[photo credit: here] |
Oleh: Muhammad Adib
(1)
Nama kitab: Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād.
Pengarang:
Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah al-Ramlī (w. 957 H./1550 M.).
Selesai ditulis:
3 Shafar 940 H./24 Agustus 1533 M.
Penerbit:
Al-Haramayn; Singapura, Jeddah, dan Indonesia.
Tahun terbitan:
Tidak ada keterangan.
Informasi lain:
Edisi cetakan ini terdiri atas tiga kitab, yaitu: (1) Fath
al-Jawād;
dicetak pada bagian atas. (2) Bulūgh al-Murād bi Fath al-Jawād bi
Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād karya Husayn ibn Sulaymān
al-Rasyīdī (w. 1215 H./ 1801 M.)—selesai ditulis pada tanggal 2 Ramadan 1205
H./6 Mei 1791 M; dicetak pada bagian bawah. (3) Beberapa
catatan pendek (taqrīrāt) terhadap kitab Fath al-Jawād
oleh Sulaymān al-Jamal (w. 1204 H./1790 M.); dicetak pada bagian pinggir.
(2)
Kitab yang kita kaji ini bernama Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād yang dikarang oleh Abū al-‘Abbās Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah al-Ramlī yang populer dengan sebutan “al-Ramlī Senior” (al-Ramlī al-Kabīr). Dia adalah ayah dari Syams al-Dīn Muhammad ibn Ahmad al-Ramlī (w. 1004 H./1596 M.), atau “al-Ramlī Yunior” (al-Ramlī al-Shaghīr), salah satu tokoh populer mazhab Syāfi‘ī yang menulis kitab Nihāyah al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj. Tidak ada data yang jelas kapan al-Ramlī Senior dilahirkan. Hanya saja, jika dilihat dari tahun lahir al-Ramlī Yunior, yakni tahun 919 H./1513 M., maka al-Ramlī Senior diperkirakan lahir pada akhir abad ke-9 H./15 M. Sementara terkait dengan wafatnya, tokoh ini diberitakan wafat pada tahun 957 H/1550 M. Jenazahnya dishalati di dalam Masjid al-Azhar kemudian dikebumikan di kawasan Kota Kairo, Mesir.[1]
Nama Fath al-Jawād disebutkan sendiri oleh pengarangnya, yakni al-Ramlī Senior. Hal ini dia tegaskan sendiri pada bagian pendahuluan (muqaddimah) dari kitabnya tersebut.[2]
فهذا تعليق على منظومة الشيخ
... وسميته فتح الجواد بشرح منظومة ابن العماد ...
Dalam khazanah bibliografis mazhab Syāfi‘ī, kitab yang kita kaji ini bukan satu-satunya pemilik
nama Fath al-Jawād. Ada kitab lain bernama serupa yang ditulis
oleh Ibn Hajar al-Haytamī (w. 973 H./1566 M.), seorang ulama terkemuka dalam mazhab Syāfi‘ī yang menulis kitab Tuhfah
al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj.
Nama kitabnya adalah Fath al-Jawād bi Syarh al-Irsyād ‘alā
Matn al-Irsyād yang merupakan komentar (syarh) atas
kitab Irsyād al-Ghāwī fī Masālik al-Hāwī karya Ibn al-Muqrī (w.
837 H./1433 M.). Kitab Irsyād al-Ghāwī sendiri merupakan rangkuman (ikhtishār)
dari sejumlah kitab, terutama al-Hāwī al-Shaghīr karya Najm
al-Dīn ‘Abd al-Ghaffār al-Qazwīnī (w. 665 H./1266 M.).[3]
Kedua tokoh pengarang kitab yang sama-sama bernama Fath al-Jawād
tersebut hidup pada abad yang sama, yakni abad ke-10 H./16 M. Keduanya juga
memiliki hubungan yang erat, yakni sebagai sebagai teman sejawat ketika
sama-sama belajar kepada Abū Zakariyyā al-Anshārī (w. 926 H./1520 M.), pengarang
kitab Fath al-Wahhāb ‘alā Manhaj al-Thullāb. Selain sebagai teman
sejawat, al-Ramlī Senior juga adalah guru pembimbing Ibn Hajar
al-Haytamī, selayaknya santri senior yang membimbing adik kelasnya.[4]
Kitab Fath al-Jawād yang kita kaji ini merupakan komentar (syarh) atas bait-bait syair gubahan Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Dīn ‘Imād al-Aqfahsī (w. 808 H./1405 M.)—populer dengan nama “Ibn al-‘Imād”—yang hidup satu abad sebelum al-Ramlī Senior. Tidak ada keterangan yang pasti apa nama dari bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād ini. Al-Ramlī Senior sendiri, dalam kitab Fath al-Jawād-nya, hanya menyebut nama Manzhūmah Ibn al-‘Imād, sebagaimana telah disinggung di atas. Al-Rasyīdī dan al-Jamal pun, penulis komentar (syarh) dan catatan pendek (taqrīrāt) terhadap kitab Fath al-Jawād, juga tidak menyabut informasi apapun terkait nama yang dimaksud.[5] Hanya saja, Hājī Khalīfah (w. 1068 H./1657 M.), dalam kitab ensiklopedi bibliografisnya yang bernama Kasyf al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn, menyebutnya dengan nama Urjūzah fī al-Najāsāt al-Ma‘fuw ‘anhā yang bermakna “bait-bait syair tentang benda-benda najis yang ditoleransi”.[6]
Bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād ini terdiri atas 190 bait. Irama syair (‘arūdh)-nya memakai bahr al-basīth, yakni pengulangan ketukan ( مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن ) sebanyak dua kali per bait.[7] Irama syair bahr al-basīth ini sama persis dengan syair al-Burdah gubahan al-Būshīrī (w. 688 H./1292 M.). Nada bunyi huruf (harakah) terakhir tiap baitnya pun sama, yakni sama-sama ber-harakah kasrah. Namun, bedanya adalah bahwa jika tiap bait syair gubahan al-Būshīrī diakhiri dengan huruf mīm ( م ) sehingga disebut dengan qashīdah mīmiyyah, maka tiap bait syair gubahan Ibn ‘Imād ini diakhiri dengan huruf hā’ ( ﻫ ) sehingga bisa disebut dengan qashīdah hā’iyyah.
