Wednesday, December 30, 2015

Moralitas Itu Berbahaya


Oleh: Muhammad Zeini

Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru adalah orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah. Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid. Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kekaisaran Ottoman Turki mengaku bermoral dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke berbagai penjuru negara Timur Tengah.

Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan. Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-orang Yahudi di masa perang dunia kedua. Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan. Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal di berbagai penjuru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.

Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan itu sendiri.

Moralitas adalah pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait dengan moralitas. Kita juga seringkali menggunakan pertimbangan moral dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya? Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?

Satu hal yang pasti adalah, bahwa moralitas adalah pertimbangan pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah kenyataan alamiah. Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia adalah sesuatu. Para filsuf Eropa menyebutnya sebagai Ada (Being, Sein, to on). Para mistikus India menyebutnya sebagai “Diri” (the Self). Namun, sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral, maka orang akan mengikutinya. Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang ini banyak terjadi.

Ketika orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh kenikmatan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, karena ia telah bertindak jahat. Tindakan tersebut telah menyakiti dirinya dan orang lain. Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup dalam penderitaan. Sebaliknya, ketika orang bertindak baik, maka ia akan berusaha untuk mempertahankan tindakannya tersebut. Ia lalu melekat dan terikat dengan tindakan tersebut. Ia tergantung secara emosional dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.

Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan baik tersebut. Yang muncul kemudian adalah perasaan bersalah, karena orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang merasa munafik atau justru menjadi orang yang munafik. Ia justru malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran, banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru adalah orang yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius. Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat dalam pada orang tersebut.

Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan. Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan. Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari tegangan, penderitaan dan ketakutan batin tersebut, orang justru malah menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti lingkaran setan yang tak bisa diputuskan. Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri, dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak bermoral.

Sayangnya, kita seringkali menggunakan pertimbangan moral di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin. Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin tersebut. Mereka justru menjadi orang yang paling kejam. Maka, menurut hemat saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu sendiri.

Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama. Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan kebencian mewarnai hidup bermasyarakat kita. Kita pun gemar menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas yang justru menghasilkan kemunafikan dan kekejaman.

Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita, selain moralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas adalah sesuatu yang harus dilampaui. penulis menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir. Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah Apakah ini baik atau buruk?, melainkan Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau tidak? Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untung dan rugi.

Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat pada setiap keadaan yang terjadi. Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada situasi di sini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana, berhenti melakukan analisis dan berhenti berpikir! Lakukan apa yang mesti dilakukan di sini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah dari saat ke saat. Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain adalah tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok adalah tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan berbohong adalah tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat pada keadaan-keadaan tertentu.

Ketika pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan terus mengalami ketegangan di dalam hatinya. Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk melakukan pertimbangan untung dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup. Jalan keluar dari masalah ini hanya satu yaitu kejernihan berpikir. Orang yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, tetapi juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?[]

sumber gambar: kaelanunrau.com

Monday, December 28, 2015

Antara Raisa, Elly Sugigi, Miss Universe dan Kunci Menantu Idaman




Oleh: Najmah Muniroh

Sebagai penikmat film, saya punya bakat unik, yaitu kemampuan menebak akhir cerita. Beruntungnya, tebakan saya hampir tidak pernah meleset. Banyak yang penasaran bagaimana bisa saya jadi ahli ‘terawang’ ending cerita begitu.

Let me tell you a secret, guys... Urusan menebak akhir cerita sebenarnya triknya gampang. Kalau cuma kepingin lihat di mana si cowok akan melabuhkan cintanya, pada cewek A atau cewek B, trik saya sederhana saja. Modal saya cuma membandingkan adegan. Cukup bandingkan saja adegan siapa yang paling banyak muncul dan dramatis, adegan cewek A atau adegan cewek B? Dan jika proporsi adegannya sama-sama banyak dan sama-sama romantis saya tinggal pakai trik kedua: cari yang paling cantik di antara keduanya. Kenapa? Karena cowok ganteng biasanya bersanding dengan cewek cantik. Beres. Problem is solved. Akhir cerita bisa saya tebak dengan mudah berkat kejelian melihat hubungan antara“si cantik dan si ganteng”.

Soal hukum cantik-ganteng ini kadang saya suka sebal sama film Disney. Ini film sudah banyak bikin dosa sama saya dan seluruh anak-anak di dunia. Kenapa? Ini karena Disney membuat semua penontonnya percaya bahwa bahwa “pangeran tampan hanya pantas bersanding dengan putri cantik”. Terus bagaimana nasib saya dan jutaan, atau bahkan miliaran  jomblo yang tidak cantik seperti saya, hah?! Duh, harapan mendapat jodoh pangeran tampan pun segera pupus sebelum berkembang (sambil baca kalimat terakhir, tolong bayangkan back sound lagu sedih mendayu-dayu agar terkesan dramatis ya, lagu Pupus-nya Dewa19  juga boleh).

Ah, dunia memang kejam pada para jomblo, Bung. Sialnya lagi, di dunia ini tidak semua orang dikasih anugerah kecantikan dan ketampanan.Saya juga tidak cuma sekali-dua kali mendengar komentar dari orang-orang sekitar saya yang  bunyinya gini, “Dih, cewek cantik begitu kenapa mau nikah sama cowok item yang tinggal tulang sama kentut yak?”

Ck ck ck... Orang-orang itu tidak pernah pernah mikir, apa? Bagimana kalau si cowok ternyata memang baik, setia, saleh, tidak bertingkah macam-macam, tidak suka selingkuh dan bukan pembohong (kayak kamu)? Bagaimana kalau dia orangnya dewasa, pengertian, bikin nyaman, juga rajin menabung, rajin menyapu dan rajin mengepel (ini cowok apa pembantu idaman sih)? Saya rasa ‘semua cewek setuju’ bahwa cowok baik-baik kayak begini jauh lebih menjanjikan dan bisa diandalkan di masa depan daripada cowok yang modalnya muka ganteng dan janji palsu doang (ralat: mungkin tidak semua cewek, mungkin cuma saya saja). Bagaimana? Masih menganggap penampilan luar lebih penting daripada inner beauty?

Sebentar, jangan salah paham. Saya tidak sedang ngajari kamu penampilan luar tidak penting loh ya! Tidak begitu maksud saya. Kecantikan luar dan dalam itu ‘sama-sama penting’. Kamu tidak bisa cakep saja tapi bego dan jahat. Kamu juga tidak bisa ‘baik’ saja tapi penampilannya berantakan kayak urap tumpah. For your additional information, iklan ter-seger abad ini adalah contoh “bantahan” paragraf argumentatif di atas yang bilang bahwa inner beauty itu lebih penting. Di sini kamu bakal dapat bukti kalau kecantikan luar itu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Pernah lihat iklan permen rasa mint yang dibintangi Raisa? Itu loh, yang ada adegan dia ditanya-tanya sama calon mertuanya, “Kamu suka bola?”. Terus si Raisa jawab, “Enggak Pak. Tapi saya suka MotoGP.”Waktu Raisa omong begitu, dia sedang naik MotoGP warna biru-putih, lalu ada angin yang bikin rambut Raisa berkibar-kibar dramatis. Duh, seger banget lihatnya—saya cewek dan saya merasa seger lihatnya, bayangkan kalau yang lihat cowok, entah komentar apa yang bakal keluar. At the end of story, si Raisa tetap diterima jadi mantu karena si Raisa tetap keren walau bagaimanapun, bahkan walau dia tidak sejalan dengan calon mertuanya. Ck ck ck... Sungguh hebat pesona aura kecantikan Raisa ini.

