Monday, February 17, 2014

SUARA TAK TERDENGAR

9:08 PM

oleh: Muhammad Ilyas*
Pagi itu adalah pagi yang dingin, dingin sekali, dinginnya sampai menusuk tulang, masuk kedalam sumsum, serta menyerap energi panas yang ada di dalam tubuh. Telinga pun juga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, hanya terdengar dengungan, raungan yang tidak begitu jelas, dan sesekali terdengar jeritan-jeritan yang  tak tahu dari mana asalnya.  Persendianku juga tidak bisa digerakkan seakan terbelenggu oleh rantai baja, yang  bisa kulakukan hanyalah menyilangkan tangan di atas dada, merunduk dengan kain sarung kumal yang diberikan tetangga, serta mengadu kedua gigiku dengan erat. Hanya itu yang menurutku ampuh untuk mengusir dingin dari badan ini.
Kejadian pada hari itu tidak wajar, tidak seperti biasanya dan tampak aneh. Dingin pada hari biasanya tidak seperti ini, tidak begitu berpengaruh pada hewan. Dingin yang terjadi berdampak terhadap kokok ayam. mereka yang setiap munculnya fajar berkokok dengan keras dan membelah kesunyian pagi sekarang tidak lagi, seakan bungkam seribu bahasa, tidak mau berkokok, tidur, lelah membangunkan orang pada waktu pagi.  Ya ... karena udara yang sangat dingin.

Bukan hanya udara dingin yang menyergap, angin pun ikut andil dengan apa yang terjadi, deruan angin yang begitu kencang telah membuat pohon-pohon di pinggir jalan menggugurkan daunnya, menghiasi jalan-jalan dengan sampah organik, dan sesekali terdengar bruggggg, breggggg bruaggg, itu menandakan kalau pohon-pohon itu bukan hanya menggugurkan daun,  tetapi juga memotong ranting, dan dahan, bahkan batangnya pun ikut terguling. Debu di halaman rumah juga beterbangan, seakan riang gembira, bersuka cita menyambut  angin yang begitu kencang. Seolah melepaskan dirinya dari cengkraman yang selama ini ia alami. Debu yang biasanya hanya diinjak oleh mahluk-mahluk diatasnya sekarang bisa bangkit melawan ketidak adilan. Berteriak atas kebebasanya, menunjukkan kepada sekitarnya bahwa dia bisa terbang, bisa berpindah ketempat yang jauh, hanya dengan meminta bantuan angin.  
Menurut kakek, selama hidupnya ia mengalami kejadian seperti itu sebanyak sebelas kali, mulai dari tahun 1955 sampai sekarang. Ia juga menuturkan kepadaku, peristiwa yang paling mencekam dan seram serta sangat menakutkan terjadi sekitar tahun 1971 dan 1999. Menurut ilmu titén yang kakek percayai, ketika ada kejadian seperti itu akan ada goro-goro yang akan terjadi pada bangsa dan negara kita. Menurutnya hal seperti itu terbukti di sekitar tahun 1971 banyak nyawa hilang hanya demi kekuasaan. Hal serupa juga terjadi antara tahun 1997-1999 dan ayahku pun ikut menjadi korban akibat peristiwa tersebut.
“Sugik…. Sugik…. Bangun, Nak. Bangun. Sambil mengoyang-goyangkan badanku, ibu membangunkanku, di saat aku tertidur pulas di ruang tamu serbaguna. Aku menyebutnya ruang tamu serbaguna karena ruangan itu bisa dibuat ruang makan, ruang tidur, tempat menjamu teman yang datang ke rumah, tempat bermain adik, tempat kumpul keluarga dan lain sebagainya. Begitulah keadaan di rumahku. Iya … hal itu karena keterbatasan keluargaku sebagai kaum miskin.
“Ayo, Nak, bangun!Suara ibu pelan. Setengah sadar aku mulai bisa melihat samar-samar obyek yang aku lihat, seperti ketika aku membuka mata di dalam air. Rasa dingin pun masih terasa menusuk tulang sehingga memaksaku untuk menarik selimut . “Ayolah, Nak, bangun! Sudah siang ini.  Antarkan ibu ke pasar, ntar pembeli keburu pulang.
“Iya, Bu, aku bangun kok,” ucapku pada ibu. Sambil mengucek-ngucek mata, aku melihat jarum jam menunjuk ke angka 02:10 menit pagi. Bagi kami jam segitu sudah terlalu siang untuk bangun, karena banyak pekerjaan yang menunggu, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan, kami harus semangat untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup, tidak peduli apakah itu angin ataupun hujan, bahkan cuaca yang sangat dingin pun harus kami terjang demi untuk mencari sesuap nasi.
