Saturday, October 24, 2015

Pagiku, Tungku

5:50 PM

Pagiku, apa kabar kawan?
Bagaimana negerimu, apa sudah bangkit?

Aku dengar negerimu sudah merdeka sejak puluhan tahun yang lalu
Saat negerimu punya pemimpin Bung Karno

Sekarang, Aku tak percaya lagi kawan
Cobalah kau buka jendela dan tengok

penjajahan gedung-gedung asing masih mencakar di langit biru
Jual beli pulau, masih menjadi tradisi di negerimu

Negerimu masih dijajah oleh tambang-tambang ketamakan
Negerimu masih butuh uang dengan menjual gadis-gadis rupawan

Negerimu masih menjadi buruh pengedar dan lumbung narkoba
Negerimu, yang kau sembah menyembah pada penjajah dan mafia.

Teriak keras negerimu di 17 Agustus "Merdeka"
Hanya untuk menutupi keputusasaan mereka

Pagiku, sudahkah kau baca surat kabar?
Di koran tertulis, negeri tersubur dan aman adalah negerimu

Tapi kudengar, berbagai agama memberontak atas nama negerimu
Berbagai kepentingan sudah mengadu domba tetanggamu

Teriak kafir, menjadi nyanyian baru para jelata dan cendekiawan
Merenggut sejahtera yang sempat lestari di berbagai belahan
Kawan, bertindaklah, cegah mereka, dan katakan "kita, satu tuhan"

Pagiku, kau selalu bernyanyi "negeriku negeri yang elok"

Berbagai Suku berbaris dalam kesatuan bahasa
Ragam budaya mewarnai setiap pelosok bangsa
Adat istiadat menjadi pembeda antar suku bangsa

Pagiku, kau kesiangan kawan

Suku yang kau banggakan, telah habis terkikis oleh penebang hutan
Budayamu pun telah hilang di keramaian bule-bule telanjang
Dan adat bangsamu berubah wujud menjadi binatang jalang

Tapi bukan salahmu kawan, kau hanya pagi yang lugu

Seumpama penanak nasi kau hanya tungku
Pemimpin kitalah yang menjadi kayu

Tapi sayang, Api nasionalisme mati dalam kayu semangat juang mereka
Hanya asap yang keluar, mengaburkan kekayaan mereka

Mereka enggan berbicara angka kemiskinan
Mereka hanya mengandalkan TKI sebagai jawaban

Mereka tak perduli bagaimana rakyat bekerja
Mereka pura-pura tak melihat rakyat yang sengsara

Bahkan bagi mereka, kau sebagai tungku hanya sebuah masalah berat
"Kau," bentak mereka, "buat apa memikul beban rakyat?!"

Ketamakan mereka ditutupi dengan kebijakan-kebijakan usang
Sabar, sabar dan tunggu terlalu sering mereka dendangkan

Gila tahta, hobi korupsi telah membutakan hati mereka
Atas Kesabaranmu, keuletanmu, kedermawananmu dan keberaniamu yang perkasa

Kepada siapa kau akan mengadu kawan?

Satrio piningit yang kau tunggu, telah
diadopsi
Berdoalah, semoga kemerdekaan yang sesungguhnya tak sekadar opini.

Ahmad Nilam
23 Oktober, berkawan dengan pagi.

Sumber Gambar:

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top