Oleh: Halimah Garnasih
“Dulu saya larut di dalamnya. Yah, saya terhanyut dalam arus
imajinya. Saya hilang, menguap, terbuai tiap energi kata-katanya.”
Semuanya
memperhatikan tiap kata yang keluar dari mulutnya. Seorang mahasiswa berambut
gimbal yang duduk di pojok kelas memperhatikan andeng-andeng besar yang
menghiasi hidung sebelah kirinya.
“Sampai
suatu malam, saya temukan selembar novel yang tengah saya baca basah, tertetesi
air mata. Aduhai, saya menangis. Batin saya terseret kisah perempuan tanpa
lelaki di novel ini.” Laki-laki yang membelakangi white board dan
menghadap pada kami semua--yang duduk di kursi-- menyisipi mata kuliah
kali ini dengan kisah pribadinya.
Tapi semuanya seolah tersihir. Seluruh yang ada di kelas ini
berhasil disapu oleh cerita laki-laki berbaju batik itu. Sosok dosen yang
disegani di fakultas ini. Selain itu, dia memang cerdas, salah-satu
dosen yang merupakan sisa-sisa sosok idealis. Aku pun mengaguminya.
Bookmarker itu mendarat di atas meja dosen, terlepas dari tangannya.
“Tapi, setelah belajar ilmu adabi, saya sadar semuanya itu hanya fiksi. Dan
semenjak itu, saya takkan pernah terhanyut oleh nuansa-nuansa batin yang dibuat-buat
oleh pengarangnya.” Lalu duduk dan memandang kami semua. “Itu artinya, air
mataku pun tak pernah lagi berhasil membasahi lembaran-lembaran imaji itu.”
Aku
terperanjat! Tak kusangka sosok di depan sana memiliki pemikiran seperti itu.
Dengan
ekor mataku, kulirik Grobog, teman laki-lakiku yang duduk di kursi belakang
samping kiriku. Tampak ia mengusap-ngusap dagunya dan membalas lirikanku. Dari
pandangannya, sepertinya dia paham apa yang sedang aku pikirkan.
Kelas bubar. Sedang Kamboja di taman fakultas, berguguran. Seekor semut
merambat pada kelopak salah-satu kamboja putih
“Bodoh!”
Gayatri
berkomentar. Sehelai daun kamboja terbang, berpindah tempat akibat angin yang
timbul dari gebrakan tangan Gayatri di atas bangku.
“Sungguh,
dunia sastra akan musnah jika memelihara dosen seperti dia!”
Aku,
Grobog, dan Tuwil, juga Maria memperhatikannya. Kami berlima adalah gerombolan
mahasiswa yang suka nongkrong di bangku bundar di bawah pohon kamboja ini.
Sengaja kami pilih karena nuansanya yang dalam, indah, mempesona, anggun,
sekaligus magis. Namun, banyak teman-teman yang menyebut kami geng Kunthi.
Mungkin, karena bagi mereka pohon kamboja adalah pohon dan bunga milik kunthil
anak dan kawan-kawannya. Kami tak peduli dengan sebutan itu. Bahkan, Tuwil,
teman lelaki berambut panjang yang sangat cinta dengan puisi-puisi Chairil
Anwar ini sangat senang. Karena, menurutnya, sebutan itu membuat geng kami
tenar di kampus. Lebih-lebih di ruang dengar komunitas-komunitas sastra.
“Kenapa
kau berpikir seperti itu, Ga?”
Aku, Grobog,
dan Tuwil langsung melirik ke arah Maria. Gayatri yang tomboy menatap
Maria. Maria memakai baju putih dan sepan
krem. Kalungnya melingkar di lehernya yang putih indah. Bandol salibnya
berkerlap-kerlip ditingkahi cahaya matahari.
“Lalu,
bagaimana yang kau pikirkan, Maria?”
Maria,
dengan gayanya yang lembut dan tampak berwawasan menjawab, “Itu wajar. Pak
Fasad seorang akademisi, kritikus sastra, bukan sastrawan.” penjelasannya santai
tanpa memandang Gayatri karena kedua mata beningnya terpusat pada pusaran
kedalaman bunga Kamboja yang mahkotanya satu demi satu dipetikinya hingga
mahkota-mahkota putih itu jatuh terburai di meja bundar.
“Itu
wajar,” sekali lagi kalimat itu keluar dari mulutnya yang mungil merah jambon.
Aku membuka
lagi satu lembar bukuku di atas meja. Novel Nawal El-Sa’dawi. Kubaca lagi
kalimat demi kalimat meski telinga dan otakku berpusat pada obrolan Gayatri dan
Maria.