Aku adalah anak sulung yang harus membantu ibu untuk mencari nafkah, karena ayah menghilang sejak tragedi 1997-1999. Sampai sekarang masih belum ada orang yang tahu kabarnya secara pasti. Beliau dulu aktif di salah satu pergerakan mahasiswa. Menurut ibu beliau pergi malam-malam dengan seorang temannya yang berambut cepak, dan berbaju loreng-loreng, ia pamit karena ada sebuah urusan, tetapi ia tidak kembali. Saat itu aku berusia 3 tahun.  Ayah menikahi ibu ketika ia kuliah di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta dan masih semester dua. Selama ayah menghilang ibulah yang membanting tulang untuk membiayai sekolah saya dan adik, segala kebutuhanku ibu berusaha untuk memenuhinya. Itulah sosok ibuku. Karena kerja keras yang ibu lakukan sehingga ia kelihatan agak tua, walaupun sebenarnya beliau masih muda.
Ibu membungkus keperluan untuk dibawa ke pasar, mulai dari wortel, kubis, kacang, buncis, terong, bambu muda, bunga turi, dan sebagainya. Cepat ayo, keburu siang,  siapkan sepeda ontelmu, serta keperluan yang harus dibawa. Oh ya, keranjang yang ada di atas kayu itu juga kamu ambil ya, Nak.Ucap ibu.
“Iya, Bu.” Jawabku sambil mengerjakan yang ibu suruh.
Setelah semua kebutuhan telah siap kami berangkat. Dengan lampu senter diikatkan ke kepala, saya dan ibu berangkat menyusuri jalan berbatu dan berlumpur serta berlubang, sehingga saya harus lebih berkonsentrasi kalau tidak mau masuk ke dalamnya. Ditambah lagi dengan angin kencang dan udara yang amat dingin, tetapi kami tidak menghiraukannya.
Saat saya sudah hampir sampai di pasar, fajar di ufuk timur sudah terbit, maklum jarak antara pasar dengan rumahku lumayan jauh, membutuhkan satu setengah jam bersepeda untuk sampai. Udara dingin dan angin kencang sudah berkurang, dan secara perlahan keduanya seakan lenyap dan cuaca pun mulai normal kembali. Sehingga kami bisa melanjutkan aktivitas dengan nyaman.
Hari itu adalah hari minggu jadi aku putuskan untuk membantu sampai jualan ibu habis. Biasanya kalau bukan hari minggu saya pulang duluan, saya harus sekolah, mempersiapkan makanan untuk adikku dan beres-beres rumah,  memberi makan ayam, dan lain sebagainya. Pada pagi itu lumayan banyak pembeli sehingga kami pulang agak cepat. Setelah kami merapikan semua perlengkapan dagang, mulai dari karung, timbangan, tali dan lain sebagainya. “Nak, ayo pulang! Jualan kita lumayan laris, Nak. Ini buktinya sudah habis, iya kan? Tidak seperti hari-hari lainya. Ucap ibu sambil mengelus kepalaku. 
Iya, Bu, lumayan. Hasilnya kita buat untuk membayar listrik yang sudah dua bulan ini menunggak, Bu, dan sisanya kita tabung untuk biaya sekolahku dan adik.Ucapku.
Dan saat semua sudah siap, kami bergegas untuk pulang dan saya harus menyiapkan tenaga untuk mengayuh sepeda. Perjalanan pulang ke rumah tidak seperti perjalanan ketika berangkat, kalau berangkat jalannya menurun sehingga saya tidak begitu capek untuk mengayuh sepeda. Berbeda halnya ketika pulang, jalannya menanjak sehingga perlu tenaga lebih.
