Thursday, October 6, 2016

Seandainya Saya Anies Baswedan

5:44 PM

anies_baswedan

Oleh: Irham Thoriq

Sekitar tiga tahun lalu, dalam sebuah perjalanan ke Papua Barat, seorang dosen Universitas Negeri Malang (UM) ngerasani Anies Baswedan. Dia beranggapan kalau program Indonesia Mengajar hanya dijadikan ajang pecitraan Anies.

Dia lalu menggerutu kalau program yang dia ikut urus yakni Program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) kalah pamor dengan Indonesia mengajar. Padahal, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) sudah mengucurkan ratusan miliar untuk mengirim sarjana ke tapal batas untuk program SM3T.

Tapi tetap saja, yang lebih dikenal Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan. Sedangkan SM3T tidak banyak orang yang tahu. Saya yang ketika itu liputan, baru tahu program SM3T ketika dosen ini menjelaskan di perjalanan. Lalu, percakapan tentang Anies Baswedan hilang begitu saja. Setelah itu kita fokus pada medan curam, jalan bergerojal dan hutan yang lebat untuk sampai ke Papua Barat, tempat peserta SM3T mengajar.

Anies Baswedan beberapa tahun belakangan memang menjadi akademisi yang amat terkenal. Mula-mula dia menjadi rektor termuda pada usia 38 tahun di Universitas Paramadina. Kampus yang tidak lebih besar dari Universitas Islam Malang (Unisma) ini terkenal saya kira selain pengaruh Nurcholish Madjid sebagai pendiri, juga karena Anies.

Lalu dia mendirikan Indonesia Mengajar. Sebuah program mulia yang disokong banyak perusahaan besar. Nama Anies kian melambung hingga dia menjadi peserta konvensi calon Presiden Partai Demokrat. Saya kira, dia satu-satunya peserta konvensi dari unsur dosen. Kau tahu, amat sulit dosen yang jumlahnya ratusan ribu se-Indonesia untuk bisa eksis di dunia perpolitikan, bukan? Selain jarang dosen yang terkenal, butuh beratus-ratus tahun dosen mengumpulkan uang dari gaji mereka untuk bisa ‘membeli’ kendaraan politik. Tapi Anies mendobrak ketidakmungkinan itu meski akhirnya dia gagal di konvensi.

Setelah beberapa bulan lalu Anies diberhentikan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lantas orang bertanya-tanya. Kemanakah karir orang yang sedari muda karier-nya menjulang ini. Dari media, saya baca Anies masih belum kembali ke kampus untuk menjadi dosen.
Saya kira masa ketika Anies diberhentikan dari menteri adalah masa yang sulit baginya. Nama Anies sudah terlanjur terkenal, cita-citanya sudah terlanjur tinggi, dan sejak muda kariernya bagus. Maka ketika hanya kembali ke kampus menjadi dosen mungkin banyak orang yang akan bertanya-tanya. Anies sendiri saya kira juga akan heran terhadap dirinya sendiri, kok bisa kariernya seperti roller coaster: habis menukik lalu menghujam kebawah.

Ditengah kegalauan inilah, Anies lantas menerima tawaran menjadi calon Gubenur DKI Jakarta. Anies menolak menjadi Wakil Gubenur mendampingi Sandiaga Uno. Saya menebak alasannya sama kenapa dia menolak menjadi wakil, yakni karena namanya sudah terlanjur terkenal dan cita-cita sudah amat tinggi.

Pada Pilkada DKI inilah setidaknya kita bisa bercermin kalau politik ternyata menjadi muara dari aneka macam profesi. Anies yang berangkat dari akademisi, pada muaranya menjadi politisi. Dia sempat menjadi bakal calon presiden, dan menjadi calon gubenur.

Karena memilih jalan politik, maka Anies harus berdamai dengan rival-rival politiknya di Pilpres 2014. Kita tahu, pada Pilpres lalu Anies menjadi juru bicara Jokowi dan Jusuf Kalla, dan kini Anies bergabung dengan Prabowo yang waktu itu menjadi lawan Jokowi.

Lalu, Agus Harimurti Yudhoyono yang diprediksi mempunyai karir militer bagus, juga bermuara pada politik. Dan juga wakil Agus, Sylviana Murni yang birokrat dan juga profesor, petualangan hidupnya juga berakhir di politik. Karena semuanya berakhir di politik, entah ini patut kita syukuri atau tidak, atau ini menunjukan kalau orang semakin tak percaya dengan politikus didikan partai politik.

Pada pilkada ini kita semakin yakin kalau politik boleh tidak masuk akal. Sebenarnya bergabungnya Ahok yang dielu-elukan sebagai Gubenur bersih, agak sedikit tidak masuk akal berkoalisi dengan partai yang dipimpin ‘papa minta saham’. Sebelumya, Ahok mundur dari Gerindra karena partai ini mendukung pilkada tidak langsung. Dan celakanya, seperti masuk ke dalam jurang, Ahok masuk ke jurang yang lebih busuk. Karena mendukung pilkada tidak langsung lebih mulia dibanding meminta saham ke perusahaan asing.

Tapi itulah politik, boleh tidak masuk akal. Anies bergabung dengan Prabowo juga tidak masuk akal. Anies yang ikut Pilkada setelah sebelumnya nyalon presiden juga sedikit tidak masuk akal. Yang masuk akal saya kira cuman satu, yakni PKS tidak berkoalisi dengan Ahok.

Lalu, bagaimana kalau kita menjadi Anies Baswedan? apakah tawaran menjadi calon gubenur akan diterima? atau tetap konsisten menjadi akademisi?

Saya kira kalau semua diantara kita diberi kepercayaan menjadi Anies Baswedan, kita akan sulit. Tawaran dari partai politik terlalu menggiurkan karena menjadi Gubenur DKI sebagaimana kata Ahok, jabatannya setara dengan menteri. Bedanya, Gubenur tidak bisa di reshuffle, sedangkan menteri bisa.

Sedangkan menjadi akademisi sudah tidak lagi menggiurkan. Gajinya sedikit, jangkauannya terlampau kecil. Hanya satu kelas, atau satu kampus. Padahal, sebagaimana ungkapan Anies di mana-mana, kita harus Melunasi Janji Kemerdekaan.

Karena kemerdekaan itu membentang dari Sabang sampai Meraoke, maka sulit melunasinya jika hanya berkutat di kampus. Mau tidak mau Anies harus jadi Presiden, sebagaimana Jokowi, peluang menjadi Presiden itu terbuka ketika jadi Gubenur DKI Jakarta.

Karena jadi Presiden harus melalui partai politik, maka Anies harus bergabung dengan partai politik, menjadi ketua umum parpol, atau mendirikan partai politik. Dan untuk menggapai itu semua, tentu kita harus ‘berdamai’ dengan kekuatan-kekuatan jahat yang ada di partai politik.


Lantas kenapa sulit sekali menjadi Anies Baswedan. Anda atau mungkin saya akan sulit jika diamanahi menjadi Anies Baswedan. Saya pikir-pikir, masalah dari sulitnya menjadi Anies itu hanya dua yakni karena dia terlanjur terkenal dan cita-citanya juga terlanjur tinggi.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top