OK, berhenti dulu melamun tentang Raisa. Sekarang coba bayangkan kalau iklan tadi diperankan oleh Elly Sugigi. Di adegan itu dia naik odong-odong terus pakai baju gembel sobek-sobek degan muka kusam sambil berpose monyong khas kaum alay, lalu dia bilang, “Enggak Pak. Tapi saya suka MotoGP.” Singkat cerita, di adegan terakhir calon mertuanya terkena serangan jantung. Elly Sugigi ditolak, hingga ia memutuskan untuk membantai seluruh keluarga calon mertuanya. Ck ck ck… Sungguh tragis. Dan saya rasa adegan thriller bukanlah ide bagus untuk iklan promosi permen mint yang –memang seharusnya– seger dan berakhir dengan indah, kan? Hmm… That’s just my simple illustration to show you the power of beauty.

Tuhan itu indah dan suka keindahan. Islam juga agama yang cinta kebersihan dan keindahan. Coba cari, deh, agama mana lagi selain Islam yang menganjurkan umatnya untuk mandi seenggaknya sekali seminggu pada hari Jumat, potong kuku, mandi besar sampai mengatur tata cara istinjak segala. Itu detail banget, loh. Sampai urusan-urusan printilan dibahas segala. Itu salah satu bukti bahwa Islam itu juga cinta kebersihan dan keindahan. Sebaliknya, tak patut rasanya kalau kita hanya fokus pada penampilan luar tapi abai dengan kecantikan hati. Tapi alangkah eloknya kalo kita menghargai dan menghormati diri sendiri dengan menjaga penampilan.

Jangan sampai ada orang yang ogah dekat sama kita karena kita bau ketek. Atau malah orang jauhin kita hanya karena kita hobi menyebarkan salam padahal jarang gosok gigi. Jangan pula ada cerita orang meremehkan kita karena pakaian kita tidak bagus. Bagus itu tidak perlu mahal atau kekinian loh ya. Yang penting rapi, tidak acak-acakan dan serasi, jadi enak dilihatn. Kan kata pepatah cinta itu turun dari mata ke hati.

Apa masih kurang banyak pesan dan tips biar diterima kerja atau diterima jadi menantu yang menyebutkan pentingnya penampilan dalam menciptakan kesan? Biar kata tidak cantik-cantik atau ganteng-ganteng amat tapi kalau rapi, bersih, wangi ditambah pintar, rajin, jujur dan bertanggung jawab, level keren kamu pasti jadi naik berkali-kali lipat. Itulah kenapa innerbeauty dan penampilan luar sama-sama penting. Tak ada yang lebih tinggi atau rendah, tak ada yang jadi prioritas dan sekadar pilihan, karena keduanya sama-sama “penting”.

Jadi, jika kalian, wahai kaum lelaki, masih menganggap bahwa intelektualitas dan kritisisme adalah pencapaian paling puncak dalam sejarah manusia, sementara keelokan fisik dan kerapian adalah sebenar-benarnya eksploitasi dalam peradaban dunia, maka kau salah besar. Masih tidak percaya? Coba ingat-ingat lagi, berapa kali kalian selamat dari omelan gebetan, pacar atau istri karena jarang mandi. Intinya, jangan (lagi) coba-coba berdalih lupa mandi karena kalian sibuk membaca buku, berdemonstrasi dan menyelamatkan dunia. Ah, kalian terlalu berfantasi. Setidaknya selamatkan dulu yang terdekat, hubungan cinta misalnya.

Sebagai penutup, ijinkan saya mengutip motto Miss Universe, yaitu Beauty, Brain, and Behaviour. Coba lafalkan 1000 kali dan hafalkan  benar-benar agar menancap kuat di otak kamu. Karena (kata ustaz saya) tiga hal tersebut adalah koentji calon mantu idaman. Soal urusan urutan Motto 3B (Beauty, Brain, Behaviour) yang diawali oleh kata beauty saya tidak mau banyak komentar. Kenapa harus beauty dahulu? Kenapa bukan brain dulu, atau behaviour dulu? Nah loh…  Jadi panjang kan urusannya?

Kalau saya bahas bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas cuma buat bahas sisi historis, sosiologis, psikologis motto tersebut. Sekalian analisis penerjemahan teks yang mengandung ideologi. Dan juga penelusuran peran Miss Universe sebagai subjek yang aktif memiliki, merasakan dan memahami ideologi 3B tersebut. Belum lagi urusan tarikan kepentingan para elit di media. Duh, untuk pembahasan motto Miss Universe yang terdiri dari tiga kata saja kalkulasi kasar perhitungan waktu yang diperlukan sekitar 329 jam 42 menit 23 detik.

Mungkin sebaiknya kita obrolkan ini kapan-kapan sambil minum kopi di angkringan. Kan enak kalau bisa minum kopi sambil mengobrol. Jadi kita bisa sekalian dapat ilmu baru, pacar baru, pengalaman baru, dan suasana baru. Sekalian nanti kita bisa bahas lebih lanjut pentingnya keseimbangan antara innerbeauty dan penampilan sebagai modal meraih gelar menantu idaman.[] 

sumber gambar: allkpop.com

Sunday, December 27, 2015

Novel Ayah dan Realisme-Magis yang Tak Tuntas


Oleh: Muhammad Hilal
 
Di bawah kolong langit ini, ada dua orang bernama John Austin yang lumayan saya kenal. Yang pertama adalah seorang filsuf kenamaan berkebangsaan Inggris. Saya mengenalnya melalui bukunya, How to do Things with Words. yang amat legendaris dan menjadi bacaan wajib bagi mereka yang mengambil konsentrasi Filsafat Bahasa. 

Lalu, yang kedua adalah seorang mahasiswa yang mengaku dirinya gila. Namun kegilaan tampaknya dia maknai secara positif, bahkan dalam kadar tertentu mengungguli kewarasan itu sendiri. Bisa jadi, kegilaan yang dia maksud mirip seperti yang dipahami oleh Ibn al-Husain an-Naisabûrî melalui bukunya, ‘Uqalâ’ al-Majânîn. Perhatikan judul itu, sangat kontradiktif. Orang-orang gila (al-majânîn) dia sifati sebagai waras (‘uqalâ’). Bukankah kegilaan itu sendiri adalah nihilnya kewarasan? Tidak, kata Ibn al-Husain an-Naisabûrî. Ada satu tingkat yang melebihi keduanya: orang-orang gila yang waras. Dia menyebut sederet contoh ‘Uqalâ’ al-Majânîn yang sangat banyak, di antaranya Uwais al-Qarnî, Rabî‘ah al-‘Adawiyyah, Majnûn Banî ‘Âmir.

Nah, kepada John Austin si gila inilah saya meminjam novel Andrea Hirata terbaru, Ayah. Saya meminjamnya tepat sehari sebelum berangkat ke Yogyakarta melalui kereta api yang harga tiket kelas ekonominya amatlah mahal bagi makhluk bumi berkantong pas-pasan macam saya ini. Dan Andrea Hirata memang pencerita yang menghipnotis. 7,5 jam perjalanan Malang-Yogyakarta saya habiskan membaca separuh novel ini hampir tanpa henti, kecuali saat menyapa penumpang lain, ke kamar kecil, atau beranjak ke gerbong resto untuk menikmati nasi goreng yang harganya juga semena-mena.

Novel Ayah juga berperan sebagai penyelamat di kereta api. Bagaimana tidak, para penumpang sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri. Mereka mendengar musik pakai headset, bermain game, berkirim pesan entah kepada siapa, membuka media sosial, lalu ada yang cekikikan sendiri. Di mata saya mereka seolah sedang pamer gawai. Sedangkan gawai saya hampir tak berfungsi di atas kereta api. Saya tak bawa headset, tak memasang program game, dan tak ada koneksi internet. Tidak ada yang bisa saya pamerkan dari gawai saya. Jadilah novel Ayah di tangan saya sebagai kesenangan menghabiskan waktu tujuh jam setengah.

Omong-omong soal novel Ayah, sebetulnya Andera Hirata sedang bercerita tentang orang-orang gila. Tokoh utamanya, Sabari, adalah lelaki super lugu namun dirundung kesedihan tiada terkira, sebab ditinggal anak semata wayangnya. Dua teman karibnya, Ukun dan Tamat, tampil sebagai orang-orang bodoh yang sok pintar, namun setia kawan mengharukan. Istri Sabari, Marlena, adalah perempuan pemberontak, mudah bosan hingga pendiriannya kerap dia sesali, dan suka bertualang ke segala penjuru Sumatra, namun sebagai seorang ibu dia tampaknya tidak pernah menyesal dan mau menanggung konsekuensi hidup yang satu ini.

Singkat kata, semua tokoh yang tampil dalam novel ini adalah orang-orang dengan perangai yang ganjil, janggal, tak lumrah, bahkan bisa dibilang tidak waras. Hanya saja, keunggulan Andrea Hirata dalam bercerita adalah kemampuannya membuat alur dan plot yang sulit ditebak, seringkali kegilaan itu berwajah konyol mengundang tawa, kadang mengharukan menyesakkan dada, tak jarang malah menjengkelkan bikin gemas.

Yang istimewa dari Andrea Hirata adalah caranya bercerita: sarat humor. Berkat caranya inilah tujuh setengah jam perjalanan saya di atas kereta api seolah perjalanan yang singkat semata.

Humor yang Andrea Hirata lontarkan bukanlah humor ecek-ecek kelas begundal yang tak tahu tata krama. Semua manusia ganjil yang dia ceritakan dalam novelnya adalah orang-orang sekampung halamannya: Belitong. Pulau itu pernah berjaya dengan tambang timahnya, tapi penduduknya tak merasakan kejayaan itu. Mereka tetap saja miskin, pendidikan tak terurus, pemerintah lokal tak berdaya. Dan makhluk miskin tak berdaya itu oleh Andrea Hirata digambarkan sebagai orang-orang sinting pula. Rupanya, Andrea Hirata sedang mengolah seni menghargai hal-hal kecil: menertawakan kesusahan.

Humor tertinggi adalah menertawakan diri sendiri, kata Gus Dur dalam salah satu tulisannya. Bisa dibilang, hampir keseluruhan novel ini adalah tindakan “menertawakan diri sendiri” itu. Andrea Hirata adalah kelahiran Belitong dan dia dikenal di mana-mana sebagai orang Belitong, namun penghinaannya terhadap Belitong tergolong tanpa ampun. Sekali-sekali, Andrea Hirata melontarkan sumpah serapah. Jarang sekali dia berkata sarkas, namun sekali terucap rasanya pas sekali untuk ditertawakan.

Hingga sampailah di halaman 140 dia menyebut nama Florentino Ariza dan Fermina Daza. Dua nama ini tentu saya kenal! Keduanya adalah tokoh utama dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera. 

Sontak, saya merasa Andrea Hirata seperti sedang berusaha menjadi Gabo—sapaan akrab Gabriel Garcia Marquez—dengan novelnya. Dalam hal tertentu ada kemiripan yang tak terelakkan antara keduanya. Apa yang saya maksud dengan “kemiripan tak terelakkan” bukanlah sebentuk jiplakan murahan, melainkan semacam upaya memasuki gaya menulis Realisme-Magis.

Bukan rahasia lagi, Gabo adalah penulis Realis-Magis kawakan. Gaya penulisannya amat terkenal hingga menjadikannya sebagai ikon tak terpisahkan darinya dan dia menjadi sangat berpengaruh dalam jagad sastra terkini. Apa yang khas dari Realisme-Magis ini adalah absurditasnya dalam bergambarkan dunia dan seisi makhluk-makhluknya.

Dalam novelnya yang lain, One Hundred Years of Solitude, Gabo menggambarkan Kolumbia, Negara asalnya, dengan absurditas yang tak tanggung-tanggung. Tokoh-tokohnya memiliki perangai yang membingungkan, sering bikin keputusan ganjil, dan dalam kadar tentu tergolong sinting. 

Namun, Gabo tidak sedang main-main dengan cara penggambaran begitu terhadap negaranya. Dia sebetulnya ingin keluar dari penggambaran yang tampaknya rasional dan  normal, namun sebetulnya dipaksakan oleh bangsa-bangsa luar—terutama negara-negara Barat. Tak ayal, gaya Realisme-Magis sebetulnya adalah suatu dobrakan, perlawanan terhadap definisi yang dibikin oleh bangsa penjajah.

Novel Ayah saya lihat membawa semangat ini, dengan metode yang sama pula. Namun, Realisme-Magis yang Andrea Hirata bawa seolah tidak tuntas. Andrea Hirata tampaknya ingin menjadikan cerita Marlena sebagai “perempuan khas Realisme-Magis”—para perempuan gila yang terlunta diterpa nasib serba malang, namun mampu menghadapinya dengan tegar dan dengan cara yang sangat terhormat, jauh lebih bermartabat ketimbang para lelaki. Coba bandingkan bagaimana Marlena menyikapi kehidupannya dengan karakter lain dalam novel Ayah ini, meski sama-sama bertubi diterpa kemalangan namun Marlena tampak lebih tegar, bermartabat, dan memancarkan Elan Vital. 

Dalam novel Realisme-Magis, sosok perempuan seperti ini seakan menjadi salah satu bumbu wajib. Di One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez, Big Breasts and Wide Hips-nya Mo Yan atau My Name is Red-nya Orkhan Pamuk, misalnya, tampil para perempuan yang memiliki karakter demikian dan mampu menjadi penyeimbang dari cerita para lelaki yang sangat lemah dan tak bisa diandalkan. Perempuan-perempuan ini terkadang mengambil keputusan yang sangat menentukan. Namun cerita Marlena dalam novel Ayah seolah terhenti di tengah jalan, tak tamat dia berperan sebagai perempuan Realis-Magis.

Dalam novel Realisme-Magis juga akan ditemukan beberapa bocah yang jiwanya lebih dewasa bahkan ketimbang orang tuanya sendiri. Andrea Hirata seolah ingin menampilkan sosok Zorro, anak semata wayang Sabari, sebagai karakter ini. Zorro digambarkan sebagai bocah yang mampu menyesuaikan diri dan bersikap waras di tengah kegilaan orang-orang dewasa sekitarnya. Dia tidak pernah mengeluh, tapi sangat handal mengarungi hidupnya.

Di Indonesia, terdapat seorang novelis lain yang juga menulis dengan gaya Realisme-Magis. Namanya Eka Kurniawan. Novelnya berjudul Cantik Itu Luka. Sayangnya, hingga kini belum saya baca. Barangkali, membandingkannya dengan novel Ayah akan menarik, semacam membandingkan kegilaanlah.[]

Saturday, December 26, 2015

Membangun Idealisme

Oleh: Muhammad Zeini

Jhon, bukan nama sebenarnya, sudah lama bercita-cita untuk menjadi seorang sastrawan. Namun, menurut orang tuanya, pekerjaan sebagai sastrawan tidak akan mampu memberikan uang yang cukup untuk hidup dan bahkan akan sulit mendapat pekerjaan. Maka, mereka menghalangi cita-cita anaknya tercinta tersebut. Jhon pun akhirnya menekuni pendidikan di bidang lain, dan mengalami banyak kesulitan karenanya.

