Wednesday, January 30, 2013

At-Tauhîd Sebagai Poros Akidah Islam

8:00 AM


Oleh: Ahmad Biyadi*

Keyakinan sangatlah besar peranannya dalam mengatur perilaku seseorang. Bila dia meyakini A adalah baik, maka banyak perilakunya akan dia arahkan untuk A itu. Bila dia meyakini B adalah kejahatan, maka dia akan berupaya untuk mengubah B dengan segenap usahanya. Dan begitu seterusnya.

Di dunia barat, banyak sekali orang berkeyakinan ‘aneh’ tentang Tuhan. Sehingga sering kali Tuhan digambarkan sebagai sosok yang kuat, perkasa, punya kekuatan luar biasa, berkelamin pria, dan jadilah seorang Zeus yang kadang nongol di film-film Hollywood sebagai gambaran Tuhan. Mereka juga meyakini bahwa Tuhan (Sang Penjaga semesta) tidaklah satu, tapi merupakan suatu kelompok lengkap dengan pembagian tugas dan kekuatan istimewanya sendiri. Selain itu mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak terlalu banyak ‘ikut campur’ dalam kehidupan manusia. Para Dewa hanya bertugas sebagai pencipta dan penjaga, bukan pengatur, apalagi pemberi hukuman di akhirat. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Kaum Yahudi berkeyakinan bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan para kekasih-Nya. Sehingga mereka berkeyakinan pula bahwa bangsa lain adalah hina. Dan akibatnya, ketika Nabi terakhir yang dijanjikan datang—dan ternyata bukan dari bangsa yahudi—mereka mengingkarinya. Begitu pula banyak kejahatan lain yang telah mereka lakukan karena bagian dari kesombongan mereka ini.[1]

Dunia Eropa juga memiliki pola keyakinan yang disebut binary opposite (oposisi biner), yaitu keyakinan bila mereka meyakini A adalah benar, maka B adalah salah.[2] Mereka meyakini bahwa pola hidup Barat saat ini adalah benar dan beradab, maka gaya hidup manapun yang tidak sama, menurut mereka, adalah salah dan tidak beradab serta harus dibenahi atau bahkan diperangi. Sehingga begitu gencarnya mereka ‘ikut campur’ dalam kehidupan orang Timur, yang mayoritasnya adalah Muslim yang memiliki gaya hidup, pola pikir, aturan, dan keyakinan yang tidak sama dengan di Eropa.

Begitulah, keyakinan yang juga meliputi mindset dan pola pikir sangatlah berpengaruh terhadap segala perilaku seseorang atau sekelompok orang, bahkan juga hingga pada aktivitas sehari-hari yang dilakukan, serta cara pandangnya dalam menyikapi orang lain. Maka dari sini, orang yang berkeyakinan bahwa ada Tuhan Sang Pencipta yang selalu mengawasi gerak-geriknya, bahkan getar hati dan pikiran pun juga Dia ketahui, serta kelak Dia akan membalas kebaikan dan keburukan dengan balasan yang setimpal, tentu akan berperilaku berbeda dengan orang yang tidak percaya Tuhan atau percaya Tuhan tapi dengan sifat-sifat yang berbeda.

Misalnya seorang ulama sufi kontemporer bernama Dr. Said Ramdan al-Bouti selalu enggan untuk dicium tangannya. Ketika ditanya, beliau menjawab kalian hanya mengetahui saya secara lahirnya saja, sedangkan kejelekan-kejelekan yang ada pada saya, hanya saya dan Allah yang tahu, karena itu, saya malu pada-Nya bila kalian mengagungkan saya sedemikian rupa. Itu semua tentu saja karena mindset beliau searah dengan keyakinan bahwa Allah akan selalu mengetahui dan mengawasi, dan Dialah yang mengatur segalanya.

Bandingkan dengan orang yang berkeyakinan bahwa manusia diberi kekuatan oleh Tuhan untuk mengatur dirinya sendiri. Baik-buruknya dia adalah tergantung pada dirinya, dan tidak ada kaitan dengan ‘campur tangan’ Tuhan. Jika suatu saat dia menjadi orang kaya atau pintar, dia berkata bahwa kekayaan dan kepintaran itu adalah hasil dari upaya dan jerih payahnya sendiri. Pemikiran ini sejatinya muncul sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian menyusup dalam Islam dibawa oleh kelompok yang dikenal Qadariyah, bagian dari kelompok Muktazilah.[3]

Begitu pula, orang yang percaya akhirat dengan segala ahwâl (kerumitan) yang akan terjadi di dalamnya, seperti hisâb, syafa’ât, neraka, dan surga, tentu akan memiliki arah hidup bahkan juga mungkin kegiatan sehari-hari yang berbeda dari orang yang tidak mempercayai itu semua.

