Oleh: Imron Haqiqi
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah (1) sistem sosial atau politik
yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem
sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan
mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada Abad
Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Di
Indonesia kata feodalisme sering dirujukkan terhadap pemimpin yang lalim seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati',
atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Di masa era Orde Baru, misalnya, masyarakat tidak banyak diberi ruang gerak untuk
berekspresi. Di era reformasi seperti sekarang ini mungkin secara formal sistem
penguasaan feodal telah dihapus dalam ketatanegaraan Indonesia. Namun secara komunal
nampaknya feodalisme masih melekat di sekitar kita.
Terbukti di pedesaan masih ada penguasaan tanah secara besar-besaran oleh
orang-orang kota. Bahkan, di kota-kota atau pinggiran kota juga terjadi
penguasaan tanah secara besar-besaran untuk berbagai tujuan. Nah, konotasi seperti
itulah yang dimaksud dengan “Neo-Feodalisme”.[1]
Feodalisme Orde Baru
Kata
Orde Baru adalah istilah masa (masa pemerintahan) yang dideklarasikan oleh
pemimpin Negara Indonesia kedua, Soeharto. Soeharto sering menjadi bahan
obrolan baik di kalangan masyarakat pedesaan, bangsawan, cendekiawan,
negarawan, dan wan-wan yang lain, karena ia dipandang oleh masrakat kebanyakan
sebagai sosok pemimpin yang lalim, dictator, serta totaliter. Hal seperti itu
yang menurut bangsa Indonesia adalah sebuah praktek sistem pemerintahan Feodal.
Sistem feodal Orde Baru, penulis mengamini dan mengimani perkataan Fachry Ali
dalam esainya yang diterbitkan dalam bentuk antologi, Jika Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur
Feodal, bahwa:
“Dalam konsep kesatuan, segala bentuk gejala alamiah atau akibat dari tindakan-tidakan manusia tidaklah dihayati sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri, karena masing-masing darinya merupakan bagian dari totalitas sistem yang dikoordinasikan oleh sesuatu kekuatan supernatural”.[2]
Membaca
ungkapan tersebut, saya berkesimpulan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ada
keterkaitan dengan sistem kerajaan Jawa pada masa lampau. Memang, jika kita mencoba menilik
sejarah, kerajaan Jawa kuno mempraktekkan dua sistem kepemimpinan yang murni
feodalisme. Pertama, raja adalah
dewa. Setiap perkataan dan perintah raja harus di turuti, karena perkataan dan
perintah raja mengandung doa yang akan menghadirkan keberuntungan. Bahkan, sampai
pada anak dari raja tersebut meskipun masih berumur lebih muda daripada
masyarakat sekitar yang dipimpin oleh salah seorang raja, namun masyarakat akan
tunduk dan patuh terhadap anak raja tersebut. Padahal di dalam praktek agama Islam,
yang muda patuh dan tunduk terhadap yang tua—siapa pun itu. Namun masyarakat Jawa
berbeda, mereka mempercayai bahwa sikap tunduk dan patuh terhadap raja beserta
keluarganya dipercaya akan menimbulkan sebuah keberuntungan tersendiri terhadap
masyarakat tersebut. Sikap masyarakat seperti itu akibat kepercayaan mistik
masyarakat Jawa terdahulu, yang biasa di sebut etika primordialisme, yang mana
masyarakat pada hakikatnya berbeda antara kelas-kelas
secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Etika
seperti itu tetap melekat hingga pada masyarakat Jawa era modern, bahkan
semakin meluas ke seluruh daerah di Indonesia.
Kedua, kepatuhan terhadap tuan tanah yang menjadi pelindung
sosial-ekonomi masyarakat. Seorang tuan tanah yang menjadi gantungan ekonomi
masyarakat akan dipatuhi dan dihormati oleh masyarakat kasta bawah, di samping
karena takut jika mereka menganggap tuan tanah dan mereka setara di bidang sosial
maka akan menimbulkan sesuatu yang tidak mereka inginkan, seperti dipecat,
gajinya dipotong, atau segala macam, sekaligus masyarakat merasa tidak etis
jika kaum kasta bawah memosisikan diri setara dengan tuan tanah, berdasarkan
etika primordialisme yang disebutkan di atas. Kultur seperti ini akhirnya sedikit
demi sedikit meluas dari Jawa ke seluruh masyarakat Indonesia. Disebabkan
karena letak sentral Negara Indonesia berada di kawasan Jawa. Pusat pendidikan,
pusat perkotaan, serta pusat ibukota Indonesia Indonesia terletak di kawasan Jawa.
