Showing posts with label Ghufron AM. Show all posts
Showing posts with label Ghufron AM. Show all posts

Tuesday, October 7, 2014

UU Yang Keblinger

[sumber]
Oleh: Ghufron AM

Runtuhnya kekuasaan otoritarian di Indonesia, diamputasi oleh tujuan masyarakat yang berdaulat, yakni hadirnya reformasi 1998. Hadirnya reformasi mula-mula bukanlah tujuan utama penyediaan panggung bagi para reformis, namun di balik itu semua, reformasi memberikan angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengubah wajah baru Indonesia tidak cukup memerlukan reformasi birokrasi, yang paling memungkinkan dan paling fundamental saat itu, tekadnya mereformasi konstitusi. Salah satu tujuan reformasi konstitusi yang substantif adalah dengan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, dalam arti mengembalikan hak konstitusi (constitutional right) warga negara. Tujuan tersebut diterjemahkan ke dalam konstitusi (dari empat kali amandemen UUD) yang setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih secara langsung menjadi Presiden dan Wakil Presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. beserta pembenahan lembaga negara lainnya yang masih dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia.

Bagian yang terpenting lainnya dari amanat konstitusi ialah pembenahan pemerintahan daerah yang semula dari arah sentralisasi menuju arah desentralisasi. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan jaminan otonomi seluas-luasnya bagi daerah yang diberikan oleh negara, bertujuan terciptanya sistem yang kooperatif dan pemerataan kesejahteraan dalam beberapa aspek. Tujuan yang semula demikian, ternyata seiring berjalannya waktu tidak sebanding lurus dengan capaiannya. Hal ini yang kerap terjadi perselisihan antara pemerintah pusat dan daerah, tentu juga tidak bisa menafikan faktor x yang lainnya. Kemudian jalan tengahnya adalah lahirnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga UU Otsus (otonomi khusus), dan UU Keistimewaan. Ternyata tidak cukup berhenti di situ, mengingat iklim politik yang tak menentu, peta politik selalu berubah-ubah warna yang berkuasa. Sehingga pada hemat saya, energi politik lebih kuat ketimbang energi konstitusi.

Susah untuk dilupakan, beberapa waktu yang lalu DPR RI mengetuk palu melalui voting pertanda diputuskannya dua RUU secara tidak bersamaan, yang sarat kontrofersi, di antaranya RUU MD3, dan RUU Pilkada dengan pemilihan (Gubernur, Bupati/walikota) dipilih oleh DPRD. Pada tulisan ini, penulis lebih fokus pada UU Pilkada. Adanya RUU Pilkada ini memunculkan pro dan kotra di lingkungan masyarakat, termasuk partai politik yang berkepentingan di dalamnya. Alasan normatif bagi pihak yang mengusulkan adanya pembahasan RUU Pilkada di DPR, menilai Pilkada yang sejauh ini menggunakan sistem pemilihan langsung dinilai tidak efektif, biaya dan kost politik yang cukup besar, mudah terjadinya tindakan politik transaksional dan rentan terjadi konflik horizontal di masyarakat (pihak yang kalah) yang tidak merasa puas dengan hasilnya.

Sebelum lebih jauh membahas UU Pilkada, hendaknya dikesampingkan isu politiknya terlebih dahulu. Terdapat dua persoalan penting yang ada dalam UU Pilkada, pertama perdebatan mengenai demokrasi, dan kedua perdebatan tentang tercerabutnnya hak konstitusional masyarakat dalam memilih masing-masing kepala daerahnya. Secara teoritis pengistilahan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan konfigurasi demokrasi yang berdaulat atau disebut kedaulatan di tangan rakyat. Prinsip negara modern dewasa ini, bercirikan tiga aspek fundamental di dalamnya. Negara modern memegang prinsip dan menjunjung tinggi adanya kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat, dan yang terakhir pelindungan hak asasi manusia (HAM) bagi setiap warga negaranya. Sedangkan demokrasi itu sendiri merupakan ruh atau jiwa yang bersemayam di atas  tiga prinsip negara modern tadi.  Tentunya setiap negara memiliki tatanan dan sistem yang berbeda-beda untuk mengartikan demokrasi sebagai kedaulatan di tangan rakyat. Setidaknya dalam perkembangannya ada dua model demokrasi yang berkembang dewasa ini. Pertama, demokrasi liberal, model ini merupakan demokrasi yang membuka pintu seluas-luasnya bagi siapapun atas nama hak (individu, kelompok, dan golongan tertentu) untuk mencari kemenangan. Dan yang kedua, demokrasi deleberatif, model demokrasi semacam ini mendahulukan dan mengedepankan  prinsip dan asas-asas permusyawaratan untuk mencapai musyawarah-mufakat. Kiranya jelas di sini, demokrasi yang semacam apa yang bisa berkembang di Indonesia.