Cerita yang seperti begitu banyak terjadi di masyarakat kita di Indonesia. Orang harus menyerahkan mimpinya, atau ide tentang masa depannya, karena tekanan lingkungan. Dengan proses ini, dua hal kiranya dirugikan. Indonesia kehilangan calon sastrawan berbakat di masa depan di satu sisi, dan Jhon, dan ratusan ribu pemuda lainnya, harus hidup tidak bahagia, karena mengingkari panggilan hidupnya. Dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan dalam tiga analisis yang mungkin bisa kita jadikan refleksi bersama, yaitu:
Idealisme dan Visi
Setiap orang pasti punya ide tentang hidup macam apa yang akan dijalaninya. Dalam arti ini, setiap orang adalah idealis. Artinya amat sederhana, orang perlu untuk hidup sejalan dengan ide yang telah dipilih dan dipikirkannya. Ia bukanlah pemimpi yang tak punya tujuan, melainkan sebaliknya, orang yang memiliki visi tentang hidupnya dan hidup orang sekitarnya di masa depan. Visi radikal tentang hidup semacam inilah yang sekarang ini amat kurang di Indonesia. Orang hidup sekedarnya. Orang bekerja seadanya, tanpa ambisi untuk mencapai sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan untuk lingkungan sekitarnya. Lalu, orang mati, tanpa meninggalkan jejak dirinya yang nyata dan bermakna untuk lingkungan sekitarnya.

Ketika orang memiliki idealisme yang kuat, ia juga akan memiliki visi yang kokoh. Visi yang kokoh ini akan menuntunnya di dalam setiap perjalanan hidup. Visi yang kokoh ini juga akan membuatnya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan hidup yang kerap kali mencekik begitu kuat. Dengan visi ini, orang bisa melampaui dorongan-dorongan negatif dari dalam dirinya, dan berusaha mewujudkan diri terbaiknya.

Korupsi dan Krisis Idealisme
Sebaliknya, tanpa visi yang jelas, tanpa idealisme, orang tidak punya fokus dalam hidupnya. Hari ini, ia banker. Besok, ia guru. Lusanya, ia menjadi sastrawan. Akhirnya, ia tidak menjadi apa-apa dalam hidupnya. Ketika ia sadar akan hal ini, kubur sudah menanti di depan mata. Tanpa visi yang jelas, orang akan mudah tergoda oleh korupsi. Tanpa idealisme, orang akan mudah menyuap dan disuap, sambil merugikan banyak orang lainnya. Penegak hukum tanpa idealisme akan berubah menjadi preman yang berseragam. Guru tanpa idealisme hanya akan berubah menjadi tukang tes tanpa visi yang menyiksa batin anak didiknya.

Pejabat publik tanpa idealisme akan berubah menjadi koruptor yang memakan uang rakyat. Orang tua tanpa idealisme akan berubah menjadi semata penyedia makan, pakaian, dan rumah, tanpa pendidikan nilai yang membuat anaknya menjadi manusia yang utuh. Pekerja tanpa idealisme hanya akan menjelma menjadi mesin-mesin tanpa ide dan kreativitas. Tanpa visi dan idealisme, manusia tidak akan menjadi manusia, melainkan seonggok daging yang bernapas dan berjalan di atas permukaan bumi.

Membangun Idealisme
Pendidikan jelas merupakan alat paling jitu untuk membangun dan mengembangkan idealisme suatu bangsa. Walaupun memiliki peran amat penting, sekolah formal tidak bisa dijadikan satu-satunya penggerak pendidikan. Pendidikan yang tertinggi dan terutama adalah teladan hidup langsung dari orang-orang yang sudah ada sebelumnya. Bourdieu, seorang filsuf Prancis, berulang kali menegaskan, bahwa tindakan jauh lebih kuat dari kata-kata, dan itu paling jelas di dalam pendidikan moral.

Sulit membuat pendidikan anti korupsi, ketika hampir semua golongan tua di Indonesia melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme setiap harinya, seringkali tanpa disadari. Sulit mengajak bangsa ini untuk memiliki nilai moral tinggi, ketika nyaris semua golongan tua hidup untuk menipu dan meraup kekayaan, seringkali dengan cara-cara yang biadab. Sulit mengajak bangsa ini untuk jujur, ketika guru mengajarkan siswanya untuk menyontek saat ujian nasional. Jelaslah, teladan hidup dari orang-orang yang sudah hidup sebelumnya memainkan peranan amat penting dalam pemberadaban bangsa.

Sebagai bagian dari idealisme, visi tak akan pernah utuh menjadi kenyataan. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mendekati visi tersebut, walaupun tak pernah bisa identik sepenuhnya. Itulah sebabnya, di dalam kata idealisme terdapat kata ide, karena itu adalah harapan dan visi, yang perlu terus dikejar sepanjang hidup, walaupun tak bisa direngkuh sepenuhnya.[]

Thursday, December 24, 2015

Menjadi Pembaca di(luar) Media


Oleh: Abdul Rahman Wahid

Perkembangan media informasi terlampau sangat produktif. Bahkan, produktifitas yang terjadi membuat kita dipaksa melangkah jauh. Padahal, kita baru saja belajar berjalan, mungkin saja masih merangkak dalam hal menikmati informasi yang datang.

Media interkatif (internet) membuat perubahan besar dalam arus informasi. Kedatangannya membuat prasangka-prasangka tanpa dasar. Sudah sangat sulit berbicara fakta pokok, realititas imaginer menjadi sajian yang harus ditelan setiap hari. Ibarat fakta seekor gajah, mungkin cukup gadingnya saja yang disampaikan.

Media kini menjadi arena beragam kepentingan. Dengan media siapapun bisa bermain untuk mengekspresikan kepentingannya. Jangan tanya, media itu bebas nilai atau tidak. Karena semua media mengandung bias. Hanya kadarnya saja yang berbeda. Louis Althusser dan Antonio Gramsci jauh-jauh sudah membicarakannya.

Dalam bukunya, Reading Capital (1971), Louis Althusser menyebutkan, dalam hubungannya dengan kekuasaan media menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Althusser membahasakanya "ideological states apparatus". Artinya, media bekerja secara ideologis dalam membangun kepatuhan publik atas kelompok yang sedang berkuasa. Media sudah setara dengan lembaga pendidikan, agama, seni dan budaya. Media menjadi bagian penting dari alat kekuasaan negara.

Sedang Antonio Gramsci (Prison Notebooks, 1971) menyebut media sebagai gelanggang pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi. Gramsci membahasakannya, the battle ground for competing ideologies. Mengacu pada pandangan Gramsci tentang media, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. (1) menjadi alat legitimasi kekuasaan sebagaimana pandangan Althusser, dan (2) media menjadi alat perlawanan (resistensi) terhadap kekuasaan.

Namun, keduanya (Louis Althusser dan Antonio Gramsci) berada dalam satu pandangan bahwa media bukan sesuatu yang bebas, independet. Media selalu memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Dari titik temu dua pemikir ini kita bisa melihat bahwa di dalam media terdapat jamak kepentingan. Artinya, bukan persoalan negara dan masyarakat semata. Ada beragam barisan kepetingan lain yang juga asyik bermain. Seasyik anak-anak bermain air saat musim hujan tiba.

