oleh: Muhammad Ilyas*
Pagi itu adalah pagi yang dingin, dingin sekali, dinginnya
sampai menusuk tulang, masuk kedalam sumsum, serta menyerap energi panas yang
ada di dalam tubuh. Telinga pun juga tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya, hanya terdengar dengungan, raungan yang tidak begitu
jelas, dan sesekali terdengar jeritan-jeritan yang tak tahu dari mana asalnya. Persendianku juga tidak bisa digerakkan
seakan terbelenggu oleh rantai baja, yang bisa kulakukan hanyalah menyilangkan tangan di
atas dada, merunduk dengan kain sarung kumal yang diberikan tetangga, serta mengadu
kedua gigiku dengan erat. Hanya itu yang menurutku ampuh untuk mengusir dingin
dari badan ini.
Kejadian pada hari itu tidak wajar, tidak seperti biasanya
dan tampak aneh. Dingin pada hari biasanya tidak seperti ini, tidak begitu
berpengaruh pada hewan. Dingin yang terjadi berdampak terhadap kokok ayam. mereka
yang setiap munculnya fajar berkokok dengan keras dan membelah kesunyian pagi
sekarang tidak lagi, seakan bungkam seribu bahasa, tidak mau berkokok, tidur, lelah
membangunkan orang pada waktu pagi. Ya
... karena udara yang sangat dingin.
Bukan hanya udara dingin yang menyergap, angin pun ikut
andil dengan apa yang terjadi, deruan angin yang begitu kencang telah membuat
pohon-pohon di pinggir jalan menggugurkan daunnya, menghiasi jalan-jalan dengan
sampah organik, dan sesekali terdengar bruggggg, breggggg bruaggg, itu
menandakan kalau pohon-pohon itu bukan hanya menggugurkan daun, tetapi juga memotong ranting, dan dahan,
bahkan batangnya pun ikut terguling. Debu di halaman rumah juga beterbangan,
seakan riang gembira, bersuka cita menyambut angin yang begitu kencang. Seolah melepaskan dirinya
dari cengkraman yang selama ini ia alami. Debu yang biasanya hanya diinjak oleh
mahluk-mahluk diatasnya sekarang bisa bangkit melawan ketidak adilan. Berteriak
atas kebebasanya, menunjukkan kepada sekitarnya bahwa dia bisa terbang, bisa
berpindah ketempat yang jauh, hanya dengan meminta bantuan angin.
Menurut kakek, selama hidupnya ia mengalami kejadian seperti
itu sebanyak sebelas kali, mulai dari tahun 1955 sampai sekarang. Ia juga
menuturkan kepadaku, peristiwa yang paling mencekam dan seram serta sangat
menakutkan terjadi sekitar tahun 1971 dan 1999. Menurut ilmu titén yang kakek percayai,
ketika ada kejadian seperti itu akan ada goro-goro yang akan terjadi pada
bangsa dan negara kita. Menurutnya hal seperti itu terbukti di
sekitar tahun
1971 banyak nyawa hilang hanya demi kekuasaan. Hal serupa juga terjadi antara
tahun 1997-1999 dan ayahku pun ikut menjadi korban akibat peristiwa tersebut.
“Sugik…. Sugik…. Bangun, Nak. Bangun.“ Sambil mengoyang-goyangkan badanku, ibu membangunkanku, di
saat aku
tertidur pulas di ruang tamu serbaguna. Aku menyebutnya ruang tamu serbaguna
karena ruangan itu bisa dibuat ruang makan, ruang tidur, tempat menjamu teman
yang datang ke rumah, tempat bermain adik, tempat kumpul keluarga dan lain
sebagainya. Begitulah keadaan di rumahku. Iya … hal itu karena keterbatasan keluargaku
sebagai kaum miskin.
“Ayo, Nak, bangun!” Suara ibu pelan.
