Wednesday, June 19, 2013

Buku Kematian

10:30 PM

Oleh: Doel Rohim

Pada suatu malam yang gaib. Pada waktu antara siang dan malam. Pada pertemuan dua lautan. Aku bertemu dengannya, Gandalf (salah satu tokoh dalam film The Lord of the Ring) . Atau lebih tepatnya seseorang yang mirip dengannya. Sama-sama tua, sama-sama berjubah, sama-sama berambut panjang dan berjenggot panjang, dan sama-sama mempunyai tongkat yang lebih panjang dari tubuhnya.

"Secara fungsional buku ini mirip dengan Death Note, bahwa nama siapapun yang ditulis pada buku ini akan mati," kata orang tua itu sambil menyerahkan sebuah buku bersampul hitam. Dengan sedikit gemetar aku menerima pemberiannya.

"Kenapa aku yang harus menerima buku ini?" Ucapku dalam hati.

"Karena kau yang terpilih." Astaga! Dia bisa mendengar suara hatiku.
"Ya, aku bisa mendengar suara hatimu, bahkan aku bisa mendengar apa yang belum kau ucapkan.... Hahaha!"  Orang tua itu tertawa membahana.

"Mulai sekarang seluruh nyawa umat manusia ada di tanganmu. Untuk itu, kau harus bijak menentukan nama yang akan kau tuliskan pada buku itu. Apabila tidak, kau sendiri yang akan celaka.... Hahahaha!" Kembali orang tua itu tertawa membahana. Dan, cling! Tiba-tiba orang tua itu sudah sirna dari hadapanku. Aku mengucek-ngucek mata tak percaya.

Debur suara ombak terdengar di telingaku. Di pojok sebuah karang tampak sepasang ikan sedang mesra berpacaran. Barangkali memang benar kata orang-orang, ketika sedang jatuh cinta dunia rasanya hanya milik berdua. Aku mendesah pelan, mencoba memecah kesunyianku sendiri. Tak lama kemudian sepasang ikan yang sedang dilanda asmara itu menghilang di balik gelapnya bebatuan.

Aku berfikir keras siapa nama pertama yang akan aku tulis pada buku ini. Aku membaca koran dan majalah bahkan membuka internet bertanya pada google tentang siapa makhluk di dunia ini yang pantas untuk mati. Aha, aku menemukannya, yaitu para koruptor.

Kemudian aku membuat daftar para koruptor yang ada di dunia ini, utamanya yang masih berkeliaran di muka bangsa tercinta ini.

Aku mengambil pena juga buku pemberian sang kakek tua, ingin sesegera mungkin menuliskan nama orang-orang paling terkutuk nan rakus itu. Namun, sebelum aku membubuhkan nama mereka pada buku kematian, berkelebat keraguan dalam benakku.

Jangan-jangan mereka korupsi karena tidak punya pilihan, jangan-jangan mereka terpaksa melakukan tindakan kotor itu, karena kebutuhan ekonomi misalnya. Apalagi di tengah bangsa yang makin hari siklus ekonominya tidak bisa ditebak. Jadi wajar saja kalau mereka korupsi. Lebih besar pasak daripada tiang, mereka punya istri dan anak yang harus dibiayai dengan uang.

Lalu bagaimana dengan mereka yang haknya diambil oleh koruptor itu, apakah mereka juga tidak punya anak istri? Apa mereka tidak butuh makan dan minum?

Entahlah, otakku terlalu dangkal untuk memikirkan semua itu.

Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk tidak menulis nama para koruptor  pada buku kematian. Standar tentang kematian aku turunkan. Aku mulai dari keluargaku saja, yang sangat jelas aku tahu luar dan dalamnya. Orang tua? Tentu saja tidak, hanya orang tidak waras saja yang membunuh orang tuanya sendiri.

Oh iya, aku punya bibi yang cerewetnya minta ampun, tidak hanya cerewet padaku tapi terkadang pada orang tuaku juga. Ah, barangkali dia adalah orang yang tepat untuk meninggalkan dunia ini. Tapi, pada waktu-waktu tertentu ia bisa menjadi orang yang baik, terutama padaku. Ah, tidak. Bibiku tidak layak untuk mati. Siapa tahu suatu saat nanti aku bisa memanfaatkan kebaikannya.

Keluarga adalah segalanya. Aku bukan siapa-siapa tanpa mereka. Aku akan sangat kehilangan jika salah satu dari mereka tiada. Aku tidak boleh gegabah, sebelum hidupku dihinggapi penyesalan tiada tara.

Dari keluarga aku menuju teman. Aku mempunyai banyak teman. Sebagian menyenangkan sebagian lagi menyebalkan. Aku sangat benci pada golongan kedua ini. Bagaimana tidak, mereka datang ketika membutuhkan dan pergi ketika dibutuhkan. Teman macam apa itu? Mereka itu bukan kawan tapi lawan, mereka itu musuh!

Seperti perang, ketika orang yang berhadapan denganmu itu kau anggap musuh, maka kau akan tega untuk membunuh. Bukan hanya tega tapi juga bangga.