Bait-bait syair ini bukanlah karya satu-satunya dari Ibn al-‘Imād. Sekalipun namanya tidak sepopuler al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.), al-Nawawī (w. 676 H./1277 M.), Ibn Hajar al-Haytamī, ataupun al-Ramlī Yunior, dia sebetulnya termasuk ulama mazhab Syāfi‘ī yang cukup produktif pada masanya. Dia telah menghasilkan sejumlah karya yang sebagian besar berukuran kecil serta mengambil tema-tema spesifik yang barangkali jarang dibayangkan oleh kebanyakan penulis kitab-kitab fikih pada masanya. Sebut saja, misalnya, Raf‘ al-Junāh ‘ammā Huw min al-Mar’ah Mubāh tentang hal-hal yang diperbolehkan bagi perempuan, Tashīl al-Maqāshid li Zuwwār al-Masājid tentang etika pengunjung masjid, al-Qawl al-Tāmm fī Ahkām al-Imām wa al-Ma’mūm tentang aturan teknis imam dan makmum dalam salat berjama‘ah, al-Qawl al-Tāmm fī Dukhūl al-Hammām tentang etiket masuk WC,[8] Ādāb al-Tha‘ām tentang etiket kuliner, dan al-Bayān fī Mā Yahill wa Yahrum min al-Hayawān tentang hewan.[9] Selain itu, dia juga menghasilkan sejumlah karya bidang fikih yang bertema umum. Sebuat saja, misalnya, al-Ta‘līq ‘alā al-Muhimmāt yang merupakan komentar sekaligus kritik korektifnya terhadap kitab al-Muhimmāt ‘alā al-Rawdhah karya Jamāl al-Dīn al-Isnawi (w. 772 H./1370 M.), guru terdekat Ibn al-‘Imād sendiri. Contoh lainnya adalah dua kitab komentar (syarh)-nya atas kitab Minhāj al-Thālibīn karya al-Nawawī, yaitu al-Tawdhīh yang berukuran dua jilid serta al-Bahr al-‘Ajjāj yang berukuran tiga jilid. Kitab syarh yang disebut terakhir sebetulnya hanya sampai pada bab salat berjama‘ah, namun bisa berukuran tiga jilid karena uraiannya dia tambahkan dengan banyak kutipan dari karya al-Nawawi lainnya, semisal al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab.[10]
Tema besar dari bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād yang dikomentari oleh al-Ramlī Senior ini adalah benda-benda najis yang ditoleransi (najāsāt ma‘fuw ‘anhā). Ibn al-‘Imād dalam hal ini menguraikan sebanyak 66 benda atau kasus. Pada bait ke-10 dari syairnya, dia menegaskan seperti ini:[11]
(3)
Kitab Fath al-Jawād yang kita kaji ini merupakan komentar (syarh) atas bait-bait syair gubahan Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Dīn ‘Imād al-Aqfahsī (w. 808 H./1405 M.)—populer dengan nama “Ibn al-‘Imād”—yang hidup satu abad sebelum al-Ramlī Senior. Tidak ada keterangan yang pasti apa nama dari bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād ini. Al-Ramlī Senior sendiri, dalam kitab Fath al-Jawād-nya, hanya menyebut nama Manzhūmah Ibn al-‘Imād, sebagaimana telah disinggung di atas. Al-Rasyīdī dan al-Jamal pun, penulis komentar (syarh) dan catatan pendek (taqrīrāt) terhadap kitab Fath al-Jawād, juga tidak menyabut informasi apapun terkait nama yang dimaksud.[5] Hanya saja, Hājī Khalīfah (w. 1068 H./1657 M.), dalam kitab ensiklopedi bibliografisnya yang bernama Kasyf al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn, menyebutnya dengan nama Urjūzah fī al-Najāsāt al-Ma‘fuw ‘anhā yang bermakna “bait-bait syair tentang benda-benda najis yang ditoleransi”.[6]
Bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād ini terdiri atas 190 bait. Irama syair (‘arūdh)-nya memakai bahr al-basīth, yakni pengulangan ketukan ( مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن ) sebanyak dua kali per bait.[7] Irama syair bahr al-basīth ini sama persis dengan syair al-Burdah gubahan al-Būshīrī (w. 688 H./1292 M.). Nada bunyi huruf (harakah) terakhir tiap baitnya pun sama, yakni sama-sama ber-harakah kasrah. Namun, bedanya adalah bahwa jika tiap bait syair gubahan al-Būshīrī diakhiri dengan huruf mīm ( م ) sehingga disebut dengan qashīdah mīmiyyah, maka tiap bait syair gubahan Ibn ‘Imād ini diakhiri dengan huruf hā’ ( ﻫ ) sehingga bisa disebut dengan qashīdah hā’iyyah.
Bait-bait syair ini bukanlah karya satu-satunya dari Ibn al-‘Imād. Sekalipun namanya tidak sepopuler al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.), al-Nawawī (w. 676 H./1277 M.), Ibn Hajar al-Haytamī, ataupun al-Ramlī Yunior, dia sebetulnya termasuk ulama mazhab Syāfi‘ī yang cukup produktif pada masanya. Dia telah menghasilkan sejumlah karya yang sebagian besar berukuran kecil serta mengambil tema-tema spesifik yang barangkali jarang dibayangkan oleh kebanyakan penulis kitab-kitab fikih pada masanya. Sebut saja, misalnya, Raf‘ al-Junāh ‘ammā Huw min al-Mar’ah Mubāh tentang hal-hal yang diperbolehkan bagi perempuan, Tashīl al-Maqāshid li Zuwwār al-Masājid tentang etika pengunjung masjid, al-Qawl al-Tāmm fī Ahkām al-Imām wa al-Ma’mūm tentang aturan teknis imam dan makmum dalam salat berjama‘ah, al-Qawl al-Tāmm fī Dukhūl al-Hammām tentang etiket masuk WC,[8] Ādāb al-Tha‘ām tentang etiket kuliner, dan al-Bayān fī Mā Yahill wa Yahrum min al-Hayawān tentang hewan.[9] Selain itu, dia juga menghasilkan sejumlah karya bidang fikih yang bertema umum. Sebuat saja, misalnya, al-Ta‘līq ‘alā al-Muhimmāt yang merupakan komentar sekaligus kritik korektifnya terhadap kitab al-Muhimmāt ‘alā al-Rawdhah karya Jamāl al-Dīn al-Isnawi (w. 772 H./1370 M.), guru terdekat Ibn al-‘Imād sendiri. Contoh lainnya adalah dua kitab komentar (syarh)-nya atas kitab Minhāj al-Thālibīn karya al-Nawawī, yaitu al-Tawdhīh yang berukuran dua jilid serta al-Bahr al-‘Ajjāj yang berukuran tiga jilid. Kitab syarh yang disebut terakhir sebetulnya hanya sampai pada bab salat berjama‘ah, namun bisa berukuran tiga jilid karena uraiannya dia tambahkan dengan banyak kutipan dari karya al-Nawawi lainnya, semisal al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab.[10]
(4)
Tema besar dari bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād yang dikomentari oleh al-Ramlī Senior ini adalah benda-benda najis yang ditoleransi (najāsāt ma‘fuw ‘anhā). Ibn al-‘Imād dalam hal ini menguraikan sebanyak 66 benda atau kasus. Pada bait ke-10 dari syairnya, dia menegaskan seperti ini:[11]
ستٌ و ستونَ
يُعفى عنْ نجاسَتِها حالَ الصَّلاةِ بلا غسلٍ لطُهرتهِ
Dalam wacana fikih, benda-benda najis yang
ditoleransi merupakan kategori eksepsional (istitsnā’iyyah) dari
kategori benda-benda najis yang fisibel (najāsāt wāqi‘iyyah atau ‘ayniyyah)[12]
selain kategori benda-benda najis berat (mughallazhah). Sebut saja,
misalnya, air kencing, darah, nanah, dan sebagainya. Benda-benda yang fisibel
selain kategori najis-najis berat ini pada dasarnya berstatus najis, namun
kemudian dianggap suci secara formal (thāhir hukman) berdasarkan
pertimbangan tertentu, semisal ukuran, kadar, atau kesulitan untuk
menghindarinya (masyaqqah al-ihtirāz). Konsekuensinya,
benda-benda ini tidak perlu dibersihkan sekalipun untuk keperluan ibadah-ibadah
ritual (mahdhah) yang mempersyaratkan kesucian fisik dari benda
najis, seperti salat, tawaf, dan khutbah.[13]
Prinsip yang diacu oleh Ibn al-‘Imād terkait dengan perlakukan terhadap benda-benda najis yang ditoleransi adalah kemudahan ajaran Islam. Menurutnya, Islam adalah agama yang serbatoleran, dalam arti mempermudah para pemeluknya dalam melaksanakan ajaran yang dimuatnya. Tidak ada unsur yang memberatkan dalam ajaran Islam, terutama pada kasus tertentu yang sulit dihindari oleh para pemeluknya seperti dalam konteks benda-benda najis yang ditoleransi ini. Dalam konteks ini, Ibn al-‘Imād mengambil posisi moderat (tawassuth) di antara dua sikap ekstrim, yakni (1) terlalu memaksakan diri untuk tetap bersuci dari benda-benda najis yang ditoleransi (tanaththu‘),[14] di mana hal ini, menutur Ibn al-‘Imād, justru merupakan salah satu bentuk kerusakan (nuzghah) yang muncul dari tipu daya setan (makr iblīs); dan (2) ceroboh, dalam arti tidak memperhatikan batasan maksimal dan aturan teknis yang berlaku terkait dengan benda-benda najis yang ditoleransi. Keseluruhan prinsip dan sikap Ibn al-‘Imād tersebut tercermin dari bait ke-4 hingga 8 dari syairnya:[15]
Prinsip yang diacu oleh Ibn al-‘Imād terkait dengan perlakukan terhadap benda-benda najis yang ditoleransi adalah kemudahan ajaran Islam. Menurutnya, Islam adalah agama yang serbatoleran, dalam arti mempermudah para pemeluknya dalam melaksanakan ajaran yang dimuatnya. Tidak ada unsur yang memberatkan dalam ajaran Islam, terutama pada kasus tertentu yang sulit dihindari oleh para pemeluknya seperti dalam konteks benda-benda najis yang ditoleransi ini. Dalam konteks ini, Ibn al-‘Imād mengambil posisi moderat (tawassuth) di antara dua sikap ekstrim, yakni (1) terlalu memaksakan diri untuk tetap bersuci dari benda-benda najis yang ditoleransi (tanaththu‘),[14] di mana hal ini, menutur Ibn al-‘Imād, justru merupakan salah satu bentuk kerusakan (nuzghah) yang muncul dari tipu daya setan (makr iblīs); dan (2) ceroboh, dalam arti tidak memperhatikan batasan maksimal dan aturan teknis yang berlaku terkait dengan benda-benda najis yang ditoleransi. Keseluruhan prinsip dan sikap Ibn al-‘Imād tersebut tercermin dari bait ke-4 hingga 8 dari syairnya:[15]
وللمسيءِ فبشرْ كلَّ أمتهِ
|
|
محمد رحـمة صبت لمحسـننا
|
لطفاً وجوداً على أحيا
خليقتهِ
|
|
لم يجعل اللهُ في ذا الدين من حرجٍ
|
مِنْ مَكْرِ إبليس فاحذر
سوء فتنتهِ
|
|
وما التنطـعُ إلا نـزعةٌ وردتْ
|
أو نصحَ رأيٍ له ترجعْ
بخَيْبَتِهِ
|
|
إن تسـتمعْ قولَه فِيمَا يوسوسهُ
|
دَعِ التَّعمقَ واْحْذَرْ
داءَ نكبتهِ
|
|
والقَصْدُ خيرٌ وخيرُ الأمرِ أوسطهُ
|
Selain prinsip kemudahan ajaran Islam dan sikap
moderat tadi, Ibn al-‘Ìmād juga berpegang teguh kepada asas “praduga tidak
terkena najis”—semakna dengan asas “praduga tidak bersalah”—terkait dengan
status terkena najis suatu benda tertentu. Artinya, suatu benda baru bisa
diputuskan berstatus terkena najis (mutanajjis), jika didasarkan kepada bukti
yang benar-benar otentik dan meyakinkan. Keputusan itu sama sekali tidak bisa
didasarkan kepada dugaan tanpa bukti ataupun keraguan. Selama masih ada alibi
ataupun kemungkinan lain, maka suatu benda tersebut belum bisa diputuskan
terkena najis. Prinsip itu dia ungkapkan dengan kalimat “kita tidak menghukumi
najis atas dasar keraguan” (lā nunajjis bi al-syakk).[16]
Dalam perspektif ushūl al-fiqh, prinsip ini dikenal dengan nalar istishhāb
yang menekankan adanya praduga keberlanjutan kondisi semula (istishhāb
al-hāl fī al-mādhī atau presumption of continuity) sebelum
ada bukti meyakinkan yang membantahnya.[17]
Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Imād adalah kasus ketika ada seekor
kucing yang menjilat sebuah benda, padahal sebelum itu ia makan bangkai serta
menghilang beberapa waktu. Dalam konteks ini, benda yang dijilat kucing tadi
belum bisa dihukumi terkena najis hanya karena dijilat kucing yang terlihat
makan bangkai sebelumnya. Mengapa, sebab setelah makan bangkai, kucing tadi
sempat menghilang beberapa saat. Dalam konteks ini, peristiwa “kucing
menghilang beberapa saat” menciptakan sebuah alibi atau kemungkinan lain.
Selama masa menghilang itu, ada kemungkinan kucing tadi masih sempat minum dari
air yang mengalir atau air yang banyak sekalipun menggenang, sehingga mulut dan
lidahnya sudah tidak berstatus najis lagi ketika menjilat wadah. Dengan adanya
kemungkinan ini, maka peristiwa “baru saja makan bangkai” belum bisa menjadi
bukti yang meyakinkan untuk memutuskan status najis jilatan kucing tadi.[18]
(5)
Apabila dicermati, bait-bait syair karya Ibn al-‘Imād beserta kitab-kitab komentar (syarh)-nya membentuk sebuah “grup kajian” kitab tertentu. Grup tersebut terdiri atas sejumlah ulama yang memiliki minat yang sama untuk menulis ringkasan, komentar, ataupun catatan pendek terhadap kitab tertentu, sekalipun mereka tidak hidup pada era yang sama serta tidak selalu terjalin dalam hubungan guru-murid ataupun teman sejawat. Sebagai ilustrasi, Ibn al-‘Imād (w. 808 H./1405 M.) selaku tokoh utama grup ini, seperti dicatat oleh Hājī Khalīfah (w. 1068 H./1657 M.), diberitakan menulis sebuah kitab komentar (syarh) atas bait-bait syair gubahannya sendiri.[19] Hanya saja, kitab syarh ini barangkali tidak sampai ke tangan kita atau masih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Istanbul, Turki, pada saat Hājī Khalīfah mencatatnya dalam kitab Kasyf al-Zhunūn. Satu abad beriikutnya, bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād di-syarh oleh al-Ramlī Senior (w. 957 H./1550 M.) melalui karyanya yang bernama Fath al-Jawād yang selesai dia tulis pada tahun 940 H./1533. Dengan begitu, bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād sekurang-kurangnya telah di-syarh oleh dua orang.
