Oleh: Muhammad Zeini
Dunia kita adalah persepsi
kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argument yang selalu diajukan lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita
terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi
yang tertanam di kepala kita. Seringkali, persepsi yang ada di
kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah
inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia,
baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya
adalah kebenaran mutlak dan sesuai seratus persen
dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis
menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.
Orang yang hidup dalam
ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan
pikirannya lahir dari ideologi buta yang tertanam
di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena
hanya mengikuti saja kebutaan berpikir sehari-hari yang
ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan
berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.
Anatomi Persepsi.
Bagaimana persepsi manusia
terbentuk? Dari mana asal persepsi yang tertanam di kepala kita? Salah satu
jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang
ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita
baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita
baca.
Persepsi kita juga dibentuk
oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain
mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman
murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang
sudah ada sebelumnya di kepala kita. Banyak orang tidak
sadar dengan pra-paham yang tertanam di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira
begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai
dengan kenyataan yang ada.
Menurut hemat saya, pra-paham sesat
yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam
hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak
menyadarinya. Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai
benar. Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa
terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak pernah
sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni
ini?
Hegemoni Media.
Media massa sekarang ini
adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media massa sama sekali
bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan
melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas,
yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan mereka,
namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.
Dalam arti ini, tak
berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk
melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu peristiwa selalu
dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang lainnya.
Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk
kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu
mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi
identitas sosial suatu kelompok.
Rasisme dan beragam bentuk
diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita
membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali,
kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun,
pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun persepsi
yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.
Banyak juga program politik
yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada segudang
undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal
rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh
terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global
sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu bagian
dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di bagian dunia
lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi.
Persepsi yang lahir dari
ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian tersebut akan
melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga
memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka,
mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka
yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh
media.
Menumbuhkan Opini Cerdas.
Bisakah kita melepaskan diri
dari persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media?
Sampai batas tertentu, jawabannya adalah positif. Masalahnya bukanlah hidup
tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah
tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.
Bagaimana merumuskan opini
yang cerdas? Kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap
berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran
kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan
yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap berita
yang kita terima dari media massa sehari-harinya.
Sikap kritis dan curiga
sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi adalah salah satu
kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang
ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir
dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru
menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar atau
pembacanya.
Sebagai warga dari masyarakat
demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh
jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang
tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang tertanam di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga
negara demokratis, seperti Indonesia.
Bagaimana membangun sikap
kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan
besar disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit
sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam keluarga dan di
dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang
memiliki persepsi dan opini yang cerdas.[]
sumber gambar: enterpriseisrael.org.il
0 komentar:
Post a Comment