Oleh: Abdurrahman Said*
Dasar awal terpenting
dalam meniti kehidupan fana di dunia adalah memiliki suatu kemampuan untuk
mengetahui dan mengerti esensi eksistensi kehidupan itu sendiri, sehingga
siapapun yang diberikan kesempatan untuk menghirupnya harus dapat menyadari
makna di balik misteri "besar" keberadaannya saat ini. Apa, di mana, ke
mana, untuk apa, dari mana? Semuanya memerlukan jawaban
yang jelas dan dapat dimengerti, karena kehidupan tanpanya akan menjadi muram,
gelap dan tidak dapat dimengerti.
Inilah yang kemudian
menjadi "modal dasar terpenting" dalam membangun kehidupan, baik
personal maupun komunal. Tidak ada yang dapat melawan sengatan-sengatan listrik dalam otaknya yang
kemudian mengsinergikan semua kemampuan indranya untuk mencari tahu apa yang
sedang terjadi padanya, suatu kemampuan dasar yang dengan rahmat Allah, telah
dimiliki manusia sadar dari sejak keberadaannya dalam dunia ini. Kesadaran
inilah yang mungkin kemudian mendorong Al-Ghazali
mengawali karya besarnya Ihyâ' Ulûm
ad-Dîn dengan pembahasan analisis manajemen pendidikan.
Analisis pertama
Iqra' adalah gambaran paling jelas tentang pentingnya mengasah kembali kemampuan
itu. Wahyu pertama yang turun di masa kegelapan jahiliah itulah yang kemudian
membangun manusia manjadi manusia. Ayat ini yang kemudian banyak diinterpretasikan oleh as-syâri‘ dalam berbagai bentuk.
Al-Ghazali hanya mampu
mengungkapkan sebagian kecil dari bentuk-bentuk itu, namun bila dicermati,
bagian kecil yang kemudian menjadi bahan analisisnya itu harus dituangkan dalam
tiga sub judul; fadlîlah al-‘Ilm, fadlîlah at-Ta‘allum dan fadlîlah at-Ta‘lîm.
Analisis kedua
Dengan modal pertama
yang berupa bahan dasar tentang pentingnya Ilmu, belajar dan mengamalkan, yang
diambil dari dua sumber tasyrû‘ utama: Alqran dan hadis, akan dengan mudah muncul pertanyaan besar, ilmu apa yang wajib ditekuni? Ilmu Agama? Apa itu? Yang mana Ilmu Agama dan
yang mana yang bukan? harus ada pembatasan dari kata Ilmu yang begitu universal
cakupannya. Namun pembatasan itu juga harus realistis tanpa melukai syar‘.
Al-Ghazali, yang sudah
malang melintang dalam lautan Ilmu, menekuni berbagai bidang Ilmu, jenis dan
macamnya sudah ada di kepalanya saat menulis
"Kitab" ini. Sastra lughah, Teologi,
Hukum, Filsafat dan terakhir Tasawuf, masing-masing bidang telah ditekuninya
dari A sampai Z, tanpa berhenti sampai diakui sebagai Ahlinya. Kesimpulannya ia
adalah seorang Teolog, Faqih, Filosof sekaligus Sufi yang kemudian dengan tegas
memberikan pembatasan yang cukup "radikal" namun realistis tentang
Ilmu.
Menurutnya, tidak
semua Ilmu wajib dipelajari, bahkan tidak semuanya boleh ditekuni, ada beberapa
disiplin Ilmu yang harus dibatasi untuk mempelajarinya, bahkan tidak boleh sama
sekali. Ini berarti Ilmu terbagi menjadi dua kelompok besar: Ilmu baik (mahmûdah)
dan Ilmu tidak baik (madzmûmah). Kelompok pertama, Ilmu baik, adalah
Ilmu yang harus dipelajari (fardl ‘ain), atau baik untuk dipelajari atau
hanya boleh untuk dipelajari (fardl kifâyah). Tingkatan seperti ini yang
kemudian dipaparkan Al-Ghazali, yang kesemuanya tergantung pada kebutuhan
setiap person.
Kebutuhan pokok pertama
dan utama setiap yang hidup adalah berkeyakinan atau berakidah, maka Ilmu
pertama yang harus dipelajari adalah mempelajari dua kalimat Syahâdah, mengerti esensinya secara utuh walaupun tanpa mengetahui
bukti atau dalilnya. Ilmu ini akan membawa manusia pada mengenal siapa dirinya,
dari mana, untuk apa dan akan kemana? Meyakini diri sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta yang Satu, diciptakan untuk mengemban amanat,
yang dengannya akan membawa kebahagiaan atau kesengsaraan baginya, dan pasti kemudian
ia akan kembali pada-Nya.
Setelah meyakini dan
menyadari hal itu, maka kebutuhan pokok kedua adalah mengetahui apa sebenarnya amanat
yang sedang diembannya? Amanat itu adalah menjalankan risâlah,
yang isinya mencakup segala "aturan"
berkehidupan, individu atau komunitas. Mengatur
pelaksanaan segala "hak" berkehidupan, hak Tuhannya dan/atau sesamanya.
Setelah kedua
kebutuhan pokok terpenuhi, maka kebutuhan yang lainnya hanya sebatas boleh
untuk dipelajari, bila ada keyakinan ada orang lain yang telah memenuhinya, dan
tidak terlarang untuk mempelajarinya di mata syar‘. Artinya, Ilmu yang terlarang (madzmûmah) adalah Ilmu yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan kebutuhan did alamnya untuk kemudian harus
atau perlu dipelajari, atau bahkan merugikan, atau hanya karena adanya larangan
semata dari Syar‘.
Analisis ketiga
Dari paparan di atas,
maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa kurikulum yang disusun Al-Ghazali
tidak berbeda dengan "kurikulum" yang dibangun Nabi Muhammad saw.
dalam penyebaran risâlah. Mulai dari penanaman Aqidah pada
awal-awal bi‘tsah, sampai pada era penyusunan hukum, di mana penetapan
hukum selalu melalui adanya kebutuhan-kebutuhan baru (baca: sebab).
Urutan-urutan
globalnya sebagai berikut:
1. Teologi
2. Hukum wajib dan haram
3. Hukum lainnya
4. Akhlak dan Tasawwuf
5. Pengetahuan umum
Selain Teologi, tentunya
harus dipelajari secara gradual menurut kebutuhan setiap person, hukum mana
yang harus segera dilaksanakan dan mana yang berikutnya. Tidak semua hukum
wajib kemudian harus dipelajari secara langsung. Al-Ghazali memberikan contoh:
kewajiban zakat, akan menjadi wajib untuk dipelajari, bila telah berkewajiban
untuk melaksanakan kewajiban itu. Artinya, hukum itu menjadi wajib untuk
dipelajari, tergantung pada posisi setiap person akan kebutuhan atas
pengetahuannya mengenai suatu hukum untuk kemudian dapat dilaksanakan. Ini
berarti setiap spesifikasi suatu bidang ilmu akan menjadi terdepan dalam urutan
Kurikulum Al-Ghazali, disesuaikan dengan mendesaknya kebutuhan akan Ilmu itu,
yang muncul atas satu person tertentu.
Wa-Llahu a’lam.
*Dosen STAI Al-Qolam Putat Lor
Gondanglegi Malang.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Amanah edisi ke-1.
0 komentar:
Post a Comment