Jika didasarkan pada sila keempat dan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka jelas bahwa Indonesia dalam memaknai demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan demokrasi yang dianut adalah keterwakilan, dengan menggunakan sistem presidensial. Menurut hemat saya, di dalam sistem presidensial bukanlah dimaknai sebagai “pemisahan” kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tetapi dimaknai sebagai “pembagian” kekuasaan, karena di dalamnya masih memiliki dengan adanya asas chek and balence. Sistem presidensial kepala negara menjadi kepala pemerintahan, dan eksekutif tidak bertanggungjawab kepada parlemen (DPR), dan kedua-duanya sederajad. Presiden dan DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, sebagaimana tercantum dalam pasal 22E ayat (2), pasal 19 ayat (1), dan pasal 18 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Lalu bagaimana dengan kepala daerah dalam sistem presidensial? Secara konstitusional, Gubernur, bupati, dan walikota merupakan kepala pemerintahan daerah (eksekutif), sama halnya dengan presiden sebagai kepala pemerintahan pusat. Namun, secara konstitusional kepala daerah tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa, kepala daerah dipilih langsung, akan tetapi dipilih secara demokratis, pasal 18 ayat (4) UUD 1945.  Dengan demikian tidak ada suatu keharusan dalam Pilkada menggunakan sistem pemilihan langsung atau tidak langsung.

Perbincangan aktual mengenai RUU Pilkada dewasa ini, sebagaimana dijelaskan dari sudut pandang konstitusi, tidaklah ada suatu keharusan untuk dipilih langsung atau dipilih melalui parlemen (DPRD). Akan tetapi polemik RUU Pilkada ini, di sisi lain menginginkan kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) tetap dipilih langsung, namun di sisi lain menginginkan pemilihan melalui parlemen dalam hal ini DPRD. Menggunakan pemilihan langsung artinya rakyat bisa menggunakan hak konstitusionalnya (constitusional right) dengan bebas memilih, mengenali, dan menilai langsung dari figur yang akan dipilihnya. Namun, jika menggunakan pemilihan melalui parlemen, rakyat tidak bisa menggunakan hak konstitusionalnya secara langsung, melainkan diwakilkan kepada wakil yang berada di parlemen. Alasan yang muncul kemudian, demokratis atau tidak demikian itu? menurut hemat saya, kedua-duanya sudah memenuhi unsur demokratis. Akan tetapi apakah yang dimaksud sudah mencapai demokrasi substansial atau tidak, maka cara pandangnya bukanlah dilihat dari pelaksanaan, atau mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung (melalui parlemen).