Ketika kami dalam perjalanan pulang, ibu mengeluh kecapean sehingga kami memutuskan untuk beristirahat di teras kantor kepala desa Suka Miskin. Kami duduk dengan santai melepas lelah yang mulai terasa sejak dini hari tadi, dan meneggak air putih yang kami bawa dari rumah. Setelah menenggak habis air putih, di salah satu ruangan kantor itu terdengar kegaduhan, seperti ada perdebatan sengit. Saya pun memutuskan untuk mendekat. Ternyata banyak orang di situ. Di dalam kantor tersebut sepertinya ada beberapa perwakilan penduduk Desa Suka Miskin, seperti perwakilan petani, pedagang, pegawai negeri sipil, pengusaha, tokoh masyarakat dan sebagainya. Entahlah, sedang ada acara apa di sana, tetapi di kaca kantor kepala desa itu bertuliskan “Rapat Persiapan Pemilihan Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT dan RW Sedesa Suka Miskin”. Aku tercengang membaca tulisan itu. Apa maksud dan tujuan rapat, aku masih belum bisa mengerti. Sejurus kemudian, ibu berjalan ke arahku. Dia berkata pelan sambil melambaikan tangannya, memanggilku. “Sugik, sini! Jangan kesitu! Itu adalah urusan orang tua, kamu ndak boleh tahu, ndak baik ikut campur urusan orang tua!Pura-pura tidak dengar, saya terus menyimak apa yang dibicarakan dalam rapat itu. Kebetulan di ruangan rapat ada jendela yang terbuka sehingga saya bisa mendengarkan dengan jelas.
Di dalam ruangan rapat itu saya melihat Pak Deny perwakilan dari pengusaha. Dia berbadan tegap, baju necis, rapi serta memakai sepatu mengkilat. Pak Deny adalah salah satu pengusaha sukses di kampung Suka Miskin. Dia memiliki beberapa perusahaan di sini, dengan penghasilan setiap bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dia juga salah satu orang yang disegani di kampung kami. Di dalam forum itu nampaknya aku melihat  Pak Sujito, dia adalah perwakilan dari buruh tani, dia bertampang lusuh, berbaju kumal, rambut agak kemerahan karena mungkin sering tersengat panasnya matahari dan sedikit berbau tembakau, tetapi di balik tampangnya yang sederhana, Pak Sujito adalah sosok yang mudah bergaul, bersahaja, baik terhadap tetangga, dan sering membantu warga ketika ada kesulitan. Ada satu hal yang banyak orang tidak tahu darinya. Tenyata dia bukan buruh tani biasa. Dia pernah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik di kampusnya, entah mengapa dia memutuskan menjadi buruh tani. Selain Pak Deny dan Pak Sujito, di dalam rapat tersebut ada Pak Erwin. Pak Erwin dating sebagai perwakilan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pak Dulla dari perwakilan pedagang dan Pak Ahmad selaku tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati di  Desa Suka Miskin, dan masih banyak juga perwakilan yang lain.
Sesaat setelah  saya mengetahui siapa saja yang mengikuti rapat itu, ibu benar-benar menghampiri dan membentakku, “Hei! Aku kan sudah bilang, jangan ikut campur urusan orang tua! Kamu tahu apa dengan urusan mereka. Sudahlah, kamu urusi saja pelajaranmu atau bantu ibumu ini, nngak usah mengikuti hal yang seperti itu. Ayo pulang, pulang!Ibu menarik tanganku.
Kali ini ibu memang benar-benar marah, saya melihat raut wajahnya yang merah, dan ini kali pertama aku melihat ibu marah besar seperti ini. Ternyata kemarahan ibu terdengar oleh kepala desa, sehingga kepala desa keluar dari ruangan rapat. Dia menghampiri kami berdua dan menanyakan perihal apa yang terjadi antara saya dengan ibu. “Ada apa, Bu? Kok kayaknya ada masalah?” Tanya pak lurah ke pada ibu.
“Oh, mboten, pak lurah. Mboten. Ngapunten njeh, Pak. Ngapunten. Ini anak saya, Sugik. Anak saya ini tadi menguping rapat di dalam sana sehingga saya marahi, Pak.” Jawab ibu dengan memakai logat jawa. Ibu terlihat  sungkan serta malu atas perbuatanku.
Lho, ini kan rapat umum, Bu. Silahkan saja, tidak apa-apa, walaupun yang ikut rapat adalah perwakilan kelompok masyarakat, tetapi rapat ini terbuka untuk umum. Malah saya sangat senang sekali Sugik sekecil ini bisa peduli terhadap sekitarnya. Seharusnya anak ini patut dicontoh, Bu.
Enggeh, Pak Lurah, ucap Ibu.
Ayo masuk, Bu, jangan sungkan-sungkan,” ajak pak lurah.
Jangan, Pak. Jangan. Saya banyak pekerjaan di rumah. Biarn Sugik saja yang ikut rapat, dia kan butuh belajar, Pak.
“Jadi ibu yakin tidak mau ikut?” Tanya pak lurah lagi pada ibu.
Njeh, Pak. Njeh.