Beberapa abad setelahnya, tampil tiga orang ulama yang menulis komentar ataupun memberi ragam catatan pendek terhadap kitab Fath al-Jawād karya al-Ramli Senior. Muhammad ibn Sa‘īd ibn ‘Abd al-Qādir al-Dīrī (w. 1194 H./1780 M.) menulis kitab syarh yang dia beri nama Kasyf al-Murād—masih berupa manuskrip yang disimpan oleh Perpustakaan King Saud University, Riyadh, Arab Saudi sejak tahun 1957 (katalog no. 2/1628.G.5527). Sulaymān al-Jamal (w. 1204 H./1790 M.) juga menulis beberapa catatan pendek (taqrīrāt), disusul kemudian oleh Husayn ibn Sulaymān al-Rasyīdī (w. 1215 H./1801 M.) yang menulis kitab hāsyiah yang dia beri nama Bulūgh al-Murād—selesai dia tulis pada tahun 1205 H./1791 M. Pada tahun 2007 yang lalu, Ahmad ‘Alī Muhammad Bāhansya dari Jordan University of Science and Technology berhasil mempertahankan tesis magisternya yang berjudul Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād: Dirāsah wa Tahqīq.
Dalam khazanah mazhab Syāfi‘ī, grup-grup kajian
kitab seperti tergambar di atas menjadi trend keilmuan yang sangat penting.
Trend ini, yang ditandai dengan tradisi menulis ringkasan (ikhtishār),
komentar (syarh), komentar atas komentar (hāsyiah),
ataupun catatan pendek (taqrīrāt), bisa dikatakan menjadi salah satu
penyangga yang penting bagi konservasi dan pengembangan mazhab itu sendiri.
Trend tersebut merepresentasikan adanya kontinuitas transmisi keilmuan dalam
mazhab Syāfi‘ī dari satu generasi ke gerenasi berikutnya. Aaron Spevack (2014)
mencatat lima grup kajian kitab yang menjadi pilar transmisi dan pengembangan
keilmuan di lingkungan mazhab Syāfi‘ī. Lima grup tersebut adalah: (1) grup
kitab al-Tahrīr atau al-Lubāb fī Fiqh al-Syāfi‘ī karya Ahmad al-Mahāmilī
(w. 415 H./1034 M.), (2) grup kitab al-Tanbīh karya Abū Ishāq al-Syīrāzī
(w. 476 H./1083 M.), (3) grup kitab al-Taqrīb atau Ghāyah
al-Ikhtishār karya Abū Syujā‘ al-Ishfahānī (w. 593 H./1196 M.), (4) grup
kitab Minhāj al-Thālibīn karya Muhy al-Dīn al-Nawawī (w. 676 H./1277
M.)—sebagai grup paling besar dibandingkan dengan grup-grup lainnya, dan (5) grup
kitab Qurrah al-‘Ayn karya Zayn al-Dīn al-Malībārī (w. 928 H./1522 M.).[20]
Di luar lima grup tersebut, sebetulnya masih sangat banyak grup-grup lain yang
tidak disebutkan oleh Spevack. Sebut saja, misalnya, grup kitab al-Wajīz
karya Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 505 H./1111 M.), grup kitab al-Muharrar
karya Abū al-Qāsim al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.), grup kitab Irsyād
al-Ghāwī karya Ibn al-Muqrī (w. 837 H./1433 M.), dan grup kitab Manzhūmah
Ibn al-‘Imād sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Hal terpenting yang perlu dipahami dari grup-grup kitab dalam tradisi mazhab Syāfi‘ī di atas adalah adanya kesinambungan (continuity) bibliografis dari generasi paling awal hingga generasi-generasi sesudahnya. Hal ini terlihat dari isi kitab-kitab induk mazhab Syāfi‘ī yang sebetulnya membentuk sebuah mata rantai (silsilah) bibliografis yang berkesinambungan. Mata rantai bibliografis tersebut dimulai dari kitab Nihāyah al-Mathlab fī Dirāyah al-Madzhab karya Imām al-Haramayn al-Juwaynī (w. 478 H./1085 M.). Kitab berukuran besar sebanyak 40 jilid ini[21] merupakan syarh atas kitab al-Mukhtashar karya Ibrāhīm al-Muzanī (w. 264 H./878 M.), salah seorang murid terkemuka Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi‘ī (w. 204 H./820 M.). Uraian panjang kitab ini diperkaya dengan banyak kutipan dan ringkasan dari dua kitab karya al-Syāfi‘ī, yakni al-Umm dan al-Imlā’, serta al-Mukhtashar karya al-Buwaythī (w. 231 H./846 M.) yang juga adalah murid al-Syāfi‘ī.[22] Selain itu, kitab ini juga mengakomodir dua model penulisan kitab fikih dalam mazhab Syāfi‘ī pada abad ke-4 H./abad ke-10 M., yakni, (1) model ulama Irak yang diwakili, misalnya, oleh Abū Hāmid al-Isfirāyīnī (w. 406 H./955 M.) dan al-Qādhī Abū al-Thayyib al-Thabarī (w. 450 H./1070 M.); dan (2) model ulama Khurasan yang dimotori, antara lain, oleh al-Qaffāl al-Shaghīr (w. 417 H./1027 M.), Abū Muhammad al-Juwaynī (w. 404 H./1014 M.)—ayah Imām al-Haramayn sendiri, dan al-Qādhī Husayn (w. 462 H./1072 M.). Itulah sebabnya, Imām al-Haramayn bisa disebut sebagai salah satu pelopor gerakan intelektual yang mempertemukan kedua model penulisan kitab dalam khazanah mazhab Syāfi‘ī pada masa berikutnya.[23]
Kitab Nihāyah al-Mathlab karya Imām al-Haramayn menjadi awal munculnya mata rantai (silsilah) kitab-kitab induk mazhab Syāfi‘ī. Kitab yang berukuran 40 jilid ini diringkas oleh Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 505 H./1111 M.)—salah seorang murid terdekat Imām al-Haramayn sendiri—menjadi kitab al-Basīth yang dia ringkas lagi menjadi kitab al-Wasīth. Kitabnya yang disebut terakhir ini kemudian dia ringkas kembali menjadi kitab al-Wajīz yang berikutnya dia ringkas lagi menjadi kitab al-Khulāshah. Dua abad berikutnya, al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.) menulis sejumlah karya; tiga di antaranya berkaitan erat dengan kitab al-Wajīz karya al-Ghazālī, yakni (1) kitab al-Muharrar sebagai ringkasan (ikhtishār), (2) kitab al-‘Azīz syarh al-Wajīz sebagai syarh yang berukuran besar sehingga juga dikenal dengan nama al-Syarh al-Kabīr, dan (3) kitab syarh yang berukuran lebih kecil sehingga dikenal dengan nama al-Syarh al-Shaghīr. Pada abad yang sama, tampil al-Nawawi (w. 676 H./1277 M.) menulis begitu banyak karya; dua di antaranya berkaitan erat dengan karya-karya al-Rāfi‘ī, yaitu (1) kitab Rawdhah al-Thālibīn yang merupakan ringkasan dari kitab al-‘Azīz, dan (2) kitab Minhāj al-Thālibīn yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar. Selain dua kitab ini, karya lain dari al-Nawawī yang perlu disebut di sini adalah kitab al-Majmū‘ yang merupakan syarh dari kitab al-Muhadzdzab karya Abū Ishāq al-Syīrāzī (w. 476 H./1083 M.), salah seorang guru al-Ghazālī.[24]
Kehadiran al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī menandai adanya perkembangan baru dalam sejarah pemikiran mazhab Syāfi‘ī. Upaya keras kedua tokoh ini dalam menyitir dan menyeleksi (tanqīh) berbagai literatur serta ragam pemikiran dan hasil ijtihad ulama-ulama sebelumnya telah memberikan kemudahan yang begitu berharga bagi ulama-ulama mazhab Syāfi‘ī generasi sesudahnya. Kedua tokoh ini pada akhirnya menjadi dua figur paling otoritatif, sehingga dijuluki sebagai “dua begawan” (syaykhān) dalam mazhab Syāfi‘ī. Beberapa karya dari kedua tokoh ini menjadi grup-grup besar kajian kitab, seperti grup Minhāj al-Thālibīn, grup Rawdhah al-Thālibīn, dan grup al-‘Azīz. Grup-grup ini sudah tentu terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Selain itu, pemikiran kedua tokoh ini juga menjadi rujukan penting bagi kitab-kitab fikih generasi sesudahnya.[25] tidak terkecuali kitab Fath al-Jawād yang sedang kita kaji saat ini. Pada sejumlah bagian dari kitab ini, dijumpai pernyataan-pernyataan yang merujuk kepada pemikiran al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī.