Untuk mencapai kualitas demokrasi yang substansial, pertama yang harus diperhatikan adalah partai politiknya, apakah partai politik yang ada sejauh ini memberikan pendidikan politik yang cerdas, jurdil, dan transparan kepada masyarakat atau tidak. Kedua, perlu adanya keterlibatan elemen masyarakat (civil soceity) yang pro aktif, dan dipandang perlu melakukan kontrak politik secara tertulis yang melibatkan calon kepala daerah, wakil rakyat (DPRD), kepada unsur elemen masyarakat, sebagai legitimasi kontrol dari rakyat kepada kepala daerah nantinya. Sehingga yang rakyat pegang bukanlah janji, tapi bukti yang termaterialkan dalam bentuk kontrak politik. Ketiga, pemerintah baik pusat atau daerah, beserta wakil rakyat yang duduk di perlemen sejauh ini, benar-benar mengurusi dan mencarikan solusi yang sejatinya masyarakat butuhkan, atau justru sebaliknya melakukan atas dasar kepentingan pribadi, kelompok dan partainya masing-masing. Keempat, sejauh ini demokrasi kita terlalu diserahkan langsung terhadap pasar “demokrasi liberal”, sehingga siapapun yang memiliki kecukupan sosial kapital ia berhak mengikuti kontestasi politik. Maka wajar jika ongkos politik begitu mahal, dan di situ para investor dan pemodal mudah keluar masuk, dengan iming janji dan kotrak politik antar kedua pihak. Jika demikian yang terjadi, maka wajar jika pemilihan kepala daerah yang terjadi selama ini sarat dengan politik transaksional, kost politik yang mahal, serta rentan terjadinya konflik di antara sesama masyarakat, seperti yang terjadi di berbagai daerah di tanah air akibat kasus sengketa pemilukada.  Untuk mencapai kualitas demokrasi yang substansial, tidak cukup bertumpu pada cita-cita politik dan hukum semata. Perlu adanya tujuan dan orientasi masyarakat dan negara yang jelas.

Oleh karena itu, adanya RUU Pilkada yang substansinya mengatur adanya pemilihan melalui anggota parlemen (DPRD) dirasa kurang tepat, karena perlu adanya perbaikan sistem ketatanegaraan yang meliputi pemerintahan daerah, partai politik, dan masyarakat yang ada di dalamnya. Bukanlah mekanisme pemilihan yang berubah-ubah yang cenderung menimbulkan inkonsistensi terhadap undang-undang yang sudah berlaku, di mana undang-undang tentang pemerintahan daerah beserta mekanisme pemilihannya secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 24 ayat (5) UU No.32 tahun 2004. Ke depan, polemik RUU Pilkada bukan lagi perdebatan tentang mekanisme pemilihannya, tetapi harus menyentuh substansi dan kualitas demokrasi yang substantif. Dengan demikian Indonesia lambat laun akan bergeser dari kualitas demokrasi yang prosedural menuju ke arah demokrasi yang substansial.

Pasca ditetapkannya RUU Pilkada
Kemenangan politis dari kubu KMP (Koalisi Merah Putih) melalui voting, di saat detik-detik diputuskannya RUU Pilkada mengundang reaksi keras di tengah masyarakat. Sejumlah pihak menilai, keputusan RUU Pilkada syarat dengan muatan politis dan dramatis, jika perumpamaan dalam sinetron ada yang berakhir dengan happy-ending dan ada yang sad-ending. Inilah yang dialami dua kubu poros politik dewasa ini. Belum lagi drama yang dipertontonkan sejumlah Fraksi Demokrat, yang memilih jalan walkout dari arena sidang paripurna, karena beberapa tuntutannya tidak dipenuhi. Sejumlah reaksi bermunculan, opini publik menjadi blunder, sampai-sampai Presiden SBY yang juga selaku Ketua Umum PD menjadi bulanan opini yang dinilai sebagai dalang walkout-nya fraksi Demokrat. Ketika reaksi opini negatif yang ditujukan pada FPD, jalan tengah yang ditempuh dengan rencana menggugat UU Pilkada ke MK, dan rencana mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) oleh Presiden. Maka pertanyaannya adalah apakah dengan keluarnya Perppu cukup mengobati kekecewaan rakyat yang dibangun oleh “opini publik dan media”, atau hal demikian hanyalah bagian dari politik pencitraan? Juga cukup kuatkah dikeluarkannya Perppu dalam situasi politik transisi, mengingat Perppu bisa dikeluarkan ketika negara dalam keadaan darurat?