Mengenal Bias Dalam Media
Seperti disampaikan di atas, semua media mengandung bias, hanya kadarnya saja yang berbeda. Dari sini kita akan bertanya, apakah media (massa) tidak penting untuk dijadikan ruang (sumber) informasi? Jawabannya tentu "tidak". Kanapa? Ya, kadar bias itulah yang membuat media masih layak untuk dijadikan sumber informasi. Namun bukan sebagai legitimasi kebenaran informasi.

Sepertinya media dalam menyajikan berita mampu memanfaatkan masyarakat yang cukup nyaman dengan budaya intrik dan isu. Hasilnya, apa yang disajikan media menjadi sesuatu kenyataan dan kebenaran tanpa penyaringan. Sesuatu yang sebenarnya imaginer dan fiksi, seketika melalui berita di media menjadi fakta yang mampu mengarahkan kesadaran masyarakat.

Setidaknya ada tiga bias dalam media, sehingga menempatkan media tidak bebas nilai. Pertama, symulacrum. Sebuah model realitas yang tampak nyata, namun sebenarnya palsu. Realitas (sengaja) disembunyikan dibalik citra realitas, image of reality. Penyajian realitas imaginer membuat kita sulit membedakan antara realitas dan citra realitas. Pun, model dan kenyataan tak dapat dibedakan lagi. Inilah bias media dalam mencipta realitas dan data imajiner menjadi sebuah berita. Contoh sederhana, dalam dunia hari ini pola semacam ini sering kita kenal dengan berita hoax. Ada lagi beberapa kalangan menyebutnya dengan istilah "jurnalisme kuning." Namun istilah ini lebih sering digunakan sebagai berita dalam memanfaatkan obyek atau responden, bahasa sederhananya adalah eksploitasi responden.

Kedua, distorsi. Bias kedua ini sering bertentangan dengan berita pokok. Distorsi cenderung menguntungkan pihak penguasa. Artinya, setiap gerakan kritis masyarakat selalu disajikan dengan informasi negatif. Pun sebaliknya, dalam hal menampilkan penguasa (pemerintah) selalu berada dalam porsi positif. Semisal, kasus penggusuran rumah warga atau pembersihan pedagang kaki lima sering disajikan dengan bahasa berita "penertiban". Sedangkan penolakan masyarakat selalu tampil dalam berita yang berujung "anarki". Media tak pernah mau tahu kenapa penolakan tersebut dilakukan oleh masyarakat. Namun penting dicatat, bias distorsi ini tetap berpijak pada data dan fakta yang valid. Hanya saja pengambilannya berada dalam kontrol kepentingan.

Ketiga, reduktif. Kompleks fakta yang mengemuka, hanya diambil salah satu saja. Reduktif ini sering kali disebut bias media dalam bentuk focusing. Bias ini kerap kali kita jumpai dalam peliputan aksi demonstrasi. Bias ini juga menafikan keterkaitan dalam realitas sosial. Media tidak sampai (tidak mau) mengambil data kenapa kejadian itu terjadi. Padahal, sesuatu yang melatarbelakangi kejadian itu terjadi merupakan kondisi obyketif. Sehingga, berita yang disajikan kehilangan makna yang sesungguhnya. Lihat saja, bagaiamana media memberitakan kasus 'Papa Minta Saham' yang harus diselesaikan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Lalu bandingkan dengan suara masyarakat terhadap kasus yang melibatkan ketua DPR tersebut. Terlihat jelas, bagaiamana masyarakat disajikan kebohongan, dagelan itu nampak sekali di Senayan.

Dari tiga bias media tersebut, kita bisa membedakan kadar bias yang melekat pada media. Artinya, media yang biasnya rendah cenderung obyektif dalam menyajikan berita. Pun sebaliknya, kadar bias yang tinggi membuat berita yang disampaikan berbeda jauh dengan fakta pokoknya. Bahkan, besar kemungkinan keluar dari realitas sebenarnya.

Membaca Kepentingan Dalam Media
Media hari ini sangat sulit tanpa terselubung kepentingan. Hampir bisa dipastikan, eksisnya suatu media karena sokongan kepentingan yang bermain di dalamnya. Bahkan, media yang benar-benar indepentent umurnya bisa dipastikan pendek. Contoh sederhana, silahkan pahami keberadaan portal viva. Bahkan pemilik media yang juga penulis buku tentang teori Hegemoni Gramsci itu tak mampu mempertahankan diri, bertahan agar media yang dikelolanya tetap bebas nilai, independent.

Kepentingan yang bermain di media sangat beragam. Namun dalam konteks Indonesia, bisa kita ambil setidaknya empat arus yang hari ini dominan menguasai dunia informasi. (a) media dalam kontrol kekuasaan (negara) dengan berbagai skupnya, (b) media dalam kontrol oposisi akibat kekalahan dalam kompetisi politiknya, (c) media dalam kontrol pemilik modal sebagai kepanjangan tangan kapitalisme dalam bentuk yang lebih instan, dan (d) media dalam kontrol ideologi untuk menyebarkan paham kelompok masing-masing.

Baiklah, kita menengok ke belakang sejenak tentang perjalanan media di Indonesia. Seperti kita mafhum, 32 Tahun (1966-1998) di bawah rezim otoriter Orde Baru (Orba), Soeharto menjadi pengendali tunggal negara Indonesia. Kekuasaannya mampu menggiring opini publik dengan sajian cintra baik atas dirinya. Rapi tanpa celah, semua media menyampaikan informasi sesuai hasrat yang diinginkannya. Saat itu, media menjadi legitimasi publik untuk mengukuhkan kekuasannya yang lalim.

Menggantikan Soeharto, seorang insinyur aeronautika yang melaksanakan studinya di Jerman, Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan orang pertama yang meletakkan fondasi Indonesia menjadi negara demokratis. Dengan mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang media, BJ Habibie telah melakukan sebuah liberalisasi dalam media. Artinya, bangsa Indonesia dipaksa tidak lagi menganggap negara sebagai pemangku kepentingan utama industri media dan memonopoli informasi di dalam negeri.

UU media memandang pemerintah semata-mata sebagai fasilitator dan pengatur untuk memastikan informasi dan komunikasi yang sehat, juga penyebaran pendidikan publik. Tentunya, ini sebuah kemenangan politis  yang sangat luar biasa. Namun, dibalik kemenangan politis ini, perasaan berjaya para aktivis demokrasi dan para profesional media telah membawa pada permasalahan yang kian kompleks. Sebagai akibat efek samping atas perubahan mendadak ini, beberapa kalangan menyebutnya "kebablasan" bukan "kebebasan."

Datangnya internet menjadi kekuatan baru dalam demokratisasi informasi. Semua komunikasi di saentaro dunia bisa diakses seketika dengan mudah dan biaya murah. Dampak ini sangat terasa dalam proses demokrasi di Indonesia serta tujuan awal media untuk memberi pendidikan informasi terhadap publik. Akhirnya, bersama agenda liberalisasi media yang didengung-dengungkan, kekuatan korporasi nampak kepermukaan. Masyarakat yang sudah terbiasa dan mulai nyaman dengan budaya konsumeristik dan nihilistik menjadi lahan pemasaran sensasionalisme media demi meraup sebuah keuntungan. Wajar saja, skandal yang menimpa artis selalu menjadi berita menarik untuk ditampilkan. Prostitusi mampu menutupi kejahatan korupsi yang terjadi. Padahal, korupsi lebih menjijikkan dari prostitusi, korupsi jauh lebih jahat dari kejahatan prostitusi yang kini diamini.