Eits, tunggu dulu! Aku tidak boleh sembrono. Aku harus memikirkan dengan matang persoalan ini. Menghilangkan nyawa orang bukanlah hal yang kecil. Seorang teman yang menyebalkan pernah berkata padaku

"Aku belajar banyak hal dari musuhku, ia mengajarkan kebaikan dengan keburukan." Aku mengamini ucapannya. Meskipun dalam banyak hal aku selalu menjadi musuhnya.

Jadi sekarang kau tahu kenapa aku tidak menulis nama teman-temanku yang menyebalkan pada buku kematian.

Sedikit demi sedikit kebingungan mulai melanda pikiranku. Mungkinkah aku harus menuliskan nama dosen yang mengajarku di kampus? Jika kau mahasiswa tua sepertiku, aku yakin kau akan pernah berhadapan dengan dosen yang membuat batu amarah yang ada di dadamu runtuh, setelah dosen itu berlalu kau mengutuknya dalam hati. Sepanjang jalan pulang dari kampus kau menyebut nama dosen itu dengan tambahan nama hewan-hewan tertentu. Bukannya aku sok tahu, tapi akui saja kalau kau pernah melakukan hal semacam itu.

Jika suatu saat kau menemukan buku kematian itu di jalan di sekitar kampus tempatmu kuliah, maka tidak akan kau dapati nama dosenku yang tertera di situ. Kenapa? Harusnya kau tahu alasannya.

Aku harus menemukan nama untuk kutuliskan pada buku itu. Paling tidak satu nama. Tapi siapa? Apakah di dunia ini sudah tidak ada lagi orang yang pantas untuk mati?

Aha! Aku teringat satu nama. Pemilik nama itu pernah menghunuskan senyum tepat di jantungku. Keputusannya telah membuat hatiku hancur berkeping-keping, yang kemudian dengan lelehan air mata aku kembali menyusun kepingan-kepingan tersebut seperti semula. Ya, dia adalah mantan pacarku.

Dulu, setelah aku putus, aku sangat ingin membunuhnya juga lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan keinginan yang tertunda.

Dengan sigap aku mengambil pena. Yang pertama akan kutulis adalah lelaki brengsek, penjahat yang telah mencuri permaisuri hidupku. Kubayangkan si brengsek itu kejang-kejang di atas ranjang sambil memegangi dadanya yang sakit. Melihat kondisi suaminya yang seperti itu istrinya akan menjerit histeris sambil menangis. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang istri yang melihat suaminya mati mengenaskan di depan matanya sendiri. Tapi tak apa, mantan pacarku itu memang harus merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan orang yang dicintai. Seperti aku yang dulu pernah ia tinggalkan.

Tidak, sebaiknya aku membunuh yang perempuan dulu biar yang laki-laki juga merasakan apa yang pernah aku rasakan. Setelah kematian istrinya si lelaki akan kawin lagi. Dari alam kubur istrinya akan menangis melihat suaminya tidak setia. "Dasar lelaki!" umpat istrinya dari dalam kubur. Hahaha! Bahkan sakitnya pun dibawa mati. Setelah dua bulan lelaki itu bersama istrinya, baru aku akan membunuhnya. Yes! Aku telah menemukan orang yang tepat untuk mati.

Sebuah nama telah tertulis pada lembar pertama buku kematian. Tak harus menunggu lama, beberapa saat lagi pemilik nama itu akan kehilangan ruhnya. "JAMBRONG", nama itulah yang aku tulis pada buku kematian. Tentu saja itu bukan nama mantan pacarku juga bukan nama suaminya. Sepersekian detik sebelum aku menulis nama mantan pacarku pada buku kematian tiba-tiba aku teringat wajahnya, ingat suaranya, ingat harum tubuhnya, ingat dengan ucapannya kalau cintanya untukku akan berada di dalam hatinya, selamanya. Aku juga ingat ucapannya kalau keputusan berpisah denganku adalah jalan terbaik untuk kebaikan bersama. Selain itu, kalau aku tidak putus dengannya, barangkali aku tidak akan bisa bertemu dan bersanding dengan bidadari yang telah memberiku dua anak yang lucu-lucu.

Aku menutup buku kematian, mendekapnya dengan erat, menunggu saat-saat paling menegangkan dalam hidupku.
***
Lelaki tua yang mirip dengan Gandalf itu menghampiriku.

"Sudah kau tulis nama orang yang ingin kau bunuh, Jambrong?"

"Sudah, Mbah," jawabku, sambil menyerahkan buku kematian.

Cling! Gandalf hilang tanpa permisi.[]

Catatan: 
Death Note, di Indonesia juga dikenal dengan judul Dunia Dewa Kematian, adalah judul sebuah serial manga Jepang yang ditulis oleh Tsugumi Ohba dan ilustrasi oleh Takeshi Obata.


Doel Rohim
adalah Aktivis Matapena Yogyakarta

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

2 komentar:

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top