Oleh: Muhammad Madarik
Puisi
yang berjudul "Musafir Cinta" ini diinspirasi oleh sebuah kelana
panjang penulis bersama belahan jiwa. Seperti lumrahnya, perjalanan ini tidak
terlalu berbeda dari kebanyakan, dimulai dari wilayah Arema, melintasi kota
Pahlawan, lalu singgah di Pulau Garam. Tetapi karena memejamkan mata di tengah
kelam malam menjadi keharusan, dan tempat rehat seakan sebagai saksi, maka
perjalanan ini bagi penulis mempunyai kesan luar biasa. Pengalaman yang menoreh
kenangan sangat mendalam bagi pribadi penulis, seketika itu mengusik naluri
untuk menyusun kata-kata puitis.
Perjalanan
adalah sepotong siksa.
Bait
yang berisikan sebentuk pengakuan atas seluruh kesan menjadi pembuka dalam
puisi. Tidak dalam rangka mengajak khalayak untuk mensetujui sabda Nabi tentang
problematika dibalik sebuah perjalanan, tetapi angkat topi terhadap kebenaran
ungkapan sang Rasul bakal dilakukan manusia beriman.
Memang
tidak bisa di tampik lagi, tatkala kekasih Tuhan itu pernah berkata: "al-safar
qit'atun min al-adzab," maka riwayat ini merupakan referensi tunggal yang
tak diragukan validitasnya. Setumpuk beban, baik lahir maupun batin, yang
dipikul penulis akibat sebuah perjalanan, benar-benar telah menyematkan
kesadaran penuh dalam lubuk terhadap kejujuran sang utusan. Kini, setelah mata
terbelalak menyaksikan sekian banyak kenyataan di dalam perjalanan, rasanya
terlalu naif untuk membusungkan dada dan tidak bersungkur dibawah kaki manusia
paripurna itu.
Separo
wajah tampak bertopeng kepura-puraan, meski separo yang lain diselimuti
keikhlasan. Kegelisahan selalu saja menyumbul dari lubuk yang paling dalam.
Bait
ini sesungguhnya cerita kecamuk psikologis secara pribadi yang acapkali
dirasakan penulis, dan diyakini terdapat pengalaman beberapa musafir yang
menemukan hal serupa. Di dalam sebuah perjalanan, perilaku kemunafikan
terkadang mewarnai setiap momen, walaupun sebetulnya kesucian jiwa tidak dapat
dinafikan. Bagi penulis, sambutan dan suguhan seringkali ditangkap sebagai
sikap keterpaksaan tuan rumah yang tidak bisa ditepis. Tetapi dalam hal ini,
penulis tidak akan pernah memberikan klaim "gebyah-uyah" kepada
fenomena masyarakat atau privasi perseorangan. Sebab tuan rumah yang menyiapkan
agenda ramah tamah dengan segala kesungguhan juga tidak terbilang. Di berbagai
daerah, masih banyak orang-orang yang benar-benar mendamba ridla Tuhan lewat
pelayanan maksimal kepada para tamunya, sekalipun hanya sesungging senyum.
Hanya
dominasi perasaan sentimen dalam diri penulis membuat cenderung peka dan penuh
kecurigaan terhadap banyak gelagat shahib al-bait, yang tak jarang membuat rasa
betah bertamu menjadi terganggu. Apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW
tentang ganjaran dibalik silaturrahim merupakan cambuk bagi setiap umat untuk
melakukan anjangsana, kendati kepayahan
akan terbayang dipelupuk mereka.
Sementara
luapan kegelisahan yang dirasakan dalam jiwa penulis tak terbendung setiap kali
dirantau. Alih-alih bisa terbahak di rumah handaitaulan, tersenyum saja serasa
menari di atas penderitaan orang lain, sekalipun dia seorang kerabat. Kalaulah
bukan hadits Nabi itu yang memotivasi untuk saling menjenguk, perjalanan hanya
merupakan kegiatan yang selalu menyisakan gersah di batin.
Kaki
ini terlalu letih untuk diayunkan. Langkah demi langkah hanya mampu menghitung
waktu dengan lambat.
Pada
bagian ini, dijelaskan bahwa usai menempuh sekian jarak dan pengalaman, penulis
sebagai musafir merasa telah benar-benar memikul beban berat, baik dari sisi
lahir maupun dari aspek batin. Memang disadari oleh penulis bahwa sebuah
perjalanan tidak serta merta harus dijadikan kambing hitam atas kondisi lesu
dan lelah seorang musafir, dalam hal ini terkadang tipologi seseorang turut
menentukan keadaan. Ada sebagian sosok yang memiliki tingkat rasa
"cuek" begitu besar, sehingga situasi apapun berkenaan dengan dirinya
atau pemilik rumah menjadi ringan. Hal demikian ini berbalik jauh dari pribadi
penulis yang mempunyai sensitifitas cukup tinggi, menangkap hampir semua
gelagat di kediaman tuan rumah sebagai respon keterpaksaan, sehingga penulis
merasa seakan telah "memperkosa" sebagian haknya.