Menjawab dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Inilah yang penulis sebut di atas bahwa pada kenyataannya energi politik lebih kuat daripada energi taat konstutusi dan hukum. Dalam teori lain disebutkan jika politik lebih determinan atas hukum, maka produk hukumnya pun tidaklah responsif atau bahkan otoriter dan konservatif. Berbeda jika sebaliknya atau keduanya (politik dan hukum) sejajar “interdeterminan”. Oleh karena itu, apa yang kita lihat dan saksikan para elite politik yang bermanuver pada tindakan politiknya, sulit untuk dibenarkan dan dijelaskan dengan teori, entah apa yang meraka lakukan itu, dilakukan dengan sadar atau tidak. Tantangan pemerintahan (Jokowi-JK) yang akan datang jauh lebih berat, tekanan politik datang dari berbagai penjuru, akan tetapi hal demikian merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintahan (Jokowi-JK), untuk melewati krisis demi krisis politik. Satu hal lagi, rakyat mulai semakin dewasa dalam memaknai demokrasi, mana yang berkepentingan untuk rakyat mana yang berkepentingan untuk kepentingan itu sendiri. Karena di atas kekuasaan negara masih ada kekuasaan yang berdiri atas nama kedaulatan rakyat yang hidup dan tumbuh subur dalam jiwa manusia merdeka.[]

Ghufron AM
alumni Santri PPRU I
sedang menempuh Program Pasca di UII Yogyakarta.

Friday, May 23, 2014

Mahkamah Konstitusi, Siapa Mengawasi Siapa?




Oleh:Ghufron AM

Hukum Tata Negara merupakan sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, Hukum Tata Negara membahas struktur organisasi negara dan hubungan struktur negara dengan warga negaranya. Seperti halnya yang dikatakan Vanderpot, Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing masing, hubungan satu dengan yang lainnya dan hubungannya dengan individu-individu.

Telah lama diasumsikan untuk mencapai sistem pemerintahan yang stabil, tidak hanya bersandar pada kontruksi politik dan hukum semata, perlu berpijak pada orientasi politik, sikap dan tujuan masyarakat sipil yang terpadu dan kuat. Dalam sebuah tesisnya, Francis Fukuyama mengatakan, diterimanya konsep demokrasi secara universal di penjuru dunia dikarenakan masyarakat dan warga negaranya memiliki orientasi politik yang jelas dan nyata secara bersama-sama.

Wednesday, October 9, 2013

Menguak Mitos Presiden-Jawa di Indonesia

[photo credit: here]
Oleh: Ghufron AM* 

Bangsa yang besar dan bermartabat  tidak terlepas dari siapa yang menjadi pemimpinnya dan bagaimana cara memimpin bangsa itu. Indonesia merupakan kelanjutan dari Nusantara, dengan warisan sejarah dan budaya yang begitu kompleks dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara, seperti Majapahit, Singosari, Sriwijaya, Mataram Kuno, Samudera Pasai, Kutai Kertanegara, Kesultanan Demak, Mataram, Banjar, Sambas, Bone, Ternate, Tidore dan lain sebagainya. Dengan demikian, wajar jika di awal kemerdekaan Indonesia perdebatan tentang asas yang sesuai nilai, kultur dan watak Nusantara begitu pelik dan menguras pikiran dari para founding fathers Republik ini. Sebagai bangsa yang multikultural, pluralis, dan demokratis sudah sewajarnya siapapun, dari suku manapun, dan keturunan siapapun boleh memimpin bumi pertiwi ini. 

Disadari atau tidak, suatu persepsi telah beredar di tengah masyarakat bahwa presiden Indonesia haruslah dari suku dan orang Jawa. Kenapa demikian, adakah bukti autentik yang membenarkan persepsi tersebut selama ini? Penulis bukan bermaksud mengindahkan mitos dan ramalan-ramalan yang ada, semisal ramalan Joyoboyo, yang dipercaya masyarakat jawa (kejawen) memuat ramalan para pemimpin serta perkembangan Indonesia, dan bentuk ramalan-ramalan lainnya. Persepsi masyarakat tentang Presiden Indonesia haruslah dari orang dan suku Jawa tersebut, bisa benar dan bisa pula salah. 

