Oleh: Muhammad Madarik
Tetapi kini,
ia melangkah di gang sempit rumah-rumah kumuh.
Saat matahari mulai menyiratkan sinar jingganya, ia menghela nafas
panjang.
Kepala mulai tertunduk.
Fikiran kian kalut dan badannya tampak lusuh.
Di penghujung jalan panjang ini dia merasa bimbang.
Entah kemana kaki ini diayunkan.
Penggalan puisi ini adalah bagian dari bait-bait sebelum akhir
dalam karya yang dibuat oleh penulis sendiri. Susunan kalimat-kalimat di atas
menggambarkan sesosok mahasiswa yang mengalami kondisi terbalik dari sejuta
angan yang memenuhi alam pikirannya saat benar-benar berbaju aktivis. Setumpuk
rencana, program dan kegiatan seakan melengkapi tampilannya yang disebut
"pemuda idealis". Keterlibatannya di dalam berbagai peran dan
keikutsertaan, seperti mematri pribadinya tampil sebagai generasi pegiat.
Gelora darah muda mengalir begitu kencang di dalam dirinya, sehingga tak
sedikit kegiatan diikuti dan bahkan seringkali menjadi bagian penyelenggaranya.
Kalimat-kalimat yang diungkapkan selalu saja dihiasi dengan kata-kata populer
lagaknya kaum terpelajar yang ilmiah dan cendikia. Belum cukup buku-buku tebal
dengan judul keren selalu diapit, tas melingkar pun di tubuhnya menambah prestise
dia sebagai mahasiswa.
Pandai bersilat lidah ketika muncul di forum kelas, diskusi
komunitas atau di manapun debat-debat terjadi merupakan ajang ekspresi diri.
Dominasinya di atas rata-rata audiens kentara sekali menjadi sebuah bukti bahwa
ia mahasiswa yang suka melontarkan wacana. Referensi dari para ahli menjadi
cara kreatif di tengah-tengah sekian pendengar, walau terkadang ia sendiri tak
begitu paham sumber aslinya. Alih-alih membuat mengerti sejawat, diri sendiri
saja acapkali berulang memaknai apa yang dilontarkan dari mulutnya.
Demam panggung terlihat juga dalam dirinya ketika berada di mimbar
bebas. Berkoar-koar di depan gedung lembaga negara, instansi, turun ke jalan
atau malah di halaman kampusnya dengan mengusung dan menyuarakan aspirasi semua
lapisan serta berdalih demi kepentingan umum.
Tentu terdapat hikmah di balik segala sesuatu. Profil mahasiswa
demikian itu, dengan mudah membuat banyak dosen mengenal pribadinya bahkan
namanya seringkali disebut di berbagai kesempatan, meskipun terkadang sosoknya
menjadi "korban" sasaran tudingan dari segala macam peristiwa dan
kejadian yang meletup walau sejatinya sama sekali ia bukan tokoh di belakang
layar apalagi tampil sebagai korlap (koordinator lapangan). Bagi tipe mahasiswa
yang seperti dia, disadari betul bahwa kondisi itu merupakan risiko pergerakan
yang harus terima, suka ataupun tidak.
Dalam hal finansial, perilaku dari mahasiswa model ini yang paling
lumrah ialah ia akan tampil sebagai pribadi yang royal; menyuguhkan dan memberi
hal-hal yang ia memiliki tanpa berpikir panjang, tetapi ia gampang menganggap
nalar dan prinsip pertemanan dalam keuangan para sahabat tidak jauh berbeda
dengan dirinya, yaitu milikku adalah kepunyaanmu juga, sebagaimana kau jangan
enggan memberi seperti aku tidak segan-segan menampik permintaanmu. Pada titik
ini, pelajar pergurun tinggi semacam ini supel berdekatan dengan siapapun,
jaringan pergaulannya tanpa batas dan sekat, dan biasanya tak pernah kehabisan
amunisi di manapun berada.
Belum lagi soal pencarian dana untuk membiayai penyelenggaraan
sebuah kegiatan, anak muda ini cukup jago bila dipasrahi mengais rupiah.
Proposal akan dia buat dengan segala macam administrasi yang diperlukan; mulai
dari seluruh kebutuhan tanda tangan, nama-nama dalam struktur kepanitiaan,
mengetahui siapa-siapa saja sampai stempel yang akan dijadikan cap dalam surat
permohonan beserta lampirannya. Walhasil, aktivis ini sangat piawai menyusun
lembaran proposal, menyebarkan sekaligus menagihnya. Ia memang lihai melakoni
peran "mengemis terhormat".
Meskipun mahasiswa tipe ini cukup gesit di dalam dinamika dan aktinitas
kegiatan di berbagai organisasi, bukan berarti ia tidak cukup lincah memancing
tangan cewek untuk digandeng. Memang, pada soal percintaan, gelagat agresif
tidak begitu tampak dalam dirinya tak seperti gaya mahasiswa yang kehidupannya
hanya melingkar di antara ruang kelas dan kamar kos belaka. Cuma sebab
mobilitas yang begitu tinggi di dalam berbagai kegiatan saja yang menyebabkan
urusan asmara tak terlalu dihiraukan.
Entah kemana kaki ini diayunkan.
Sekelumit potongan puisi ini menutup tulisan penulis. Sepenggal
puisi ini mengabstrakkan sejuta rasa yang berkecamuk dalam diri seorang
mahasiswa yang digambarkan dalam puisi tersebut. Kebimbangan, keresahan,
kegelisahan, kegamangan dan beragam perasaan menumpuk di dalam pikirannya.
Upacara wisuda yang dia ikuti membuka aliran rasa galau semakin deras dalam
kalbunya. Satu pertanyaan yang meluap: "Kemanakah diri ini?" tak
mampu untuk dijawab oleh dirinya sendiri.
Rupanya problematika dan tantangan yang mencuat di tengah
lingkungan masyarakat belum pernah dibayangkan sebelumnya. Orang-orang desa
asalnya hanya menagih dia agar tahlilan, dan yasinan di jam'iyah kampung,
selametan tujuh, empat puluh hari serta acara haul dia pimpin, khotmil quran
dia fatihah, salat lima waktu diimami, dan pada khutbah Jumat ia turut mengisi.
Cukup sederhana tuntutan mereka, tetapi jebolan perguruan tinggi itu menjadi
kelimpungan karena bekal ke arah itu kurang memadai. Ternyata segudang
pengalaman berorganisasi tak bisa lagi dibuat kebanggaan diri, gelar sarjana
hanya menjelma sebagai imbuhan nama asli, dan selembar ijasah cuma berguna
sebagai kertas penghias di lemari. Kini, pemuda yang konon katanya kaum
terpelajar, mahasiswa idealis, dan aktivis organisasi itu benar-benar menjadi
sosok genarasi yang belum temukan jati diri.[]
sumber gambar: bestpracticesconstructionlaw.com
Jadi muncul pertanyaan "kalo gt, apa yg saya perjuangkan? Saya harus jadi mahasiswa yg kaya gmn?"
ReplyDeletebtw, tulisannya bagus :)
Itulah pencarian identitas. Asalkan tidak berhenti belajar, saya rasa akan selalu ada perbaikan diri. Trims banyak sudah berkunjung... :)
DeleteJadi muncul pertanyaan "kalo gt, apa yg saya perjuangkan? Saya harus jadi mahasiswa yg kaya gmn?"
ReplyDeletebtw, tulisannya bagus :)