[sumber] |
Oleh: Abdul
Rahman Wahid
–Bersamaan
dengan senja yang memerah. Terdengar suara laki-laki mengucapkan salam. Segera
kutaruh piring, dan kuletakkan di meja makan. Ya, saat itu aku hendak makan.
Setelah lupa melakukan sarapan dan makan siang. Semua itu terjadi karena
bayang-bayang masa depan.
Lalu kubuka
pintu rumah. "Hallo kawan," suara itu terdengar bersama terbukanya
daun pintu rumah bagian depan, ternyata tamu yang mengagetkan itu adalah
Krisna. Teman yang beberapa hari sebelumnya berbagi cerita denganku.
"Kamu to,
silahkan masuk," aku mempersilahkannya sambil menujuk ke kursi warna
coklat, memberi isyarat agar dia langsung mengambil tempat duduk.
Seperti biasa,
hanya secangkir kopi hitam dan rokok yang bisa aku hidangkan untuk seorang
teman. Terkadang kalau pas lagi ada uang, aku sempatkan ke warung untuk membeli
camilan. Kalau lagi ada orang di rumah, bermacam hidangan sederhana bisalah
disajikan. Karena orang rumah pada keluar dan aku tidak memegang uang. Praktis,
hanya rokok dan kopi hitam yang menjadi hidangan.
Sambil
tersenyum agak menyindir, tangan kanan Krisna mengangkat bungkus rokok yang
kusajikan. Kulihat dengan jelas, hanya ada sebatang rokok yang berdiri tegap di
dalam bungkus yang masih mapan tersebut. Akupun tersenyum memberikan jawaban.
Bagi kami ini hal yang biasa, dengan refleks tanganku merogoh saku celana tapi
tak ada selembar kertaspun yang melekat saat tangan kuangkat. Melihat itu, kami
berdua tertawa terbahak-bahak. Lalu, dengan sisa-sisa tawanya Krisna mengambil
selembar uang disaku baju bagian depannya dan menyodorkannya kepadaku. Seketika
langsung aku beranjak ke warung sebelah rumah.
Membeli
sebungkus rokok dengan uang yang disodorkan Krisna. Tanpa waktu yang lama, aku
sudah sampai di rumah kembali. Kemudian, obrolan tentang masa depan itu kami
mulai lagi.
"Oh, ya
kawan. Saya diterima di Perguruan Tinggi di Belanda," dengan ekspresi
gembiranya Krisna menyampaikan kabar baik yang didapatinya. Seketika aku
terkaget mendengarnya. Bagaimana tidak, teman karibku itu sebentar lagi akan
meninggalkanku. Melanjutkan studi di
Kincir Angin. Negeri yang selalu kuimpikan itu.
"Oh ya,
selamat ya," dengan menyembunyikan nada sedih, aku ucapkan selamat
atas kebahagiaan temanku itu.
"Kamu gak
pengen ke Belanda juga ta?" Tawaran bernada pertanyaan Krisna itu memberi
harapan, bahwa aku juga berkesempatan ke Belanda menimpa ilmu bersama-sama.
"Bagaimana
bisa?" Tampang pesimis kulontarkan sebagai bentuk jawaban atas
pertanyaannya.
"Kalau
kamu mau, tinggal daftar aja. Masih ada kesempatan kok. Siapa tahu
diterima," Krisna menegaskan kembali, Bahwa aku dan dia masih bisa
berkesempatan belajar bersama di Belanda. Bersama detak jantungku yang tak
beraturan, aku menaruh harapan bahwa aku bisa sampai ke Belanda. Pada saat itu
pikiranku dihantui oleh dua pilihan. Ke Belanda belajar bersama Krisna atau di
rumah saja membantu orang tua. Sedangkan kesempatan itu hanya tingga dua hari
saja.
"Allahu
Akbar, Allahu Akbar," terdengar gemuruh suara adzan dari corong musala
kecil berwarna lumut (karena sudah lama tidak dicat). Krisna berpamitan untuk
pulang. Seperti biasa kami berdua berjabat tangan sambil menitipkan salam
kepada keluarga masing-masing.
~00o00~
Karena sudah
berwudu sedari Ashar, aku hanya pergi ke kamar mengambil songkok warna hitam
lalu bertandang ke musala
yang tak jauh dari rumah. Sepanjang salat
yang kutunaikan, aku masih dibayang-bayangi akan impianku belajar ke negeri
pencetak pemain sepak bola dunia. Saat yang lain khusyu' berzikir, aku membayangkan
bahwa diriku saat itu sedang berjabat tangan dengan Ratu Wilhelmina.
Sungguh bayangan masa depan itu mengusik sampai pada hubunganku dengan Tuhan.
