Pikiranku terus bergelayut pada cerita Reni tadi pagi, cerita
bahwa Marni tetangga sebelahku itu tidak pernah makan. Aku masih tak percaya
dengan cerita itu, ingin rasanya aku segera sampai pada waktu yang telah
direncanakan oleh Aku dan Reni tadi pagi, ingin cepat memastikan, apa ada
manusia selama hidupnya tidak pernah makan, hanya karena nafsu birahinya. Tapi,
cerita itu ada kemungkinan benarnya juga, soalnya badan Marni itu kurus sekali.
Tapi dia tak pernah terdengar mengeluh kekurangan atau tidak punya uang, bahkan
keluar rumah pun dia tak pernah. Mungkin cuma di halaman rumahnya, itu pun cuma
menyiram bunga, selain itu tidak. semenjak dia tinggal di sini mulai dua tahun
yang lalu Aku juga tidak pernah melihatnya bekerja, Aku tidak tau dia bekerja
apa, pun ketika aku bertanya pada warga di wilayah sini, tak satupun dari
mereka yang tahu apa pekerjaannya.
Sebenarnya keganjilan tentang Marni tetangga sebelahku itu
sudah lama membenak dalam pikiranku, namun, Aku tidak pernah berani melontarkan
keganjilan ini kepada siapa pun. Aku takut ketika keganjilan dalam pikiranku
ini dilontarkan Aku disangka penyebar fitnah. Kubiarkan keganjilan itu
menggenang dalam fikiranku. “Lagian tidak
ada hubungannya denganku,” batinku. Tapi, entah mengapa keganjilan itu seperti
burung yang ingin keluar dari sangkarnya, sehingga Aku tak mampu menahannya
terus menerus. Kebetulan, tadi pagi Aku ngobrol dengan Reni di beranda rumahku,
disela-sela obrolan Aku mencoba memberanikan diri melontarkan keganjilan itu:
“Ren, kira-kira si Marni itu pekerjaannya apa ya? Kok sepertinya dia selama dua tahun tinggal di sini—Aku tidak pernah melihatnya bekerja. Tapi, kulihat pula dia tidak pernah kekurangan.”
“Ya bagaimana mau kekurangan, lawong dia tidak pernah makan,”
tukas Reni. Mendengar perkataan itu, seketika aku kaget.
“Maksud
kamu?” Lanjutku, penasaran.
“Iya, dia itu memang tidak pernah makan”.
“Ahh, jangan ngawur kamu, mana ada manusia di dunia ini yang
tidak pernah makan. Makan, kan, kebutuhan primer manusia.”
“Iya, memang. Dia memang tetap makan, tapi makannya berbeda
dengan kita”.
“Maksudmu? Sebentar ren! Aku semakin tidak mengerti
perkataanmu ini, kamu jangan ngomongin orang sembarangan ahh! Nanti kamu
bisa-bisa kuwalat lo..!! Terus. memangnya dia makan apa kalau memang makannya
berbeda sama kita?” Tanyaku masih kebingungan.
“Ya sudah kalau kamu gak percaya, kamu lihat saja sendiri
nanti.” Jawabnya, acuh.
“Iya, tapi dia makannya apa?”
“Dia itu makanya bukan nasi layaknya kita, tapi dia makannya
sesuatu yang bersifat keintiman. Jadi, dia itu makannya adalah segala sesuatu
yang keluar dari alat kelaminnya ataupun yang keluar dari alat kelamin orang lain.”
Semakin Reni menjelaskan semakin aku tidak mengerti. Aku
sudah tidak bisa lagi melontarkan kebingungan ini dalam sebuah perkataan.
Percuma, dari tadi aku tidak mengerti.
Kutatap mata Reni. Berharap Reni melanjutkan penjelasannya.
Reni membalas tatapanku sembari tersenyum.
