Memang, jika kita mencoba menilik sejarah, kerajaan Jawa kuno mempraktekkan dua sistem kepemimpinan yang murni feodalisme. Pertama, raja adalah dewa. Setiap perkataan dan perintah raja harus di turuti, karena perkataan dan perintah raja mengandung doa yang akan menghadirkan keberuntungan. Bahkan, sampai pada anak dari raja tersebut meskipun masih berumur lebih muda daripada masyarakat sekitar yang dipimpin oleh salah seorang raja, namun masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap anak raja tersebut. Padahal di dalam praktek agama Islam, yang muda patuh dan tunduk terhadap yang tua—siapa pun itu. Namun masyarakat Jawa berbeda, mereka mempercayai bahwa sikap tunduk dan patuh terhadap raja beserta keluarganya dipercaya akan menimbulkan sebuah keberuntungan tersendiri terhadap masyarakat tersebut. Sikap masyarakat seperti itu akibat kepercayaan mistik masyarakat Jawa terdahulu, yang biasa di sebut etika primordialisme, yang mana masyarakat pada hakikatnya berbeda antara kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Etika seperti itu tetap melekat hingga pada masyarakat Jawa era modern, bahkan semakin meluas ke seluruh daerah di Indonesia.

Kedua, kepatuhan terhadap tuan tanah yang menjadi pelindung sosial-ekonomi masyarakat. Seorang tuan tanah yang menjadi gantungan ekonomi masyarakat akan dipatuhi dan dihormati oleh masyarakat kasta bawah, di samping karena takut jika mereka menganggap tuan tanah dan mereka setara di bidang sosial maka akan menimbulkan sesuatu yang tidak mereka inginkan, seperti dipecat, gajinya dipotong, atau segala macam, sekaligus masyarakat merasa tidak etis jika kaum kasta bawah memosisikan diri setara dengan tuan tanah, berdasarkan etika primordialisme yang disebutkan di atas. Kultur seperti ini akhirnya sedikit demi sedikit meluas dari Jawa ke seluruh masyarakat Indonesia. Disebabkan karena letak sentral Negara Indonesia berada di kawasan Jawa. Pusat pendidikan, pusat perkotaan, serta pusat ibukota Indonesia Indonesia terletak di kawasan Jawa. Secara otomatis masyarakat dari luar Jawa akan terobsesi untuk menjalani aktivitas hidupnya di daerah Jawa, dan secara otomatis pula masyarakat dari luar Jawa tersebut terpengaruh oleh kultur Jawa. Hal itulah yang saya kira dimanfaatkan oleh perpolitikan Orde Baru, sehingga meskipun penguasa berbuat yang bertentangan dengan ideologi demokrasi, masyarakat akan tetap patuh dan tunduk terhadap penguasa tersebut.

Relasi Feodalisme Kuno dan Feodalisme Modern
Seperti yang dikatakan di atas bahwa secara sosial masyarakat masih membeda-bedakan antara kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Etika seperti itu masih tetap melekat hingga pada masyarakat Jawa era modern. Hal ini terbukti jelas di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Banyak masyarakat kasta bawah pedesaan dirugikan oleh aturan-aturan adat tradisional serta hubungan ketergantungan bangsawan dan kasta bawah yang sangat kuat. banyak Bangsawan menjadi jaminan sosial-ekonomi buat kasta-kasta bawah. Hubungan ketergantungan ini membuat kasta bawah hampir tidak pernah menggugat bangsawan. Masalah ini melekat pada budaya tradisional di mana tidak ada pemisahan kekuasaan: bangsawan adalah pemimpin politik, ekonomi sekaligus sosial. Kalau bangsawan diadukan sebagai tokoh politik, ada kemungkinan bahwa mereka sebagai tokoh (penguasa) sosial dan ekonomi membalas dendam terhadap para pengadu. Dengan kata lain, kalau kita sebagai rakyat kasta bawah membantah bangsawan, maka ada risiko bahwa kita tidak dibantu kalau misalnya kita sedang mengalami kesulitan. Akibatnya kita tidak berani untuk menggugat bangsawan tersebut, karena mereka sekaligus pelindung sosial-ekonomi kita.[3] Hal ini jelas karena pengaruh sejarah masa lampau, pada era sekitar tahun 300–1602 M. masyarakat Indonesia secara global di bawah masa parktek kepemimpinan perseorangan atas tanah oleh para bangsawan. Sedangkan masyarakat kecil menjadi budak para bangsawan tersebut. Bagaimana tidak mau jadi budak, karena memang masyarakat mempunyai ketergantungan sosial-ekonomi terhadap para tuan tanah, sekaligus masyarakat masih mempertimbangkan etika tradisional.

