Oleh: Imron Haqiqi*
Bagimana kabarmu, Vin? Aku rindu padamu. Melihatnya aku seperti melihatmu,
Vin. Dia mempunyai sifat yang sama sepertimu. Sama-sama wanita yang sabar, periang,
dan kuat. Tapi semoga kelak dia tidak mempunyai nasib sepertimu, Vin. Doakan
dia semoga dia mempunyai nasib yang lebih baik darimu. Sekarang engkau seperti
kembali di tengah-tengah kita. Terkadang aku merasa dia adalah cuplikanmu.
Vin, Tahukah kau, dulu aku salut padamu, bahkan aku sempat iri padamu ketika engkau
mengatakan padaku tentang kehidupan. Hidup adalah sebuah perjuangan untuk mencapai suatu tujuan, dan dalam
perjuangan harus mempunyai strategi, hingga menimbulkan suatu pilihan. Maka
dalam hidup, kau harus memilih untuk mencapai sesuatu yang
engkau tuju, katamu. Waktu itu aku terdiam, aku mati kutu ketika engkau berkata
seperti itu, seperti kucing
yang baru saja tersiram derasnya air hujan. Entah kenapa aku jadi mati kutu
ketika kau menasihatiku. Padahal, seharusnya aku yang menasihatimu sebagai
laki-laki yang lebih tua. Karena, menurut adat, seorang
laki-laki katanya adalah panutan bagi seorang perempuan. Tapi kenapa kali ini justru sebaliknya? Engkau yang lebih banyak
menasehatiku. Apakah karena kebodohanku? Ahh, Terserahlah, karena bagiku
pribadi, antara laki-laki dan
perempuan sama, dalam ajaran maupun adat
belum ada perempuan dilarang menasehati laki-laki. Bagiku jangan melihat siapa
yang berkata, tapi apa yang dikatakan. dan sekarang aku sadar bahwa kau memang benar. Beberapa waktu lalu aku
merenunginya.
Waktu itu aku sempat heran padamu, Vin, ketika engkau suka nonton sepak bola di rumah Bu Parmi, tetangga
kita, dan ketika engkau tak mau ketinggalan nonton layar tancap yang biasa
digelar di balai desa, hingga pernah engkau menangis meraung-raung ketika ibu
melarangmu melihat layar tancap karena engkau dianggap nakal. Ketika itu aku
sepakat dengan ibu, karena memang wajarnya tak pantaslah seorang gadis
sepertimu keluar malam-malam. Tapi, aku tertegun ketika engkau mengatakan bahwa
engkau suka nonton sepak bola dan layar tancap untuk pencitraan hidupmu. Dan
lagi-lagi aku mati kutu ketika engkau menyangkalku karena aku marah membela ibu.
Dengan nonton sepakbola kita bisa belajar strategi kehidupan, dan engkau
menjelaskan dengan detail bahwa bola ibarat sesuatu yang kita tuju dalam
kehidupan. Seorang pemain bola harus mempunyai strategi bagaimana agar supaya
bola sampai ke gawang, begitu pun dengan film layar tancap, lanjutmu. Hidup
adalah sandiwara, Bang. Pun juga film. Setiap film mempunyai misi, dan setiap
tokoh mempunyai strategi untuk sebuah misi tersebut, sama seperti hidup ini, Bang, katamu.
Aku masih menyimpan karya cerpenmu yang engkau tulis di waktu engkau duduk
di kelas 2 SMA. Cerpenmu sangat indah, sangat menginspirasiku. Dan masih
ingatkah engkau ketika engkau mengatakan bahwa engkau menulis cerpen adalah untuk
menginspirasi pembaca cerpenmu—hasil pencitraanmu dari nonton sepakbola dan
layar tancap. Aku terhenyak waktu itu, Vin. Kaget sekaligus salut padamu. Sungguh engkau wanita yang
hebat. Engkau memang wanita yang tak pantang mundur. Maafkan aku, karena aku
tidak bisa mengabulkan keinginanmu, ketika engkau mengatakan bahwa engkau ingin
memperdalam kepenulisanmu sambil kuliah di jurusan Sosiologi. Engkau ingin
menjadi penulis, dan pencitraannya akan kau gali dari hasil belajar sosiologi,
katamu waktu itu. Masih ingatkah dirimu, Vin? Tapi sekali lagi ma’af. Aku tidak
bisa mengabulkan semua keinginanmu itu. Malah dengan keterpaksaan engkau harus
menjual tubuhmu, yang tidak pernah terbayang olehmu dan olehku. Oleh karena ibu
kita yang jatuh sakit ketika engkau hendak berangkat kuliah setelah menerima
surat kelulusanmu dari sekolah menengahmu. Dengan segala ketidakmampuan akhirnya
engkau harus mengurungkan niatmu, karena engkau harus membantuku bekerja di
kota untuk membayar hutang pembiayaan rumah sakit ibu, tapi justru pekerjaanku
yang mengantarkan engkau masuk di dunia suram nan hitam, menjadi seorang perempuan
malam, setelah dirasa pekerjaanku tidak akan mencukupi untuk membayar
hutang-hutang itu.