Lihat juga contoh seorang pemuda Anshar, sahabat Nabi saw. diliputi rasa takut yang luar biasa akan api neraka. Setiap kali neraka disebut, dia selalu menangis. Maka dia pun akhirnya menyendiri di dalam rumah. Ketika Nabi saw. tahu akan hal itu, beliau mengunjunginya. Singkat kata, ketika pemuda itu melihat Nabi, kontan saja dia terkejut dan langsung memeluk beliau dan wafat di pangkuannya. Rasulullah saw. pun bersabda, “Siapkan pemakaman untuk kawan kalian ini. Sungguh rasa takut telah memotong-motong hatinya.”[4]

Lalu bandingkan dengan perilaku orang yang tidak percaya neraka atau kehidupan setelah kematian. Banyak orang di dunia Barat yang tujuan hidupnya adalah kebahagiaan dunia. Itu merujuk dari filsafat hidup mereka yang bermula dari Aristoteles, “Kebahagiaan adalah makna dan tujuan hidup, seluruh cita-cita dan tujuan keberadaan manusia.”[5] Karena itulah mereka hanya memfokuskan segala pekerjaannya hanya untuk senang-senang, mengumpulkan harta, melampiaskan nafsu, dan mengejar kenikmatan.

Maka akidah Islam sejatinya memiliki aturan tentang itu semua. Akidah Islam tidaklah hanya tentang sifat-sifat Tuhan, utusan, atau juga para malaikat, tapi juga berkenaan dengan berbagai pola keyakinan yang porosnya terletak pada at-tauhîd; mengesakan Tuhan.

Mengesakan Tuhan bukan berarti hanya mengatakan Tuhan itu satu, dan selesai. Tapi juga harus meyakini bahwa Dia adalah Tuhan, juga harus meyakini bahwa Tuhan tidak ada cela, apa yang datang dari-Nya adalah benar, Tuhan tidak zalim, Tuhan memiliki segala kesempurnaan dan tidak ada satu pun makhluk yang sama dengan-Nya, dan juga keyakinan-keyakinan lainnya. Dengan bahasa yang sederhana; menuhankan Tuhan dan manghambakan hamba.

Misalnya keyakinan orang majusi bahwa Tuhan adalah pemilik kebaikan dan Iblis adalah pemilik kejahatan. Maka Tuhansekarang dan seterusnyaselalu berperang melawan Iblis.[6] Ini artinya masih ada sesuatu yang di luar kekuasaan Tuhan, dan itu juga berarti Tuhan tidak Maha Kuasa.  Karena mereka meyakini Tuhan adalah Tuhan, tapi tidak mengesakan-Nya.

Mengesakan Tuhan juga berarti meyakini bahwa apa yang datang dari-Nya adalah benar, termasuk ketika Dia mengutus para utusan yang juga merupakan manusia. Termasuk juga kitab-kitab yang Dia turunkan, kisah-kisah yang diceritakan, makhluk-makhluk yang Dia ciptakan, dan hari akhirat yang Dia janjikan.

Maka dari sini, Islam mengatur akidah dan keyakinan umat manusia pada at-tauhîd, mengesakan Allah swt. Jika keyakinan tentang at-tauhîd ini dipahami dengan mendalam dan menancap dalam hati, maka semua mindset dan pola pikir akan mengarah pada keyakinan at-tauhîd tersebut, bahkan perilaku sekecil apapun juga akan mengarah padanya.[]

*Ahmad Biyadi adalah santri Sidogiri, Pasuruan



[1] Al-Quran banyak menyebutkan tentang kisah kesombongan kaum Yahudi, misalnya Al-Baqarah: 89, Alu Imran: 183, An-Nisa’: 153. Lebih jelas lihat Banu Israil fil-Quran was-Sunnah, Dr. M. Sayid Tantawi.
[2] Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, (Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu, 2006), hlm. 199; Ismail Fajrie Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, (Jakarta: Diwan Publishing, 2006), hal. 66
[3] Dr. Ghalib bin Ali Awaji, Firaq Mu’âshirah Tantasibu ila al-Islâm wa Bayân Mauqif al-Islâm ‘anhâ, vol. I, hal. 86.
[4] HR. Hakim dalam Al-Mustadrak ala ash-Shahihain, vol. II, hal. 494, dan al-Baihaqi dalam Sya’bul-Iman, vol. I, hal. 530.
[5] Kata-kata ini Aristoteles tulis dalam bukunya berjudul Nicomachean Ethics, Book I, section 7.
[6] Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, vol. I, hal. 278.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top