Di sini perlu adanya telaah kembali atas persepsi dan mitos yang seakan-akan menjadi aturan tak tertulis bagi seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden. Bisa dibenarkan selama ini Presiden RI selalu berlatar belakang Jawa, seperti Soekarno, Soeharto, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang dari Jawa dan keturunan Jawa. Sedangkan BJ. Habibie adalah satu-satunya mantan Presiden yang bukan berlatar belakang Jawa; hal ini adalah sebuah pengecualian sebab BJ. Habibie menjadi Presiden adalah bentuk darurat dan sangat situasional pasca jatuhnya Soeharto di awal reformasi 1998. BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden menggantikan Soeharto untuk mengisi kekosongan kepemimpinan (vacuum of power) saat itu, bukan melalui pemilihan yang sesuai prosedur ketatanegaraan yang berlaku.

Dilihat dari uaraian di atas, maka berdasarakan fakta Presiden RI yang sudah ada notabene bersal dari dan suku jawa. Sedemikian belumlah cukup jika syarat yang tak tertulis ini sebagai pembenar, apalagi hanya dilihat dari sisi metafisisnya. Sekurang-kuranganya ada perihal lain yang bersifat empiris, yang bisa dijadikan pegangan dalam konteks dewasa ini. Pertama, mari kita lihat dari faktor sejarah berdirinya NKRI. Setelah Jepang tunduk oleh tentara Sekutu, yang dikenal dengan peristiwa Hirosima-Nagasaki, maka kemudian Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau yang biasa disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosa Kai, yang beranggotakan 67 anggota. 60 dari bangsa Indonesia dan 7 orang dari bangsa Jepang. Sedangkan pada sidang kedua 10-17 Juli 1945, Jepang menambah keanggotaan 6 orang dari bangsa Indonesia. Jelang beberapa hari setelah pembentukan BPUPKI, Pemerintah Angkatan Darat XVI kembali membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia) atau istilah Jepang Dokuritu Zyunbi Iin Kai. PPKI ini beranggotakan 21 yang diketuai oleh Ir. Soekarno, tanpa adanya anggota luar biasa dari pihak Jepang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang keanggotaan PPKI bertambah 6 orang menjadi 27 anggota. Dari 27 anggota tersebut, 18 berasal dari pulau Jawa, selebihnya representasi dari daerah-daerah di luar Jawa. Pada awalnya PPKI dibentuk bertujuan membentuk asas tunggal dan arah kemerdekaan Indonesia ke depan, dan selebihnya kesepakatan apakah yang diperbincangkan hanya pelaku sejarahlah yang mengetahuinya. Namun melihat dari 18 oarang keanggotaan PPKI berasal dari Jawa, maka rumusnya sangat sederhana apalagi Indonesia menganut sistem demokrasi, demokrasi berdasarkan suara teranyak (majority). Artinya, yang mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, akan tetapi yang mayoritas tidak dibenarkan jika tidak mendapatkan apa-apa. 

Kedua, berdasarkan populasi dan demografi penduduk di Indonesia. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, terdapat 237,641,326 jiwa jumlah penduduk di Indonesia, dan hampir setengah dari jumlah penduduk di Indonesia merupakan penduduk di pulau Jawa, dengan mencapai 136.610.590 jiwa. Adapun urutan 5 Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat yang mencapai 43,053,732 jiwa, terdiri dari 21,907,040 laki-laki dan 21,146,692 perempuan. Jawa Timur yang mencapai 37,476,757 jiwa, terdiri dari 18,503,516 laki-laki dan 18,973,241 perempuan. Jawa Tengah yang mencapai 32,382,657 jiwa, terdiri dari 16,091,112 laki-laki dan 16,291,545 perempuan. Sumantera Utara yang mencapai 12,982,204 jiwa, terdiri dari 6,483,354 laki-laki dan 6,498,850 perempuan. Banten yang mencapai 10,632,166 jiwa, terdiri dari 5,439,148 laki-laki dan 5,193,018 perempuan. Melihat dari populasi penduduk di Indonesia, pulau Jawa masih merupakan penduduk paling besar dan hampir setengah dari penduduk Indonesia. Itu artinya, pemilih terbesar dalam pemilu 2014 mendatang Pulau Jawa masih pemegang pemilih terbesar, dan tentu kita tidak menafikan seberapa besar angka golput dalam pemilu 2014 mendatang. Jika demikian, maka calon presiden yang berlatang belakang dan berasal dari pulau Jawa mempunyai peluang untuk menang, walaupun tidak semua orang Jawa akan memilih calon presiden berlatar belakang Jawa. Akan tetapi kebiasaan dan tabiat orang Jawa adalah tidak akan memberikan sesuatu kepada orang lain jika tetangga dan sekitarnya masih ada yang membutuhkan, karena prinsipnya adalah guyup lan rukun. 

