Oleh: Rizqia Arqi MS*
Aku menatap cermin di depanku dengan seksama.
Wajah yang terpantul di sana masih sama. Tak ada yang berubah sedikit pun. Aku tersenyum
simpul menatap wajah mulus tanpa setitik pun noda. Wajah yang selama ini aku bangga-banggakan
dan dikagumi banyak orang.
Sekian detik berlalu. Tiba-tiba cermin
itu retak lalu perlahan luruh ke lantai di depan kakiku. Aku terperanjat. Tak menyangka
cermin itu pecah menjadi kepingan-kepingan tak beraturan. Perlahan aku berjongkok
hendak membereskan pecahan kaca yang berserakan di depanku. Namun gerakanku terhenti
saat kulihat wajah buruk rupa terpantul berantakan di pecahan kaca itu. Kuhempaskan
tubuhku ke belakang hingga membuatku jatuh terduduk. Kuraba wajahku dengan tangan
bergetar. Tidak, ini tidak mungkin! Aku menggeleng kebingungan. Kuraba wajahku sekali
lagi. Bagaimana bisa kulit mulus itu berubah total dalam hitungan detik?
"Ini pasti mimpi." Gumamku pada
diri sendiri. Aku segera bangkit. Berlari mencari cermin yang lain. Berharap ini
hanya mimpi atau sekedar halusinasi.
Ketemu! Itu dia! Aku bergegas menghampiri
cermin yang tergantung di sudut ruangan. Namun langkahku berubah pelan ketika dari
kejauhan kulihat wajah asing terpantul di cermin itu. Aku menoleh kebelakang. Tak
ada siapa-siapa di sana. Pandanganku lalu berputar menyapu seluruh ruangan. Tak
ada apa-apa di sana selain pecahan cermin tadi dan cermin utuh di hadapanku.
Jantungku berdegup kencang. Aku seperti
hendak melangkah menuju tiang pancungan. Semakin dekat jantungku kian berdetak cepat
seakan hendak meledak. Seperti bom waktu yang bergerak dalam hitungan mundur.
Mataku membulat ketika wajah yang
terpantul di cermin itu terpampang jelas di depan mataku. Wajah itu rusak parah.
Terdapat bekas luka yang cukup dalam di beberapa bagian serta benjolan-benjolan
kecil di bagian lainnya.
Tanganku bergerak hendak menyentuh cermin
itu. Mencoba memastikan apakah wajah yang terpantul di sana adalah milikku. Namun
belum sempat tanganku menggapainya, tiba-tiba cermin itu retak dan perlahan luruh
ke lantai seperti cermin yang pertama.
Aku menatap pecahan kaca itu bingung.
Ada apa sebenarnya? Kenapa aku bisa berada di sini dan mengalami hal-hal yang
membingungkan ini? Jika ini mimpi mengapa kejadian ini terasa begitu nyata?
Aku berlari mengitari ruangan mencari
pintu keluar. Tidak ada! Hanya ada tembok putih yang mengelilingiku. Bagaimanabisa?
Jika tidak ada pintu atau lubang lainnya, bagaimana aku bisa masuk keruangan ini?
Aku yakin ini mimpi. Tak akan ada kejadian
seaneh ini di dunia nyata. Ya, ini hanya mimpi.
Aku duduk bersandar di tembok. Menunggu
mimpi ini usai dan kembali ke alam nyata yang menyenangkan. Di mana hanya ada sanjung
puji dari khalayak ramai, kekaguman tak bertepi yang menimbulkan rasa iri hingga
membuat mereka berlomba-lomba membayar biaya operasi agar memiliki wajah sepertiku
yang telah terlukis indah sejak aku dilahirkan, pria-pria mapan yang berebut simpatiku
dan berbagai tawaran pekerjaan yang mengandalkan kecantikan wajahku.
Sepertinya sudah cukup lama aku di
sini dan mimpi ini tak kunjung usai. Aku mulai cemas. Mungkinkah ini kenyataan?
Kenyataan yang bahkan tak pernah sedikit pun terbersit dalam benakku.
Aku bangkit dari dudukku saat kulihat
sebuah cahaya muncul di salah satu sudut ruang ini. Sepertinya itu jalan keluar.
Jalan keluar yang akan membawaku ke tempat seharusnya aku berada. Bergegas kulangkahkan
kakiku menuju cahaya itu. Kembali mengembangkan sayap pengharapan yang sempat layu.
Cahaya itu perlahan tersingkap. Kulihat
teman-temanku baru saja keluar dari salah satu kafe tempat biasa kami
nongkrong. Buru-buru kuhampiri mereka. Tak kupedulikan lagi keanehan yang
sempat mengungkungku dalam kecemasan luar biasa.
Aku menyapa mereka seperti biasa. Namun
anehnya mereka hanya menatapku jijik dan berusaha menjauh dariku. Tiba-tiba terdengar
suara yang tak asing lagi bagiku memanggil salah seorang temanku. Aku menoleh mencari
sumber suara.
Saat kutemukan pemilik suara itu muncul
dari dalam kafe, mataku terbelalak. Menatapnya tak berkedip menunjukkan ekspresi
kekagetan yang sangat. Wajah itu sangat familiar di mataku. Wajah yang selalu kupandangi
dengan bangga di depan cermin setiap harinya. Wajah yang selalu menimbulkan decak
kagum setiap orang yang melihatnya.
Ia
menatapku dengan ekspresi meremehkan lalu berlalu begitu saja dari hadapanku.
Aku
kembali meraba wajahku. Sangat kasar. Kurasakan goresan dan benjolan di sana. Dan
dalam sekejap tempat itu berubah lagi menjadi ruang dengan tembok putih tanpa
lubang seperti tadi. Sebuah cermin tergantung tepat di hadapanku dan saat wajah
rusak itu tertangkap kornea mataku, tiba-tiba cermin itu
kembali retak dan luruh ke lantai di depan kakiku.[]
Malang,17-19
Rabi'ul Awwal 1434 H
Rizqia Arqi MS
adalah peminat buku, kopi dan segala hal yang berkaitan dengan beruang. Tinggal di Malang.
0 komentar:
Post a Comment