Inilah
yang menyebabkan orang seperti penulis seringkali hanya menemukan tempat orang
lain bak penjara tak berpagar, terasa pengap dalam kebebasan. Tentu akibatnya,
penantian detik demi detik yang berdetak begitu perlahan berujung pada rasa
tidak betah, resah dan gelisah sekalipun rumah tujuan itu berbentuk istana
megah dengan fasilitas mewah.
Batu
terjal menyayat tapak tak beralas, menoreh gores darah keperihan. Sekujur raga
begitu lunglai dan berlumur kepenatan, hanya sanggup berjalan gontai.
Bait
ini kembali menegaskan keadaan seorang musafir saat di rantau, meskipun penulis
mulai bercerita tentang kondisi diluar kediaman tuan rumah. Sebenarnya
perjalanan tetaplah perjalanan. Di manapun berada, seorang musafir pasti
terperosok dalam keterpasungan yang menyebabkan tidak ada ruang luas untuk
temukan ketenangan. Di dalam pandangan seorang musafir, wujud rumah orang lain
bagai jeruji besi yang sewaktu-waktu menjadi ciut, begitu pula kebugaran tubuh
tergerogoti ditambah kecermalangan akal kian menyusut akibat termakan ruas
jalan yang memanjang atau berkelok. Alhasil, seorang musafir sungguh-sungguh
berada dipuncak menara gading, sedikit saja tergelincir, maka kecelakaan bakal
menjadi nyata. Ragam konsekuensi di perjalanan inilah faktor yang menyebabkan
ia begitu sembilu.
Kekayaan
hanyalah seutas lampu neon yang menua. Ia tak lagi sanggup menerangi sorot mata
yang kian buram. Malam yang temaram dan angin dingin membius dan menusuk
keperkasan sang lelaki. Gemerlap cuma berupa kuncup bunga yang dikerubung
semut.
Dalam
bait ini, penulis benar-benar ingin meyakinkan semua orang bahwa dalam
perjalanan sama sekali tidak ada transaksi jual beli kebahagiaan, meskipun
berlian berkelas yang ditawarkan sekalipun hanya untuk menukar sedetik
ketenangan. Siapa bilang, berwisata ke berbagai tempat hiburan indah merupakan
bepergian menyenangkan ? Apa saja bentuknya, sebuah perjalanan cuma wujud
kamuflase belaka; dibalik satu tawa telah menganga sejuta problematika.
Berlipat
rupiah yang dibawa, dan mobil mengilat yang ditumpangi tak akan pernah
mengentaskan pemiliknya dari jerat kepenatan tubuh, dan kelelahan pikiran yang
tengah melilit. Apalagi sekadar gemerlap lampu di pinggir jalan yang hanya bisa
menerangi badan jalan tetapi tak mampu meringankan mata yang lelah, atau
toko-toko megah berderet dengan segala barang dagangannya yang cuma dapat
mengisi perut namun tak kuasa membugarkan raga yang mulai mati gaya.
Kebahagiaan
milik musafir cinta. Gelang emas terlilit indah di tengah tangan-tangan lembut.
Belaian kasihnya mampu menyembuhkan pandangan kuyu dan memperkuat kelumpuhan di
sepanjang jalan.
Seperti
pengalaman penulis, cintalah yang kemudian menyuntikkan banyak amunisi kekuatan
bagi seorang musafir. Balutan kisah kasih menjadi satu-satunya spirit yang
membingkai dalam separuh jiwa sekalipun rasa letih telah merayap di dalam
sendi-sendi tubuhnya dalam separu yang lain. Tentu penulis mengungkapkan jujur
bahwa cinta seorang musafir tak harus identik dengan gambaran secara fisikly.
Perasaan kasih sayang yang tertanam dalam lubuk hati seorang musafir senantiasa
mendidih, kendati lautan luas menghalangi sua dua insan yang sedang dirundung
kasmaran. Apalagi jika perjalanan disertai sang bidadari pujaan hati, tak
disangsikan dedaunan dari setiap pepohonan dan bias sinar lampu-lampu di
sepanjang jalan terasa melagukan selaksa nyanyian keindahan. Sekian pemandangan
dari setiap jengkal langkah pasti dirasa menumbuhkan sekian butir-butir pesona nan
rangkaian kesejukan dalam jiwa.
Rumah
gubuk menjadi tempat kerinduan tak terbeli lagi. Hela panjang hanya pelipur
dengus nafas yang kian terengah. Musafir cinta hanya ingin pulang ke peraduan.
Sesungguhnya
nyaris tidak ada kemungkinan pilihan bagi musafir untuk bisa senang setingkat
kebahagiaan di kediaman diri sendiri. Sekalipun berbagai kemudahan dapat
diperoleh sebab segala fasilitas yang serba termutakhirkan sudah tersuguhkan di
istana orang lain, tidak akan ada jaminan sanggup menandingi rasa nikmat dan
damai dari dalam rumah sendiri walaupun hanya berupa gubuk bambu di tepi
sungai.
sumber foto: kompasiana.com
0 komentar:
Post a Comment