Di sisi lain memang benar apa yang dikatakan oleh Abdul Malik, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, bahwa orang Indonesia itu dari dulu memang tidak suka konflik (sabar), sehingga dari kesabaran tersebut orang Indonesia mudah diperalat oleh para elit, baik para elit lokal atau para elit luar. Sehingga ketika colonialisme masuk ke Nusantara, mereka sangat mudah membuat masyarakat Indonesia tunduk terhadapnya. Para penjelajah kolonial ini bekerja sama dengan para bangsawan untuk menggerakkan dan menundukkan masyarakat kasta bawah, maka otomatis hasil kerja keras kasta bawah mengalir ke kolonial dan dibagi hasil dengan bangsawan pemilik tanah.



Oleh karena itu kita sebagai orang-orang yang sadar dengan kegelisahan bangsa kita selama ini agar menggugah para masyarakat yang masih tertidur dengan keadaan ini. Demokrasi sampai mati![]


sumber gambar: pexels.com



[1] M. Dawam Rahardjo, “Neo-Feodalisme dan Demokratisasi Ekonomi” dalam Andito (Tim MAULA) (ed.), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 130.
[2] Ibid, hlm. 145.
[3] Corrie van der Ven, Kepemimpinan: Melampaui Feodalisme dan Primordialisme (Makkasar: Jurnal STT Intim Makassar, 2004), hlm. 36.

Wednesday, March 13, 2013

Cerita Wahyu


Oleh : Imron Haqiqi*

Hari-harinya hampir dihabiskan di kontrakanku. Datang pagi pulang malam, yang dilakukannya hanya bermain komputer, sampai terkadang aku risih dengan kehadirannya, ketika aku sedang membaca novel, hilang semua konsentrasi otakku. Mungkin bagi orang yang belum kenal, ia adalah orang yang aneh. Sebetulnya aku juga merasakan yang sama, namun mungkin karena terlalu sering bersamanya, hingga keanehannya jadi terasa biasa saja.

Dua tahun yang silam aku berkenalan dengan Wahyu. Aku berkeinginan berkenalan dengannya karena kebiasaannya termenung di ujung gang kontrakanku. Ketika aku hendak berangkat dan pulang dari tempat kerja, aku selalu menemukan ia sedang duduk di atas serpihan puing tembok tua, dengan kedua lutut menopang kepalanya, serta matanya yang sayu terkadang menerawang ke ujung tiang listrik, memandangi burung gereja yang sedang berkicauan. Bibirnya melumat-lumat pengait selilit gigi. Aku jadi penasaran untuk mendekatinya, kenapa ia selalu termenung, sendirian pula, apa tidak bosan? Atau mungkin ia punya masalah yang sulit dipecahkan? Nah, maka dari itu aku ingin mengenalnya.

