Oleh: Ahmad Biyadi*
Keyakinan
sangatlah besar peranannya dalam mengatur perilaku seseorang. Bila dia meyakini
A adalah baik, maka banyak perilakunya akan dia arahkan untuk A itu. Bila dia
meyakini B adalah kejahatan, maka dia akan berupaya untuk mengubah B dengan
segenap usahanya. Dan begitu seterusnya.
Di dunia
barat, banyak sekali orang berkeyakinan ‘aneh’ tentang Tuhan. Sehingga sering
kali Tuhan digambarkan sebagai sosok yang kuat, perkasa, punya kekuatan luar
biasa, berkelamin pria, dan jadilah seorang Zeus yang kadang nongol di
film-film Hollywood sebagai gambaran Tuhan. Mereka juga meyakini bahwa
Tuhan (Sang Penjaga semesta) tidaklah satu, tapi merupakan suatu kelompok
lengkap dengan pembagian tugas dan kekuatan istimewanya sendiri. Selain itu
mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak terlalu banyak ‘ikut campur’ dalam
kehidupan manusia. Para Dewa hanya bertugas sebagai pencipta dan penjaga, bukan
pengatur, apalagi pemberi hukuman di akhirat. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka katakan.
Kaum Yahudi
berkeyakinan bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan para kekasih-Nya. Sehingga
mereka berkeyakinan pula bahwa bangsa lain adalah hina. Dan akibatnya, ketika
Nabi terakhir yang dijanjikan datang—dan ternyata bukan dari bangsa yahudi—mereka
mengingkarinya. Begitu pula banyak kejahatan lain yang telah mereka lakukan
karena bagian dari kesombongan mereka ini.[1]
Dunia Eropa
juga memiliki pola keyakinan yang disebut binary opposite (oposisi biner), yaitu keyakinan bila
mereka meyakini A adalah benar, maka B adalah salah.[2]
Mereka meyakini bahwa pola hidup Barat saat ini adalah benar dan beradab, maka
gaya hidup manapun yang tidak sama, menurut mereka, adalah salah dan tidak beradab serta harus dibenahi
atau bahkan diperangi. Sehingga begitu gencarnya mereka ‘ikut campur’ dalam
kehidupan orang Timur, yang mayoritasnya adalah Muslim yang memiliki gaya
hidup, pola pikir, aturan, dan keyakinan yang tidak sama dengan di Eropa.
Begitulah,
keyakinan yang juga meliputi mindset dan pola pikir sangatlah
berpengaruh terhadap segala perilaku seseorang atau sekelompok orang, bahkan
juga hingga pada aktivitas sehari-hari yang dilakukan, serta cara pandangnya
dalam menyikapi orang lain. Maka dari sini, orang yang berkeyakinan bahwa ada
Tuhan Sang Pencipta yang selalu mengawasi gerak-geriknya, bahkan getar hati dan
pikiran pun juga Dia ketahui, serta kelak Dia akan membalas kebaikan dan
keburukan dengan balasan yang setimpal, tentu akan berperilaku berbeda dengan
orang yang tidak percaya Tuhan atau percaya Tuhan tapi dengan sifat-sifat yang
berbeda.
Misalnya
seorang ulama sufi kontemporer bernama Dr. Said Ramdan al-Bouti selalu enggan
untuk dicium tangannya. Ketika ditanya, beliau menjawab kalian hanya mengetahui
saya secara lahirnya saja, sedangkan kejelekan-kejelekan yang ada pada saya,
hanya saya dan Allah yang tahu, karena itu, saya malu pada-Nya bila kalian
mengagungkan saya sedemikian rupa. Itu semua tentu saja karena mindset
beliau searah dengan keyakinan bahwa Allah akan selalu mengetahui dan mengawasi,
dan Dialah yang mengatur segalanya.
Bandingkan
dengan orang yang berkeyakinan bahwa manusia diberi kekuatan oleh Tuhan untuk
mengatur dirinya sendiri. Baik-buruknya dia adalah tergantung pada dirinya, dan
tidak ada kaitan dengan ‘campur tangan’ Tuhan. Jika suatu saat dia menjadi
orang kaya atau pintar, dia berkata bahwa kekayaan dan kepintaran itu adalah
hasil dari upaya dan jerih payahnya sendiri. Pemikiran ini sejatinya muncul
sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian menyusup dalam Islam dibawa oleh kelompok
yang dikenal Qadariyah, bagian dari kelompok Muktazilah.[3]
Begitu pula,
orang yang percaya akhirat dengan segala ahwâl (kerumitan) yang akan
terjadi di dalamnya, seperti hisâb, syafa’ât, neraka, dan surga,
tentu akan memiliki arah hidup bahkan juga mungkin kegiatan sehari-hari yang
berbeda dari orang yang tidak mempercayai itu semua.
Lihat juga contoh
seorang pemuda Anshar, sahabat Nabi saw. diliputi rasa takut yang luar biasa
akan api neraka. Setiap kali neraka disebut, dia selalu menangis. Maka dia pun
akhirnya menyendiri di dalam rumah. Ketika Nabi saw. tahu akan hal itu, beliau
mengunjunginya. Singkat kata, ketika pemuda itu melihat Nabi, kontan saja dia
terkejut dan langsung memeluk beliau dan wafat di pangkuannya. Rasulullah saw.
pun bersabda, “Siapkan pemakaman untuk kawan kalian ini. Sungguh rasa takut
telah memotong-motong hatinya.”[4]
Lalu
bandingkan dengan perilaku orang yang tidak percaya neraka atau kehidupan
setelah kematian. Banyak orang di dunia Barat yang tujuan hidupnya adalah
kebahagiaan dunia. Itu merujuk dari filsafat hidup mereka yang bermula dari
Aristoteles, “Kebahagiaan adalah makna dan tujuan hidup, seluruh cita-cita dan
tujuan keberadaan manusia.”[5]
Karena itulah mereka hanya memfokuskan segala pekerjaannya hanya untuk
senang-senang, mengumpulkan harta, melampiaskan nafsu, dan mengejar kenikmatan.
Maka akidah
Islam sejatinya memiliki aturan tentang itu semua. Akidah Islam tidaklah hanya
tentang sifat-sifat Tuhan, utusan, atau juga para malaikat, tapi juga berkenaan
dengan berbagai pola keyakinan yang porosnya terletak pada at-tauhîd;
mengesakan Tuhan.
Mengesakan
Tuhan bukan berarti hanya mengatakan Tuhan itu satu, dan selesai. Tapi juga
harus meyakini bahwa Dia adalah Tuhan, juga harus meyakini bahwa Tuhan tidak
ada cela, apa yang datang dari-Nya adalah benar, Tuhan tidak zalim, Tuhan
memiliki segala kesempurnaan dan tidak ada satu pun makhluk yang sama
dengan-Nya, dan juga keyakinan-keyakinan lainnya. Dengan bahasa yang sederhana;
menuhankan Tuhan dan manghambakan hamba.
Misalnya
keyakinan orang majusi bahwa Tuhan adalah pemilik kebaikan dan Iblis adalah
pemilik kejahatan. Maka Tuhan—sekarang dan seterusnya—selalu berperang
melawan Iblis.[6]
Ini artinya masih ada sesuatu yang di luar kekuasaan Tuhan, dan itu juga
berarti Tuhan tidak Maha Kuasa. Karena
mereka meyakini Tuhan adalah Tuhan, tapi tidak mengesakan-Nya.
Mengesakan
Tuhan juga berarti meyakini bahwa apa yang datang dari-Nya adalah benar,
termasuk ketika Dia mengutus para utusan yang juga merupakan manusia. Termasuk
juga kitab-kitab yang Dia turunkan, kisah-kisah yang diceritakan,
makhluk-makhluk yang Dia ciptakan, dan hari akhirat yang Dia janjikan.
Maka dari
sini, Islam mengatur akidah dan keyakinan umat manusia pada at-tauhîd,
mengesakan Allah swt. Jika keyakinan tentang at-tauhîd ini dipahami
dengan mendalam dan menancap dalam hati, maka semua mindset dan pola
pikir akan mengarah pada keyakinan at-tauhîd tersebut, bahkan perilaku
sekecil apapun juga akan mengarah padanya.[]
*Ahmad Biyadi adalah santri Sidogiri, Pasuruan
[1]
Al-Quran banyak menyebutkan tentang kisah kesombongan kaum Yahudi, misalnya Al-Baqarah:
89, Alu Imran: 183, An-Nisa’: 153. Lebih jelas lihat Banu Israil fil-Quran
was-Sunnah, Dr. M. Sayid Tantawi.
[2]
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, (Jakarta:
Pustaka Indonesia
Satu, 2006), hlm. 199; Ismail Fajrie Alatas, Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam, (Jakarta:
Diwan Publishing, 2006), hal. 66
[3]
Dr. Ghalib bin Ali Awaji, Firaq Mu’âshirah Tantasibu ila al-Islâm wa Bayân
Mauqif al-Islâm ‘anhâ, vol. I, hal. 86.
[4]
HR. Hakim dalam Al-Mustadrak ala ash-Shahihain, vol. II, hal. 494, dan
al-Baihaqi dalam Sya’bul-Iman, vol. I, hal. 530.
[5]
Kata-kata ini Aristoteles tulis dalam bukunya berjudul Nicomachean Ethics,
Book I, section 7.
0 komentar:
Post a Comment