Setengah
sadar aku mulai bisa melihat samar-samar obyek yang aku lihat, seperti ketika
aku membuka mata di dalam air. Rasa dingin pun masih terasa menusuk tulang
sehingga memaksaku untuk menarik selimut . “Ayolah, Nak, bangun! Sudah siang ini. Antarkan ibu ke pasar, ntar pembeli keburu pulang.“
“Iya, Bu, aku bangun kok,” ucapku pada ibu. Sambil mengucek-ngucek mata, aku melihat jarum jam menunjuk ke angka 02:10
menit pagi. Bagi kami jam segitu sudah terlalu siang untuk bangun, karena
banyak pekerjaan yang menunggu, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan, kami
harus semangat untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup, tidak peduli
apakah itu angin ataupun hujan, bahkan cuaca yang sangat dingin pun harus kami
terjang demi untuk mencari sesuap nasi.
Aku adalah anak sulung yang harus membantu ibu untuk mencari
nafkah, karena ayah menghilang sejak tragedi 1997-1999. Sampai sekarang masih
belum ada orang yang tahu kabarnya secara pasti. Beliau dulu aktif di salah satu
pergerakan mahasiswa. Menurut ibu beliau pergi malam-malam dengan seorang
temannya yang berambut cepak, dan berbaju loreng-loreng, ia pamit karena ada
sebuah urusan, tetapi ia tidak kembali. Saat itu aku berusia 3 tahun. Ayah menikahi ibu ketika ia kuliah di
salah satu
universitas terkemuka di Yogyakarta dan masih semester dua. Selama ayah
menghilang ibulah yang membanting tulang untuk membiayai sekolah saya dan adik,
segala kebutuhanku ibu berusaha untuk memenuhinya. Itulah sosok ibuku. Karena
kerja keras yang ibu lakukan sehingga ia kelihatan agak tua, walaupun sebenarnya
beliau masih muda.
Ibu membungkus keperluan untuk dibawa ke
pasar,
mulai dari wortel, kubis, kacang, buncis, terong, bambu muda, bunga turi, dan
sebagainya. “Cepat ayo, keburu siang, siapkan sepeda ontelmu, serta keperluan yang
harus dibawa.
Oh ya, keranjang yang ada di atas kayu itu juga kamu ambil ya, Nak.” Ucap ibu.
“Iya, Bu.” Jawabku sambil mengerjakan yang ibu suruh.
Setelah semua kebutuhan telah siap kami berangkat. Dengan lampu
senter diikatkan ke kepala, saya dan ibu berangkat menyusuri jalan berbatu dan
berlumpur serta berlubang, sehingga saya harus lebih berkonsentrasi kalau tidak
mau masuk ke dalamnya. Ditambah lagi dengan angin kencang dan udara yang amat
dingin, tetapi kami tidak menghiraukannya.
Saat saya sudah hampir sampai di pasar, fajar di ufuk timur
sudah terbit, maklum jarak antara pasar dengan rumahku lumayan jauh,
membutuhkan satu setengah jam bersepeda untuk sampai. Udara dingin dan angin
kencang sudah berkurang, dan secara perlahan keduanya seakan lenyap dan cuaca
pun mulai
normal kembali. Sehingga kami bisa melanjutkan aktivitas dengan nyaman.
Hari itu adalah hari minggu jadi aku putuskan untuk membantu
sampai jualan ibu habis. Biasanya kalau bukan hari minggu saya pulang duluan,
saya harus sekolah, mempersiapkan makanan untuk adikku dan beres-beres rumah, memberi makan ayam, dan lain sebagainya. Pada
pagi itu lumayan banyak pembeli sehingga kami pulang agak cepat. Setelah kami
merapikan semua perlengkapan dagang, mulai dari karung, timbangan, tali dan
lain sebagainya. “Nak, ayo pulang!
Jualan
kita lumayan laris,
Nak. Ini buktinya sudah habis,
iya kan? Tidak
seperti hari-hari lainya.” Ucap ibu sambil mengelus kepalaku.
