Monday, May 2, 2016

Eka Kurniawan

11:35 PM


Oleh: Irham Thoriq

Suatu ketika Eka Kurniawan membaca sebuah koran lokal. Eka mendapati berita yang menurutnya menarik. Berita tersebut tentang tempat penitipan sepeda motor, di tempat itu banyak sepeda motor yang ditinggal pemiliknya bertahun-tahun.”Bahkan ada yang dua tahun, tidak tahu kemana itu pemiliknya,” kata Eka ketika mengisi kuliah tamu di Universitas Negeri Malang (UM), Kamis (21/4) lalu.

Eka melanjutkan, ketika membaca koran dia senang membaca berita kecil yang ada di halaman dalam. ”Kalau berita utama tentang Jokowi atau Ahok, mendengarkan obrolan tetangga juga bisa,” kata Eka disambut tawa para audiens.

Eka hendak menjelaskan kalau cerita memang bisa dilahirkan dari kejadian sehari-hari yang sederhana. Dari hal kecil itu, ketika diramu bisa menjadi cerita yang menarik. ”Berita seperti penitipan sepeda motor itu kan menimbulkan pertanyaan kemana orangnya, dari situ bisa kita dalami untuk menjadi cerita,” imbuhnya.

Lalu Eka bercerita tentang buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Corat-Coret di Toilet. Eka memberi judul salah satu cerita pendeknya seperti itu karena terinspirasi dari banyaknya corat-coret di toilet umum. Dan yang membuatnya tertarik, corat-coret itu menyambung satu sama lain, padahal yang buat bukan satu orang.

Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., yang menjadi moderator bertanya, kenapa dia selalu mengambil cerita-cerita sederhana dengan latar Indonesia. Padahal, Eka beberapa kali pernah ke luar negeri, di antaranya ketika dia menjadi salah satu penulis yang dibawa pemerintah dalam Frankfurt Book Fair. Saat itu, Indonesia menjadi tamu kehormatan.

Eka menjawab kalau dia ingin mengenalkan Indonesia dan juga kehidupan orang-orangnya. ”Itu saja mungkin alasannya kenapa saya bercerita dengan latar Indonesia.”

****

Saya membaca karya-karya Eka Kurniawan baru-baru saja, meski dia sudah menerbitkan novel pertamanya berjudul Cantik Itu Luka pada 2002 silam. Dari karya-karyanya, saya menyimpulkan kalau cerita Eka memang bermula dari hal-hal sederhana. Novel O yang sedang saya baca misalnya, hanya bercerita tentang monyet yang menjadi tokoh utama.

Monyet itu bernama O. Dia harus bersusah payah meladeni kemauan sang pawang monyet untuk berakrobat di Jalanan Jakarta. Uang hasil jerih payah O itu lalu dibuat mabuk-mabukan oleh sang pawang.

Meski tokoh utamanya adalah Monyet, Novel O sebenarnya bukan melulu cerita tentang fabel. Membaca novel ini saya justru sadar kalau hewan kadang lebih manusiawi daripada manusia. O, meski selalu dipecuti oleh pawangnya, pada momen-momen tertentu O merasa kasihan dengan pawangnya. Semisal ketika sang pawang tiba-tiba diam, atau ketika teler habis menenggak minuman keras.

Pada salah satu gumamnya, O mengatakan kalau kehidupan Jakarta sangat keras. Orang hidup hanya untuk saling memakan satu sama lain. Dan itu menurut saya sangat manusia sekali. Jakarta memang keras, dan karena kekerasan itu orang terbiasa berlaku tidak manusiawi. Saling memakan dan menerkam satu sama lain.

Karena novel yang memukau itu, ketika tahu Eka Kurniawan menghadiri dua acara di Malang, saya usahakan untuk datang ke dua acara tersebut. Di sela-sela acara, saya membeli novelnya yang lain berjudul Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas. Lagi-lagi, ceritanya sederhana. Pada pembuka novel ini, Eka menulis tentang seseorang yang tidak bisa ngaceng atau kemaluannya tidak bisa berdiri. ”Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. Begitu pembuka itu, yang memikat dan tentu saja memancing rasa penasaran.

***

Nama Eka Kurniawan belakang memang menjadi buah bibir. Pada Maret lalu, Eka mendapatkan penghargaan World Reader’s Award yang disponsori oleh Hong Kong Science and Technology Parks Corporation. Sebelumnya, dia masuk nominasi The Man Booker International Prize. Dalam nominasi ini, Eka bersaing dengan penulis kenamaan di dunia, salah satunya sastrawan asal Turki yang pernah meraih nobel sastra, Orhan Pamuk.

Karena inilah, ketika pada kuliah tamu tersebut saya diberi kesempatan bertanya, saya menyatakan kalau tahun ini adalah tahun Eka. Lantaran, tahun lalu nama penulis yang ramai dibicarakan adalah Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori. Keduanya menjadi bintang dalam Frankfurt Book Fair 2015 karena buku keduanya membahas isu kesewenang-wenangan negara terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia). Isu ini sedang hangat di Jerman, karena negara ini pernah punya sejarah kelam yang sama.

Waktu itu saya bertanya tentang proses Eka dalam melakukan riset sebelum menulis. Dia menjawab, dari kisah sederhana itu biasanya dia kembangkan sendiri. Dalam novel O misalnya, dia tertarik setelah anaknya suka pertunjukan topeng monyet. Dari situlah lantas dia kembangkan menjadi cerita.

Eka juga mengatakan kalau dalam menulis sebenarnya kita hanya mengembangkan apa yang pernah kita lihat, kita alami dan juga yang pernah kita baca. Karena inilah, untuk menghasilkan karya bagus orang harus banyak membaca, juga harus mengasah rasa keingin tahuan.

Karena inilah, Eka menyampaikan kalau dia lebih banyak membaca daripada menulis. Dia membaca setiap hari, tapi tidak menulis setiap hari.”Tidak mungkin saya menulis tiap hari, saya menulis kalau perlu menulis saja,” kata dia.”Ketika kuliah, saya sering bolos hanya untuk baca novel,” imbuhnya, kali ini disambut ger-geran para peserta.

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com

Sumber gambar:

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top