Setelah aku mengenalnya, dan keseringan aku menghampiri tempat dia terdiam di ujung gang, lama-kelamaan aku merasa kasihan pada kebiasaannya yang selalu termenung di ujung gang. Aku menyuruh ia diam di kontrakanku meskipun aku sedang keluar. “Daripada diam sendiran di pinggir gang, lebih baik kamu diam di kontrakanku. Di situ ada komputer, kamu bisa pakai kalau aku sedang kerja, kamu bisa main game, musik, dan nonton film,” kataku waktu itu. Ia mengiyakan dengan isyarat anggukan kepala.  Dari awal aku kenal dengannya, ia lebih banyak diam tanpa berkata, meskipun ketika dikontrakan sedang banyak kawan-kawanku yang bergurau, yang terkadang sampai kelewatan, ia hanya diam, terkadang cuma sedikit senyum.
Setelah beberapa lama ia akrab denganku, ia tidak penah lagi diam di ujung gang, setiap pagi langsung menuju kontrakan dan pulang sampai dini hari. Timbul dalam hatiku pertanyaan tentangnya, apakah ia tidak sekolah? Kalau memang iya, kenapa ia tidak sekolah?. Aku ingin menanyakan hal itu pada Wahyu. tapi setiap aku hendak bertanya, aku ragu, hingga aku harus mengurungkan niatku, tepatnya aku tidak berani. Takut pertanyaanku malah menyinggung perasaannya. namun aku yakin ia pasti mempunyai rahasia yang disembunyikannya dariku, mungkin masalah yang agak besar, yang sulit dipecahkan. Tapi pertanyaan itu lama terus singggah dalam hatiku, seperti menyelimuti, dan selimut itu seperti semakin menebal, hingga gerah rasanya jika terus dibiarkan. Hingga rasanya aku harus mencoba memberanikan diri menanyakan tentang hal tersebut pada Wahyu. Tepat ketika dia habis main game, mungkin capek, dia diam. duduk bersila di depanku, lalu aku menanyakan perihal tersebut. Tapi, ketika aku bertanya, ia hanya sekejap memandang mataku, matanya yang tajam seperti menusuk tepat di mataku. Aku menundukkan wajahku, tersipu. Setelah itu ia juga menundukan wajahnya tanpa meninggalkan satu kata pun.

Lama ia selalu diam di kontrakanku, datang pagi pulang dini hari. aku mulai merasa risih dengan kehadirannya, karena kelakuannya terkadang tak beretika. Dia suka merokok dan puntungnyan di buang sembarangan di lantai. Terkadang suka tidur sekenanya, hingga mau lewat saja aku kesulitan. Apalagi ketika ia main game dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya.

Kemarin ia main game seharian penuh. Pastinya seperti biasa, dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya. Aku perhatikan nampaknya ia sangat beremosi dengan gamenya, tiba-tiba ketika emosinya memuncak, tampaknya ia hampir menang, seketika komputernya mati. Ia mencoba menghidupkan komputer itu lagi berulang-ulang, tapi tetap saja tidak mau hidup. Sepertinya ia sangat kesal. Lalu, tanpa  pamit ia pergi dari kamarku, kebetulan waktu itu di kamarku ada dua orang teman kerjaku, mereka terheran-heran melihat sikap wahyu. aku mencoba mengalihkan perhatian mereka pada obrolan-obrolan kecil, untuk menutupi keanehan Wahyu. Keesokan harinya ia ke kontrakan lagi, tapi ia sepertinya kecewa dan putus asa dengan komputer yang masih mati. Ia diam memencet-mencet hape jadulnya, aku biarkan saja, lalu aku tinggalkan ia sendirian di kamar, aku berangkat kerja,

Setelah aku pulang dari kerja kutemui ia sudah tidak lagi di kamarku, entah kemana, mungkin pulang atau kemana. Ah, aku tak peduli. Aku ingin merebahkan tubuhku di kamar. Aku sangat lelah sekali. Tapi, hendak aku merebahkan tubuhku, tiba-tiba bapak Wahyu datang tergopoh-gopoh mencari wahyu. 

“Wahyu ada di sini, Dek?”

“Tadi pagi dia kesini, Om. Tapi barusan aku pulang dari kampus ia sudah tidak ada di sini. Memangnya dia tidak ada di rumah?”