“Iya,
Bu, lumayan. Hasilnya kita buat untuk membayar
listrik yang sudah dua bulan ini menunggak, Bu, dan sisanya kita tabung untuk biaya sekolahku dan adik.” Ucapku.
Dan saat semua sudah siap, kami bergegas untuk pulang dan
saya harus menyiapkan tenaga untuk mengayuh sepeda. Perjalanan pulang ke rumah
tidak seperti perjalanan ketika berangkat, kalau berangkat jalannya menurun
sehingga saya tidak begitu capek untuk mengayuh sepeda. Berbeda halnya ketika
pulang, jalannya menanjak sehingga perlu tenaga lebih.
Ketika kami dalam perjalanan pulang, ibu mengeluh kecapean
sehingga kami memutuskan untuk beristirahat di teras kantor kepala desa Suka
Miskin. Kami duduk dengan santai melepas lelah yang mulai terasa sejak dini
hari tadi, dan meneggak air putih yang kami bawa dari rumah. Setelah menenggak
habis air putih, di salah satu ruangan kantor itu terdengar kegaduhan, seperti
ada perdebatan sengit. Saya pun memutuskan untuk mendekat. Ternyata banyak
orang di situ. Di dalam kantor tersebut sepertinya ada beberapa perwakilan
penduduk Desa Suka Miskin, seperti perwakilan petani, pedagang, pegawai negeri
sipil, pengusaha, tokoh masyarakat dan sebagainya. Entahlah, sedang ada acara
apa di sana, tetapi di kaca kantor kepala desa itu bertuliskan “Rapat
Persiapan Pemilihan Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT dan RW Sedesa Suka Miskin”.
Aku tercengang membaca tulisan itu. Apa maksud dan tujuan rapat, aku masih
belum bisa mengerti. Sejurus kemudian, ibu berjalan ke
arahku. Dia berkata pelan sambil melambaikan
tangannya, memanggilku. “Sugik, sini! Jangan kesitu! Itu adalah urusan orang tua, kamu
ndak
boleh tahu, ndak baik ikut campur urusan
orang tua!” Pura-pura tidak dengar, saya terus menyimak apa yang dibicarakan dalam rapat itu. Kebetulan di
ruangan
rapat ada jendela yang terbuka sehingga saya bisa mendengarkan dengan jelas.
Di dalam ruangan rapat itu saya melihat Pak Deny perwakilan
dari pengusaha. Dia berbadan tegap, baju necis, rapi serta memakai sepatu
mengkilat. Pak Deny adalah salah satu pengusaha sukses di kampung Suka Miskin. Dia
memiliki beberapa perusahaan di sini, dengan penghasilan setiap bulan bisa mencapai ratusan juta
rupiah. Dia juga salah satu orang
yang disegani di kampung kami. Di dalam forum itu nampaknya aku melihat Pak Sujito, dia adalah perwakilan dari buruh
tani, dia bertampang lusuh, berbaju kumal, rambut agak kemerahan karena mungkin
sering tersengat panasnya matahari dan sedikit berbau tembakau, tetapi di balik
tampangnya yang sederhana, Pak Sujito adalah sosok yang mudah bergaul,
bersahaja, baik terhadap tetangga, dan sering membantu warga ketika ada
kesulitan. Ada satu hal yang banyak orang tidak tahu darinya. Tenyata dia bukan
buruh tani biasa. Dia pernah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan
tinggi di Yogyakarta dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik di
kampusnya, entah mengapa dia memutuskan menjadi buruh tani. Selain Pak Deny dan
Pak Sujito, di dalam rapat tersebut ada Pak Erwin. Pak Erwin dating sebagai
perwakilan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pak Dulla dari perwakilan pedagang
dan Pak Ahmad selaku tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati di Desa Suka Miskin, dan masih banyak juga
perwakilan yang lain.