“Tapi aku
cenderung sepakat dengan Gayatri,” Tuwil yang dari tadi sedang menorehkan
sajak-sajaknya seperti biasa, tiba-tiba merayapkan suara.
Maria dan
Gayatri menoleh, aku mengangkat wajah dari buku, sedang Grobog, dengan santai
masih mengusap-usap dagunya yang sebernaya tak ditumbuhi jenggot.
“Membaca
novel tidak semestinya apatis,” Tuwil melanjutkan. ”Bayangkan jika kita membaca
novel dengan menutup hati, apa gunanya membaca novel. Membaca karya sastra, apa
pun itu, musti membuka hati selebar-lebarnya. Adagium Pak Fasad tadi, adalah
adagium orang-orang yang menutup hati.”
Gayatri
mengangguk-ngangguk, senang, merasa dibela. Maria diam saja mendengarkan.
Grobog masih santai mengusap-ngusap dagunya seperti tak acuh. Tapi kami tahu,
dia sedang menikmati musik alami. Katanya suatu kali, alam ini dipenuhi musik.
Angin mengirimkan musik, tanah, air, pasir, semuanya. Pernah juga, kami
disuruhnya menahan nafas agar mendengar suara indah dari daun Kamboja yang
gugur dari tangkainya. “Dengarlah, saat daun ini pelan jatuh ke tanah, ia
sedang menggesek alam,” katanya suatu senja.
Kami manggut-manggut.
“Indah bukan?”
Kami
manggut-manggut
“Berarti
kalian juga bisa mendengarnya?” Katanya girang sampai berjingkat dari bangku.
Kami pun
serentak menggeleng. Sontak tubuhnya lesu, kembali duduk di bangku, di samping
daun yang layu.
Bunga kamboja yang putih jatuh melayang-layang tepat di depan wajah
Tuwil. Ia memungutnya. Menyelipkan di telinga kirinya sebelum melanjutkan
pendapatnya.
“Saat
pintu hati dibuka lebar-lebar, dan semua jiwa karya sastra itu telah masuk
dalam hatinya, mengetuk jiwanya, masuk ke batinnya, dan menembus sukmanya, maka
setelah itu, proses kritik sastra bisa dijalankan."
Aku
terpesona pada kalimat dan cara bicaranya. Antara bicara dan berpuisi, sudah
sulit dibedakan. Bicaranya adalah berpuisi, dan puisinya berbicara. Tak
mati.
Maria
menyelipkan lagi rambutnya yang keluar dari jepitan telinganya dan mulai
melepas apa yang ada dalam pikirannya. ”Seorang kritikus tidak akan
lagi objektif jika dirinya saja terburai dan terpesona karena
pada saat itu dia tidak sedang menjadi dirinya sendiri. Dia telah terhanyut,
berarti dia telah menjadi orang lain. Dan orang lain itu adalah tokoh dalam
karya itu. Berarti, pada saat itu, dia sedang dalam keadaan fiktif! Dia tidak
mengenal dirinya sendiri dengan seutuhnya maka pada saat itu juga bisa jadi dia
sedang tidak menjadi seorang akademis, seorang kritikus!”
Gayatri
bengong, aku melongo, dan Tuwil, sepertinya terbangun dari dunia musik
alamnya, dia pun menoleh. Bergabung kembali pada dunia kami.
Keadaan
pun kaku. Senyap sebentar. Tak ada satu pun kata yang terlontar dari mulut
siapa-siapa. Aku pun bingung. Yang jelas, aku merasa tidak sepenuhnya setuju
dengan argumen Maria tapi aku tidak tahu apa alasannya. Aku tidak tahu,
haruskah membuka pintu hati lebar-lebar, menutupnya rapat-rapat atau setengah
membuka dan setengah menutup?
Bunga
kamboja jatuh di tengah-tengah kami. Lalu, musik alam pun bermain. Tiba-tiba kami semua mendengar.
Suaranya memenuhi telinga kami sampai mmenyusup-nyusup dalam jiwa
dan mata kami semua tiba-tiba buta. Gelap.
Tiba-tiba
saja dalam gelap itu mucul sosok lelaki berambut panjang dengan kamboja di
telinga kiri menari-nari. Terus menari-nari seiring tabuhan gendang dalam
kegelapan.
Malang, 07 Februari 2013
Halimah Garnasih
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bergiat di Rumah Kreatif Matapena Yogyakarta
dan sanggar Salemba Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment