Oleh: Muhammad Hilal*
Sejak kurang lebih dua bulan yang lalu, saya menggarap sebuah naskah untuk diketik ulang. Naskah ini adalah salah satu buah tangan dari mendiang Kiai Zainullah Bukhari, salah satu ulama yang menjadi pilar peradaban di Desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Memang betul, buah karya beliau bukan ini saja. Di tangan saya juga terdapat beberapa naskah lain berupa kitab tentang Ilmu Tauhid dan sebuah naskah yang menjelaskan tentang praktek Khwajahan dalam tarekat. Barangkali terdapat karya lain buah tangan beliau, namun belum tersebar luas karena belum dicetak ulang atau masih berupa manuskrip tulisan tangan.
Sejak kurang lebih dua bulan yang lalu, saya menggarap sebuah naskah untuk diketik ulang. Naskah ini adalah salah satu buah tangan dari mendiang Kiai Zainullah Bukhari, salah satu ulama yang menjadi pilar peradaban di Desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Memang betul, buah karya beliau bukan ini saja. Di tangan saya juga terdapat beberapa naskah lain berupa kitab tentang Ilmu Tauhid dan sebuah naskah yang menjelaskan tentang praktek Khwajahan dalam tarekat. Barangkali terdapat karya lain buah tangan beliau, namun belum tersebar luas karena belum dicetak ulang atau masih berupa manuskrip tulisan tangan.
Tidak banyak yang saya ketahui tentang profil dan kisah
hidup dari Kiai Zainullah Bukhari ini. Hal ini sebenarnya cukup disayangkan
sebab jika profil dan sejarah hidup beliau terdokumentasikan dengan baik, saya
tidak akan ragu sedikit pun, kita akan bisa meneladaninya dalam hidup kita. Terutama
buat adik-adik remaja kita yang saat ini diterpa badai informasi yang serba tak
terbendung, kisah hidup dan kebijaksanaan mendiang menjadi terasa amat
diperlukan sebagai panutan dan tuntunan kehidupan mereka. Orang-orang bilang,
anak-anak remaja jaman sekarang telah mengambil panutan yang keliru melalui
media-media sosial, sehingga efeknya bisa ditebak, bangsa ini semakin saja
terpuruk dari segi kemanusiaan dan keadilan. Secara ekonomi, anak-anak remaja
ini semakin sejahtera, dan ke depan pun masih terdapat tanda-tanda bahwa
ekonomi secara makro semakin membaik, namun dari segi yang lebih dalam dari itu, tampaknya
jalan ke arah sana masih cukup jauh—untuk tidak mengatakan tidak beranjak sama
sekali.
Baiklah. Naskah yang sedang saya ketik ini berjudul Qurrah
al-Ashfiyâ’ ‘alâ Hidâyah al-Adzkiyâ’. Kitab ini merupakan sebuah syarah
(komentar) terhadap sekumpulan nazam yang bernama Hidâyah al-Adzkiyâ’ buah
karya Syaikh Zain ad-Dîn ibn ‘Alî ibn Ahmad asy-Syâfi’î al-Kûsyanî al-Malîbârî,
yang kesohor dipanggil Al-Malîbârî saja. Kita tahu bersama, Syaikh Al-Malîbârî
adalah ulama yang mengarang kitab Fath al-Mu‘în yang amat terkenal di
kalangan pesantren itu. Nazam ini berupa penjelasan mengenai tasawuf, disusun
dalam bahr kâmil, yakni mengikuti wazn mutafâ‘lun atau lima sukukata diulang enam
kali, dan ber-qâfiyah lâ. Sejauh ini, terdapat beberapa ulama
yang telah men-syarh kumpulan nazam ini, di antaranya adalah Syaikh Nawawi
Banten. Di kemudian hari, barangkali penting pula membandingkan naskah ini
dengan karya-karya lain yang men-syarh nazam yang sama demi meneliti
keunikan dan karakter masing-masing.
Ini tampaknya mencerminkan model kepengarangan mendiang Kiai
Zainullah. Beliau adalah pantulan langsung dari apa oleh sebagian kalangan
disebut dengan silent revolution, yakni sebuah upaya perubahan
masyarakat yang berlangsung secara diam-diam, tidak berisik, dan tanpa gejolak.
