Oleh: Abdul Rahman Wahid*
[Judul Buku: Ilusi
Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia | Editor: KH. Abdurrahman Wahid | ISBN: 978-979-98737-7-4 | Penerbit: The WAHID Institut Seeding Plural and Peaceful Islam, MAARIF, dan gerakan bhinneka
tunggal ika | Tahun
Terbit : 2009]
Islam di Indonesia prosentasenya memang paling tinggi dari
pada agama lain yang ada di Indonesia ini. Tetapi, bukan berarti prosentase ini
menjadi bahan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, mengingat
Indonesia lahir dari sebuah bangsa yang tingkat pluralitasnya sangat tinggi.
Mulai dari budaya, etnis, bahasa, serta dalam hal keyakinan Indonesia dihuni
oleh para pemeluk agama yang berbeda-beda. Pluralitas ini merupakan suatu
kekayaan yang tak ternilai; kekayaan yang harus dipertahankan dan dilestarikan
demi terciptanya keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk itu,
toleransi di Indonesia ini harus diperjuangkan tanpa memandang perbedaan.
Dengan modal pluralitas itulah Pancasila dilahirkan sebagai
ideologi negara. Ideologi yang berasal dari kompleks nilai yang telah mengakar
dan menjadi spirit kehidupan manusia-manusia yang berasal dari suku bangsa yang
berbeda-beda. Nilai-nilai itu kemudian digali dan dirumuskan secara padat
menjadi dasar keyakinan bersama masyarakat Indonesia.
Buku “Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia” diterbitkan oleh sebuah institusi
non-pemerintah, LibForAll Foundation, yang bergerak dalam memperjuangkan
terwujudnya kedamaian, kebebasan dan toleransi di seluruh dunia. Buku tersebut
mengupas secara gamblang tentang apa yang dimaksud dengan Islam sebagai agama rahmatan
lil’alamin, toleran, moderat, menghargai sesama, dan agama perdamaian.
Selain itu dikupas juga tentang Islam garis keras dari sejarahnya, sistemnya,
pemahamannya, cara kerjanya, visi-misinya juga sekaligus para konseptor,
eksekutor dan provokatornya.
Untuk itu, aliran garis keras yang memperjuangkan misinya
merubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi Pancasila dengan
Islam versi mereka, Hukum Konstitusional diganti dengan Hukum Syari’ah, atau
bahkan menghilangkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) kemudian menggantinya
dengan Khilafah Islamiyah. Melalui infiltrasi-infiltrasi di semua sektor
kehidupan masyarakat Indonesia dari kaum pinggiran hingga kaum elit negara,
retorika yang mereka manifestasikan atas nama Islam, serta jargon-jargon yang
mereka koarkan ‘jihad’ merupakan hasil perkawinan Wahabi-Ihwanul
Muslimin. Dua ideologi besar Islam garis keras, dua ideologi pettro
dollar dengan sumber minyaknya telah menyusup ke Indonesia melalui kucuran
dana yang mereka kirimkan.
Islam versi mereka yang dibawa dari tradisi dan budaya asing
Timur Tengah, atau kebiasan Wahabi-Ihwanul Muslimin, berusaha keras
menolak tradisi dan budaya yang mengakar dan telah menjadi bagian hidup bangsa
Indonesia. Oportunisme, radikalisme, ekstrimisme, bahkan anarkisme telah dipraktekkan
beberapa ormas dan parpol di Indonesia seperti, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)
dengan slogannya “Selamatkan Indonesia dengan Syari’ah”, FPI (Front Pembela
Islam) “Krisis multidimensi akan berakhir dengan diberlakunya Syari’ah Islam”, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) “penegakan Syari’ah
melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi
kemelut bangsa”, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) “Islam adalah solusi”, dan
lain sebagainya. Perbuatan yang menurut mereka memperjuangkan agama Islam
tersebut sebenarnya telah mencoreng nama baik Islam itu sendiri, sebagai agama
toleran, moderat, dan agama perdamaian.
Dua ormas besar di Indonesia (baca: Nahdlatul Ulama dan
muhammadiyah) merupakan organisasi Islam moderat dan toleran serta melestarikan
tradisi, yang menjadi misi luhur nenek moyang dan Pendiri Bangsa. Keduanya menolak
dengan tegas ide Khilafah Islamiyah atau pun Negara Islam yang dikampanyekan
oleh kelompok-kelompok garis keras ke dalam Islam Indonesia dan dianggap
sebagai ancaman bagi keutuhan NKRI. Hal ini karena kalangan garis keras itu
menganggap kafir bilamana ada pemahann tidak sama dengan pemahaman garis kerasnya.
Karena itu, Islam garis keras menganggap apa yang dikerjakan Islam Indonesia
menyimpang dari ajaran Islam dan menganggapnya bid’ah.
Tuduhan “Anti-Islam” oleh kelompok-kelompok garis keras
kepada para penentang paham mereka pada dasarnya merupakan bentuk teror
teologis yang memanfaatkan sentimen keagamaan. Tuduhan seperti ini sangat
efektif karena menciptakan rasa takut di kalangan sebagian orang Islam. Amir
MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Abu Bakar Ba’asyir bahkan pernah mengancam,
“jika pemberlakuan syari’ah Islam dihalang-halangi maka umat Islam wajib
berjihad,” tegasnya, seakan-akan semua orang Islam setuju dengan pandangannya. Terobsesi
dengan pemberlakuan syari’ah Islam secara formal, Ba’asyir selalu
mengulang-ulang penegasannya: “Berjihad untuk melawan kaum kuffar yang
menghalangi dan menentang berlakunya syari’ah Islam adalah wajib dan amal yang
paling mulia.” Amir MMI itu menuding para penentang sebagai kafir.
Sajian data yang aktual dan penjabaran yang luas serta
penafsiran dalil-dalil yang mendetail memberikan pemahaman kepada pembaca
tentang Islam yang sebenarnya, Islam rahmatal lil’alamin, Islam yang
menerima Pancasila dan UUD 1945, serta Islam yang memperjuangkan keutuhan NKRI.
Penulis teringat dengan perkataan Gus Dur, “Indonesia
harus menjadi negara demokrasi yang kecil pengaruh militernya dan tidak ada
fundamentalisme Islam. Lebih baik negara yang didominasi militer yang
setidaknya bisa melindungi hak-hak minoritas keagamaan, kesukuan dan kesatuan
nasional, daripada sebuah negara Islam yang tidak santun terhadap pluralitas.”
Untuk itu, lebih jelasnya saya rasa buku ini menjadi buku wajib untuk dibaca
umat Islam Indonesia.
Selamat membaca.[]
Abdul Rahman Wahid
adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, UIN Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment