Oleh: Muhammad Hilal
Ada seorang kawan yang cukup mahir berbahasa Arab. Dia
menghabiskan masa kecilnya di pesantren, lalu sekolah tinggi di Mesir. Bisa
dibilang, sehari-harinya adalah berbahasa Arab, pasif ataupun aktif.
Kami tidak sering bertemu, hanya di acara kumpul-kumpul
tertentu, di warung kopi, di acara seminar atau workshop, di sebuah resepsi
pernikahan pas sama-sama diundang, atau di acara pertunjukan budaya akhir
pekan. Selebihnya, kami melakukan kesibukan sendiri-sendiri.
Pada saat bertemu dan berkumpul-kumpul, kawan satu ini kadang
menunjukkan kemampuannya berbahasa Arab. Bukan kemampuan cas-cis-cus berbahasa
Arab dengan fasih, bukan pula membaca teks-teks bahasa Arab selancar membaca
koran dalam negeri, melainkan hal-hal unik dari bahasa Timur Tengah ini. Misalnya
dia bercerita tentang etimologi bahasa Arab.
Kawan ini bilang bahwa Bahasa Arab memiliki beberapa
kosakata yang berasal dari satu akar kata. Beberapa kata yang demikian mesti
memiliki kaitan tertentu. Misal, dia menyebut sarîr yang berarti “ranjang”,
kata ini seakar kata dengan surûr (bahagia) dan sir (rahasia)
sekaligus. Kata kawan saya itu, meski ketiga kata ini memiliki pengertian yang
berbeda-beda, namun karena memiliki akar yang sama, mereka sama-sama memiliki hubungan
satu sama lain. Ranjang adalah tempat untuk tidur, semua orang tahu itu. Namun,
ranjang berbeda dari tempat tidur lain (orang bisa saja tidur di atas sofa, di
atas karpet masjid, di kolong jembatan, di atas kendaraan, atau di tempat lain)
sebab pada saat yang sama ia mengandung pengertian “bahagia” dan “rahasia”
sekaligus. Lihat saja, misalnya, pada saat sebuah pasangan anyar melakukan
malam pertama yang sakral, di atas ‘ranjang’ mereka berdua mencicipi ‘bahagia’ dengan
cara yang amat ‘rahasia’.
Di kesempatan lain, dia juga menyebut sebuah akar kata yang
memiliki kata bentukan yang amat banyak, namun dia menjelaskan dengan fasih
bahwa semua itu tetap memiliki hubungan. Akar kata “j-n-n” membentuk banyak
kata bentukan (dia menyebut musytâq untuk kata bentukan) yang macam-macam:
jannah (taman), jinn (jin), junûn (gila), junnah (benteng),
jinân (hati), janîn (embrio).
Jadi, bagaimana kawan saya itu menunjukkan hubungan dari semua kata itu? Dia bilang, akar kata “j-n-n” berarti menutupi. Dari sini dia menjelaskan segalanya, merunutnya satu persatu.
Orang Arab menyebut taman dengan jannah sebab taman
menutupi sinar matahari. Kalau kamu berdiri di tengah-tengah taman yang
rindang, katanya, kau tidak bisa melihat matahari. Taman ‘menutupi’
penglihatanmu dari sinar matahari.
Bahasa Indonesia menyerap kata ‘jin’ dari Bahasa Arab, tentu
saja. Jin adalah makhluk penghuni bumi dan dianggap memiliki akal pikiran, sama
seperti manusia. Makhluk ini tidak disebut manusia sebab ia tidak bisa dilihat
oleh manusia. Mungkin saja makhluk ini ada di sekitar kita, minum kopi juga
ketika kita ngopi, namun ada sesuatu yang
‘menutupi’ penglihatan kita dari makhluk ini, sehingga kita tidak bisa
melihatnya.
Orang Arab menyebut orang gila dengan sebutan majnûn, kata
bendanya junûn. Mereka menyebutnya demikian karena akal sehatnya tidak
bisa dipakai. Ada sesuatu yang ‘menutupi’ aksesnya untuk menggunakan akal
sehatnya secara benar sehingga tindakannya menjadi tidak karuan dan tak bisa
dimengerti.
Lalu, benteng ditunjuk dengan kata junnah. Ini mudah
kita mengerti. Benteng berfungsi untuk menghadang musuh menyerang. Benteng ‘menutupi’
serbuan musuh ke kota di baliknya.
Hati juga ditunjuk dengan kata jinân, ini juga mudah
dipahami. Hati adalah salah satu unsur yang paling misterius dari manusia.
Kebanyakan manusia tidak bisa memahami perangai hati, semacam ada sesuatu yang ‘menutupi’
pemahaman kita darinya. Hati juga ditunjuk dengan kata qalb “li taqallubihî
min hâl ilâ hâl ukhrâ”, kata pepatah Arab, karena hati amat cepat berubah
wataknya, tidak konsisten. Bisa jadi hati sekarang bahagia, tak berapa lama
kemudian lalu berubah jadi sedih, marah, haru, risau, takut, lalu tak lama
kemudian jadi girang lagi. Mungkin, perubahan cepat inilah yang membikin hati
tak mudah dipahami, dan karena karena tidak mudah dipahami lantas ia ditunjuk
dengan sebutan jinân.
Janin sebenarnya adalah manusia juga, hanya saja ia adalah
manusia secara potensial. Artinya, ia masih berupa calon manusia. Dengan proses
biologis yang ajaib, pada saatnya nanti janin akan menjadi manusia utuh. Menusia
potensial ini, kata kawan saya itu, disebut janîn oleh orang Arab karena
keutuhannya masih ‘tertutupi’.
“Perempuan” disebut mar’ah oleh orang Arab, kawan
saya itu tiba-tiba mengganti topik, dari akar kata “r-‘-y” yang berarti “melihat’.
Kata mir’ah (cermin) juga dari akar kata yang sama. Dengan demikian,
kita bisa meraba-raba hubungannya.
Kata mar’ah menyiratkan perangai lelaki dan perempuan
sekaligus, lanjut kawan saya itu. Perempuan disebut mar’ah sebab mereka
senang sekali melihat dirinya dalam cermin, itu sebabnya mirip sekali sebutan mar’ah
dengan mir’ah. Sedang bagaimana lelaki melihat perempuan, entah dengan
sikap genit, intimidatif, hangat, interogatif, menggurui, inferior, ataupun
lain-lain, adalah cerminan bagi sifatnya. Singkat kata, kata mar’ah adalah
mir’ah bagi kaum perempuan dan laki-laki sekaligus.
Ada yang bilang bahwa kata mar’ah berasal dari akar
kata “m-r-‘” yang berarti berguna atau lezat. Tapi, kawan saya itu tidak
melanjutkan ceritanya sebab kami sama-sama harus segera pulang ke rumah
masing-masing.
Di jalan pulang, saya teringat dengan sebutan “laki-laki” bagi orang Arab: rajul.
Kata ini seakar dengan rijl (kaki). Kaki berfungsi
untuk berjalan atau menendang. Apakah ini mencerminkan sifat kaum lelaki yang
suka berjalan-jalan atau suka kekerasan? Mestinya jawabannya tidak sesederhana
itu dan barangkali kawan saya itu bisa menjelaskannya dengan bagus. Tapi mungkin
lain kali akan saya tanyakan padanya, pada saat kami berjumpa kembali.[]
Muhammad Hilal adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM.
0 komentar:
Post a Comment