Sudah kesekian kali negeri ini berganti nahkoda. Namun, kebebasan media semakin mengarah kepada kepentingan semata. Kuatnya pihak korporasi mampu menjadi pengendali media demi keuntungan yang luar biasa. Selanjutnya, perselingkuhan korporasi dengan para pelaku politik membuat media semakin gamang dan kehilangan esensinya. Demokrasi Indonesia berada di bawah bayang-bayang media yang cenderung kebablasan. Ironis memang, informasi yang disajikan bukan untuk memberikan pendidikan tapi sensasionalisme yang disajikan.

Timbul pertanyaan besar di luar media sebagai penyampai informasi, benarkah media menjadi bagian dari pilar demokrasi? Sedangkan keberadaanya sudah pasti berada dalam kontrol birokrasi. Hal tersebut diperparah dengan perselingkuhannya dengan para politisi. Lantas, apa yang harus dilakukan hari ini, tatkala melihat kondisi bangsa yang sudah tercerabut dari makna demokrasi sebenarnya. Tatkala sebuah kebebasan bermetamorfosis menjadi kebablasan. Akhirnya, mengantarkan segelintir orang meraih kekuasaan, di sisi lain segelintir orang meraup keuntungan. Realita inilah yang telah membawa bangsa ini pada ketimpangan dalam kehidupan.

Menyikapi Bias Media
Terus, apa yang perlu dilakukan agar mampu keluar dari lingkaran bias yang ada di media. Oke, sekelumit berbagi pengalaman, karena kalau dibilang saran terkesan menggurui. Hal pertama yang penting dilakukan memperbanyak sumber bacaan. Artinya, konsumsi media kita tidak tunggal. Semakin banyak media (massa) yang kita baca, semakin terasa oerbedaan sajian berita yang dihidangkan. Dengan sendirinya kemampuan kita akan terasah dalam membaca (berita) di media.

Selanjutnya, cari tau dapur redaksi. Ya, semua yang berkaitan dengan media penting kita ketahui. Mulai dari siapa pemodalnya, masuk kelompok penerbitan apa, hingga orang-orang yang duduk di bangku redaksi. Karena setiap isu yang ada, bisa saja muncul dengan sudut pandang yang berbeda. Dapur rekaksi yang akan mengolah rempah-rempah (data) sehingga menjadi hidangan (berita) yang akan sajikan (publish) kepada khalayak.

Membekali diri dengan segala bentuk pengetahuan tentang jurnalisme, hal ini bisa didapat dari buku-buku yang mengulasnya. Ini menjadi penting, sehingga kita memahami secara komprehensif bagaimana berita diproses. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang kode etik jurnalistik dan beberapa tulisan tentang analisis framing.

Menangkap dengan jelas sudut pandang berita yang diambil oleh wartawan. Saya rasa ini juga penting untuk menilai seberapa jauh sudut pandang wartawan dalam menulis berita. Artinya, dalam menangkap satu isu kita tidak tergiring oleh sudut pandang yang serupa seperti tersaji dalam berita. Dengan demikian, ada sudut pandang lain (dari kita) untuk membaca kadar obyektif berita yang ada.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan berempati terhadap wartawan. Kenapa wartawan (harus) menulis berita seperti itu di media tempatnya bekerja. Harapannya, kita akan lebih bersikap rasional terhdap sebuah berita di media yang ditulis oleh wartawan. Dengan kita berempati, maka dengan sendirinya kita akan sensitif terhadap stereotip yang ada dalam berita. Karena stereotip dalam berita tidak tampil secara telanjang, stereotip hadir karena kerja bawah sadar dan sering tidak disadari.

Terakhir, mungkin dari pembaca ada semacam tips di luar yang saya sebut. Karena semua orang punya cara sendiri dalam menangkap, membaca, dan memahami berita dengan baik. Langkah yang menarik dan sangat mungkin bisa kita lakukan adalah, menuliskannya sendiri. Selamat mencoba, karena meciptakan fakta di media bukan dengan cara anti terhadap media. Nikamti saja dunia media, jangan lupa memilih dan memilahnya. Agar kita tak terjebak pada kebenaran buta alias palsu adanya.[]


sumber gambar: corola.org

Sunday, December 20, 2015

Musafir Cinta


Oleh: Muhammad Madarik

Puisi yang berjudul "Musafir Cinta" ini diinspirasi oleh sebuah kelana panjang penulis bersama belahan jiwa. Seperti lumrahnya, perjalanan ini tidak terlalu berbeda dari kebanyakan, dimulai dari wilayah Arema, melintasi kota Pahlawan, lalu singgah di Pulau Garam. Tetapi karena memejamkan mata di tengah kelam malam menjadi keharusan, dan tempat rehat seakan sebagai saksi, maka perjalanan ini bagi penulis mempunyai kesan luar biasa. Pengalaman yang menoreh kenangan sangat mendalam bagi pribadi penulis, seketika itu mengusik naluri untuk menyusun kata-kata puitis.

Perjalanan adalah sepotong siksa.

Bait yang berisikan sebentuk pengakuan atas seluruh kesan menjadi pembuka dalam puisi. Tidak dalam rangka mengajak khalayak untuk mensetujui sabda Nabi tentang problematika dibalik sebuah perjalanan, tetapi angkat topi terhadap kebenaran ungkapan sang Rasul bakal dilakukan manusia beriman.

Memang tidak bisa di tampik lagi, tatkala kekasih Tuhan itu pernah berkata: "al-safar qit'atun min al-adzab," maka riwayat ini merupakan referensi tunggal yang tak diragukan validitasnya. Setumpuk beban, baik lahir maupun batin, yang dipikul penulis akibat sebuah perjalanan, benar-benar telah menyematkan kesadaran penuh dalam lubuk terhadap kejujuran sang utusan. Kini, setelah mata terbelalak menyaksikan sekian banyak kenyataan di dalam perjalanan, rasanya terlalu naif untuk membusungkan dada dan tidak bersungkur dibawah kaki manusia paripurna itu.

Separo wajah tampak bertopeng kepura-puraan, meski separo yang lain diselimuti keikhlasan. Kegelisahan selalu saja menyumbul dari lubuk yang paling dalam.

Bait ini sesungguhnya cerita kecamuk psikologis secara pribadi yang acapkali dirasakan penulis, dan diyakini terdapat pengalaman beberapa musafir yang menemukan hal serupa. Di dalam sebuah perjalanan, perilaku kemunafikan terkadang mewarnai setiap momen, walaupun sebetulnya kesucian jiwa tidak dapat dinafikan. Bagi penulis, sambutan dan suguhan seringkali ditangkap sebagai sikap keterpaksaan tuan rumah yang tidak bisa ditepis. Tetapi dalam hal ini, penulis tidak akan pernah memberikan klaim "gebyah-uyah" kepada fenomena masyarakat atau privasi perseorangan. Sebab tuan rumah yang menyiapkan agenda ramah tamah dengan segala kesungguhan juga tidak terbilang. Di berbagai daerah, masih banyak orang-orang yang benar-benar mendamba ridla Tuhan lewat pelayanan maksimal kepada para tamunya, sekalipun hanya sesungging senyum.

Hanya dominasi perasaan sentimen dalam diri penulis membuat cenderung peka dan penuh kecurigaan terhadap banyak gelagat shahib al-bait, yang tak jarang membuat rasa betah bertamu menjadi terganggu. Apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tentang ganjaran dibalik silaturrahim merupakan cambuk bagi setiap umat untuk melakukan anjangsana, kendati  kepayahan akan terbayang dipelupuk mereka.