Ketiga, Indonesia sebagai negara Pancasila sebetulnya sudah final, dengan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika sejak berabad-abad yang silam.  Akan tetapi disadari atau tidak, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang amat sensitif akan isu-isu SARA, walaupun sejatinya Indonesia bukanlah negara Islam, sekuler, apalagi monarkhi, seperti yang pernah dilontarkan Gus Dur, bahwa Indonesia adalah negara bukan-bukan. Pada kenyataannya Presiden Indonesia selama ini selalu berlatang belakang jawa dan beragama Islam. Kenapa demikian? Sangatlah jelas walaupun Indonesia bukanlah negara Islam, akan tetapi penduduk muslim di Indonesia adalah mayoritas. Saat ini jumlah penduduk muslim di Indonesia mecapai 207.176.162 atau setara dengan 87,18% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah terbesar muslim Indonesia berada di Jawa Barat  yang mencapai 41.763.592 jiwa, dengan Prosentase 97,00%. Lalu disusul oleh Jawa Tengah 31.328.341 jiwa 96,74%, Jawa Timur 36.113.396 96,36% dari total jumlah penduduk. Jadi kembali pada rumusan awal, bahwa sistem demokrasi berdasarkan mayoritas dengan ketentuan, tidak menjadi absah jika yang mayoritas tidak mendapatkan apa-apa, dan tidak dibenarkan jika minoritas tidak diberi kebebasan dan perlindungan. Dengan demikian jika pemilihan Presiden menggunakan sitem pemilihan langsung (one man one vote), maka sangat jauh dari harapan jika menginginkan Presiden yang non muslim.  Amerika saja untuk mendapatkan Presiden berkulit hitam harus menunggu 200 tahun. Sedangkan di India tidak pernah ada Perdana menteri dari muslim, karena melihat jumlah penduduk muslim yang hanya berkisaran 10-15% dari jumlah keseluruhan penduduk India.

Dari tiga alasan di atas inilah kenapa sejauh ini Presiden di Indonesia masih berkutat di satu suku, satu pulau, dan satu agama. Tulisan ini bertujuan bukan sebagai pembenar, akan tetapi mencoba mengurai adanya fakta yang selama ini menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Bukan tidak mungkin ke depan Indonesia memiliki Presiden yang bukan dari suku Jawa, bahkan non muslim. Bagi calon Presiden non-Jawa, sejauh mana mampu mendobrak dan meyakinkan pada khalayak akan syarat primordialisme ini, lintas suku, budaya, dan agama. Indonesia ke depan membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai integritas tinggi, visioner, tidak hanya mementingkan suatu kelompok, tapi berdiri di atas kelompo-kelompok lain. tidak hanya cerdas, tapi cerdik dan cendikia.[]

Ghufron AM
adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Tuesday, July 24, 2012

Islam Antara Kesalehan Spiritual Dan Sosial


Oleh: Ghufron AM*

Mula-mula, tulisan ini berawal dari perbincangan ringan bersama teman-teman, sambil menikmati secangkir kopi di sela-sela aktivitasnya masing-masing. Kebetulan, yang kami perbincangkan pada waktu itu adalah seputar sosial keagamaan. Singkat kata, di tengah-tengah perbincangan ada statement menarik yang keluar dari salah satu di antara kami. Kurang lebihnya seperti ini: “pada hakikatnya manusia adalah makhluk otonom yang bebas, tidak bisa diintervensi siapapun, kecuali intervensi Tuhan itu sendiri”. Melihat statement demikian, penulis sendiri tertarik untuk lebih terbuka diperbincangkan, dan mencoba diketengahkan dalam bentuk tulisan.