Hal terpenting yang perlu dipahami dari grup-grup kitab dalam tradisi mazhab Syāfi‘ī di atas adalah adanya kesinambungan (continuity) bibliografis dari generasi paling awal hingga generasi-generasi sesudahnya. Hal ini terlihat dari isi kitab-kitab induk mazhab Syāfi‘ī yang sebetulnya membentuk sebuah mata rantai (silsilah) bibliografis yang berkesinambungan. Mata rantai bibliografis tersebut dimulai dari kitab Nihāyah al-Mathlab fī Dirāyah al-Madzhab karya Imām al-Haramayn al-Juwaynī (w. 478 H./1085 M.). Kitab berukuran besar sebanyak 40 jilid ini[21] merupakan syarh atas kitab al-Mukhtashar karya Ibrāhīm al-Muzanī (w. 264 H./878 M.), salah seorang murid terkemuka Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi‘ī (w. 204 H./820 M.). Uraian panjang kitab ini diperkaya dengan banyak kutipan dan ringkasan dari dua kitab karya al-Syāfi‘ī, yakni al-Umm dan al-Imlā’, serta al-Mukhtashar karya al-Buwaythī (w. 231 H./846 M.) yang juga adalah murid al-Syāfi‘ī.[22] Selain itu, kitab ini juga mengakomodir dua model penulisan kitab fikih dalam mazhab Syāfi‘ī pada abad ke-4 H./abad ke-10 M., yakni, (1) model ulama Irak yang diwakili, misalnya, oleh Abū Hāmid al-Isfirāyīnī (w. 406 H./955 M.) dan al-Qādhī Abū al-Thayyib al-Thabarī (w. 450 H./1070 M.); dan (2) model ulama Khurasan yang dimotori, antara lain, oleh al-Qaffāl al-Shaghīr (w. 417 H./1027 M.), Abū Muhammad al-Juwaynī (w. 404 H./1014 M.)—ayah Imām al-Haramayn sendiri, dan al-Qādhī Husayn (w. 462 H./1072 M.). Itulah sebabnya, Imām al-Haramayn bisa disebut sebagai salah satu pelopor gerakan intelektual yang mempertemukan kedua model penulisan kitab dalam khazanah mazhab Syāfi‘ī pada masa berikutnya.[23]
Kitab Nihāyah al-Mathlab karya Imām al-Haramayn menjadi awal munculnya mata rantai (silsilah) kitab-kitab induk mazhab Syāfi‘ī. Kitab yang berukuran 40 jilid ini diringkas oleh Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 505 H./1111 M.)—salah seorang murid terdekat Imām al-Haramayn sendiri—menjadi kitab al-Basīth yang dia ringkas lagi menjadi kitab al-Wasīth. Kitabnya yang disebut terakhir ini kemudian dia ringkas kembali menjadi kitab al-Wajīz yang berikutnya dia ringkas lagi menjadi kitab al-Khulāshah. Dua abad berikutnya, al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.) menulis sejumlah karya; tiga di antaranya berkaitan erat dengan kitab al-Wajīz karya al-Ghazālī, yakni (1) kitab al-Muharrar sebagai ringkasan (ikhtishār), (2) kitab al-‘Azīz syarh al-Wajīz sebagai syarh yang berukuran besar sehingga juga dikenal dengan nama al-Syarh al-Kabīr, dan (3) kitab syarh yang berukuran lebih kecil sehingga dikenal dengan nama al-Syarh al-Shaghīr. Pada abad yang sama, tampil al-Nawawi (w. 676 H./1277 M.) menulis begitu banyak karya; dua di antaranya berkaitan erat dengan karya-karya al-Rāfi‘ī, yaitu (1) kitab Rawdhah al-Thālibīn yang merupakan ringkasan dari kitab al-‘Azīz, dan (2) kitab Minhāj al-Thālibīn yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar. Selain dua kitab ini, karya lain dari al-Nawawī yang perlu disebut di sini adalah kitab al-Majmū‘ yang merupakan syarh dari kitab al-Muhadzdzab karya Abū Ishāq al-Syīrāzī (w. 476 H./1083 M.), salah seorang guru al-Ghazālī.[24]
Kehadiran al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī menandai adanya perkembangan baru dalam sejarah pemikiran mazhab Syāfi‘ī. Upaya keras kedua tokoh ini dalam menyitir dan menyeleksi (tanqīh) berbagai literatur serta ragam pemikiran dan hasil ijtihad ulama-ulama sebelumnya telah memberikan kemudahan yang begitu berharga bagi ulama-ulama mazhab Syāfi‘ī generasi sesudahnya. Kedua tokoh ini pada akhirnya menjadi dua figur paling otoritatif, sehingga dijuluki sebagai “dua begawan” (syaykhān) dalam mazhab Syāfi‘ī. Beberapa karya dari kedua tokoh ini menjadi grup-grup besar kajian kitab, seperti grup Minhāj al-Thālibīn, grup Rawdhah al-Thālibīn, dan grup al-‘Azīz. Grup-grup ini sudah tentu terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Selain itu, pemikiran kedua tokoh ini juga menjadi rujukan penting bagi kitab-kitab fikih generasi sesudahnya.[25] tidak terkecuali kitab Fath al-Jawād yang sedang kita kaji saat ini. Pada sejumlah bagian dari kitab ini, dijumpai pernyataan-pernyataan yang merujuk kepada pemikiran al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī.
Catatan penting lain yang perlu dipahami di sini
adalah bahwa seluruh grup kitab dalam mazhab Syāfi‘ī yang telah disinggung di
atas pada dasarnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Grup-grup tersebut
membentuk—meminjam ungkapan Asma Barlas (2002)—sebuah relasi intertekstualitas
(intertextuality), yakni relasi saling-berkait dalam diri (relationship
within) teks kitab-kitab yang diproduksi dalam satu grup, di satu sisi,
serta relasi saling-bertaut antara (relationship between) teks
kitab-kitab grup yang satu dengan teks kitab-kitab grup lainnya, di sisi yang
lain.[26]
Relasi intertekstualitas ini bisa terjadi karena sejumlah kemungkinan, seperti
adanya keterkaitan isi (content) kitab antara satu grup dengan grup
lainnya, adanya tokoh tertentu yang berperan ganda dalam beberapa grup yang
berbeda, atau juga karena adanya hubungan guru-murid ataupun teman sejawat.