Sementara luapan kegelisahan yang dirasakan dalam jiwa penulis tak terbendung setiap kali dirantau. Alih-alih bisa terbahak di rumah handaitaulan, tersenyum saja serasa menari di atas penderitaan orang lain, sekalipun dia seorang kerabat. Kalaulah bukan hadits Nabi itu yang memotivasi untuk saling menjenguk, perjalanan hanya merupakan kegiatan yang selalu menyisakan gersah di batin.

Kaki ini terlalu letih untuk diayunkan. Langkah demi langkah hanya mampu menghitung waktu dengan lambat.

Pada bagian ini, dijelaskan bahwa usai menempuh sekian jarak dan pengalaman, penulis sebagai musafir merasa telah benar-benar memikul beban berat, baik dari sisi lahir maupun dari aspek batin. Memang disadari oleh penulis bahwa sebuah perjalanan tidak serta merta harus dijadikan kambing hitam atas kondisi lesu dan lelah seorang musafir, dalam hal ini terkadang tipologi seseorang turut menentukan keadaan. Ada sebagian sosok yang memiliki tingkat rasa "cuek" begitu besar, sehingga situasi apapun berkenaan dengan dirinya atau pemilik rumah menjadi ringan. Hal demikian ini berbalik jauh dari pribadi penulis yang mempunyai sensitifitas cukup tinggi, menangkap hampir semua gelagat di kediaman tuan rumah sebagai respon keterpaksaan, sehingga penulis merasa seakan telah "memperkosa" sebagian haknya.

Inilah yang menyebabkan orang seperti penulis seringkali hanya menemukan tempat orang lain bak penjara tak berpagar, terasa pengap dalam kebebasan. Tentu akibatnya, penantian detik demi detik yang berdetak begitu perlahan berujung pada rasa tidak betah, resah dan gelisah sekalipun rumah tujuan itu berbentuk istana megah dengan fasilitas mewah.

Batu terjal menyayat tapak tak beralas, menoreh gores darah keperihan. Sekujur raga begitu lunglai dan berlumur kepenatan, hanya sanggup berjalan gontai.

Bait ini kembali menegaskan keadaan seorang musafir saat di rantau, meskipun penulis mulai bercerita tentang kondisi diluar kediaman tuan rumah. Sebenarnya perjalanan tetaplah perjalanan. Di manapun berada, seorang musafir pasti terperosok dalam keterpasungan yang menyebabkan tidak ada ruang luas untuk temukan ketenangan. Di dalam pandangan seorang musafir, wujud rumah orang lain bagai jeruji besi yang sewaktu-waktu menjadi ciut, begitu pula kebugaran tubuh tergerogoti ditambah kecermalangan akal kian menyusut akibat termakan ruas jalan yang memanjang atau berkelok. Alhasil, seorang musafir sungguh-sungguh berada dipuncak menara gading, sedikit saja tergelincir, maka kecelakaan bakal menjadi nyata. Ragam konsekuensi di perjalanan inilah faktor yang menyebabkan ia begitu sembilu.

Kekayaan hanyalah seutas lampu neon yang menua. Ia tak lagi sanggup menerangi sorot mata yang kian buram. Malam yang temaram dan angin dingin membius dan menusuk keperkasan sang lelaki. Gemerlap cuma berupa kuncup bunga yang dikerubung semut.

Dalam bait ini, penulis benar-benar ingin meyakinkan semua orang bahwa dalam perjalanan sama sekali tidak ada transaksi jual beli kebahagiaan, meskipun berlian berkelas yang ditawarkan sekalipun hanya untuk menukar sedetik ketenangan. Siapa bilang, berwisata ke berbagai tempat hiburan indah merupakan bepergian menyenangkan ? Apa saja bentuknya, sebuah perjalanan cuma wujud kamuflase belaka; dibalik satu tawa telah menganga sejuta problematika.

Berlipat rupiah yang dibawa, dan mobil mengilat yang ditumpangi tak akan pernah mengentaskan pemiliknya dari jerat kepenatan tubuh, dan kelelahan pikiran yang tengah melilit. Apalagi sekadar gemerlap lampu di pinggir jalan yang hanya bisa menerangi badan jalan tetapi tak mampu meringankan mata yang lelah, atau toko-toko megah berderet dengan segala barang dagangannya yang cuma dapat mengisi perut namun tak kuasa membugarkan raga yang mulai mati gaya.

Kebahagiaan milik musafir cinta. Gelang emas terlilit indah di tengah tangan-tangan lembut. Belaian kasihnya mampu menyembuhkan pandangan kuyu dan memperkuat kelumpuhan di sepanjang jalan.

Seperti pengalaman penulis, cintalah yang kemudian menyuntikkan banyak amunisi kekuatan bagi seorang musafir. Balutan kisah kasih menjadi satu-satunya spirit yang membingkai dalam separuh jiwa sekalipun rasa letih telah merayap di dalam sendi-sendi tubuhnya dalam separu yang lain. Tentu penulis mengungkapkan jujur bahwa cinta seorang musafir tak harus identik dengan gambaran secara fisikly. Perasaan kasih sayang yang tertanam dalam lubuk hati seorang musafir senantiasa mendidih, kendati lautan luas menghalangi sua dua insan yang sedang dirundung kasmaran. Apalagi jika perjalanan disertai sang bidadari pujaan hati, tak disangsikan dedaunan dari setiap pepohonan dan bias sinar lampu-lampu di sepanjang jalan terasa melagukan selaksa nyanyian keindahan. Sekian pemandangan dari setiap jengkal langkah pasti dirasa menumbuhkan sekian butir-butir pesona nan rangkaian kesejukan dalam jiwa.

Rumah gubuk menjadi tempat kerinduan tak terbeli lagi. Hela panjang hanya pelipur dengus nafas yang kian terengah. Musafir cinta hanya ingin pulang ke peraduan.

Sesungguhnya nyaris tidak ada kemungkinan pilihan bagi musafir untuk bisa senang setingkat kebahagiaan di kediaman diri sendiri. Sekalipun berbagai kemudahan dapat diperoleh sebab segala fasilitas yang serba termutakhirkan sudah tersuguhkan di istana orang lain, tidak akan ada jaminan sanggup menandingi rasa nikmat dan damai dari dalam rumah sendiri walaupun hanya berupa gubuk bambu di tepi sungai.

Benar-benar sahih apa yang disabdakan oleh sang pilihan Khalik, "baiti jannati," sehingga tak seorangpun kuat menyangkal ujaran yang telah menjadi jargon umat muslim itu. Memang begitulah adanya. Bagi penulis, jangankan fenomena sebuah kelana, rumah mertua saja terkadang tak mampu menjadi lampu aladin yang kuasa  menciptakan ketenangan jiwa bagi menantunya, apatah lagi sebuah perjalanan yang dilakukan seorang musafir. Ternyata, kembali ke kampung halaman jelas menjadi asa yang senantiasa dirindukan setiap anak adam. Di sana, ia bisa merebah di sudut mana saja dengan leluasa tanpa was was, angan-angannya dapat melayang menerobos kemahaluasan cakrawala, suara tawa beserta anak-istrinya memekik kesunyian malam, dan gurauan dengan keluarga tak pernah berbatas waktu dan tempat, meskipun rumahnya hanya sekian meter. Di sana, penulis dan (mungkin?) semua orang dipeluk kebahagiaan hakiki.[]

sumber foto: kompasiana.com

Thursday, December 17, 2015

Menumbuhkan Opini Cerdas


Oleh: Muhammad Zeini

Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argument yang selalu diajukan lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang tertanam di kepala kita. Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai seratus persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi buta yang tertanam di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kebutaan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.