Walaupun pada dasarnya manusia makhluk otonom, makhluk bebas berkarya dan berkarsa dari apa yang ia ketahui, bukan berarti ia dapat mengintrepetasikan sebebas-bebasnya tanpa memandang adanya nilai-nilai atau moral etik yang berlaku di dalam agama. Dan juga bukan berarti dengan sendirinya ia bisa bebas dan lepas dari intervensi dalam selera berfikir dan bersikap. Karena bagaimana pun juga, tolak ukur selera berfikir dapat diketahui sejauh ia dapat menerima dan memahami adanya teks dan konteks dalam agama. Dan bagaimana dapat memaknai ketika budaya berbenturan dengan teks agama? Dan sebaliknya, budaya include didalamnya, sehingga seakan-akan itu bagian dari pesan agama itu sendiri.

Islam merupakan agama yang rahmatul lil ‘alamin. Agama yang secara tegas bahwa dengan kehadirannya membawa kedamaian bagi seluruh alam. Dengan artian Islam membawa cita-cita yang luhur, dengan sumber nilai-nilai yang termenifestasikan dalam bentuk kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi umat manusia, tanpa harus memandang agama, etnis, suku dan asal muasal bangsanya. Islam juga memosisikan sebagai agama yang toleran, aspiratif, serta membuka pintu lebar-lebar (inklusifisme) bagi siapa pun yang berkeinginan mengenal Islam yang rahmah ini. Dalam kontek HAM (human right), misalnya, Islam adalah agama yang  menjamin keselamatan pemeluknya, bahkan pemeluk agama lain dari tindakan badani yang di luar koridor hukum. Hal ini merupakan salah satu manifestasi dari tujuan syariah (Maqosid Al-Syariah)  dalam memandang kompleksitas, pluralisme agama yang universal dan kosmopolit.

Adapun kesalamatan yang dimaksud disini adalah: pertama, hifdz ad-din, keselamatan umat dan warga Negara untuk bebas memeluk dan beribadah sesuai agama yang diyakininya, tanpa ada intimidasi, apalagi paksaan untuk berpindah agama. Kedua, hifdz an-nafs, keselamatan jiwa, fisik atau individu dari perbuatan di luar hukum, yang merenggut haknya sebagai manusia. Ketiga, hifz an-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan, tanpa adanya diskriminasi dari pihak lain demi menjaga kehormatan dan keberlangsungan hidup. Keempat, hifz al-mal, keselamatan harta benda, serta hak milik tanpa adanya manipulasi, jarahan, dan penipuan dari pihak lain yang bukan haknya. Kelima, hifz al-‘aql, keselamatan akal dari upaya pencekalan dan pembatasan kreatifitas berfikir, maupun profesi umat dan warga Negara secara keseluruhan, dengan batasan norma-norma yang ada. Dari lima komponen inilah yang kita kenal dengan sebutan “Tujuan Syariah” (Maqasid as-Syari’ah), yang telah dikenalkan oleh Imam al-Ghazali di dalam kitabnya al-Mustasyfa.

Terdapat suatu indikasi kekhawatiran ketika Islam bersifat inklusif. Sikap demikian adalah yang kerap kali ditampakkan oleh para oksidentalis dewasa ini, sikap bahwa Islam dinilai memberikan  celah bagi non-muslim untuk menjatuhkan Islam dari dalam. Hal semacam itu tidaklah benar, jika Islam kita yakini agama yang rahmah. Lagi pula anggapan-anggapan semacam itu, menurut penulis, sangatlah menunjukkan sikap pesimistis yang berlebihan, over protective. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman wahyu secara realitas, agar pemahaman antara teks dan konteks yang terdapat dalam wahyu benar-benar menyentuh sebuah realitas, dan pemahaman yang membumi. Jika dalam  pemahaman teks atau wahyu yang bersifat global ini dipahami dengan kontekstual, artinya menyentuh realitas sosial dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan inklusifisme umat muslim dewasa ini akan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang pluralis ini. 

