Pendahuluan
Alquran
dan umat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi umat Islam, ajaran
etis Alquran bersifat mutlak dan bisa diaplikasikan di segala ruang dan waktu (shâlih li kull zamân wa makân). Tapi fenomena
dewasa ini telah menunjukkan sebaliknya, relevansi Alquran mulai digugat dan
dipertanyakan. Bahkan dalam beberapa kasus, ajaran etis Alquran dijadikan
sebagai justifikasi terhadap tindakan yang bersifat destruktif. Polemik ini kemudian
menggugah para intelektualis muslim untuk lebih intens pada pengkajian Alquran.
Menurut
Fazlurrahman, problem utama umat Islam adalah lemahnya penghayatan terhadap
relevansi Alquran untuk masa sekarang. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menyajikan
Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak masih
besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang relevan dengan masyarakat
kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas pendapat tradisional.[1]
Penyimpangan—dalam
arti perbedaan—sebenarnya tidak dapat dihindarkan, tetapi mengikuti secara
mutlak otoritas pendapat tradisonalis yang sangat tekstualis dalam memahami
suatu teks juga tidak akan menjawab persoalan. Dalam hal ini, Abdullah Saeed
menawarkan fresh perspective
bagaimana memahami legal-etis Alquran sebagaimana berikut:
I will refer to this approach as 'Contextualist'. The thrust of my argument, therefore, is towards a more flexible approach to interpretation of these texts by taking consideration both the socio-historical context of the Qur'an at the time of revelation in the first/seventh century and the contemporary concerns and needs of Muslims today. mu main interest is how the meaning of the Qur'an can be related to the life of the Muslim, in a sense its application to day-to-day practicalities in different times, circumstances and places, particularly as it relates the concerns and needs of the modern period.[2]
Biografi
Abdullah
Saed
Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di
Universitas Melbourne Australia, sekaligus
menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam Kontemporer di Universitas Melbourne.
Abdullah Saeed lahir di Maldives, pada tanggal 25 September 1964, dan dari masa
kecil hingga remaja dihabiskan di sebuah kota bernama Meedhoo yang merupakan
bagian dari kota Addu Atoll. Ia adalah
seorang keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di pulau Maldives. Namun
kemudian, ia hijrah meninggalkan tanah kelahirannya menuju Saudi Arabia untuk menuntut
ilmu di sana.
Di Saudi Arabia, ia belajar bahasa
Arab dan memasuki beberapa lembaga pendidikan formal, di antaranya yaitu:
Institut Bahasa Arab Dasar dan Institut Bahasa Arab Menengah Madinah, serta
Universitas Islam Saudi Arabia. Selanjutnya, Abdullah Saeed meninggalkan Saudi
Arabia menuju Australia. Di negara Kanguru itu, ia memperoleh beberapa gelar
akademis. Sampai sekarang ia menetap dan mengajar pada salah satu universitas
terkemuka dan terkenal di sana.[3]
Kegelisahan
Intelektual Abdullah Saeed
Kegelisahan
Abdullah Saeed berangkat dari pertanyaan sederhana, bagaimana memahami Alquran
agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Konsekuensi dari
pertanyaan ini memerlukan sebuah upaya memahami Alquran berdasarkan muatan
legal-etisnya. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus, karena akan
berhadapan dengan otoritas tradisi penafsiran yang telah dianggap paling
otoritatif, yakni suatu pendekatan terhadap universalitas dan legal-etis Alquran
dengan hanya menggunakan kriteria legalis-linguitis.