Anatomi Persepsi.
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Dari mana asal persepsi yang tertanam di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca.

Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita. Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang tertanam di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan yang ada.

Menurut hemat saya, pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak menyadarinya. Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni ini?

Hegemoni Media.
Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.

Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.

Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun, pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.

Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian tersebut akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.

Menumbuhkan Opini Cerdas.
Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah positif. Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.

Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.

Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar atau pembacanya.

Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang tertanam di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti Indonesia.

Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas.[]

sumber gambar: enterpriseisrael.org.il

Monday, December 14, 2015

Dunia Dalam Gelembung Balon


Oleh: Muhammad Zeini
 
Secara tidak sadar kita hidup di dunia dalam gelembung balon. Kita menggelembunkan segala yang ada, sehingga hampir semuanya kehilangan akar realitasnya, dan tampak berlebihan. Pada akhirnya, kita pun kehilangan pegangan pada realitas yang sesungguhnya, dan hidup dalam kebohongan. Bagi mereka yang kritis tentu akan bertanya, apakah mungkin, kita mengetahui realitas yang sebenarnya? Bagi mereka, setiap pengamatan dan setiap pendapat selalu berbalut satu teori dan sudut pandang tertentu, sehingga tak pernah bisa sungguh mutlak, dan tak pernah bisa sungguh menangkap, apa yang sesungguhnya terjadi.

Bahkan ada berpendapat, bahwa apa yang dapat kita ketahui hanyalah jejak dari relitas, dan bukan realitas itu sendiri. Maka dari itu, kepastian pengetahuan pun hanya ilusi. Orang yang merasa pasti, bahwa ia mengetahui sesuatu, berarti ia hidup dalam ilusi, karena ia tidak bisa membedakan antara jejak dari realitas, dan realitas itu sendiri. Argumen ini memang masuk akal, dan memiliki kebenarannya sendiri. Akan tetapi, pada hemat saya, kita dapat mengetahui realitas yang sebenarnya, walaupun pengetahuan itu tidaklah mutlak, karena realitas itu berubah, maka pengetahuan manusia pun juga harus berubah.

Di dalam filsafat pengetahuan, dinyatakan dengan jelas, bahwa syarat pertama kebenaran adalah kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan. Syarat ini, menurut hemat saya, bisa digunakan untuk menanggapi argumen di atas, bahwa pengetahuan kita itu relatif, dan kita hanya dapat mengetahui jejak dari realitas, dan bukan realitas itu sendiri. Sampai titik tertentu, manusia mampu menciptakan kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan. Pada titik ini, gelembung balon adalah elemen yang membuat kita tak mampu melihat realitas, tetapi hanya bentuk hiperbolis (berlebihan) dari realitas yang ada. Tidak ada kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan, karena kenyataan tertutup oleh gelembung balon, yang membuatnya seolah lebih, dari kenyataannya. Dalam bahasa gaul, gelembung balon ini bisa juga dibilang sebagai lebay. 

Gelembung informasi dan citra. 
Gelembung informasi, contohnya setiap hari pikiran kita diserang oleh jutaan informasi, mulai dari iklan, berita di koran, sampai dengan dengan gosip terbaru artis ternama. Pemberitaan di TV dan koran pun seringkali berat sebelah, yakni fokus pada satu area tertentu dengan sudut pandang tertentu, tetapi tidak meliput area lainnya, dan dari sudut pandang lainnya. Akibatnya, yang kita peroleh adalah gelembung balon informasi, yakni informasi berlebihan tentang satu area, dan informasi berlebihan dengan menggunakan satu sudut pandang tertentu. Kita mengalami gelembung informasi di satu sisi, sekaligus krisis informasi di sisi lain, karena kita menjadi buta dengan apa yang terjadi di negara lain, dan rabun, karena tak mampu melihat dari sudut pandang lain.

Gelembung informasi berujung pada gelembung balon citra. Gelembung balon citra membuat sesuatu atau seseorang tampak lebih dari aslinya. Balon citra menghasilkan kesalahpahaman, karena orang menghormati dan menghargai gelembung balon tersebut, dan bukan realitas sejatinya, yang amat mungkin tidak seperti balon yang tampak. 

Gelembung balon harapan dan kekecewaan. 
Dengan citra yang menggelembung di dalam balon, orang pun memiliki harapan yang menggelembung pula. Namun, karena gelembung balon bukanlah realitas, bahkan seringkali menipu, maka orang pun akan terjebak dalam kekecewaan. Harapan yang menggelembung pada akhirnya akan bermuara pada kekecewaan yang besar, karena harapan tersebut jauh dari kenyataan yang ada.

Di sisi lain, jika kita memperhatikan berita-berita di media massa, akan terasa sekali adanya gelembung balon negativitas, yakni pemberitaan berlebihan tentang apa yang negatif. Gelembung balon negativitas ini, jika tidak disikapi secara kritis, akan membuat kita melihat dunia juga dengan sikap sinis dan negatif. Cara berpikir negatif adalah awal dari tindakan negatif. Artinya, balon negativitas pemberitaan dunia akan juga menghasilkan balon negativitas cara pandang, yang amat mungkin akan mendorong tindakan-tindakan negatif, atau ketidakpedulian. Balon negativitas juga akan menghasilkan balon kekecewaan, yang pada akhirnya membuat orang tak lagi tergerak untuk memperbaiki keadaan. 

Gelembung balon budaya dan pendidikan. 
Dunia akademik kita juga hidup menggelembung. Kampus-kampus di Indonesia beusaha menggelembungkan dirinya menjadi kampus internasional, tetapi jauh dari jangkar dunia, dan nyaris tercerabut dari persoalan-persoalan mendesak realitas. Penelitian sibuk dengan gelembung balon teknis dan hibah, serta lupa memahami, apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dunia.

Beragam negara berusaha meggelembungkan balon budayanya, sehingga berusaha menutupi borok perilaku politiknya. Data statistik dan analisis dipelitintir sedemikian rupa, sehingga menghasilkan citra balon yang nyaris tak ada kaitannya dengan realitas sebenarnya. Gelembung balon politik adalah kebohongan yang dipelintir seolah menjadi kebenaran.

Gelembung balon di dunia sosial juga mempengaruhi cara orang melihat dirinya sendiri. Pada akhirnya, orang juga akan mengalami gelembung balon diri, yakni melihat dirinya lebih dari yang sesungguhnya ada. Narsisme adalah gelembung balon diri, dan kalau melihat kasus narsisme adalah gejala manusia modern, yakni melihat dirinya lebih dari aslinya.

Gelembung balon adalah dunia semu yang menyelimuti realitas yang sebenarnya. Gelembung balon adalah simbol kemegahan dan kebesaran, tetapi sebenarnya di dalam kosong dan rapuh. Maka dari itu, kita tidak bisa begitu saja percaya pada gelembung-gelembung balon sosial di sekitar kita. Di dalam hidup, kita harus berusaha melihat apa yang melampaui indera. Bukan supernatural, melainkan apa yang tak tampak, yang ada di balik setiap gelembung balon di sekitar kita. Dunia dalam gelembung balon adalah dunia yang penuh pencitraan, yang seringkali juga berubah menjadi dunia yang penuh kebohongan.[]

sumber gambar: redrosela.wordpress.com
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top