“Tidak ada, Dek. Waduh, kemana tuh anak?!” Katanya geram. Lalu ia duduk di kamarku, tepat di depanku. Tanpa pengantar, lalu dia berbicara soala wahyu, anaknya. Tepatnya mengeluh.

“Entahlah, Dek. Wahyu itu sangat bandel sekali. Semenjak ibunya meninggal karena penyakit jantung, ia berhenti dari sekolah, dan seketika itu ia berubah, ia jadi anak yang aneh. Entah apa yang ia rasakan. Ia tidak pernah mengatakan pada saya apa sebabnya ia bersikap begitu. setiap harinya ia diam terus. tak pernah bertegur sapa sama saya.” 

“Kenapa tidak dinasehati saja, Pak. Mungkin saja ia bisa mengerti.”

“Berulang kali saya menasehatinya, Dek. Berulang kali saya menanyakan apa sebab ia selalu bersikap begitu, mungkin saya bisa membantunya. Tapi ia tidak pernah mengacuhkan. Ia selalu saja diam setiap saya bertanya.”

Setelah kami selesai mengobrol, lalu bapak wahyu pulang. Tak lama kemudian wahyu datang. Seperti biasa, tanpa sepatah katapun ia berucap. Ia langsung tidur di kamarku, pun tanpa melihat kondisi dan posisi, bagaimana ia seharusnya posisi tidurnya, padahal posisi tidurnya menyulitkan apabila aku mau lewat, tapi ia tidak mengacuhkan sama sekali hal itu. ia langsung saja merebahkan tubuhnya di atas lantai.  Aku terheran-heran melihat sikap wahyu.

Wahyu sudah dua hari dua malam tidur di kamarku, biasanya sebelum komputer rusak dia jarang tidur, terkadang sampai dini hari bermain game. Tapi semenjak komputer tersebut mati ia malah banyak tidur, tanpa mengenal waktu. Memang sengaja aku tidak membawa komputer tersebut ke servis reservaso komputer. Tidak lama kemudian ayahnya datang kembali ke kontrakan saya, kali ini ia seperti seorang yang sedang emosi, seperti orang yang habis kesabaran, ia melangkah cepat, serta mata melotot ke segala arah, tanpa salam ia masuk ke dalam kontrakanku dan langsung membangunkan wahyu yang sedang tidur pulas, dengan kasar dia membangunkan.

“Wahyu, Wahyu, bangun, Yu. Ayo pulang….!!” Katanya sembari menendang-nendang tubuh anaknya. Wahyu dengan lesu bangun dari tidurnya.

“Ayo pulang! Kamu ini dibiarkan tambah melunjak, malah gak pulang-pulang kerumah, kamu kira bapakmu ini siapa? Kok sepertinya keberadaanku tidak dianggap olehmu, apa kamu sudah merasa hebat? Di suruh sekolah tidak mau sekolah, malah keluyuran gak jelas, seperti anak hilang. Kamu sudah berani sama saya ya?” Tampak kesabarannya telah habis. Seketika wajah wahyu pun tampak geram, wajah lesunya hilang sama sekali.

“Pak!” Bentak wahyu. “Apa Bapak tidak sadar kenapa saya bersikap seperti ini? Apakah Bapak belum menyadari semua sikap Bapak selama ini? Saya sudah tahu semuanya, Pak. Sekarang Bapak tidak usah mengelak lagi. Sebab kematian ibu saya sudah tahu semuanya. ibu meninggal bukan karena sakit jantung kan? Ibu meninggal karena sudah direncanakan oleh Bapak, kan? Supaya Bapak lebih leluasa bersenang-senang dengan selingkuhan Bapak, Dan sekarang Bapak sudah berhasil, Bapak sudah membunuh ibu, dan sekarang Bapak leluasa membawa wanita itu ke rumah. Semuanya telah Bapak miliki. Dan sekarang Bapak berkoar-koar sok ingin mengatur saya. Tidak usah bersembunyi di balik itu semua, Pak. Saya sudah tahu semuanya.”