Aku melihat wajah ibu seperti orang ketakutan. Entah apa penyebabnya, aku tidak tahu.
Ya sudah. Tunggu apalagi, ayo masuk, gik. Kan Ibu kamu tidak mau ikut, kamu mau ikut ke dalam kan?” Ucap Pak Lurah.
Iya, Pak. Saya mau ikut, saya ingin tahu,” ucapku dengan nada polos.
Dengan kebaikan Pak Lurah, saya diperbolehkan masuk kedalam ruang rapat. Di saat seperti ini saya  merasa agak bangga dengan diri saya, karena  saya adalah satu-satunya yang paling muda di rapat itu. Pak lurah membawaku ke dalam, serta menyuruh untuk menduduki kursi kosong. Ternyata tempat kosong itu berada di antara Pak Sujito dan Pak Ahmad. Ruang duduk dibentuk lingkaran, posisi seperti ini dimaksudkan agar semua peserta rapat mendapatkan kesempatan sama untuk menyampaikan gagasannya.
Musyawarah ini membahas apakah pelaksanaan Pemilu di Desa Suka Miskin sama seperti periode sebelumnya ataukah ada perubahan. Apabila sama maka pelaksanaanya sebanyak tiga kali, tetapi kalau ada perubahan maka hanya cukup dilaksanakan sekali saja. Ini adalah pembahasan yang penting dan menentukan sistem Pemilu di Desa Suka Miskin. Selang beberapa menit, musyawarah pemilihan kepala desa, kepala dusun, ketua RT dan ketua RW sedesa Suka Miskin dimulai kembali.
“Menurut saya, pemilihan yang diadakan di desa kita harus dilaksanakan bersama dan serentak, karena hal itu bisa menghemat anggaran desa, kalaupun memang ada dana yang dikhususkan untuk pemilihan tersebut saya tetap tidak setuju. Alasan pribadi mengapa saya mengusulkan seperti itu karena masih banyak persoalan yang lebih penting dari pada pemilu, di antaranya masalah kesehatan, pendidikan, pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, dan masih banyak lagi, yang mana kesemuanya itu harus lebih diproritaskan,” ucap Pak Sujito.
Beliau memaparkan gagasanya dengan gaya seperti diplomat. Ya mungkin karena beliau adalah satu-satunya sarjana di desa kami sehingga beliau terlihat lebih cakap dari pada yang lain. Ketika beliau menyampaikan pendapatnya semua orang memperhatikannya. Mungkin mereka menganggap hal itu seperti wahyu turun dari langit, tidak ada yang mau melewatkan satu kata pun dari beliau, suaranya sayu tetapi mampu membangkitkan semangat. Tetapi walaupun seperti itu masih ada saja orang yang memang sinis dengan pendapatnya, bahkan tidak jarang ada orang yang memaki-maki beliau. Ya mungkin mereka hanya melihat Pak Sujito dari segi ekonomi saja, tidak melihat sebagai orang yang berpengetahuan tinggi.
Saya melihat Pak Deny memandang Pak Suito dengan tajam, seakan tidak setuju dengan apa yang Pak Sujito sampaikan.  Selang beberapa saat Pak Deny mengangkat tangannya dan minta persetujuan pak lurah untuk menyampaikan pendapatnya. Pak lurah mengijinkannya.
“Saya tidak sepakat dengan Pak Sujito. Menurut saya pemilu itu tetap dilakukan secara tidak bersamaan, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut dimaksudkan agar proses pemilihan lebih efektif dan tepat waktu. Coba Anda bayangkan berapa lama proses penghitungan suara ketika  pemilu tersebut diadakan secara bersama, kemungkinan rawan terjadi salah hitung atau sebagainya. Belum lagi peraturan calon lurah yang harus mendapatkan minimal dukungan 20 ketua RT untuk mengajukan diri sebagai kandidat. Bagaimana mungkin mendapatkan calon lurah, lhawong ketua RT-nya saja masih belum ada. Seharusnya ini juga sebagai bahan pertimbangan juga, jangan asal berbicara,” ucap Pak Deny.