Penggunaan
pendekatan yang murni legalis-linguistis
terhadap Alquran sebenarnya tidak hanya menafikan konteks sosial historis Alquran,
tetapi juga telah mengantarkan pada pemahaman yang reduktif terhadap legal-content
Alquran sendiri. Asumsi ini terbangun dari fenomena yang berkembang selama ini
bahwa ayat-ayat Alquran yang diapresiasi dan dianggap relevan adalah ayat-ayat
yang mendasari yurisprudensi hukum (Fiqh), sedangkan sisi nonlegal Alquran
menjadi terabaikan, sehingga dalam perkembangannya, tafsir tidak lebih dari
sekedar storytelling, mistis-spekulatif, dan kering dari analisis
filologi.[4]
Berdasarkan
problem tersebut, Abdullah Saeed menegaskan perlunya bangunan new approach
dalam memahami Alquran. Sebuah pendekatan yang kontekstualis dan demokratis,
dengan melihat fleksibilitas interuksi legal-etis Alquran, memahami konsep
“pewahyuan” secara lebih luas, dan memperhatikan koteks sosio-historis Alquran
dalam menentukan meaning pada the first recipients, sehingga
dapat diperoleh pesan legal-etis Alquran yang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
kontemporer. Dengan demikian, the meaning Alquran akan memiliki relasi
praktis dengan aktivitas umat Islam sehari-hari. Dan inilah yang menjadi concern
dan tujuan utama Abdullah Saeed.
Klasifikasi Model Penafsiran
Model penafsiran
dalam identifikasi Abdullah Saeed terbagi dalam tiga bentuk pendekatan:
Tektualis, semitektualis dan kontektualis. Klasifikasi ini didasarkan pada signifikansi
penggunaan linguistis dalam menentukan makna suatu teks, dan pertimbangan
konteks sosio-historis Alquran dalam penentuan maknannya. Model tekstualis mematuhi
teks dengan sangat ketat dan pendekatan yang digunakan adalah linguistis. Golongan
Tekstualis menekankan adagium, Alquran yang membimbing umat muslim dari pada
kebutuhan realitas masyarakat. Mereka beranggapan bahwa meaning Alquran sudah final dan universal-aplikatif.[5]
Semitekstualis
secara esensial memiliki kesamaan dengan Tekstualis, yakni menekankan pada pengunaan
linguistic approach dan mengabaikan konteks
sosio-histoisnya, akan tetapi mereka mengemas
kandungan legal-etis Alquran dengan nuansa modernis dan seringkali disertai
dengan diskursus apologetis. Sementara yang dimaksud dengan model Kontekstualis mengarah pada jenis interpretasi yang
menekankan konteks sosio-historis dari kandungan legal-etis Alquran. Dalam argumentasi
Kontekstualis, untuk memahami kandungan legal-etis Alquran perlu
mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis, budaya dan ekonomi ketika Alquran
diwahyukan, ditafsirkan dan diaplikasikan.[6]
Klasifikasi
model penafsiran tersebut jika dikaji akar historisnya akan mengarah pada dua
model penafisran, yakni: at-tafsîr
bi al-ma'tsûr, penafsiran yang berdasarkan pada tradisi atau teks (tekstualalis) dan at-tafsîr bi ar-ra'y (rasionalis). Dinamika
penafsiran pada mulanya bersifat fluid, terutama pada permualaan abad II
H. atau VIII M. Fluiditas ini dilatarbelakangi oleh empat faktor: (1) perbedaan
regional, percampuran budaya, dan intensitas interaksi antara komunitas Muslim,
Kristen, Yahudi, dan Zoroaster; (2) adanya individual
approach dari kalangan sahabat Nabi atau generasi tabiin dalam menafsirkan
dan mengaplikasikan key texts Alquran
dan Hadis; (3) keragaman teks, terutama hadis; (4) perbedaan dalam memahami
teks.[7]
Dalam
perjalananya, pendekatan linguistik berkembang pesat di Madinah terbukti dengan
adanya sebuah institusi yang dikembangkan oleh Imam Malik yang sangan membatasi
penggunaan akal. Bahkan sampai pada asumsi bahwa kebebasan penggunaan rasio
dalam memahami suatu teks akan mengantarkan pada krisis religius, dekandensi
moral dan sikap pragmatis. Sementara kalangan Rasionalis lebih mendapat tempat
di Iraq dengan masyarakatnya yang lebih heterogen. Salah satu tokohnya adalah
Ibn Mas‘ud. Bagi kalangan rasionalis, akal memiliki fungsi primer dalam
menentukan makna suatu teks. [8]
Pada penghujung
abad kedua/delapan, Tafsir telah mengkristal pada orientasi yurisprudensi hukum
(Fiqh). Dan upaya yang marak dilakukan adalah membangun hubungan yang harmonis
antara tekstualis dan rasionalis sebagai dasar hukum untuk mewujudkan kesatuan
umat. Figur yang berhasil menemukan sintesis dari keduanya adalah Imam Shafi‘i
(w. 204/820), kendati bentuk kompromis yang dicapai sebenarnya menyempitkan
penggunaan rasio.[9]
Tidak
lama dari pencapain sintesis Imam Syafi'i, konflik antara Tekstualis dan
Rasionalis kembali bergejolak tetapi dalam konteks yang berbeda, yakni teologi.