Seketika wajah Bapak wahyu merah padam. seperti baru saja ditampar dengan sangat keras. Tatapannya kosong. Tubuhnya gemetar. 

Yogyakarta, 2012

Imron Haqiqi 
lahir di Lumajang, Jawa Timur. sekarang tinggal di Yogyakarta. Sering bermain-main sambil belajar di Komunitas sastra dan budaya “Masyarakat Bawah Pohon” dan Komunitas “Matapena” Yogyakarta.

sumber gambar: pexels.com

Monday, February 11, 2013

Riwayat Vina


Oleh: Imron Haqiqi*

Bagimana kabarmu, Vin? Aku rindu padamu. Melihatnya aku seperti melihatmu, Vin. Dia mempunyai sifat yang sama sepertimu. Sama-sama wanita yang sabar, periang, dan kuat. Tapi semoga kelak dia tidak mempunyai nasib sepertimu, Vin. Doakan dia semoga dia mempunyai nasib yang lebih baik darimu. Sekarang engkau seperti kembali di tengah-tengah kita. Terkadang aku merasa dia adalah cuplikanmu.

Vin, Tahukah kau, dulu aku salut padamu, bahkan aku sempat iri padamu ketika engkau mengatakan padaku tentang kehidupan. Hidup adalah sebuah perjuangan untuk mencapai suatu tujuan, dan dalam perjuangan harus mempunyai strategi, hingga menimbulkan suatu pilihan. Maka dalam hidup, kau harus memilih untuk mencapai sesuatu yang engkau tuju, katamu. Waktu itu aku terdiam, aku mati kutu ketika engkau berkata seperti itu, seperti kucing yang baru saja tersiram derasnya air hujan. Entah kenapa aku jadi mati kutu ketika kau menasihatiku. Padahal, seharusnya aku yang menasihatimu sebagai laki-laki yang lebih tua. Karena, menurut adat, seorang laki-laki katanya adalah panutan bagi seorang perempuan. Tapi kenapa kali ini justru sebaliknya? Engkau yang lebih banyak menasehatiku. Apakah karena kebodohanku? Ahh, Terserahlah, karena bagiku pribadi, antara laki-laki dan perempuan  sama, dalam ajaran maupun adat belum ada perempuan dilarang menasehati laki-laki. Bagiku jangan melihat siapa yang berkata, tapi apa yang dikatakan. dan sekarang aku sadar bahwa  kau memang benar. Beberapa waktu lalu aku merenunginya.

Saturday, January 26, 2013

Gus Dur


Oleh: Imron Haqiqi*



[Judul: Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid | Penulis: Greg Barton | Penerbit: LKiS |Cetakan: I, 2011 | Tebal: 516 | ISBN: 979-3381-25-6]

Berbicara Gus Dur, terkadang menimbulkan sedikit kecanggungan, karena memang sulit menafsirkan sosok yang satu ini. Gus Dur merupakan sosok yang penuh teka-teki, Sehingga mengakibatkan banyak kontroversi dalam kacamata masyarakat. Tidak jarang dia disalahpahami oleh banyak kalangan. 

Saturday, December 8, 2012

Makanan Mak Marni



Oleh : Imron Haqiqi

Pikiranku terus bergelayut pada cerita Reni tadi pagi, cerita bahwa Marni tetangga sebelahku itu tidak pernah makan. Aku masih tak percaya dengan cerita itu, ingin rasanya aku segera sampai pada waktu yang telah direncanakan oleh Aku dan Reni tadi pagi, ingin cepat memastikan, apa ada manusia selama hidupnya tidak pernah makan, hanya karena nafsu birahinya. Tapi, cerita itu ada kemungkinan benarnya juga, soalnya badan Marni itu kurus sekali. Tapi dia tak pernah terdengar mengeluh kekurangan atau tidak punya uang, bahkan keluar rumah pun dia tak pernah. Mungkin cuma di halaman rumahnya, itu pun cuma menyiram bunga, selain itu tidak. semenjak dia tinggal di sini mulai dua tahun yang lalu Aku juga tidak pernah melihatnya bekerja, Aku tidak tau dia bekerja apa, pun ketika aku bertanya pada warga di wilayah sini, tak satupun dari mereka yang tahu apa pekerjaannya.

