Oleh: Doel Rohim
Pada suatu malam
yang gaib. Pada waktu antara siang dan malam. Pada pertemuan dua lautan. Aku
bertemu dengannya, Gandalf (salah satu tokoh dalam film The Lord of the Ring) . Atau lebih tepatnya seseorang yang mirip
dengannya. Sama-sama tua, sama-sama berjubah, sama-sama berambut panjang dan
berjenggot panjang, dan sama-sama mempunyai tongkat yang lebih panjang dari
tubuhnya.
"Secara
fungsional buku ini mirip dengan Death
Note, bahwa nama siapapun yang ditulis pada buku ini akan mati," kata
orang tua itu sambil menyerahkan sebuah buku bersampul hitam. Dengan sedikit
gemetar aku menerima pemberiannya.
"Kenapa aku
yang harus menerima buku ini?" Ucapku dalam hati.
"Karena kau
yang terpilih." Astaga! Dia bisa mendengar suara hatiku.
"Ya, aku bisa
mendengar suara hatimu, bahkan aku bisa mendengar apa yang belum kau ucapkan....
Hahaha!" Orang tua itu tertawa
membahana.
"Mulai
sekarang seluruh nyawa umat manusia ada di tanganmu. Untuk itu, kau harus bijak
menentukan nama yang akan kau tuliskan pada buku itu. Apabila tidak, kau
sendiri yang akan celaka.... Hahahaha!" Kembali orang tua itu tertawa
membahana. Dan, cling! Tiba-tiba orang tua itu sudah sirna dari hadapanku. Aku
mengucek-ngucek mata tak percaya.
Debur suara ombak
terdengar di telingaku. Di pojok sebuah karang tampak sepasang ikan sedang
mesra berpacaran. Barangkali memang benar kata orang-orang, ketika sedang jatuh
cinta dunia rasanya hanya milik berdua. Aku mendesah pelan, mencoba memecah
kesunyianku sendiri. Tak lama kemudian sepasang ikan yang sedang dilanda asmara
itu menghilang di balik gelapnya bebatuan.
Aku berfikir
keras siapa nama pertama yang akan aku tulis pada buku ini. Aku membaca koran
dan majalah bahkan membuka internet bertanya pada google tentang siapa makhluk di dunia ini yang pantas untuk mati. Aha,
aku menemukannya, yaitu para koruptor.
Kemudian aku
membuat daftar para koruptor yang ada di dunia ini, utamanya yang masih berkeliaran
di muka bangsa tercinta ini.
Aku mengambil
pena juga buku pemberian sang kakek tua, ingin sesegera mungkin menuliskan nama
orang-orang paling terkutuk nan rakus itu. Namun, sebelum aku membubuhkan nama
mereka pada buku kematian, berkelebat keraguan dalam benakku.
Jangan-jangan
mereka korupsi karena tidak punya pilihan, jangan-jangan mereka terpaksa
melakukan tindakan kotor itu, karena kebutuhan ekonomi misalnya. Apalagi di tengah
bangsa yang makin hari siklus ekonominya tidak bisa ditebak. Jadi wajar saja
kalau mereka korupsi. Lebih besar pasak daripada tiang, mereka punya istri dan
anak yang harus dibiayai dengan uang.
Lalu bagaimana
dengan mereka yang haknya diambil oleh koruptor itu, apakah mereka juga tidak
punya anak istri? Apa mereka tidak butuh makan dan minum?
Entahlah, otakku
terlalu dangkal untuk memikirkan semua itu.
Dengan berbagai
pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk tidak menulis nama para koruptor pada buku kematian. Standar tentang kematian
aku turunkan. Aku mulai dari keluargaku saja, yang sangat jelas aku tahu luar dan
dalamnya. Orang tua? Tentu saja tidak, hanya orang tidak waras saja yang
membunuh orang tuanya sendiri.
Oh iya, aku punya
bibi yang cerewetnya minta ampun, tidak hanya cerewet padaku tapi terkadang
pada orang tuaku juga. Ah, barangkali dia adalah orang yang tepat untuk
meninggalkan dunia ini. Tapi, pada waktu-waktu tertentu ia bisa menjadi orang
yang baik, terutama padaku. Ah, tidak. Bibiku tidak layak untuk mati. Siapa
tahu suatu saat nanti aku bisa memanfaatkan kebaikannya.
Keluarga adalah
segalanya. Aku bukan siapa-siapa tanpa mereka. Aku akan sangat kehilangan jika
salah satu dari mereka tiada. Aku tidak boleh gegabah, sebelum hidupku
dihinggapi penyesalan tiada tara.
Dari keluarga aku
menuju teman. Aku mempunyai banyak teman. Sebagian menyenangkan sebagian lagi
menyebalkan. Aku sangat benci pada golongan kedua ini. Bagaimana tidak, mereka
datang ketika membutuhkan dan pergi ketika dibutuhkan. Teman macam apa itu?
Mereka itu bukan kawan tapi lawan, mereka itu musuh!
Seperti perang,
ketika orang yang berhadapan denganmu itu kau anggap musuh, maka kau akan tega
untuk membunuh. Bukan hanya tega tapi juga bangga.
Eits, tunggu dulu!