Tuhan menciptakan manusia dimuka bumi tidak lain untuk menjadikan khalifah fil al-ard, “wakil Tuhan di bumi”. Tanggung jawab inilah yang diemban manusia untuk menyampaikan visi-misi agama. Oleh karena itu posisi manusia di sisi Tuhan (transendent) adalah hamba, akan tetapi  manusia dan sesama (horizontal) adalah khalifah. Sebelum melebar lebih jauh, patut kita pahami bersama makna khalifah itu sendiri, agar kita tidak terjebak memaknai hanya selintas harfiahnya saja. Menurut hemat penulis sendiri, khalifah merupakan bentuk dari aktualisasi diri yang dicanangkan terhadap manusia sebagai makhluk otonom untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Adapun bentuk pengabdian atau penghambaan dapat diinterpretasikan berbagai hal, bisa dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya, asalkan mampu mempertanggung jawabkannya secara sikap (responsibility-accountibility).

Islam mengajarkan tentang nilai-nilai tangung jawab (akuntabilitas), mulai tanggungjawab secara individul hingga tanggung jawab secara kolektif. Sebagaimana hadis Nabi, “masing-masing individu adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya.” sedangkan kepemimpinan yang bersifat kolektif, seperti jabatan tertentu, itu merupakan sebuah mobilisasi vertikal setiap orang, dalam bahasa fikihnya disebut fardlu kifayah.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Muslim religius adalah Muslim yang berani bertanggung jawab dan menjawab dengan solutif dari sekian persoalan masyarakat yang ada, tidak sebatas hanya bisa menakut-nakuti dengan ayat-ayat adanya siksa api neraka belaka. Pada dewasa ini sifat dari relijiusitas Islam hanya dimaknai sebatas simbol-simbol dan formalitas agama, lebih tepatnya tata letak di permukaan saja. dan jauh menyentuh pada realitas masyarakat di dalamnya. Kalau kita berani mengatakan lebih jauh lagi tentang persoalan sosial masyarakat yang benar-benar tanggung jawab kita adalah persoalan bagaimana pengentasan kemiskinan. Meniadakan diskriminasi dalam masyarakat tanpa memandang status sosialnya apalagi agamanya. dan juga bagaimana menjaga keseimbangan alam dan ekosistemnya secara global. Bukankah itu tanggung jawab kita bersama sebagai khalifah di muka bumi ini?

Berbicara mengenai simbolisme dan formalitas agama, penulis mempunyai pengalaman ketika penulis masih nyantri doloe. Pada suatu hari, tepatnya pada hari raya kurban (idul adha) semua orang sibuk bagaimana agar bisa berkurban, atau orang yang mapan dalam sektor ekonominya justru berfikir bagaimana supaya bisa naik haji dengan cepat, untuk melengkapi rukun Islam yang kelima. Tegasnya, orang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa membeli hewan kuban agar bisa dijadikan kendaraan besok di padang mahsyar (akhirat). Padahal di sekitarnya, terutama masyarakat fakir-miskin dan kaum “mustadafin” berpontang-panting mencari sesuap nasi dan memerlukan uluran tangan bagi para dermawan. Dan hal semacam itulah yang menurut penulis harus diprioritaskan agar tidak terjebak simbolisme agama. Dan saya yakin Allah akan lebih senang jika kita memendulikan sesama tanpa adanya dikriminasi dan memandang status sosialnya. Di dalam Al-Quran telah disebutkan: “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”. Dan orang yang bertakwa, menurut penulis, adalah orang yang menjalankan amanah dan tanggung jawabnya sesuai dengan porsi dan kedudukannya masing-masing. 

*Ghufron AM adalah alumni Raudlatul Ulum I. Sekarang sedang melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif di Jurnal Amanah RU I

sumber gambar

Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top