Sesaat setelah saya
mengetahui siapa saja yang mengikuti rapat itu, ibu benar-benar menghampiri dan
membentakku, “Hei! Aku kan sudah bilang, jangan ikut campur urusan orang tua! Kamu
tahu apa dengan urusan mereka. Sudahlah, kamu urusi saja pelajaranmu atau bantu
ibumu ini, nngak usah
mengikuti hal yang seperti itu. Ayo pulang, pulang!” Ibu menarik tanganku.
Kali ini ibu memang benar-benar marah, saya melihat raut
wajahnya yang merah, dan ini kali pertama aku melihat ibu marah besar seperti ini. Ternyata
kemarahan ibu terdengar oleh kepala desa, sehingga kepala desa keluar dari
ruangan rapat. Dia menghampiri kami berdua dan menanyakan perihal apa yang
terjadi antara saya dengan ibu. “Ada apa, Bu? Kok kayaknya ada masalah?” Tanya
pak lurah ke pada ibu.
“Oh, mboten, pak lurah.
Mboten. Ngapunten njeh, Pak.
Ngapunten. Ini anak saya, Sugik. Anak saya ini tadi
menguping rapat di dalam sana sehingga saya marahi, Pak.” Jawab ibu dengan
memakai logat jawa. Ibu terlihat sungkan
serta malu atas perbuatanku.
“Lho, ini kan rapat umum, Bu.
Silahkan saja, tidak apa-apa, walaupun yang ikut rapat adalah
perwakilan kelompok masyarakat, tetapi rapat ini terbuka untuk umum. Malah saya sangat senang sekali Sugik sekecil ini bisa
peduli terhadap sekitarnya.
Seharusnya
anak ini patut dicontoh,
Bu.”
“Enggeh, Pak Lurah,” ucap Ibu.
“Ayo masuk, Bu, jangan sungkan-sungkan,” ajak pak lurah.
“Jangan,
Pak. Jangan. Saya
banyak pekerjaan di rumah. Biarn Sugik saja yang ikut rapat,
dia kan butuh belajar, Pak.”
“Jadi ibu yakin tidak mau ikut?” Tanya pak lurah lagi pada ibu.
“Njeh,
Pak.
Njeh.”
Aku melihat wajah ibu seperti orang ketakutan. Entah apa penyebabnya, aku tidak tahu.
“Ya sudah.
Tunggu apalagi, ayo masuk, gik. Kan Ibu kamu tidak mau ikut,
kamu mau ikut ke dalam kan?” Ucap Pak Lurah.
”Iya,
Pak. Saya mau ikut, saya ingin tahu,” ucapku dengan nada
polos.
Dengan kebaikan Pak Lurah, saya diperbolehkan masuk kedalam
ruang rapat. Di saat seperti ini saya merasa agak bangga dengan diri saya, karena saya adalah satu-satunya yang paling muda di
rapat itu.
Pak lurah membawaku ke dalam, serta menyuruh untuk menduduki kursi kosong. Ternyata tempat kosong itu berada
di antara Pak Sujito dan Pak Ahmad. Ruang duduk dibentuk lingkaran, posisi seperti ini
dimaksudkan agar semua peserta rapat mendapatkan kesempatan sama untuk menyampaikan
gagasannya.
Musyawarah ini membahas apakah pelaksanaan Pemilu di Desa Suka
Miskin sama seperti periode sebelumnya ataukah ada perubahan. Apabila sama maka
pelaksanaanya sebanyak tiga kali, tetapi kalau ada perubahan maka hanya cukup
dilaksanakan sekali saja. Ini adalah pembahasan yang penting dan menentukan
sistem Pemilu di Desa Suka Miskin. Selang beberapa menit, musyawarah pemilihan kepala desa,
kepala dusun, ketua RT dan ketua RW sedesa Suka Miskin dimulai kembali.
“Menurut saya, pemilihan yang diadakan di desa kita harus
dilaksanakan bersama dan serentak, karena hal itu bisa menghemat anggaran desa,
kalaupun memang ada dana yang dikhususkan untuk pemilihan tersebut saya tetap
tidak setuju. Alasan pribadi mengapa saya mengusulkan seperti itu karena masih
banyak persoalan yang lebih penting dari pada pemilu, di antaranya masalah
kesehatan, pendidikan, pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, dan masih banyak
lagi, yang mana kesemuanya itu harus lebih diproritaskan,” ucap Pak Sujito.