Aku tidak boleh sembrono. Aku harus memikirkan dengan matang persoalan ini.
Menghilangkan nyawa orang bukanlah hal yang kecil. Seorang teman yang
menyebalkan pernah berkata padaku
"Aku belajar
banyak hal dari musuhku, ia mengajarkan kebaikan dengan keburukan." Aku
mengamini ucapannya. Meskipun dalam banyak hal aku selalu menjadi musuhnya.
Jadi sekarang kau
tahu kenapa aku tidak menulis nama teman-temanku yang menyebalkan pada buku
kematian.
Sedikit demi sedikit
kebingungan mulai melanda pikiranku. Mungkinkah aku harus menuliskan nama dosen
yang mengajarku di kampus? Jika kau mahasiswa tua sepertiku, aku yakin kau akan
pernah berhadapan dengan dosen yang membuat batu amarah yang ada di dadamu
runtuh, setelah dosen itu berlalu kau mengutuknya dalam hati. Sepanjang jalan pulang
dari kampus kau menyebut nama dosen itu dengan tambahan nama hewan-hewan
tertentu. Bukannya aku sok tahu, tapi akui saja kalau kau pernah melakukan hal
semacam itu.
Jika suatu saat
kau menemukan buku kematian itu di jalan di sekitar kampus tempatmu kuliah,
maka tidak akan kau dapati nama dosenku yang tertera di situ. Kenapa? Harusnya
kau tahu alasannya.
Aku harus
menemukan nama untuk kutuliskan pada buku itu. Paling tidak satu nama. Tapi
siapa? Apakah di dunia ini sudah tidak ada lagi orang yang pantas untuk mati?
Aha! Aku teringat
satu nama. Pemilik nama itu pernah menghunuskan senyum tepat di jantungku.
Keputusannya telah membuat hatiku hancur berkeping-keping, yang kemudian dengan
lelehan air mata aku kembali menyusun kepingan-kepingan tersebut seperti
semula. Ya, dia adalah mantan pacarku.
Dulu, setelah aku
putus, aku sangat ingin membunuhnya juga lelaki yang sekarang menjadi suaminya.
Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan keinginan yang
tertunda.
Dengan sigap aku
mengambil pena. Yang pertama akan kutulis adalah lelaki brengsek, penjahat yang
telah mencuri permaisuri hidupku. Kubayangkan si brengsek itu kejang-kejang di
atas ranjang sambil memegangi dadanya yang sakit. Melihat kondisi suaminya yang
seperti itu istrinya akan menjerit histeris sambil menangis. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaan seorang istri yang melihat suaminya mati
mengenaskan di depan matanya sendiri. Tapi tak apa, mantan pacarku itu memang
harus merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan orang yang dicintai. Seperti
aku yang dulu pernah ia tinggalkan.
Tidak, sebaiknya
aku membunuh yang perempuan dulu biar yang laki-laki juga merasakan apa yang
pernah aku rasakan. Setelah kematian istrinya si lelaki akan kawin lagi. Dari
alam kubur istrinya akan menangis melihat suaminya tidak setia. "Dasar
lelaki!" umpat istrinya dari dalam kubur. Hahaha! Bahkan sakitnya pun
dibawa mati. Setelah dua bulan lelaki itu bersama istrinya, baru aku akan
membunuhnya. Yes! Aku telah menemukan orang yang tepat untuk mati.
Sebuah nama telah
tertulis pada lembar pertama buku kematian. Tak harus menunggu lama, beberapa
saat lagi pemilik nama itu akan kehilangan ruhnya. "JAMBRONG", nama
itulah yang aku tulis pada buku kematian. Tentu saja itu bukan nama mantan
pacarku juga bukan nama suaminya. Sepersekian detik sebelum aku menulis nama mantan
pacarku pada buku kematian tiba-tiba aku teringat wajahnya, ingat suaranya,
ingat harum tubuhnya, ingat dengan ucapannya kalau cintanya untukku akan berada
di dalam hatinya, selamanya. Aku juga ingat ucapannya kalau keputusan berpisah
denganku adalah jalan terbaik untuk kebaikan bersama. Selain itu, kalau aku
tidak putus dengannya, barangkali aku tidak akan bisa bertemu dan bersanding
dengan bidadari yang telah memberiku dua anak yang lucu-lucu.
Aku menutup buku
kematian, mendekapnya dengan erat, menunggu saat-saat paling menegangkan dalam
hidupku.
***
Lelaki tua yang mirip dengan Gandalf itu
menghampiriku.
"Sudah kau tulis nama orang yang ingin
kau bunuh, Jambrong?"
"Sudah, Mbah," jawabku, sambil
menyerahkan buku kematian.
Cling! Gandalf hilang tanpa permisi.[]
Catatan:
Death
Note, di Indonesia juga dikenal dengan judul Dunia Dewa Kematian, adalah judul
sebuah serial manga Jepang yang ditulis oleh Tsugumi Ohba dan ilustrasi oleh
Takeshi Obata.
Doel Rohim
adalah Aktivis Matapena Yogyakarta
hahaha. ternyata dia adalah lelaki.
ReplyDeleteAha!ada apa ini?
iya, ya. ada apa ya? :D
ReplyDelete