Berikut ini adalah salah ilustrasi yang cukup rumit dari relasi intertekstualitas tersebut. Syams al-Dīn Muhammad al-Ghazzī (w. 808 H./1405 M.) adalah salah satu tokoh grup al-Taqrīb karena menulis kitab Fath al-Qarīb al-Mujīb fī Syarh al-Taqrīb. Tapi dia juga termasuk bagian grup Minhāj al-Thālibīn karena menulis kitab Silāh al-Ihtiyāj fī al-Dzabb ‘an al-Minhāj yang merupakan ringkasan kitab Minhāj al-Thālibīn.[27] Ibn Hajar al-Haytamī (w. 973 H./1566 M.) adalah salah satu tokoh utama grup Minhāj al-Thālibīn karena menulis kitab Tuhfah al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj. Tetapi dia juga termasuk tokoh grup Al-‘Azīz, karena menulis kitab Fath al-Jawād, syarh atas kitab al-Irsyād karya Ibn al-Muqrī (w. 837 H./1433 M.). Kitab al-Irsyād ini memuat rangkuman kitab al-Hāwī al-Shaghīr karya al-Qazwīnī (w. 665 H./1266 M.) yang tidak lain adalah ringkasan dari kitab al-‘Azīz karya al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.).[28] Ibn al-‘Imād (w. 808 H./1405 M.) adalah tokoh utama grup Manzhūmah Ibn al-‘Imād, tetapi juga menjadi bagian dari grup Minhāj al-Thālibīn. Mengapa, karena dia juga menulis kitab al-Tawdhīh dan al-Bahr al-‘Ajjāj.[29] Abū Zakariyyā al-Anshārī (w. 926 H./1520 M.) adalah salah satu tokoh penting dari grup Minhāj al-Thālibīn karena telah meringkas kitab itu menjadi kitab Manhaj al-Thullāb yang kemudian membentuk grup baru. Tetapi dia juga berperan dalam grup Rawdhah al-Thālibīn, karena telah menulis kitab Asnā al-Mathālib, syarh atas kitab Rawdhah al-Thālib karya Ibn al-Muqrī yang merupakan ringkasan dari kitab Rawdhah al-Thālibīn.[30] Selain itu, dia juga adalah guru al-Ramlī Senior (w. 957 H./1550 M.) yang menjadi salah satu tokoh penting grup Manzhūmah Ibn al-‘Imād serta juga guru Ibn Hajar al-Haytamī. Semua itu masih belum ditambah dengan bentuk relasi intertekstualitas lain, di mana al-Ghazzī, Ibn al-‘Imād, Ibn al-Muqrī, Abū Zakariyyā al-Anshārī, Ibn Hajar al-Haytamī, dan al-Ramlī Senior dalam karya-karya mereka banyak mengutip pendapat-pendapat al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī.
Apa yang tersaji dalam tulisan ini hanyalah sekedar contoh bagaimana kita sebaiknya membaca kitab kuning. Dari sini kita bisa memahami bahwa membaca kitab kuning tidak cukup hanya dengan membaca teks kata per kata dan menemukan makna (murād)-nya. Untuk orientasi pengamalan secara praktis (al-‘amal), pembacaan seperti itu mungkin telah dirasa cukup. Tetapi orientasi itu tentu saja harus dilengkapi dengan orientasi pengembangan keilmuan. Kitab kuning adalah bagian dari khazanah keislaman yang tidak hanya harus dilestarikan semata, tetapi juga harus dikembangkan secara terus-menerus. Orientasi ini baru bisa berjalan dengan semestinya jika dilakukan dengan model pembacaan yang tepat. Salah satunya adalah pembacaan terhadap tema penting yang dikandung dalam kitab kuning berikut relasi intertekstualitasnya dengan teks-teks kitab kuning lainnya. Pembacaan seperti ini tentu akan semakin bermakna, jika ditambah dengan kajian terhadap ekstratekstualitas (latar sosiohistoris) di balik penulisan kitab kuning itu sendiri. Aspek ini barangkali yang belum dilakukan secara serius oleh tulisan ini, mengingat keterbatasan dan kesempitan waktu.
Uraian dalam tulisan ini tentu masih jauh dari memuaskan. Kekurangan dan kesalahan juga sangat mungkin bisa dijumpai dalam tulisan ini. Adalah hak dan kewajiban para pembaca dan penulis sendiri di waktu mendatang untuk menyempurnakannya. Tetapi segala kekurangan ini tentu sama sekali tidak mengurangi harapan akan manfaat tulisan ini bagi siapa saja yang membacanya, betapapun kecil adanya. Manfaat yang dimaksud bukan hanya berupa pemahaman para pembaca terhadap substansi pemikiran dalam kitab Fath al-Jawād berikut aspek relasi intertekstualitasnya semata. Manfaat lebih besar yang menjadi harapan penulis adalah munculnya motivasi dari para pembaca untuk melakukan kajian serupa atau bahkan lebih baik lagi. Bagaimanapun juga, khazanah keilmuan pesantren bisa diibaratkan seperti bumi Nusantara yang kekayaannya nyaris tidak berbatas. Jika kita kelola dengan cara yang tepat dan berkesinambungan, maka ia akan memberi kita sumber penghidupan dan kesejahteraan yang tidak ada habisnya. Tetapi jika kelola dengan cara yang salah atau bahkan kita abaikan, maka ia tidak akan memberi apa-apa kepada kita atau bahkan mungkin akan dicuri oleh orang lain.
Semoga bermanfaat. Amin.
Berikut ini adalah salah ilustrasi yang cukup rumit dari relasi intertekstualitas tersebut. Syams al-Dīn Muhammad al-Ghazzī (w. 808 H./1405 M.) adalah salah satu tokoh grup al-Taqrīb karena menulis kitab Fath al-Qarīb al-Mujīb fī Syarh al-Taqrīb. Tapi dia juga termasuk bagian grup Minhāj al-Thālibīn karena menulis kitab Silāh al-Ihtiyāj fī al-Dzabb ‘an al-Minhāj yang merupakan ringkasan kitab Minhāj al-Thālibīn.[27] Ibn Hajar al-Haytamī (w. 973 H./1566 M.) adalah salah satu tokoh utama grup Minhāj al-Thālibīn karena menulis kitab Tuhfah al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj. Tetapi dia juga termasuk tokoh grup Al-‘Azīz, karena menulis kitab Fath al-Jawād, syarh atas kitab al-Irsyād karya Ibn al-Muqrī (w. 837 H./1433 M.). Kitab al-Irsyād ini memuat rangkuman kitab al-Hāwī al-Shaghīr karya al-Qazwīnī (w. 665 H./1266 M.) yang tidak lain adalah ringkasan dari kitab al-‘Azīz karya al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.).[28] Ibn al-‘Imād (w. 808 H./1405 M.) adalah tokoh utama grup Manzhūmah Ibn al-‘Imād, tetapi juga menjadi bagian dari grup Minhāj al-Thālibīn. Mengapa, karena dia juga menulis kitab al-Tawdhīh dan al-Bahr al-‘Ajjāj.[29] Abū Zakariyyā al-Anshārī (w. 926 H./1520 M.) adalah salah satu tokoh penting dari grup Minhāj al-Thālibīn karena telah meringkas kitab itu menjadi kitab Manhaj al-Thullāb yang kemudian membentuk grup baru. Tetapi dia juga berperan dalam grup Rawdhah al-Thālibīn, karena telah menulis kitab Asnā al-Mathālib, syarh atas kitab Rawdhah al-Thālib karya Ibn al-Muqrī yang merupakan ringkasan dari kitab Rawdhah al-Thālibīn.[30] Selain itu, dia juga adalah guru al-Ramlī Senior (w. 957 H./1550 M.) yang menjadi salah satu tokoh penting grup Manzhūmah Ibn al-‘Imād serta juga guru Ibn Hajar al-Haytamī. Semua itu masih belum ditambah dengan bentuk relasi intertekstualitas lain, di mana al-Ghazzī, Ibn al-‘Imād, Ibn al-Muqrī, Abū Zakariyyā al-Anshārī, Ibn Hajar al-Haytamī, dan al-Ramlī Senior dalam karya-karya mereka banyak mengutip pendapat-pendapat al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī.