Selang beberapa detik setelah mendapatkan persetujuan Pak Lurah untuk menyampaikan pendapat, Pak Sujito angkat bicara lagi. Terima kasih atas sanggahannya Pak Deny yang telah disampaikan terhadap saya. Di sini saya akan mencoba untuk menjelaskan apa yang saya maksudkan di atas. Sanggahan Pak Deny tadi tentang ketidakefektifan peraturan yang mengharuskan semua calon kepala desa mendapatkan dukungan minimal 20 ketua RT itu memang benar, tetapi kan hal tersebut bisa kita siasati, misalnya masalah tentang ketidakefektifan pemilu, ya kita tinggal memperbanyak anggota KPU, memperbanyak panitia, kalau bisa memperbanyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan lain sebagainya. Soal peraturan yang ada di desa kita yang mengharuskan calon kepala desa mendapatkan dukungan 20 ketua RT sedesa Suka Miskin kan juga bisa disiasati dengan cara mengubah peraturan tersebut,” ucap Pak Sujito.
Semua orang yang ada didalam ruangan itu terkesima dengan gagasan yang disampaikan oleh Pak Sujito. Tetapi saya merasa keadaan di ruang rapat lumayan panas, padahal udara di luar agak dingin. Ya ... mungkin karena perdebatan ini menarik untuk diikuti.
“ Pendapat Anda itu jangan mengada-ada. Jangan mengobral kebohongan di depan publik. Buktinya Anda hanya bisa bicara menyiasati, menyiasati, dan menyiasati, tetapi tidak ada solusi jitu untuk mengatasi semuanya. Cobalah berikan solusi yang jelas mengapa pemilu harus dilaksanakan secara bersama. Anda juga masih belum menjawab secara jelas peraturan calon kades yang mengharuskan mendapat dukungan minimal 20 ketua RT. Saya juga bingung terhadap Anda mengapa Anda menginginkan pemilu dilaksanakan bersama, padahal kan sistem pemilu yang ada memang dirasa cukup dan juga memuaskan, kenapa harus ada yang baru. Pernahkah anda berpikir seperti itu? Sanggah Pak Deny. Begitulah cara bicara Pak Deny yang sesekali sambil menuding, melotot, ya ... seperti orang marah-marah. Maklumlah, dia kan pengusaha, memiliki banyak harta yang melimpah dan suka memandang orang lain lebih rendah darinya.
Suasana rapat semakin panas, apalagi setelah Pak Deny menyampaikan pendapatnya. Sesekali saya mendengar bisikan-bisikan para peserta rapat yang mengungkapkan isi hatinya, tetapi mereka agak canggung untuk menyatakan. Beberapa menit tidak ada yang mau menyampaikan pendapatnya sehingga hanya terdengar gumaman, bisikan, dan terkadang terdengar tertawa celaan dari peserta.
Setelah beberapa saat, Pak Dulla, perwakilan dari pedagang, mengacungkan tangan dan berkata.Sebelumnya, saya mengucapkan terimakasih atas waktu yang diberikan. Nama saya Dulla dari perwakilan pedagang. Saya sependapat dengan Pak Sujito tentang pemilu yang diadakan bersama dan serempak. Mungkin karena alasan saya sama dengan beliau, yaitu untuk menghemat anggaran dana desa dan masih banyak lagi persoalan darurat yang memang harus didahulukan serta mendapatkan porsi lebih daripada penyelenggaraan pemilu ini. Saya tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Deny tadi. Saya melihat dia tidak tulus menyampaikan pendapatnya. Saya juga tahu mengapa Pak Deny tidak setuju tatkala pemilu dilaksanakan secara serempak. Dia takut usahanya merosot. Pak Deny kan punya jasa penyewaan tenda, penyewaan sound system. Nah kalau pemilu dilaksanakan secara serempak maka omzet penyewaannya akan berkurang. Saya juga curiga kepada Pak Deny, sebagai pengusaha Anda akan mendirikan pabrik-pabrik di Desa Suka Miskin ini. Nah Anda juga butuh perizinan yang cepat. Jadi Anda ingin mengendalikan perangkat desa hanya untuk menjalankan usaha pribadi Anda. Nah ketika pemilu dilaksanakan tidak serempak maka Anda akan leluasa untuk mengintervensi hasil pemilu hanya dengan kepentingan pribadi Anda. Saya juga menduga Anda akan menggelapkan laporan pajak industri ketika semua itu berjalan dengan apa yang Anda inginkan. Bukankah begitu Pak Deny yang terhormat?” Ucap Pak Dulla.
Suasana semakin tegang, semua orang menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan oleh Pak Deny.
