Oleh: Halimah Garnasih
Rindu pulang pesantren barangkali tak hanya menimpa saya.
Itu juga yang dirasakan beberapa teman dari berbagai pesantren di sini,
Yogyakarta. Mereka mengaku seringkali rindu suasana dan kegiatan rutin di
pesantrennya dulu.
Bilamana rindu pulang rumah bisa diredam dengan berbagai
aktivitas, rindu pulang pesantren terasa lain. Saya mesti meredamnya dengan
berkunjung ke beberapa pesantren di kota ini. Bahkan, sampai beberapa kali saya
menginap di pesantren teman-teman. Dan yang menjadi langganan adalah pesantren
Krapyak komplek Q. Meski saya rasa cara itu tidak serta merta meredam kerinduan
ini sepenuhnya, karena tentu saja nuansa pesantren di kota ini sangat berbeda
dengan nuansa pesantren saya dulu, Raudlatul Ulum Ganjaran.
Raudlatu ulum adalah rumah yang lain. Di sanalah saya tumbuh
besar dan terdidik di bawah naungannya. Dengan segala nilai-nilai luhurnya dan
macam rupa keilmuannnya, tak terkecuali ilmu bersosialisasi dan berpolitik
(tentu saja yang terakhir ini tanpa saya sadari). Lewat Organisasi Daerah (OrDa),
Organisasi Siswa Madrasah Diniyah (dulu OPI [Organisasi Pemuda Islam]), TU
Madin, juga kepengurusan pesantren.
Dari OrDalah mula-mula saya belajar bekerja dengan banyak
orang. Belajar mendengar pendapat orang, belajar berani berpendapat, belajar
bertoleransi, belajar merumuskan dan menyatukan visi-misi, dan belajar
melaksanakan segala amanah bersama-sama dengan baik dan penuh tanggungjawab, juga
tentu saja belajar berdiplomasi.
Dari sana, saya sudah belajar sehingga saat diberi amanah di
pengurusan pesantren, semuanya terjalani tidak sesulit yang dibayangkan. Yang
sulit hanya satu, untuk tidak mengkhianati diri sendiri dengan mengkhianati
amanah. Janji yang terpatri.
Dan semua itu sungguh bermanfaat. Tak hanya saat saya pulang
ke rumah di bulan Ramadhan, tapi saat srawung dengan masyarakat di
tempat KKN, bergaul dengan teman-teman di kampus dan masyarakat sekitar kost,
setiap komunitas dan organisasi mahasiswa yang saya geluti, bahkan semacam
membentuk karakter yang kokoh, teguh. Karena Raudlatul Ulum, jalan di depan
saya, yang sebenarnya terjal, sungguh mudah dilalui. Setidaknya, saya telah tahu
langkah apa yang semestinya saya bangun.
Tapi sungguh disayang, saat mendengar kabar dari salah
seorang teman santri bahwa OrDa di Pesantren putri sudah tidak ada. Sudah tidak
terdengar riuh rendah aktivitasnya seperti dulu. Padahal, OrDa adalah
salah-satu kegiatan pesantren yang memiliki kekhasan tersendiri. Yang bisa
jadi, ilmu-ilmunya tidak akan ditemui di bangku Madin, Tsanawiyah, Aliyah, SMK
atau instansi pendidikan lainnya yang ada di pesantren. Padahal lagi, bakat dan
minat santri yang kadang tidak bisa diakomodir dan difasilitasi oleh pengurus
pesantren secara keseluruhan, bisa diakomodir dan dikembangkan di sana, karena
setiap OrDa memayungi anak didik masing-masing sehingga meminimalisir dan
menjauhi terjadinya kelewatan membidik, mencari, mengembangkan, dan
mengoptimalkan bakat-minat santri. Ibarat pisau, OrDa mengajari santri untuk
apa dan bagaimana pisau itu digunakan. Ini sangat penting. Karena kata
guru-guru dulu di Pesantren, keberhasilan seorang santri terlihat seberapa
berhasilnya dia di tengah-tengah masyarakatnya. Menjadi uswah dan bermanfaat.
Kabar yang sampai lagi, bahwa OrDa di pesantren putra masih
berjalan. Akhirnya, dua kabar itu membentuk pertanyaan bagi saya pribadi (yang
telah mencecap manisnya manfaat keberadaan OrDa di pesantren dulu). Mengapa
seperti itu? Ataukah barangkali di pesantren putri telah ada kegiatan yang lebih
baik dari OrDa atau setidaknya ada kegiatan yang memiliki ruh yang sama
dengannya?
Ah, jadi ngelantur. Barangkali, kerinduan ini benar adanya.
Sudah saatnya saya kembali pulang, meski sekedar menengok adik-adik di sana. Walau
mesti dengan menahan malu pada segenap guru-guru, karena gape spiritualitas sudah
sangat jauh berada di bawah. Kenyataan hidup yang ganas membawa kaki ini sepak-sandung
dengan berbagai gelimang kecerobohan dan kebodohan. Namun, sekali lagi,
sangat beruntung saya pernah berumah di Raudlatul Ulum yang membekali saya
dengan tongkat yang kuat. Setidaknya, meski limbung, saya tetap bisa
berpegangan padanya. Terimakasih Guru-guru. Terimakasih Raudlatul Ulum.[]
ربنا انفعنابما علمتنا
ReplyDeleteamin *khusuk*
Delete