Beliau memaparkan gagasanya dengan gaya seperti diplomat. Ya
mungkin karena beliau adalah satu-satunya sarjana di desa kami sehingga beliau
terlihat lebih cakap dari pada yang lain. Ketika beliau menyampaikan
pendapatnya semua orang memperhatikannya. Mungkin mereka menganggap hal itu
seperti wahyu turun dari langit, tidak ada yang mau melewatkan satu kata pun
dari beliau, suaranya sayu tetapi mampu membangkitkan semangat. Tetapi walaupun
seperti itu masih ada saja orang yang memang sinis dengan pendapatnya, bahkan
tidak jarang ada orang yang memaki-maki beliau. Ya mungkin mereka hanya melihat
Pak Sujito dari segi ekonomi saja, tidak melihat sebagai orang yang
berpengetahuan tinggi.
Saya melihat Pak Deny memandang Pak Suito dengan tajam,
seakan tidak setuju dengan apa yang Pak Sujito sampaikan. Selang beberapa saat Pak Deny mengangkat tangannya dan minta persetujuan
pak lurah untuk menyampaikan pendapatnya. Pak lurah mengijinkannya.
“Saya tidak sepakat dengan Pak Sujito. Menurut saya pemilu
itu tetap dilakukan secara tidak bersamaan, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal
tersebut dimaksudkan agar proses pemilihan lebih efektif dan tepat waktu. Coba Anda bayangkan berapa
lama proses penghitungan suara ketika pemilu tersebut diadakan secara bersama,
kemungkinan rawan terjadi salah hitung atau sebagainya. Belum lagi peraturan
calon lurah yang harus mendapatkan minimal dukungan 20 ketua RT untuk
mengajukan diri sebagai kandidat. Bagaimana mungkin mendapatkan calon lurah, lhawong
ketua RT-nya saja masih belum ada. Seharusnya ini juga sebagai bahan
pertimbangan juga, jangan asal berbicara,” ucap Pak Deny.
Selang beberapa detik setelah mendapatkan persetujuan Pak
Lurah untuk menyampaikan pendapat, Pak Sujito angkat bicara lagi.
“Terima
kasih atas
sanggahannya Pak Deny yang telah disampaikan terhadap saya. Di sini saya akan mencoba
untuk menjelaskan apa yang saya maksudkan di atas. Sanggahan Pak Deny
tadi tentang ketidakefektifan peraturan yang mengharuskan semua calon kepala
desa mendapatkan dukungan minimal 20 ketua RT itu memang benar, tetapi kan hal
tersebut bisa kita siasati, misalnya masalah tentang ketidakefektifan pemilu,
ya kita tinggal memperbanyak anggota KPU, memperbanyak panitia, kalau bisa
memperbanyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan lain sebagainya. Soal peraturan
yang ada di desa kita yang mengharuskan calon kepala desa mendapatkan dukungan
20 ketua RT sedesa Suka Miskin kan juga bisa disiasati dengan cara mengubah peraturan tersebut,” ucap Pak Sujito.
Semua orang yang ada didalam ruangan itu terkesima dengan
gagasan yang disampaikan oleh Pak Sujito. Tetapi saya merasa keadaan di ruang
rapat lumayan panas, padahal udara di luar agak dingin. Ya ... mungkin
karena perdebatan ini menarik untuk diikuti.
