Oleh: Khozin Badri
Hujan meliukkan tubuhnya. Terpaan angin
membuatnya seakan menari. Dan dedaunan palm di belakang rumahku juga bergoyang.
Aku menyaksikannya dari balik jendela di ruang makan. Suasana yang dingin dan
basah itu pasti ada yg menemaniku--kopi hitam yang masih mengepulkan asap dan
aroma magisnya dan satunya lagi pasti kau sudah tahu.
Ponselku menjerit. Kulihat. Ternyata R, selingkuhan
temanku.
Aku tidak tahu kenapa R menelponku. Aku menjawabnya. R bilang ingin
berselingkuh denganku. Aku kaget dan tersanjung dan terpesona. Suaranya begitu
suci, sangat syahdu, seperti tarian Rumi. Membuatku berputar-putar memasuki
ruang imaji. Seakan aku tak bisa keluar lagi untuk mengatakan tidak akan
ajakannya. Kau tahu aku. Aku tak mungkin lakukan itu. Aku tak suka
perselingkuhan karena perselingkuhan adalah kemunafikan.
Aku mengenalnya seminggu yang lalu di rumah
temanku. Aku harus kesana untuk mengambil novel pinjamanku yang tercecer
seminggu yang lepas. Dan R juga kesana. Sebelum pintu dibuka oleh temanku, aku
dan R sempat berbincang ala kadarnya untuk mengisi jeda karena temanku agak lama
membuka pintu. Dari situ R bilang selingkuhan temanku. Aku percaya karena
setahuku pacar temanku bukan R. Dari obrolan itu pula aku dan R bertukar nomor ponsel.
"Siapa tahu nanti aku memerlukan kamu," kata R. Matanya mengerling.
Aku mengangguk dan tersenyum.
Sehari setelahnya, R mengajakku bertemu.
Aku tidak bisa menolak. "Kamu ada waktu?" Kebetulan aku memang sedang
tidak sibuk. Aku sedang santai. Aku baru selesai menamatkan Kho Ping Hoo
setelah setahun membacanya. Kuliah sedang libur semester.
Ketika kutanya maksudnya, R ketawa.
"Aku ingin mengenal kamu lebih jauh."
"Tujuannya?"
"Jangan terlalu detail karena tidak
semua tujuan mesti diumbar."
R seakan tersinggung. Apakah menurutmu aku
salah? Aku rasa tidak. Tapi, aku setuju dengan R karena terkadang orang-orang
yang suka mengekspos niat baiknya sering tidak sejalan dengan hasil lahirnya.
Kau juga pasti sering lihat orang-orang yang kampanye berteriak-teriak bertujuan
ingin menyejahterakan rakyat kecil. Suaranya sampai serak. Dan akhirnya, mereka
seperti orang berak meninggalkan bau saja. Tapi, jujur saja aku tak nyaman
bertemu dengan R. Bagaimana kalau temanku tahu? Bagaimana juga kalau aku
menjadi suka pada R?
R mengajakku bertemu di sebuah kafe. Ketika
aku sampai, R belum ada di sana. Aku tersenyum kecut karena seakan aku begitu
bersemangat. Aku menjadi curiga pada diriku sendiri. Dan bagaimana kalau R juga
menafsiriku seperti itu. Tentu aku tak bisa menjawabnya. Ruangan kafe tidak
penuh. Di pojok kananku ada perempuan cantik dengan muka yang sembab seperti
baru menangis. Atau sedang menangis? karena matanya masih basah. Mungkin dia
baru putus dari pacarnya. Atau sedang menunggu seseorang yang tak kunjung
datang. Di pojok kiri, ada lelaki setengah baya dengan koran sedang dibacanya.
Mungkin dia itu seorang pejabat yang cerdas atau rajin baca atau hanya karena
sedang membunuh sepi. Bisa juga pekerjaannya membuatnya jenuh. Dan dia ke kafe
untuk mengusirnya. Apakah dia berhasil? Tidak mungkin. Atau bisa jadi dia baru
habis korupsi dan kebingungan takut tersadap K*K. Maklum K*K sedang gencar
memburu pejabat-pejabat yang bukan dari partai penguasa.