Secara otomatis masyarakat dari luar Jawa akan terobsesi untuk menjalani
aktivitas hidupnya di daerah Jawa, dan secara otomatis pula masyarakat dari
luar Jawa tersebut terpengaruh oleh kultur Jawa. Hal itulah yang saya kira
dimanfaatkan oleh perpolitikan Orde Baru, sehingga meskipun penguasa berbuat yang bertentangan dengan
ideologi demokrasi, masyarakat akan tetap patuh dan tunduk terhadap penguasa
tersebut.
Relasi
Feodalisme Kuno dan Feodalisme Modern
Seperti
yang dikatakan di atas bahwa secara sosial masyarakat masih membeda-bedakan antara
kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan,
hak-hak istimewa, dan prestise. Etika seperti itu masih tetap melekat hingga
pada masyarakat Jawa era modern. Hal ini terbukti jelas di kalangan masyarakat,
khususnya masyarakat pedesaan. Banyak masyarakat kasta bawah pedesaan dirugikan
oleh aturan-aturan adat tradisional serta hubungan ketergantungan bangsawan dan
kasta bawah yang sangat kuat. banyak Bangsawan
menjadi jaminan sosial-ekonomi buat kasta-kasta bawah. Hubungan ketergantungan ini
membuat kasta bawah hampir tidak pernah menggugat bangsawan. Masalah ini
melekat pada budaya tradisional di mana tidak ada pemisahan kekuasaan:
bangsawan adalah pemimpin politik, ekonomi sekaligus sosial. Kalau bangsawan
diadukan sebagai tokoh politik, ada kemungkinan bahwa mereka sebagai tokoh
(penguasa) sosial dan ekonomi membalas dendam terhadap para pengadu. Dengan
kata lain, kalau kita sebagai rakyat kasta bawah membantah bangsawan, maka ada
risiko bahwa kita tidak dibantu kalau misalnya kita sedang mengalami kesulitan.
Akibatnya kita tidak berani untuk menggugat bangsawan tersebut, karena mereka sekaligus
pelindung sosial-ekonomi kita.[3]
Hal ini jelas karena pengaruh sejarah masa lampau, pada era sekitar tahun 300–1602 M. masyarakat Indonesia secara
global di bawah masa parktek kepemimpinan perseorangan atas tanah oleh para
bangsawan. Sedangkan masyarakat kecil menjadi budak para bangsawan tersebut.
Bagaimana tidak mau jadi budak, karena memang masyarakat mempunyai
ketergantungan sosial-ekonomi terhadap para tuan tanah, sekaligus masyarakat
masih mempertimbangkan etika tradisional.
Di sisi lain memang benar apa yang dikatakan oleh Abdul Malik, Mahasiswa
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, bahwa orang Indonesia itu dari dulu memang
tidak suka konflik (sabar), sehingga dari kesabaran tersebut orang Indonesia
mudah diperalat oleh para elit, baik para elit lokal atau para elit luar. Sehingga
ketika colonialisme masuk ke Nusantara, mereka sangat mudah membuat masyarakat
Indonesia tunduk terhadapnya. Para penjelajah kolonial ini bekerja sama dengan
para bangsawan untuk menggerakkan dan menundukkan masyarakat kasta bawah, maka
otomatis hasil kerja keras kasta bawah mengalir ke kolonial dan dibagi hasil
dengan bangsawan pemilik tanah.
Oleh karena itu kita
sebagai orang-orang yang sadar dengan kegelisahan bangsa kita selama ini agar
menggugah para masyarakat yang masih tertidur dengan keadaan ini. Demokrasi
sampai mati![]
sumber gambar: pexels.com
[1]
M. Dawam Rahardjo, “Neo-Feodalisme dan Demokratisasi Ekonomi” dalam Andito (Tim
MAULA) (ed.), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam
Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 130.
[2]
Ibid, hlm. 145.
[3]
Corrie
van der Ven, Kepemimpinan:
Melampaui Feodalisme dan Primordialisme (Makkasar: Jurnal STT Intim
Makassar, 2004), hlm. 36.
0 komentar:
Post a Comment