“ Pendapat Anda itu jangan mengada-ada. Jangan mengobral
kebohongan di depan publik. Buktinya Anda hanya bisa bicara menyiasati, menyiasati,
dan menyiasati, tetapi tidak ada solusi jitu untuk mengatasi semuanya. Cobalah berikan solusi
yang jelas mengapa pemilu harus dilaksanakan secara bersama. Anda juga masih belum menjawab
secara jelas peraturan calon kades yang mengharuskan mendapat dukungan minimal
20 ketua RT. Saya juga bingung terhadap Anda mengapa Anda menginginkan
pemilu dilaksanakan bersama, padahal kan sistem pemilu yang ada memang dirasa
cukup dan juga memuaskan, kenapa harus ada yang baru. Pernahkah anda berpikir
seperti itu? Sanggah Pak Deny. Begitulah cara bicara Pak Deny yang sesekali
sambil menuding, melotot, ya ... seperti orang marah-marah. Maklumlah, dia kan pengusaha,
memiliki banyak harta yang melimpah dan suka memandang orang lain lebih rendah
darinya.
Suasana rapat semakin panas, apalagi setelah Pak Deny
menyampaikan pendapatnya. Sesekali saya mendengar bisikan-bisikan para peserta rapat
yang mengungkapkan isi hatinya, tetapi mereka agak canggung untuk menyatakan.
Beberapa menit tidak ada yang mau menyampaikan pendapatnya sehingga hanya
terdengar gumaman, bisikan, dan terkadang terdengar tertawa celaan dari
peserta.
Setelah beberapa saat, Pak Dulla, perwakilan dari pedagang,
mengacungkan tangan dan berkata. “Sebelumnya, saya mengucapkan terimakasih atas waktu yang diberikan. Nama saya Dulla dari
perwakilan pedagang. Saya sependapat dengan Pak Sujito tentang pemilu yang
diadakan bersama dan serempak. Mungkin karena alasan saya sama dengan beliau, yaitu untuk menghemat
anggaran dana desa dan masih banyak lagi persoalan darurat yang memang harus
didahulukan serta mendapatkan porsi lebih daripada penyelenggaraan pemilu ini.
Saya tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Deny tadi. Saya melihat
dia tidak tulus menyampaikan pendapatnya. Saya juga tahu mengapa Pak Deny tidak
setuju tatkala pemilu dilaksanakan secara serempak. Dia takut usahanya merosot.
Pak Deny kan punya jasa penyewaan tenda, penyewaan sound system. Nah kalau pemilu dilaksanakan
secara serempak maka omzet penyewaannya akan berkurang. Saya juga curiga kepada Pak
Deny, sebagai pengusaha Anda akan mendirikan pabrik-pabrik di Desa Suka Miskin
ini. Nah Anda juga butuh perizinan
yang cepat.
Jadi
Anda
ingin mengendalikan perangkat desa hanya untuk menjalankan usaha pribadi Anda. Nah ketika pemilu
dilaksanakan tidak serempak maka Anda akan leluasa untuk mengintervensi hasil pemilu hanya
dengan kepentingan pribadi Anda. Saya juga menduga Anda akan menggelapkan laporan
pajak industri ketika semua itu berjalan dengan apa yang Anda inginkan. Bukankah begitu
Pak Deny yang terhormat?” Ucap Pak Dulla.
Suasana semakin tegang, semua
orang menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan oleh Pak Deny.
Pak Deny menghampiri Pak Dulla dan melemparkan kursi
terhadapnya. Ternyata lemparan itu meleset dan jatuh di belakangnya. Kemudian
Pak Deny mencekek leher dan memelototi Pak Dulla sambil berkata, “jaga bicaramu!
Kamu
telah menfitnahku.
Apa
yang kau katakan tadi itu tidak benar. Apa hakmu berbicara seperti itu, ha?! Apa?! Apakah
yang kau banggakan dengan level kamu sebagai pedagang asongan yang harus
berusaha keras hanya ingin membeli sebutir telur busuk, ha?! Apa?! Apa?! Jawab!” Teriak Pak Deny.
Pak Dulla membalas dengan pukulan dan mengenai pelipis kanan
Pak Deny. Suasana semakin kacau balau. Pak lurah menghampiri mereka
berdua dan disusul peserta rapat yang lain untuk memisah perkelahian mereka.