Konflik ini berawal dari perselisihan tentang status Alquran, hudûts ataukah qadîm. Teologi Muktazilah yang
rasionalis dan mendapatkan dukungan dari khalifah Al-Ma'mun mengusung tema
bahwa Alquran adalah hudûts. Ironisnya,
Al-Ma'mun menjatuhkan hukuman bagi golongan yang menentangnya, tragedi ini
kemudian dikenal dengan tragedi mihnah.
Salah satu tokoh yang menentang wacana tersebut adalah murid Syafi'i, yakni
Ahmad ibn Hambal (w. 241/655), seorang tekstualis. Tragedi mihnah berakhir pada kepimimpinan khalifah Al-Mutawakkil
yang menyerang balik pada teolog Mu'tazilah. Sejak periode ini kaum elit dan
intelektual bersikap anti-rasio sehingga signifikansi akal dalam memahami kitab
suci terabaikan.[10]
Dalam
perspektif Abdullah Saeed, penafsiran berbasis rasio sebenarnya memiliki
landasan yang cukup kuat, yakni: linguistic
consideration, legal consideration, dan personal
reflection.[11]
Landasan
linguistic consideration dengan
melihat kenyataan bahwa tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran dengan
mudah karena adanya keragaman dialek. Hal ini mengindikasikan pada kompleksitas
makna bahwa makna suatu teks sering kali tidak dapat diterima secara universal.
Landasan
legal consideration menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran yang secara spesifik berkaitan dengan persoalan
hukum bukanlah mayoritas dari kandugan Alquran secara keseluruhan. Demonstrasi ini
menunjukkan bahwa Alquran secara esensial tidak dimaksudkan sebagai legal text. Oleh karena itu, umat Islam
perlu melakukan interpretasi dan ekstensi dari guidance Alquran guna menemukan relevansi Alquran dengan kebutuhan
masyarakat terkait persoalan hukum, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat
Umar. Landasan personal reflection, dengan
mempertimbangkan bahwa terdapat sejumlah ayat Alquran yang menekankan arti
penting penggunaan rasio dalam konteks refleksi dan kontemplasi.
Kerangka Berpikir
Abdullah Saeed
Kerangka
teori Abdullah Saeed dapat diklasifikasikan dalam konsep berikut:
1. Menjadikan fenomena cara membaca Alquran yang fleksibel (seven ahruf)[12]
dan proses naskh sebagai sign bahwa Alquran mengandung flesksibilitas
yang tinggi dalam menghadapi kebutuhan masyarakat yang situasional.[13]
Fleksibilitas ini juga seharusnya berlaku dalam proses interpretasi Alquran.[14]
2. Melegitimasi Kompleksitas makna. Abdullah Saeed
mengidentifikasi adanya keragaman bentuk kata dalam bahasa Arab yang tidak bisa
diperlakukan secara sama dalam mengggali maknanya, ia kemudian menguraikan
level kata dalam bentuk direct meaning dan indirect meaning.[15]
Selain itu, adanya perubahan meaning yang
situasional juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, ethico-legal text perlu
dilihat sebagai disourse, bukan hanya
sebagai language.[16]
Konsep kompleksitas makna
memiliki korelasi positif dengan legitimasi pemahaman yang beragam terhadap
makna suatu teks. Sebenarnya Polyinterpretasi di kalangan
kontekstualis adalah keniscayaan. Tetapi ketika polyinterpretasi berada dalam
konteks legal-etis, muncul tendensi dari kalangan tekstualis bahwa hanya ada
satu bentuk interpretasi yang dapat dibenarkan.[17] Bahwa ada limitasi teks yang digunakan Tekstualis
secara ketat harus disikapi secara arif. Adanya limitasi makna dipengaruhi oleh
banyak faktor: Konteks turunnya wahyu, kondisi sosial saat teks ditafsirkan, peranan
pembaca, dan natural teks sendiri.[18]
3. Mempertimbangkan konteks sosio-historis. Memahami konteks
sosio-historis penafsiran Alquran sangat fundamental dalam penafsiran guna
menguak makna legal-etis teks dan menentukan relevansinya terhadap kehidupan