Sebenarnya aku tidak menginginkan engkau masuk di dunia itu, Vin. Aku tidak
ingin engkau menjadi perempuan malam. Engkau masih gadis, aku tidak mau engkau
kehilangan kegadisanmu meskipun demi keluarga kita, karena kegadisan adalah
suatu kehormatan yang tidak ternilai harganya bagi seorang wanita. Tapi engkau tetap bersikeras untuk tetap
menjadi perempuan malam. ”Biarlah
aku terjun ke dunia itu, Bang. Demi ibu kita. Mungkin dengan pekerjaan ini aku bisa menopang
kehidupan kita, kehidupan abang, kehidupan ibu juga, kehidupan semua keluarga
kita.” Katamu waktu itu. Aku
terharu mendengar ucapanmu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu, tidak
mempunyai alasan lagi untuk mencegahmu, hingga aku pun akhirnya harus
merelakanmu masuk ke dunia pilihanmu itu, meskipun sebenarnya aku masih berat
dan bimbang, Vin.
***
ketika desiran angin memecah kesunyian malam. Engkau selalu duduk manis di
bawah pohon Tanjung yang tertanam di trotoar jalan. Dengan baju sekat dan
memakai rok mini. Juga masih teringat olehku, ketika secercah cahaya lampu
jalanan memantulkan lipstikmu yang menghiasi bibir manismu, hanya untuk menarik
perhatian pria-pria yang kebetulan lewat, dan engkau akan mengulum senyum
padanya untuk memancing nafsu berahinya. Ketika pria itu mulai tertarik pada
senyummu, engkau akan menarik bajunya, dan menggodanya lebih jauh, tanpa peduli
dia pacar siapa atau suami siapa. ketika pria itu hanyut oleh godaanmu, kalian
akan bersenang-senang dengan perpaduan cinta dan nafsu. Aku tahu hatimu
menangis setiap engkau melayani laki-laki yang menikmati tubuhmu, Vin. Meskipun
engkau selalu menyembunyikannya dariku, apalagi ketika Jajang mengungkapkan
cintanya padamu, tapi engkau menolaknya. Padahal sebenarnya engkau juga
mencintainya. Dan engkau menangis di balik tumpukan kardus ketika Jajang pergi dengan rasa kecewa akibat tolakan
cintamu. Aku tahu semua itu,
Vin. Semua itu engkau lakukan hanya untuk beberapa lembar uang. Untuk ibu kita.
Kau adalah adikku satu-satunya, Vin. Sebenarnya aku ingin sekali
mengabulkan keinginanmu untuk menjadi seorang penulis dan kuliah di jurusan Sosiologi.
Sesuai dengan keinginanmu. Suatu saat, ketika hutang pembiayaan ibu kita telah
lunas aku ingin engkau meninggalkan pekerjaanmu, dan aku ingin engkau kuliah,
meskipun memang secara akal sehat pekerjaanku tidak akan mungkin mengatasi
semua itu, tapi aku akan berusaha. Karena aku sudah tidak sanggup melihatmu,
tidak sanggup melihat penderitaan jiwamu yang selalu kau tampar-tampar dengan
nalurimu. Pernah satu kali aku menangis begitu memilukan, Vin, ketika aku di waktu
dini hari hendak pulang habis mancari rongsokan di pinggiran kota, dan aku
menemukan kau di dalam semak-semak lahan kosong sedang di bawah tindihan
seorang lelaki tua renta, seorang om yang mungkin sebaya bapak kita. Aku sempat
melihat senyummu yang engkau paksakan demi memuaskan orang tua renta itu.