Dalam perjalan dari Musala ke rumah,
hal serupa masih terbayang.
"Sungguh
kasihan pemuda dengan sejuta cita-cita itu." Gumanku merasa iba pada
diriku sendiri.
Sesampainya di
rumah, aku langsung menyantap hidangan makan malam bersama keluarga sambil
menyaksikan tayangan televisi di ruang depan. Di televisi itu diberitakan
seorang Pejabat Negara mengunjungi Belanda, tempat dia belajar dulu.
Menyaksikan berita itu, aku semakin tak menentu, makan pun
aku sudah tak bernafsu. Ya, bayangan masa depan itu muncul kembali dan menyiksa
pikiranku.
Tanpa berpikir
panjang, kusudahi makan malam lalu kutaruh piring di meja makan. Kuciduk air
untuk mencuci tangan. Kulangkahkan kaki menuju ruang peristirahatan. Sambil
berharap, dengan kubawa tidur bayang-bayang masa depan itu akan hilang.
Bayang-bayang itu akan menjadi kunang-kunang yang berkeliaran menerangi malam. Ketika
semua orang terbangun, kunang-kunang itu sudah hilang membawa bayang-bayang
masa depan. Pikirku saat itu ingin sejenak melupakan bayangan negeri Belanda
dengan segenap janji masa depannya.
Tapi apa, aku
hanya bisa memejamkan mata namun tidak dengan raga. Meskipun mataku terpejam,
alam pikiranku masih sibuk memikirkan bayang-bayang masa depan itu. Bukan
karena suara detak jarum jam yang berputar atau suara cicak yang melahap nyamuk
di dinding dan atap kamar. Tapi bayangan negeri Belanda itu yang tak bisa
menidurkan aku. Semakin memaksakan mata untuk terpejam, bayangan Belanda
semakin menampakannya padaku. Malam itu, aku benar-benar tersiksa.
Dengan segala
upaya aku mencoba menenangkan diriku. Hingga akhirnya, akupun tak tahu
jam berapa aku tertidur dan sejenak bisa lari dari bayangan masa depan itu.
Malam itu pun begitu hening, jarum jam bergerak begitu hati-hati. Cicakpun tak
ada yang berani mengeluarkan suara. Semuanya seakan menjadi penjaga di sebuah
istana. Menjaga Sang Baginda Raja agar tidak terganggu istirahatnya.
~00o00~
Saat mataku
terbuka, aku mulai menyadarinya. Kalau pertemuanku dengan Krisna tidaklah
nyata. Semua itu terjadi di alam mimpi. Aku terbangun dan aku masih di
Indonesia, bukan Belanda. Ah, tak apalah saat ini itu mimpi. Mungkin suatu saat
akan nyata. Aku akan merasakan betapa indahnya belajar di negeri Kincir Angin
tersebut. Negeri yang dulu pernah merampas semua hak bangsaku ini. Suatu saat,
kelak kalau aku sudah di sana. Akan aku rampas semua pengetahuannya. Lalu
kubawa pulang ke negeriku tercinta, Indonesia. Kupersembahkan pada dua
pahlawanku, orang tua. Kupersembahkan pada seseorang yang telah menjadi supporter
dalam perjalananku, dia.
"Mimpi itu
adalah bagian dari apa yang kita pikirkan." Begitu temanku pernah berkata
kepadaku. Teringat perkataan temanku itu, aku menyadarinya. Sehari sebelum
mimpi itu terjadi, aku menelepon orang tua
dan akan pulang kampung sebelum bulan puasa tiba. Sepertinya rasa rindu ini
tidak bisa berdusta. Karena ada beberapa agenda, rindu itupun tertunda. Mungkin
lebaran bisa kuluapkan. Ibu, aku harus menunda merasakan hangat tanganmu.
Beberapa hari
ini aku juga selalu menyebut dia. Entah berapa kali dalam sehari, aku tak mampu
mengingatnya dalam hitungan. Hingga dia hadir dengan sosok yang begitu istimewa.
Ya, dia datang sebagai Ratu Wilhelmina.
Ratu Belanda yang tak bisa dilupakan dalam sejarah Indonesia karena politik
balas budinya.
Ah, sudahlah.
Biarkan mimpi itu tetap menjadi mimpi. Tak perlu kurisaukan keberadaannya.
Kalaupun nyata, anggap saja itu cita-cita yang selalu kusebut dalam doa. Karena
usaha lalu Tuhan menunjukkan jalan-Nya. Dan kalaupun suatu suatu saat mimpi itu
tidak nyata, aku tak perlu kecewa.
Catatan mimpiku semalam. (12-06-2015)
0 komentar:
Post a Comment