kontemporer. Hal ini dilakukan dengan mengeksplorasi makna dalam dua dimensi,
yakni historis dan kontemporer. makna histrois merujuk pada makna teks pada
masa Nabi dan bagaimana para generasi awal memahami makna tersebut. sedangkan
makna kontemporer mengarah pada makna Alquran bagi kehidupan umat Islam saat
ini.[19]
Pemahaman makna teks yang dimensional akan mengantarkan interpreter pada fenomena nilai (values) makna teks yang
terus berubah, bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan
intelektual. Kenyataan ini, menurut Abdullah Saeed, juga menuntut adanya
perubahan approach dalam memahami
suatu teks.[20]
4. Merumuskan hirarki nilai ethico-legal teks. Abdullah
Saeed mengembangkan konsep hirarki nilai-nilai (values) teks, dengan memfokuskan pada nilai legal-etisnya. Hirarki nilai
ini diharapkan dapat mempermudah para penafsir kontekstualis dalam menafsirkan ethico-legal texts. Dalam menentukan
hirarki nilai, Abdullah Saeed mendasarkan pada nilai etis "right action" yang merupakan dasar
agama sebagaimana yang telah ditekankan Alquran.[21] Abdullah Saeed mengelompokkan hirarki
nilai Alquran sebagai berikut:
a. Obligatory
Values
Ialah nilai
keagamaan yang tidak terikat pada waktu tertentu. Semua Umat Islam
menganggapnya sebagai bagian esensial dari Islam. nilai ini dikelompokkan dalam
tiga sub kategori, yaitu: (1) nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem
kepercayaan (belief); (2) nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik
religius, salat misalnya; (3) nilai-nilai yang berkaitan dengan status
halal-haram, yang dinyatakan secara spesifik dalam Alquran.
b. Fundamental
Values
Ialah nilai-nilai
tertentu yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Misalnya, hak untuk perlindungan
hidup dan properti. Nilai etis yang berada dalam level ini bersifat dinamis,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c. Protectional
values
Adalah nilai-nilai etis
yang mendukung tercapainya fundamental values. misalnya larangan mencuri
adalah bentuk proteksi terhadap properti individu yang merupakan bagian dari fundamental values.
d. Implementational
values
Adalah aturan
spesifik yang digunakan dalam implementasi Protectional
values. Larangan mencuri dalam implementasinya berbentuk potong tangan
misalnya.[22]
Nilai dalam level ini berdasarkan konteks kultural dan bisa berubah. Menurut
Abdullah Saeed, aturan tersebut bukanlah objek fundamental Alquran, melainkan pada
tujuannya sebagai pencegahan terhadap perilaku yang tidak diharapkan.[23]
e. Instructional
values
Nilai-nilai etis
yang terdapat dalam Alquran yang dihubungkan dengan problem tertentu pada masa pewahyuan. Ayat Alquran
yang berada dalam level ini sangat banyak dan variatif. Misalnya, instruksi
poligami, instruksi menjadikan pria sebagai penjaga perempuan, instruksi untuk
tidak menjadikan nommuslim sebagai teman. Relevansi nilai etis yang berada
dalam level ini seringkali dipertanyakan dalam kehidupan kontemporer.[24]
oleh karena itu, Abdullah Saeed mengenalkan tiga kriteria untuk menentukan
makna legal-etis teks yang berada dalam level ini, yaitu: frekuensi penyebutannya
dalam Alquran, salience (urgensitas
atau penekanan nilainya pada periobe Nabi), dan relevansinya dengan memperhatikan
konteks kultural pada masa pewahyuan dan mengidentifikasi apakah nilai tersebut
merupakan nilai objektif atau hanya sekedar pendukung terhadap tercapainya
nilai yang lebih fundamental.[25]
Pemaparan kerangka teori
Abdullah saeed dapat disederhanakan dalam bagan berikut:
Model Penafsiran Abdullah Saeed
Abdullah
Saeed merumuskan langkah-langkah penafsiran sebagai berikut:[26]
- Stage
I: Encounter with the World of the text.