Meskipun aku tahu, nalurimu sangat bersedih dan menangis meraung-raung. Aku tahu itu. Mungkin jika bukan tangis hati, suara tangismu
itu akan membangunkan dan akan membuat ramai anjing-anjing peliharaan orang-orang kaya kota.
Waktu terus berlalu. Engkau menghabiskan hari-harimu dengan profesi kotor
tapi suci itu, dan setelah sekian lama akhirnya engkau berhasil juga. Engkau
dapat melunasi hutang-hutang ibu kita dengan hasil jerih payahmu, hasil tetesan
peluh manismu. Ketika itu engkau memutuskan untuk mengakhiri profesimu itu, aku
sangat senang sekali mendengarnya, dan aku bertambah senang ketika engkau mengatakan
engkau ingin mempunyai seorang buah hati supaya ada seseorang yang bisa menjadi
pelampiasan cintamu. Tapi, setelah itu aku kaget dan kecewa ketika engkau
meneruskan perkataanmu yang ternyata engkau ingin mempunyai anak dari salah satu
pria yang menyetubuhimu, bukan dari calon suamimu. Aku tidak habis pikir dengan
keputusanmu itu, Vin. “Kenapa tidak engkau mencari laki-laki yang benar-benar
mencintaimu, Vin, dan menikahlah dengannya.” Nasehatku waktu itu. Tapi kau
tidak menggubris nasehatku
itu, Vin. “Aku tidak mau laki-laki mencintai seorang perempuan yang kotor ini, Bang.”
Jawabmu waktu itu. “Setiap manusia sudah di tentukan jodohnya oleh Tuhan, Vin,
dan aku yakin Tuhan sudah
menyediakan seorang pria untuk pendamping hidupmu, dan itu adalah jodohmu.” Kataku
menegaskan. Tapi lagi-lagi engkau tetap bersikeras dengan keputusanmu, Vin.
Keputusanmu selalu membuat aku pusing. Tapi, kepusinganku itu sia-sia. Engkau
tetap tak berubah pikiran, hingga di suatu malam engkau berpamitan untuk pergi
mangkal yang terakhir kalinya, dan akhirnya selang beberapa waktu engkau
membuktikan perkataanmu. Ternyata engkau benar-benar tidak main-main dengan
keputusanmu. Engkau benar-benar hamil. Tanpa tahu siapa ayah dari anak yang
engkau kandung, Vin.
Hari-hari terus berselang. Semakin hari kehamilanmu semakin dewasa. Perutmu
semakin membesar. Hingga tiba waktunya bayi dalam perutmu lahir. Masih ingatkah
kau saat engkau melahirkan di atas tumpukan kardus yang hendak di setor ke
juragan pemulung. Engkau melahirkan di bantu oleh Mak Marni, seorang janda
separuh baya yang setiap harinya bekerja sebagai pengemis di jalan kota. Anakmu
berhasil engkau lahirkan. Tapi engkau mengakhiri hidupmu saat itu juga. Vin,
bukankah engkau menginginkan anak itu? Tapi kenapa engkau meninggalkan anakmu,
seorang bayi perempuan yang katanya akan kau buat lampiasan rasa cintamu? Tapi ternyata engkau malah meninggalkannya
sendirian, Vin. Pun dia tanpa seorang bapak.
Vin, tahukah engkau. Sekarang
Putrimu sudah besar. Dia sekarang telah duduk kelas 4 SD. Dia selalu
mengantongi juara kelas, Vin. Dia sama sepertimu dalam segala hal, suka nonton sepakbola dan nonton
film, sama sepertimu. Dia wanita yang sabar, periang, dan kuat.[]
Yogyakarta, 28-01-2013
Imron Haqiqi adalah mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
apakah tepat penyebutan anak perempuan kelas 4 SD dengan istilah wanita? [pada kalimat dan paragraf terakhir]
ReplyDeletesaya ingin mengatakan kesamaan antara si putri dengan si ibu dari sisi sifatnya, terlepas dari pandangan usia. maka perkiraan saya, kata "Wanita"-lah yang cukup tepat......
ReplyDelete