~***~
Kenapa? Bingung, kan? memang sulit diterima dengan akal,
mulanya. Aku juga tidak percaya, kok. Aku memang belum tau kepastiannya,
tapi Aku bisa percaya ketika Reno, sepupuku, datang dari Jakarta. Suatu waktu
ketika Reno berlibur di rumah, Aku ajak dia jalan-jalan di sekitar kampung ini
sambil ngobrol, tepat di depan rumah Marni. Tiba-tiba Reno kaget melihat
seorang perempuan yang pakai rok mini serta cuma pakai kaus kutang,
kelihatannya dia sedang menyiram bunga di depan rumahnya.
“Mak Marni!” Kata Reno, heran
“Siapa, Ren? Kamu kenal sama dia?”
“Aku tidak kenal sama dia, tapi di jakarta siapa yang tidak tahu sama dia. Dia dari
Jakarta, kan?” Reno balik tanya padaku.
“Iya, dia dari Jakarta.”
“Tidak salah lagi, dia adalah Mak Marni yang jadi buah bibir
orang-orang Jakarta.”
“Memangnya dia siapa, Ren? Artis, Pejabat, Pengusaha, atau
sebaliknya, dia adalah napi?”
“Bukan, dia bukan salah satu dari itu, tapi dia melebihi
dari itu semua. Dia adalah skandal seks paling fenomenal di Jakarta.
Menurutnya, seks adalah segalanya. Dia tidak pernah makan. Segala yang keluar
dari alat kelaminnya sendiri maupun orang lain adalah makanannya. itulah
makanan pokoknya.”
Aku yang mendengar cerita itu merasa jijik, tapi aku tetap
diam mendengarkan kelanjutan cerita Reno.
“Dulu ketika suaminya masih hidup, dia makan layaknya kita,
nasi. Tapi, ketika suaminya meninggal dia berubah. Dia menjadi skandal seks dan
tidak lagi makan nasi. Tapi malah makan sesuatu yang keluar dari alat kelamin.
Banyak skandal seks di Jakarta yang menjadi temannya, tapi tak seskandal Mak Marni.
Sampai salah satu teman skandalnya bertanya padanya, kenapa Mak Marni sampai
seskandal itu. Dia menjawab, ‘Suamiku adalah satu-satunya orang yang paling aku
cintai di dunia ini. Dia hebat bercumbu. Dia adalah satu-satunya orang yang
bisa memuaskan nafsu birahiku. Tapi takdir berkata lain, dia lebih dulu
meninggalkanku. Maka sejak itulah aku merasa haus dengan seks dan sejak itu
pula pula Aku tidak punya nafsu untuk makan. Aku Cuma ingin kepuasan dalam bercumbu,
seperti cumbuan suamiku. lebih baik Aku mati karena tidak makan, daripada Aku
mati karena tidak ngeseks. Aku merana dengan kehausanku ngeseks dengannya. Entah
dia punya kekuatan apa dalam mencumbuku higga Aku tidak bisa lepas dengan
cumbuannya. tapi apa boleh buat, dia telah tiada. Akhirnya, demi mempertahankan
hidupku, Aku memutuskan untuk mencari kepuasan nafsu birahiku, apapun risikonya.