Pak Deny menghampiri Pak Dulla dan melemparkan kursi terhadapnya. Ternyata lemparan itu meleset dan jatuh di belakangnya. Kemudian Pak Deny mencekek leher dan memelototi Pak Dulla sambil berkata, “jaga bicaramu! Kamu telah menfitnahku. Apa yang kau katakan tadi itu tidak benar. Apa hakmu berbicara seperti itu, ha?! Apa?! Apakah yang kau banggakan dengan level kamu sebagai pedagang asongan yang harus berusaha keras hanya ingin membeli sebutir telur busuk, ha?! Apa?! Apa?! Jawab!” Teriak Pak Deny.
Pak Dulla membalas dengan pukulan dan mengenai pelipis kanan Pak Deny. Suasana semakin kacau balau. Pak lurah menghampiri mereka berdua dan disusul peserta rapat yang lain untuk memisah perkelahian mereka.
“Hei! Hei! Diam semuanya!!! Jangan bertingkah seperti binatang! Anda sekalian punya moral, punya ahklak, kenapa Anda bertingkah seperti itu? Hanya untuk menentukan hal yang sepele apakah pemilu dilaksanakan serentak atau tidak Anda sudah berkelahi, apalagi menyelesaikan persoalan yang lebih penting? Apakah ini yang dinamakan moral? Apakah ini yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa kita? Seharusnya Anda berpikir, jangan egois, jangan hanya mementingkan diri sendiri! Kita disini mewakili apa yang diinginkan oleh masyarakat luas. Apakah Anda sadar tentang itu?“ Ucap Pak Lurah yang melengking keras.
Semua orang terdiam. Suasana gaduh berubah menjadi senyap. Setelah semua tenang, rapat dimulai kembali. Kali ini Pak Sujito berpendapat kembali, “Baiklah saya akan menjawab pernyataan tadi yang disampaikan oleh Pak Deny. Tentang masalah calon kepala desa yang harus mendapatkan dukungan minimal 20 dari ketua RT itu bisa segera membuat peraturan bahwa calon kepala desa harus mendapatkan dukungan 20 ketua RT, tetapi bukan ketua RT yang baru melainkan ketua RT periode sebelumnya. Kemudian ada alternatif kedua, yakni calon kepala desa harus diajukan dari persetujuan forum perwakilan dari semua golongan masyarakat yang ada di Desa Suka Miskin. Apakah seorang calon layak ataukah tidak, maka harus ditetapkan oleh forum perwakilan masyarakat ini. Berkaitan dengan siapa saja yang menjadi anggota forum masyarakat ini, setiap golongan masyarakat, baik itu petani, pedagang, PNS, harus mengirim perwakilan maksimal dua orang untuk menentukan siapa saja calon yang layak untuk dipilih.”
Setelah pendapat Pak Sujito selesai disampaikan, kemudian pak lurah berdiri dan berkata, “Apakah Anda setuju dengan pendapat Pak Sujito? Tanya Pak Lurah terhadap peserta rapat.
Seluruh orang yang hadir masih terdiam.
“Sekali lagi apakah Anda sekalian setuju dengan pendapat Pak Sujito? Ulang Pak Lurah.
“Setuju!Teriak peserta rapat.
Tetapi diantara riuhnya jawaban itu masih terdengar kata “tidak”. Ternyata suara itu berasal dari Pak Deny. Dia masih belum menerima keputusan itu. Malah dia semakin menjadi-jadi. Dia melempar meja, kursi, dan semua yang ada di dekatnya, sambil memaki-maki. Keadaan semakin kacau dan tak terkendali, sehingga banyak orang yang keluar dan meninggalkan rapat tersebut.
Untuk jalan tengahnya, maka pak lurah mengambil keputusan bahwa rapat ditunda, karena banyak peserta yang membubarkan diri dan akan dilaksanakan seminggu lagi. Musyawarah pelaksanaan pemilu sudah selesai, ya walaupun banyak hal yang memang tidak perlu terjadi, tetapi saya senang, mungkin selama hidup saya tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman yang begitu mengesankan ini.
Sesampainya di rumah saya langsung memeluk ibu seraya berkata, “Ibu, aku tahu kenapa Ibu marah besar padaku hingga membuat muka Ibu merah membara. Engkau telah mengingatkanku Bu, engkau juga telah membuka mataku untuk mengetahui hal yang memang engkau tidak sukai. Terima kasih Ibu. Sebenarnya hal seperti itulah yang membuat nasib. Semoga kedepannya desa kita bisa lebih maju, lebih arif, biaksana, tidak mementingkan kepentingan pribadi, dan memihak pada mereka yang tertindas.”[]
Muhammad Ilyasadalah mahasiswa jurusan Pendidikan IPS
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
 

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top