(6)
Apa yang tersaji dalam tulisan ini hanyalah sekedar contoh bagaimana kita sebaiknya membaca kitab kuning. Dari sini kita bisa memahami bahwa membaca kitab kuning tidak cukup hanya dengan membaca teks kata per kata dan menemukan makna (murād)-nya. Untuk orientasi pengamalan secara praktis (al-‘amal), pembacaan seperti itu mungkin telah dirasa cukup. Tetapi orientasi itu tentu saja harus dilengkapi dengan orientasi pengembangan keilmuan. Kitab kuning adalah bagian dari khazanah keislaman yang tidak hanya harus dilestarikan semata, tetapi juga harus dikembangkan secara terus-menerus. Orientasi ini baru bisa berjalan dengan semestinya jika dilakukan dengan model pembacaan yang tepat. Salah satunya adalah pembacaan terhadap tema penting yang dikandung dalam kitab kuning berikut relasi intertekstualitasnya dengan teks-teks kitab kuning lainnya. Pembacaan seperti ini tentu akan semakin bermakna, jika ditambah dengan kajian terhadap ekstratekstualitas (latar sosiohistoris) di balik penulisan kitab kuning itu sendiri. Aspek ini barangkali yang belum dilakukan secara serius oleh tulisan ini, mengingat keterbatasan dan kesempitan waktu.
Uraian dalam tulisan ini tentu masih jauh dari memuaskan. Kekurangan dan kesalahan juga sangat mungkin bisa dijumpai dalam tulisan ini. Adalah hak dan kewajiban para pembaca dan penulis sendiri di waktu mendatang untuk menyempurnakannya. Tetapi segala kekurangan ini tentu sama sekali tidak mengurangi harapan akan manfaat tulisan ini bagi siapa saja yang membacanya, betapapun kecil adanya. Manfaat yang dimaksud bukan hanya berupa pemahaman para pembaca terhadap substansi pemikiran dalam kitab Fath al-Jawād berikut aspek relasi intertekstualitasnya semata. Manfaat lebih besar yang menjadi harapan penulis adalah munculnya motivasi dari para pembaca untuk melakukan kajian serupa atau bahkan lebih baik lagi. Bagaimanapun juga, khazanah keilmuan pesantren bisa diibaratkan seperti bumi Nusantara yang kekayaannya nyaris tidak berbatas. Jika kita kelola dengan cara yang tepat dan berkesinambungan, maka ia akan memberi kita sumber penghidupan dan kesejahteraan yang tidak ada habisnya. Tetapi jika kelola dengan cara yang salah atau bahkan kita abaikan, maka ia tidak akan memberi apa-apa kepada kita atau bahkan mungkin akan dicuri oleh orang lain.
Semoga bermanfaat. Amin.
Wallāhu a‘lam bis-shawāb.
Yogyakarta, 13 Juni 2015.
REFERENSI
Al-Ahdal, Sayyid
Ahmad. Sullam al-Muta‘allim al-Muhāj ilā Ma‘rifah Rumūz
al-Minhāj. Naskah tidak diterbitkan.
Astītī, Mihnad
Fu’ād. “Kutub Fiqh al-Syāfi‘iyyah”. Majallah al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah li
al-Dirāsāt al-Islāmiyyah. Vol. 10, no. 1, Januari 2012. Hlm. 111-145.
Barlas, Asma. Believing
Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Ctk. I.
Texas: The University of Texas Press, 2002.
Hallaq, Wael B. A
History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunnī Uṣūl
al-Fiqh.
Ctk. II. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.
Http://www.ar.wikipedia.com.
Artikel “Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Aqfahsī”. Akses tanggal 11
Juni 2015.
Al-Husaynī,
Taqy al-Dīn ibn Muhammad. Kifāyah al-Akhyār fī Hall Ghāyah
al-Ikhtishār. Eisi digital. Beirut: Dār al-Kotob al-Ilmiyah, 2001.
Ibn Hajar
al-Haytamī. Hāsyiah Fath al-Jawād. Dicetak bersama: idem, Fath
al-Jawād bi Syarh al-Irsyād ‘alā Matn al-Irsyād. Juz I. Ctk. I. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.
Ibn al-‘Imād al-Hanbalī,
Abū al-Falāh ‘Abd al-Hayy. Syadzrāt al-Dzahab fī Akhbār Man
Dhahab. jilid VIII. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Jamal, Sulaymān.
Taqrīrāt. Dicetak bersama: Al-Ramlī, Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah.
Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Singapura,
Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn, t.t.
Khalīfah, Hājī.
Kasyf al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn. Jilid I dan II. Beirut:
Dār Ihyā’ al-Turāts al-‘Arabī, 1941.
Al-Kurānī, ‘Abd
al-Hāmīd ibn Shālih. “Minhāj al-Thālibīn li al-Imām al-Nawawī:
Ahammiyyatuh wa Manzilatuh wa Manhajuh wa Syurūhuh”. Multaqā
al-Madzāhib al-Fiqhiyyah wa al-Dirāsāt al-‘Ilmiyyah.
Muhammad,
‘Alī Jumu‘ah. Al-Madkhal ilā Dirāsah al-Madzāhib al-Fiqhiyyah. Ctk. IV.
Kairo: Dār al-Salām, 2012.
Al-Qawāsimī,
Akram Yūsuf ‘Umar. Al-Madkhal ilā Madzhab al-Imām al-Syāfi‘ī. Ctk. I.
Oman: Dār al-Nafā’is, 2003.
Al-Ramlī, Syihāb
al-Dīn Ahmad ibn Hamzah. Fath al-Jawād bi Syarh
Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn,
t.t.
Al-Rasyīdī, Husayn
ibn Sulaymān. Bulūgh al-Murād bi Fath al-Jawād bi Syarh
Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Dicetak bersama: Al-Ramlī, Syihāb al-Dīn Ahmad
ibn Hamzah. Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn
al-‘Imād. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn, t.t.
Spevack, Aaron. The
Archetypal Sunnī Scholar: Law, Theology, and Mysticism in the Synthesis of
al-Bājūrī. Edisi digital. New York: SUNNY Press, 2014.