Karya-karya mendiang Kiai Zainullah—setidaknya sejauh terdapat di tangan saya—merupakan
bahan-bahan untuk beliau ajar untuk para santri-santrinya. Secara tidak
langsung beliau memang tidak mengaitkannya dengan isu-isu global semacam isu
kapitalisme, konsumerisme, perubahan iklim, terorisme atau lain-lain isu yang
menggemparkan itu, namun perlahan tapi pasti jalan yang ditempuh oleh mendiang Kiai
Zainullah ini mengarah pada tawaran alternatif bagi kebuntuan sebagian kalangan
untuk membendung arus besar tersebut. Selain itu, mendiang Kiai Zainullah
tampaknya juga melanjutkan metode yang diwarisi oleh para ulama terdahulu. Tersebarnya
karya-karya mereka ke segala penjuru bukanlah melalui proses cetak beribu-ribu
eksemplar lalu menyebarkannya melalui para agen. Karya-karya itu tersebar
karena diajarkan oleh para murid-muridnya kepada generasi selanjutnya, dan
demikian selanjutnya hingga karya itu menyebar dengan demikian luasnya dan menembus batas-batas kebangsaan dan bahasa.
Bagaimana kita memaknai karya beliau ini? Salah satunya
mungkin dengan mengaitkannya dengan tema kebangkitan kita sebagai sebuah masyarakat
melalui tradisi. Bukan rahasia lagi, saya kira, bahwa kebangkitan sebuah
masyarakat tidak mungkin tanpa melalui tradisi. Tak terkecuali masyarakat
Eropa, tentu. Kalau kita melihat beberapa orang yang berbicara tentang kemajuan
atau kebangkitan, lalu mereka mengait-kaitkannya dengan tradisi, tidak bisa
lain itu karena tradisi adalah penopang utama bagi kebangkitan, mercusuar utama
bagi laju layar kemajuan. Tapi apa itu tradisi? Menurut Hassan Hanafi adalah al-manqûl
ilainâ, al-mafhûm lanâ, al-muwajjih li sulûkinâ. Semua itu adalah warisan
masa lalu yang mewarnai segenap keseharian kita. Dengan demikian, setiap
proyeksi masa depan, entah itu kemajuan, kebangkitan, masa keemasan, atau
apapunlah namanya, adalah tarikan dan hembusan nafas kita di masa kini. Lalu,
berhubung masa kini kita tidak bisa lepas dari tradisi sebagaimana digambarkan
di muka, maka tidak bisa tidak sikap dan cara pandang yang kita pilih terhadap
masa lalu berarti merupakan sebentuk proyeksi terhadap masa depan.
Buah karya mendiang Kiai Zainullah ini adalah satu lempengan
dalam lapis-lapis tradisi yang turut serta membingkai dan membungkus keseharian
kita. Mengabaikannya dengan begitu saja sama dengan tidak memiliki proyeksi
masa depan. Mengindahkannya tapi tanpa memberikan pemaknaan terhadapnya juga
tidak lebih baik daripada mengabaikannya, sebab dengan demikian masa depan kita
tidak terproyeksi dengan disain yang sesuai menurut kebutuhan masa depan. Rumusan
al-muhâfadzah ‘alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah sudah
menggambarkan bagaimana seharusnya proyeksi itu didisain. Jika kita kaitkan
rumusan ini dengan kitab buah karya mendiang Kiai Zainullah, kita lalu jadi
lebih tertantang lagi bagaimana sebagai masa lalu karya ini menjadi lebih baik
lagi di masa depan, bukan hanya dengan menerbitkannya dengan kertas-kertas dan
tinta yang berwarna-warni, namun juga dengan memunculkan lagi karya-karya baru
yang bisa menerjemahkan kandungannya dalam kekinian yang lebih praktis.
Hasil refleksi di atas kemudian mendorong kita untuk
menangkap secara lebih jernih betapa kekuatan sebuah tradisi mampu menggerakkan
masyarakat yang lebih luas. Kebangkitan adalah sebuah proyek besar yang
jangkauannya akan terasa bahkan hingga beberapa generasi setelah generasi
terkini, sebab tradisi dan proyeksi masa depan ini menyentuh hampir seluruh
aspek masyarakat: pendidikan, politik, budaya, ekonomi, keagamaan-spiritual,
kelembagaan, relasi antar dan intra personal, dan sederet panjang aspek lain.
Kembali ke soal naskah kitab buah karya mendiang Kiai
Zainullah di atas, sengaja saya tidak memaparkan isi darinya secara panjang
lebar sebab akan lebih baik jika para pembaca sekalian mendapatkannya langsung
setelah kitab ini selesai diketik ulang.[]
Muhammad Hilal
mahasiswa pascasarjana Filsafat UGM
sebelum membahas jauh tentang isi tulisan ini, hemat penulis sendiri, apa perbedaan antara 'urf, 'adah, dan gholib??
ReplyDeletemaksud tradisi di sini adalah 'turats'.
ReplyDeleteTerima kasih atas komentarnya ;)
saya rasa sangat tepat beliau mensyarahi kitab tersebut, krn beliau adlh seorang mursyid thariqah. tntg Malibari, kalau bagi mahasiswa Jogja dibaca Malioboro (teks sama klu tidak ada harakat....)
ReplyDeletehaha,
Deletemirip 'amrithi yang dibaca umaryoto :D