Sebenarnya keganjilan tentang Marni tetangga sebelahku itu sudah lama membenak dalam pikiranku, namun, Aku tidak pernah berani melontarkan keganjilan ini kepada siapa pun. Aku takut ketika keganjilan dalam pikiranku ini dilontarkan Aku disangka penyebar fitnah. Kubiarkan keganjilan itu menggenang  dalam fikiranku. “Lagian tidak ada hubungannya denganku,” batinku. Tapi, entah mengapa keganjilan itu seperti burung yang ingin keluar dari sangkarnya, sehingga Aku tak mampu menahannya terus menerus. Kebetulan, tadi pagi Aku ngobrol dengan Reni di beranda rumahku, disela-sela obrolan Aku mencoba memberanikan diri melontarkan keganjilan itu:

“Ren, kira-kira si Marni itu pekerjaannya apa ya? Kok sepertinya dia selama dua tahun tinggal di sini—Aku tidak pernah melihatnya bekerja. Tapi, kulihat pula dia tidak pernah kekurangan.”

“Ya bagaimana mau kekurangan, lawong dia tidak pernah makan,” tukas Reni. Mendengar perkataan itu, seketika aku kaget.

“Maksud kamu?” Lanjutku, penasaran.

“Iya, dia itu memang tidak pernah makan”.

“Ahh, jangan ngawur kamu, mana ada manusia di dunia ini yang tidak pernah makan. Makan, kan, kebutuhan primer manusia.”

“Iya, memang. Dia memang tetap makan, tapi makannya berbeda dengan kita”.

“Maksudmu? Sebentar ren! Aku semakin tidak mengerti perkataanmu ini, kamu jangan ngomongin orang sembarangan ahh! Nanti kamu bisa-bisa kuwalat lo..!! Terus. memangnya dia makan apa kalau memang makannya berbeda sama kita?” Tanyaku masih kebingungan.

“Ya sudah kalau kamu gak percaya, kamu lihat saja sendiri nanti.” Jawabnya, acuh.

“Iya, tapi dia makannya apa?”

“Dia itu makanya bukan nasi layaknya kita, tapi dia makannya sesuatu yang bersifat keintiman. Jadi, dia itu makannya adalah segala sesuatu yang keluar dari alat kelaminnya ataupun yang keluar dari alat kelamin orang lain.”
Semakin Reni menjelaskan semakin aku tidak mengerti. Aku sudah tidak bisa lagi melontarkan kebingungan ini dalam sebuah perkataan. Percuma, dari tadi aku tidak mengerti.

Kutatap mata Reni. Berharap Reni melanjutkan penjelasannya. Reni membalas tatapanku sembari tersenyum.

~***~

Kenapa? Bingung, kan? memang sulit diterima dengan akal, mulanya. Aku juga tidak percaya, kok. Aku memang belum tau kepastiannya, tapi Aku bisa percaya ketika Reno, sepupuku, datang dari Jakarta. Suatu waktu ketika Reno berlibur di rumah, Aku ajak dia jalan-jalan di sekitar kampung ini sambil ngobrol, tepat di depan rumah Marni. Tiba-tiba Reno kaget melihat seorang perempuan yang pakai rok mini serta cuma pakai kaus kutang, kelihatannya dia sedang menyiram bunga di depan rumahnya.

“Mak Marni!” Kata Reno, heran

“Siapa, Ren? Kamu kenal sama dia?”

“Aku tidak kenal sama dia, tapi di jakarta  siapa yang tidak tahu sama dia. Dia dari Jakarta, kan?” Reno balik tanya padaku.

“Iya, dia dari Jakarta.”