Aku melihat ke pojok atas, ada cicak
tertawa mengejek. Siapa? Pasti sedang menertawakan buaya. Aku memesan kopi
hitam. Aku menghirup aromanya. Aromanya saja begitu nikmat. Aku seruput. Pintu
kafe terbuka. R tersenyum. Setelah duduk di hadapan, R melambaikan tangannya
pada pelayan dan meminta kopi hitam. Kuperhatikan R Gerakannya luwes. Cekatan.
Lincah. R berdehem. Aku celingukan refleks karena telah tertangkap basah.
Mungkin wajahku memerah seperti udang goreng. Aku tersenyum semampuku. Senyum R
seperti mengejekku.
"Kuliah jurusan apa?" kuajukan
pertanyaan untuk memalingkan R.
R mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah buku filsafat diletakkan di meja. Nama Karl Mark dapat kubaca.
"Kuliah filsafat?"
R mengiyakan.
"Kamu pasti suka baca." Aku
menatap R dengan tatapan tanya.
"Zarnuji pernah bilang kalau ingin
tahu seseorang lihatlah dengan siapa dia berteman. Dan kamu mengambil bukumu di
rumah pacarku," jelas R.
"Aku tidak tahu siapa Zarnuji."
R meminum kopinya. Aku mengikuti air hitam
itu. Memasuki leher R yang sangat putih. "Berarti kamu enggak pernah
mondok, ya?"
Aku mengangguk. "Kamu santri?"
R tertawa lepas membiarkannya mengganggu
pengunjung lain. Mata-mata memandang kami.
"Aku pernah jadi santri. Selepas SD
orang tuaku berinisiatif memondokkan aku. Enam tahun aku di sana." Aku
menerka pikiranku tentang perubahan dan kebebasan. Aku akui aku memang heran.
"Jangan heran. Perubahan itu bukan
sesuatu yang dosa." Memang. R. benar.
"Tapi kenapa mesti berubah?"
"Kita mesti bebas."
"Kebebasan itu sesuatu tindakan
untuk...."
"Melepaskan diri dari tirani," R.
memotong kalimatku.
Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan
setengah tiga. 20 menit lagi Ashar tiba. "Menarik. Tapi mesti kita
akhiri."
"Aku belum selesai."
"Kita lanjutkan kapan-kapan."
Aku tahu kita mesti bebas dari segala
sesuatu yang tidak benar. Dan kita tidak seharusnya membebaskan diri dari
kebenaran. Dari Allah dan nilai-nilai kebenaran seperti agama. Aku memang tidak
pernah nyantri. Tapi ibuku selalu bilang bahwa jangan sekali-kali aku
meninggalkan salat. Sepintar apapun. Setinggi apapun aku sekolah. Dan R aku
rasa telah membebaskan dirinya sebebas-bebasnya. Tidak apa. Itu baik asal dia
terus memelajari. Terus meneliti dan membandingkan dan merasakan
kebenaran-kebenaran yang dianggapnya telah menelikungnya. Tirani.
R mengajakku selingkuh. R mengajak aku
untuk mengkhianati temanku. Dengan nada terkejut aku menanyainya,
"Bagaimana dengan temanku?"
R di ujung ponselnya cekikikan.
"Santai aja kali. Aku menjadi selingkuhan temanmu dan kamu menjadi
selingkuhan temanmu." R mengatakannya dengan enteng sekali seakan teman
dan menyelingkuhinya itu bukan apa-apa.
"Bisa begitu, ya?"
"Kita ini sudah hidup di negara yang
penuh dengan perselingkuhan."
"Maksudnya?"
"Jangan pura-pura buta. Pemerintah
kita sudah sejak dulu menyelingkuhi rakyat. Menyelingkuhi kita di depan mata
kita." Suara R begitu tinggi. Begitu tegas seakan sedang berorasi.
Mungkin baginya mesti berselingkuh untuk
menumpas perselingkuhan. Untuk membunuh api, bakar sekalian sampai habis, sampai
api tak menemukan lagi yang mau dibakar. Menurutmu bagaimana?[]
sumber gambar: gratisography.com
0 komentar:
Post a Comment