- Stage
II: Critical Analysis:
Linguistic,
literary context, parallel texts, and precedents
- Stage
III : Meaning For the first recipients
Socio-historical
context
worldview
Nature
of the message: legal, theological, ethical
message:
contextual versus universal
relationship
of the message to the overall message of the Qur'an
-
Stage IV: Meaning for present
Analysis
of present context
present
context versus socio-historical context
meaning
from first recipient to the present
message:
Contextual versus universal
application
today
- Langkah pertama, interpreter familiar dengan dunia text secara keseluruhan.
- Langkah kedua, interpreter memperhatikan bagaimana suatu teks mendeskripsikan dirinya sendiri, dengan mengeksplorasikan beberapa aspek: linguistik, konteks literer, bentuk literer, paralel teks, dan preseden.
- Langkah ketiga, interpreter menghubungkan text Alquran dengan generasi awal, bagaimana text diwahyukan, dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan.
- Langkah keempat, interpreter menghubungkan teks dengan konteks kekinian: dengan mengidentifikasi kebutuhan kontemporer; mengeksplorasi konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya yang relevam erhadap teks; membandingkan konteks kekinian dan konteks sosio-hitoris teks untuk memahami persamaan dan perbedaan konteks keduanya; menghubungkan makna teks yang dipahami oleh generasi awal dengan konteks sekarang, dengan mempertimbangkan persamaan dan perbedaan konteks keduanya; mengevaluasi universalitas atau kekhususan pesan teks dengan mempertimbangkan konteks kekinian dan mengidentifikasi ada hubungan-tidaknya suatu teks dengan objek yang lebih luas. Berikut peta Penafsiran Abdullah Saeed:
Kesimpulan
Interpretasi
Alquran pada mulanya bersifat fluid
meaning, tapi kemudia ia mengalami pergeseran, makna teks dipahami secara
rigid dan menafikan signifikansi rasio-etis dan konteks sosio historis. Kondisi
ini pada perkembangannya melemahkan relevansi Alquran dengan kebutuhan
masyarakat. Untuk menjawab problem ini, Abdullah Saeed telah memformulasikan
langkah-langkah penafsiran yang lebih menyentuh pada kebutuhan masyarakat
kontemporer. sebuah pendekatan penafsiran yang kontekstualis, dengan
memperhatikan konteks sosio historis teks dan hirarki nilai etinya.
Abdul Malik
adalah mahasiswa pasca sarjana di UIN Yogyakarta
Daftar Pustaka
Saeed, Abdullah, Interpreting
the Qur'an: towards a contemporary approach, New York: Routledge, 2006.
Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Wahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996
[1]
Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. xi
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: towards a contemporary approach,
(New York: Routledge, 2006), hlm. 1.
[3]
Waroyo. ‘Bunga Bank :Abdullah Saeed Vs Yusuf Qardhawi (sebuah
dialektika pemikiran antara kaum modernis dengan neo revivalis)’ dalam La Riba,
Jurnal ekonomi Islam Vol IV no 1, Juli 2010
[4]
Ibid., hlm. 17.
[5]
Ibid., hlm. 3
[6]
Ibid., hlm. 3.
[7]
Ibid., hlm. 52.
[8]
Ibid., hlm. 53.
[9]
Ibid., hlm. 54.
[10]
Ibid., hlm. 55-56.
[11]
Ibid., hlm. 64-65.
[12]
Ibid., hlm. 67.
[13]
Ibid., hlm. 89.
[14]
Ibid., hlm. 76.
[15]
Ibid., hlm. 104-105.
[16]
Ibid., hlm. 106-107.
[17]
Ibid., hlm. 111.
[18]
Ibid., hlm. 108.
[19]
Ibid., hlm. 116.
[20]
Ibid., hlm. 124.
[21]
Ibid., hlm. 129.
[22]
QS. 5: 41.
[23]
Ibid., hlm . 134
[24]
Ibid., hlm. 137.
[25]
Ibid., hlm. 139-141.
[26] Ibid., hlm. 150-152.
0 komentar:
Post a Comment