Tapi, setiap laki-laki yang ngeseks denganku tidak ada yang bisa memuaskanku layaknya
suamiku, padahal sampai Aku makan air
mani setiap laki-laki yang pernah ngeseks denganku, kulumat-lumat alat
kelaminnya, sampai ketika aku makan air mani. Aku selalu mengingat suamiku
ketika dia bercumbu denganku, tapi Aku tak pernah merasa puas, cuma sedikit
menyembuhkan rasa hausku akan seks. Tapi, tak lama kemudian rasa haus akan seks
itu datang lagi, yang mana ketika rasa itu datang mengharuskanku untuk mencari
laki-laki yang bisa menyembuhkan.’ Kehausan Mak Marni akan seks terus
berkelanjutan. Jika dia membutuhkan seks, dia pasti mencari laki-laki yang bisa
menyembuhkannya, tak peduli siapa saja laki-laki itu, pacar siapa, suami siapa,
semuanya pasti dirayunya, bahkan suami-suami tetangganya pun dirayu, diajak
untuk ngeseks dengannya. Kejadian itu terdengar oleh para istri suami-suami
tersebut yang pernah ngeseks dengan Mak Marni. Akhirnya, Mak Marni didemo oleh
massa, dituntut untuk segera pergi dari kampung. Rumahnya berantakan dilempari
batu, tapi Pak Lurah merasa kasihan sama Mak Marni, karena Pak Lurah tahu bahwa
pekerjaan Mak Marni itu memang kebutuhannya. ‘Layaknya kita butuh makan,’ Pak Lurah
meyakinkan. Akhirnya, dia masih dikasih kesempatan untuk tinggal di kampung
itu, tapi dengan syarat, Mak Marni dilarang mendekati laki-laki disekitar
kampung. Mak Marni pun dengan ratapan tangis mengiyakan tawaran Pak Lurah
tersebut. Selang beberapa lama, Mak Marni memang tidak pernah mengganggu
laki-laki, termasuk laki-laki di kampungnya, bahkan dia tidak pernah keluar
rumah. Tapi ternyata salah seorang warga memergoki dia di dalam rumahnya melakukan
pekerjaan yang memalukan. Dia onani, dan setelah orgasme, dia menjilatinya dengan
menggunakan tangannya. ‘Dia menjilat seperti menjilat kecap,’ tukas salah satu
warga tersebut. Berita itu terdengar oleh Pak Lurah dan Pak Lurah merasa
kelakuan Mak Marni tersebut sangat keterlaluan. Akhirnya dia diusir dari
kampungnya secara tidak hormat. Maka sejak itulah Mak Marni pergi dan
menghilang, tak pernah lagi terdengar berita tentangnya, sampai kutemukan dia
di sini.”
“Selama di sini apakah dia tidak melakukan seperti yang
kuceritakan tadi?” Tanya Reno padaku
“Tidak, dia tidak pernah melakukan itu. Tapi aku kurang tahu
juga, soalnya kelihatannya selama dua tahun di sini dia tidak pernah keluar
rumah. Paling-paling cuma menyiram bunga setiap pagi,” jawabku
“Ooo…” Reno mengakhiri obrolan. Perjalanan pun kami
lanjutkan sampai kerumah.
Mendengar cerita reno tadi, ingin sekali Aku masuk kerumah Marni
itu, tapi selama ini aku tidak pernah menemukan waktu yang tepat.
“Bagaimana kalau kapan-kapan kita intip dia sama-sama? Apa
yang Dia lakukan di dalan rumahnya.” Ajak Reni padaku.
Aku yang sedari tadi termangu mendengar cerita Reni yang
panjang lebar, membuat aku merasa penasaran, dan dengan antusias Aku mengiyakan
ajakan Reni tersebut. “Boleh! Boleh! Boleh!” Jawabku senang
~***~
Malam yang kelam tanpa sinar bintang dan rembulan, karena
awan mendung menutupi keindahannya, serta anginnya yang berhembus menusuk
pori-pori kulit yang kian kering. Jam telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari,
di mana Aku dan Reni sudah siap untuk mengintip Marni di rumahnya. Menurut kami
malam ini adalah waktu yang tepat. Mengendap-ngendap kami memasuki halaman
rumah Marni. Sesampainya di belakang rumahnya, secara perlahan kami
menyandarkan tangga bambu yang telah kami bawa dari rumah dan menaiki tangga
tersebut. Setelah kami berada di atas atap rumah Marni, dengan perlahan kami membuka satu genting atap tersebut. Kulihat
ke dalam melalui lubangnya. “Astaga!!” Aku terkejut melihat Marni yang sedang
telanjang bulat dan terlentang di atas ranjangnya, menjilati darah yang keluar
dari selangkangannya, serta dengan mata terpejam seperti merasakan kenikmatan
dari darah yang dijilatinya. Aku kaget sekali melihat kejadian itu, hingga
membuat Aku tak lama kemudian terlentang di atas atap tersebut dan tidak
sadarkan diri.
Yogyakarta, 11-11-2012
*Imron Haqiqi
adalah mahasiswa Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin,
0 komentar:
Post a Comment