Al-Zuhāylī,
Wahbah.
Ushūl al-Fiqh al-Islāmī. Jilid II. Ctk. I. Damaskus: Dār al-Fikr li
al-Thibā‘ah wa al-Tawzī‘ wa al-Nasyr, 1986.
[1]
Abū
al-Falāh ‘Abd al-Hayy ibn al-‘Imād al-Hanbalī, Syadzrāt
al-Dzahab fī Akhbār Man Dhahab, jilid VIII (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.),
halaman 316.
[2] Syihāb al-Dīn Ahmad
ibn Hamzah al-Ramlī, Fath
al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād (Singapura, Jeddah, dan
Indonesia: al-Haramayn, t.t.), hlm. 3-4.
[3]
Penjelasan
sekilas tentang profil bibliografis kitab al-Irsyād karya Ibn al-Muqrī
ini disebutkan oleh: Ibn Hajar al-Haytamī, Hāsyiah Fath
al-Jawād, dicetak bersama: idem, Fath al-Jawād bi Syarh
al-Irsyād ‘alā Matn al-Irsyād, juz I, ctk. I (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), hlm. 16.
[4] Ibn al-‘Imād al-Hanbalī,
Syadzrāt., jilid VIII, hlm. 170.
[5]
Al-Rasyīdī,
Hāsyiah; al-Jamal, Taqrīrāt; dicetak bersama: al-Ramli, Fath.,
hlm. 4.
[6]
Hājī Khalīfah, Kasyf
al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn, jilid I (Beirut: Dār Ihyā’
al-Turāts al-‘Arabī, 1941), hlm. 63. Secara garis besar, kata “Urjūzah”
yang dicatat oleh Hājī Khalīfah dan kata “Manzhūmah” yang ditulis
oleh al-Ramlī Senior memiliki makna yang sama, yakni “bait-bait syair”.
[7]
Al-Rasyīdī,
Hāsyiah, dicetak bersama: al-Ramli, Fath., hlm. 3.
[8]
Khalīfah,
Kasyf., jilid I hlm. 408, 910; ibid., jilid II, hlm. 1363.
[9]
Http://www.ar.wikipedia.com,
artikel “Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Aqfahsī” (akses tanggal 11
Juni 2015).
[10] Khalīfah,
Kasyf., jilid II, hlm. 1874 dan 1915.
[11] Al-Ramli, Fath.,
hlm. 12.
[12]
Tolok
ukur dari kategori benda-benda najis yang fisibel biasanya ditentukan oleh
bentuk berikut salah satu dari tiga sifat yang melekat padanya, yakni warna (lawn),
bau (rīh), dan rasa (tha‘m).
[13] Al-Rasyīdī,
Hāsyiah; al-Jamal, Taqrīrāt; dicetak bersama: al-Ramli, Fath.,
hlm. 12; Taqy al-Dīn ibn Muhammad al-Husaynī, Kifāyah
al-Akhyār fī Hall Ghāyah al-Ikhtishār, edisi digital (Beirut: Dār
al-Kotob al-Ilmiyah, 2001), hlm. 142.
[14] Al-Ramli,
Fath., hlm. 10. Al-Jamal menyebutnya dengan istilah “sikap
ekstrim dalam bersuci” (al-tasydīd fī al-thahārah). Lihat: al-Jamal, Taqrīrāt;
dicetak bersama: ibid., hlm. 10.
[15] Al-Ramli, Fath.,
hlm. 12.
[16]
Ibid., hlm. 38.
[17]
Wahbah al-Zuhāylī, Ushūl
al-Fiqh al-Islāmī, jilid II, ctk. I (Damaskus: Dār al-Fikr li al-Thibā‘ah
wa al-Tawzī‘ wa al-Nasyr, 1986), hlm. 867; Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunnī Uṣūl al-Fiqh, ctk. II
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
hlm. 113-115.
[18]
Al-Ramli,
Fath., hlm. 38.
[19]
Khalīfah,
Kasyf., jilid I hlm. 63.
[20]
Aaron
Spevack, The Archetypal Sunnī Scholar: Law, Theology, and Mysticism in the
Synthesis of al-Bājūrī, edisi digital (New York: SUNNY Press, 2014), hlm.
72-73. Lima grup tersebut diuraikan oleh Spevack dalam rangka menelusuri akar
genealogis pemikiran fikih, teologi, dan tasawuf Ibrāhīm al-Bājūrī (w. 1277
H./1861 M.).
[21]
Khalīfah,
Kasyf., jilid II hlm. 1990;
[22]
‘Alī
Jumu‘ah Muhammad, al-Madkhal ilā Dirāsah al-Madzāhib al-Fiqhiyyah,
ctk. IV (Kairo: Dār al-Salām, 2012), hlm. 67.
[23]
Akram
Yūsuf ‘Umar al-Qawāsimī, al-Madkhal ilā Madzhab al-Imām al-Syāfi‘ī, ctk.
I (Oman: Dār al-Nafā’is, 2003), hlm. 348. Ulama-ulama lain dari mazhab Syāfi‘ī
yang mengikuti jejak Imām al-Haramayn, di antaranya, adalah al-Syīrāzī,
al-Ghazālī, al-Rāfi‘ī, dan al-Nawawī.
[24]
Ibid., hlm. 378-379; ‘Alī
Jumu‘ah, al-Madkhal., hlm. 68. Hanya saja, al-Nawawī hanya sempat
menulis syarh ini hingga bab riba, karena keburu wafat. Penulisan
kitab ini kemudian diteruskan oleh Taqy al-Dīn al-Subkī (w. 756 H./1355 M.) dan
disempurnakan oleh Zayn al-Dīn al-‘Irāqī (w. 806 H./1403 M.). Lihat: Khalīfah, Kasyf.,
jilid II hlm. 1913.
[25]
Al-Qawāsimī,
al-Madkhal., hlm. 380. Namun demikian, di antara kedua tokoh ini,
al-Nawawī dipandang lebih otoritatif daripada al-Rāfi‘ī. Terkiat dengan hal
ini, baca: Mihnad Fu’ād Astītī, “Kutub Fiqh al-Syāfi‘iyyah”, Majallah
al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah li al-Dirāsāt al-Islāmiyyah, vol. 10, no. 1,
Januari 2012, hlm. 111-145; Sayyid Ahmad al-Ahdal, Sullam
al-Muta‘allim al-Muhāj ilā Ma‘rifah Rumūz al-Minhāj, naskah tidak
diterbitkan; ‘Abd al-Hāmīd ibn Shālih al-Kurānī, “Minhāj
al-Thālibīn li al-Imām al-Nawawī: Ahammiyyatuh wa Manzilatuh wa Manhajuh wa
Syurūhuh”, Multaqā al-Madzāhib al-Fiqhiyyah wa al-Dirāsāt
al-‘Ilmiyyah.
[26]
Asma
Barlas, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of
the Qur’an, ctk. I (Texas: The University of Texas Press, 2002), hlm. 26.
[27]
Khalīfah,
Kasyf., jilid II hlm. 1873.
[28]
‘Alī
Jumu‘ah, al-Madkhal., hlm. 79-80.
[29] Khalīfah,
Kasyf., jilid II, hlm. 1874 dan 1915.
0 komentar:
Post a Comment