“Tidak salah lagi, dia adalah Mak Marni yang jadi buah bibir orang-orang Jakarta.”

“Memangnya dia siapa, Ren? Artis, Pejabat, Pengusaha, atau sebaliknya, dia adalah napi?”

“Bukan, dia bukan salah satu dari itu, tapi dia melebihi dari itu semua. Dia adalah skandal seks paling fenomenal di Jakarta. Menurutnya, seks adalah segalanya. Dia tidak pernah makan. Segala yang keluar dari alat kelaminnya sendiri maupun orang lain adalah makanannya. itulah makanan pokoknya.”

Aku yang mendengar cerita itu merasa jijik, tapi aku tetap diam mendengarkan kelanjutan cerita Reno.

“Dulu ketika suaminya masih hidup, dia makan layaknya kita, nasi. Tapi, ketika suaminya meninggal dia berubah. Dia menjadi skandal seks dan tidak lagi makan nasi. Tapi malah makan sesuatu yang keluar dari alat kelamin. Banyak skandal seks di Jakarta yang menjadi temannya, tapi tak seskandal Mak Marni. Sampai salah satu teman skandalnya bertanya padanya, kenapa Mak Marni sampai seskandal itu. Dia menjawab, ‘Suamiku adalah satu-satunya orang yang paling aku cintai di dunia ini. Dia hebat bercumbu. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa memuaskan nafsu birahiku. Tapi takdir berkata lain, dia lebih dulu meninggalkanku. Maka sejak itulah aku merasa haus dengan seks dan sejak itu pula pula Aku tidak punya nafsu untuk makan. Aku Cuma ingin kepuasan dalam bercumbu, seperti cumbuan suamiku. lebih baik Aku mati karena tidak makan, daripada Aku mati karena tidak ngeseks. Aku merana dengan kehausanku ngeseks dengannya. Entah dia punya kekuatan apa dalam mencumbuku higga Aku tidak bisa lepas dengan cumbuannya. tapi apa boleh buat, dia telah tiada. Akhirnya, demi mempertahankan hidupku, Aku memutuskan untuk mencari kepuasan nafsu birahiku, apapun risikonya. Tapi, setiap laki-laki yang ngeseks denganku tidak ada yang bisa memuaskanku layaknya suamiku, padahal sampai Aku makan  air mani setiap laki-laki yang pernah ngeseks denganku, kulumat-lumat alat kelaminnya, sampai ketika aku makan air mani. Aku selalu mengingat suamiku ketika dia bercumbu denganku, tapi Aku tak pernah merasa puas, cuma sedikit menyembuhkan rasa hausku akan seks. Tapi, tak lama kemudian rasa haus akan seks itu datang lagi, yang mana ketika rasa itu datang mengharuskanku untuk mencari laki-laki yang bisa menyembuhkan.’ Kehausan Mak Marni akan seks terus berkelanjutan. Jika dia membutuhkan seks, dia pasti mencari laki-laki yang bisa menyembuhkannya, tak peduli siapa saja laki-laki itu, pacar siapa, suami siapa, semuanya pasti dirayunya, bahkan suami-suami tetangganya pun dirayu, diajak untuk ngeseks dengannya. Kejadian itu terdengar oleh para istri suami-suami tersebut yang pernah ngeseks dengan Mak Marni. Akhirnya, Mak Marni didemo oleh massa, dituntut untuk segera pergi dari kampung. Rumahnya berantakan dilempari batu, tapi Pak Lurah merasa kasihan sama Mak Marni, karena Pak Lurah tahu bahwa pekerjaan Mak Marni itu memang kebutuhannya. ‘Layaknya kita butuh makan,’ Pak Lurah meyakinkan. Akhirnya, dia masih dikasih kesempatan untuk tinggal di kampung itu, tapi dengan syarat, Mak Marni dilarang mendekati laki-laki disekitar kampung. Mak Marni pun dengan ratapan tangis mengiyakan tawaran Pak Lurah tersebut. Selang beberapa lama, Mak Marni memang tidak pernah mengganggu laki-laki, termasuk laki-laki di kampungnya, bahkan dia tidak pernah keluar rumah. Tapi ternyata salah seorang warga memergoki dia di dalam rumahnya melakukan pekerjaan yang memalukan. Dia onani, dan setelah orgasme, dia menjilatinya dengan menggunakan tangannya. ‘Dia menjilat seperti menjilat kecap,’ tukas salah satu warga tersebut. Berita itu terdengar oleh Pak Lurah dan Pak Lurah merasa kelakuan Mak Marni tersebut sangat keterlaluan. Akhirnya dia diusir dari kampungnya secara tidak hormat. Maka sejak itulah Mak Marni pergi dan menghilang, tak pernah lagi terdengar berita tentangnya, sampai kutemukan dia di sini.”

“Selama di sini apakah dia tidak melakukan seperti yang kuceritakan tadi?” Tanya Reno padaku

“Tidak, dia tidak pernah melakukan itu. Tapi aku kurang tahu juga, soalnya kelihatannya selama dua tahun di sini dia tidak pernah keluar rumah. Paling-paling cuma menyiram bunga setiap pagi,” jawabku

“Ooo…” Reno mengakhiri obrolan. Perjalanan pun kami lanjutkan sampai kerumah.

Mendengar cerita reno tadi, ingin sekali Aku masuk kerumah Marni itu, tapi selama ini aku tidak pernah menemukan waktu yang tepat.

“Bagaimana kalau kapan-kapan kita intip dia sama-sama? Apa yang Dia lakukan di dalan rumahnya.” Ajak Reni padaku.

Aku yang sedari tadi termangu mendengar cerita Reni yang panjang lebar, membuat aku merasa penasaran, dan dengan antusias Aku mengiyakan ajakan Reni tersebut. “Boleh! Boleh! Boleh!” Jawabku senang

~***~

Malam yang kelam tanpa sinar bintang dan rembulan, karena awan mendung menutupi keindahannya, serta anginnya yang berhembus menusuk pori-pori kulit yang kian kering. Jam telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, di mana Aku dan Reni sudah siap untuk mengintip Marni di rumahnya. Menurut kami malam ini adalah waktu yang tepat. Mengendap-ngendap kami memasuki halaman rumah Marni. Sesampainya di belakang rumahnya, secara perlahan kami menyandarkan tangga bambu yang telah kami bawa dari rumah dan menaiki tangga tersebut. Setelah kami berada di atas atap rumah Marni, dengan perlahan  kami membuka satu genting atap tersebut. Kulihat ke dalam melalui lubangnya. “Astaga!!” Aku terkejut melihat Marni yang sedang telanjang bulat dan terlentang di atas ranjangnya, menjilati darah yang keluar dari selangkangannya, serta dengan mata terpejam seperti merasakan kenikmatan dari darah yang dijilatinya. Aku kaget sekali melihat kejadian itu, hingga membuat Aku tak lama kemudian terlentang di atas atap tersebut dan tidak sadarkan diri.

Yogyakarta, 11-11-2012

*Imron Haqiqi
adalah mahasiswa Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

sumber gambar: pexels.com

Monday, August 13, 2012

Ayah

Oleh: Imron Haqiqi*

teronta- ronta kau melangkah
menyusuri semak-semak penuh embun
cangkul di pundakmu
membuat mataku tertatap padamu
seakan bertanya atas apa yang dilihat
seakan terharu atas apa yang dilihat
kutanya pada seluruh alam
namun semua terdiam tanpa kata

tapi
tiba-tiba matahari berbisik
seraya berkata kepadaku
bahwa yang kau lakukan itu untukku
bahwa yang kau lakukan itu untuk masa depanku
seketika aku tersentak dan menangis
sungguh besar pegorbananmu
sungguh besar perjuanganmu
Semoga tuhan meridloimu



*Imron Haqiqi
adalah mahasiswa Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top