“Hei! Hei! Diam semuanya!!! Jangan bertingkah seperti
binatang! Anda sekalian punya moral, punya ahklak, kenapa Anda bertingkah seperti
itu? Hanya untuk menentukan hal yang sepele apakah pemilu
dilaksanakan serentak atau tidak Anda sudah berkelahi, apalagi menyelesaikan persoalan yang
lebih penting? Apakah ini yang dinamakan moral? Apakah ini yang
dicita-citakan oleh pendiri bangsa kita? Seharusnya Anda berpikir, jangan
egois, jangan hanya mementingkan diri sendiri! Kita disini mewakili apa yang diinginkan
oleh masyarakat luas. Apakah Anda sadar tentang itu?“ Ucap Pak Lurah yang
melengking keras.
Semua orang terdiam. Suasana gaduh berubah menjadi
senyap. Setelah semua tenang, rapat dimulai kembali. Kali ini Pak Sujito
berpendapat kembali, “Baiklah saya akan menjawab pernyataan tadi yang
disampaikan oleh Pak Deny. Tentang masalah calon kepala desa yang harus mendapatkan
dukungan minimal 20 dari ketua RT itu bisa segera membuat peraturan bahwa calon
kepala desa harus mendapatkan dukungan 20 ketua RT, tetapi bukan ketua RT yang
baru melainkan ketua RT periode sebelumnya. Kemudian ada alternatif kedua,
yakni calon kepala desa harus diajukan dari persetujuan forum perwakilan dari
semua golongan masyarakat yang ada di Desa Suka Miskin. Apakah seorang calon
layak ataukah tidak, maka harus ditetapkan oleh forum perwakilan masyarakat
ini. Berkaitan dengan siapa saja yang menjadi anggota forum masyarakat ini,
setiap golongan masyarakat, baik itu petani, pedagang, PNS, harus mengirim
perwakilan maksimal dua orang untuk menentukan siapa saja calon yang layak
untuk dipilih.”
Setelah pendapat Pak Sujito selesai disampaikan, kemudian pak lurah
berdiri dan berkata, “Apakah Anda setuju dengan pendapat Pak Sujito?” Tanya Pak Lurah terhadap
peserta rapat.
Seluruh orang yang hadir masih terdiam.
“Sekali lagi apakah Anda sekalian setuju dengan pendapat Pak
Sujito?” Ulang Pak Lurah.
“Setuju!” Teriak peserta rapat.
Tetapi diantara riuhnya jawaban itu masih terdengar kata
“tidak”. Ternyata suara itu
berasal dari Pak Deny.
Dia masih belum menerima keputusan itu. Malah dia semakin
menjadi-jadi. Dia melempar meja, kursi, dan semua yang ada di dekatnya,
sambil memaki-maki.
Keadaan
semakin kacau dan tak terkendali, sehingga banyak orang yang keluar dan
meninggalkan rapat tersebut.
Untuk jalan tengahnya, maka pak lurah mengambil keputusan
bahwa rapat ditunda, karena banyak peserta yang membubarkan diri dan akan
dilaksanakan seminggu lagi. Musyawarah pelaksanaan pemilu sudah selesai, ya
walaupun banyak hal yang memang tidak perlu terjadi, tetapi saya senang,
mungkin selama hidup saya tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman yang
begitu mengesankan ini.
Sesampainya di rumah saya langsung memeluk ibu seraya
berkata, “Ibu, aku tahu kenapa Ibu marah besar padaku hingga membuat muka Ibu
merah membara. Engkau telah mengingatkanku Bu, engkau juga telah membuka mataku
untuk mengetahui hal yang memang engkau tidak sukai. Terima
kasih Ibu. Sebenarnya hal seperti
itulah yang membuat nasib. Semoga kedepannya desa kita bisa lebih maju, lebih
arif, biaksana, tidak mementingkan kepentingan pribadi, dan memihak pada mereka
yang tertindas.”[]
Muhammad Ilyasadalah mahasiswa jurusan Pendidikan IPS
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment