[sumber] |
Runtuhnya
kekuasaan otoritarian di Indonesia, diamputasi oleh tujuan masyarakat yang
berdaulat, yakni hadirnya reformasi 1998. Hadirnya reformasi mula-mula bukanlah
tujuan utama penyediaan panggung bagi para reformis, namun di balik
itu semua, reformasi memberikan angin segar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk mengubah wajah baru Indonesia
tidak cukup memerlukan reformasi birokrasi,
yang paling memungkinkan dan paling fundamental saat
itu, tekadnya mereformasi konstitusi. Salah satu tujuan reformasi konstitusi
yang substantif adalah dengan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, dalam
arti mengembalikan hak konstitusi (constitutional right) warga negara. Tujuan
tersebut diterjemahkan ke dalam konstitusi (dari empat kali amandemen UUD) yang
setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memilih dan dipilih secara langsung menjadi Presiden dan Wakil
Presiden,
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. beserta pembenahan lembaga
negara lainnya yang masih dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia.
Bagian
yang terpenting lainnya dari amanat konstitusi ialah pembenahan pemerintahan
daerah yang semula dari arah sentralisasi menuju arah desentralisasi. Hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan jaminan otonomi seluas-luasnya
bagi daerah yang diberikan oleh negara, bertujuan terciptanya sistem yang kooperatif
dan pemerataan kesejahteraan dalam beberapa aspek. Tujuan yang semula demikian,
ternyata seiring berjalannya waktu tidak sebanding lurus dengan capaiannya. Hal
ini yang kerap terjadi perselisihan antara pemerintah pusat dan daerah, tentu
juga tidak bisa menafikan faktor x yang lainnya. Kemudian jalan tengahnya
adalah lahirnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga UU Otsus
(otonomi khusus), dan UU Keistimewaan. Ternyata tidak cukup berhenti di situ,
mengingat iklim politik yang tak menentu, peta politik selalu berubah-ubah
warna yang berkuasa. Sehingga pada hemat
saya, energi politik lebih kuat ketimbang energi konstitusi.
Susah
untuk dilupakan, beberapa waktu yang lalu DPR RI mengetuk palu melalui voting
pertanda diputuskannya dua RUU secara tidak bersamaan, yang sarat kontrofersi,
di antaranya RUU MD3, dan RUU Pilkada dengan pemilihan (Gubernur,
Bupati/walikota) dipilih oleh DPRD. Pada tulisan ini, penulis lebih fokus pada
UU Pilkada. Adanya RUU Pilkada ini memunculkan pro dan kotra di lingkungan
masyarakat, termasuk partai politik yang berkepentingan di dalamnya. Alasan
normatif bagi pihak yang mengusulkan adanya pembahasan RUU Pilkada di DPR,
menilai Pilkada yang sejauh ini menggunakan sistem pemilihan langsung dinilai
tidak efektif, biaya dan kost politik yang cukup besar, mudah terjadinya
tindakan politik transaksional dan rentan terjadi konflik horizontal di
masyarakat (pihak yang kalah) yang tidak merasa puas dengan hasilnya.
Sebelum
lebih jauh membahas UU Pilkada, hendaknya dikesampingkan
isu politiknya terlebih dahulu. Terdapat dua persoalan penting yang ada dalam
UU Pilkada, pertama perdebatan mengenai demokrasi, dan kedua perdebatan tentang tercerabutnnya hak
konstitusional masyarakat dalam memilih masing-masing kepala
daerahnya. Secara teoritis pengistilahan
demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan konfigurasi
demokrasi yang berdaulat atau disebut kedaulatan di tangan
rakyat. Prinsip negara modern
dewasa
ini, bercirikan tiga aspek fundamental di
dalamnya. Negara modern memegang prinsip dan menjunjung tinggi adanya
kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat, dan yang terakhir pelindungan hak asasi
manusia (HAM) bagi setiap warga negaranya. Sedangkan demokrasi itu sendiri
merupakan ruh atau jiwa yang bersemayam di atas
tiga prinsip negara modern tadi.
Tentunya setiap negara memiliki tatanan dan sistem yang berbeda-beda
untuk mengartikan demokrasi sebagai kedaulatan di tangan
rakyat. Setidaknya dalam perkembangannya ada dua model demokrasi yang
berkembang dewasa ini. Pertama, demokrasi
liberal, model ini merupakan demokrasi yang membuka pintu seluas-luasnya bagi
siapapun atas nama hak (individu, kelompok,
dan golongan tertentu) untuk mencari kemenangan. Dan yang kedua, demokrasi
deleberatif, model demokrasi semacam ini mendahulukan dan mengedepankan prinsip dan asas-asas permusyawaratan untuk
mencapai musyawarah-mufakat. Kiranya jelas di sini, demokrasi
yang semacam apa yang bisa berkembang di Indonesia.
Jika
didasarkan pada sila keempat dan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
maka jelas bahwa Indonesia dalam memaknai demokrasi adalah kedaulatan di tangan
rakyat. Sedangkan demokrasi yang dianut adalah keterwakilan, dengan menggunakan
sistem presidensial. Menurut
hemat saya, di dalam sistem presidensial bukanlah dimaknai sebagai “pemisahan”
kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tetapi dimaknai sebagai “pembagian”
kekuasaan, karena di dalamnya masih memiliki dengan adanya asas chek and
balence. Sistem presidensial kepala negara
menjadi kepala pemerintahan, dan eksekutif tidak bertanggungjawab kepada
parlemen (DPR), dan kedua-duanya sederajad. Presiden dan DPR dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilihan umum, sebagaimana tercantum dalam pasal 22E ayat
(2), pasal 19 ayat (1), dan pasal 18 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Lalu
bagaimana dengan kepala daerah dalam sistem presidensial?
Secara konstitusional, Gubernur, bupati, dan walikota
merupakan kepala pemerintahan daerah (eksekutif), sama halnya dengan presiden
sebagai kepala pemerintahan pusat. Namun, secara konstitusional kepala daerah
tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa, kepala daerah dipilih langsung, akan
tetapi dipilih secara demokratis, pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian tidak ada suatu keharusan
dalam Pilkada menggunakan sistem pemilihan langsung atau tidak langsung.
Perbincangan
aktual mengenai RUU Pilkada dewasa ini, sebagaimana dijelaskan dari sudut
pandang konstitusi, tidaklah ada suatu keharusan untuk dipilih langsung atau
dipilih melalui parlemen (DPRD). Akan tetapi polemik RUU Pilkada ini, di sisi
lain menginginkan kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) tetap dipilih
langsung, namun di sisi lain menginginkan pemilihan melalui parlemen dalam hal
ini DPRD. Menggunakan pemilihan langsung artinya rakyat bisa menggunakan hak
konstitusionalnya (constitusional right) dengan bebas memilih,
mengenali, dan menilai langsung dari figur yang akan dipilihnya. Namun, jika
menggunakan pemilihan melalui parlemen, rakyat tidak bisa menggunakan hak
konstitusionalnya secara langsung, melainkan diwakilkan kepada wakil yang
berada di parlemen. Alasan yang muncul kemudian, demokratis atau tidak demikian
itu? menurut hemat saya, kedua-duanya sudah memenuhi unsur demokratis. Akan
tetapi apakah yang dimaksud sudah mencapai demokrasi substansial atau tidak,
maka cara pandangnya bukanlah dilihat dari pelaksanaan, atau mekanisme
pemilihan langsung atau tidak langsung (melalui parlemen).
Untuk
mencapai kualitas demokrasi yang substansial, pertama
yang harus diperhatikan adalah partai politiknya, apakah partai politik yang
ada sejauh ini memberikan pendidikan politik yang cerdas, jurdil, dan
transparan kepada masyarakat atau tidak. Kedua, perlu adanya keterlibatan
elemen masyarakat (civil soceity) yang pro aktif, dan dipandang perlu
melakukan kontrak politik secara tertulis yang melibatkan calon kepala daerah,
wakil rakyat (DPRD), kepada unsur elemen masyarakat, sebagai legitimasi kontrol
dari rakyat kepada kepala daerah nantinya. Sehingga yang rakyat pegang bukanlah
janji, tapi bukti yang termaterialkan
dalam bentuk kontrak politik. Ketiga, pemerintah baik pusat atau daerah,
beserta wakil rakyat yang duduk di perlemen sejauh ini, benar-benar mengurusi
dan mencarikan solusi yang sejatinya masyarakat butuhkan, atau justru
sebaliknya melakukan atas dasar kepentingan pribadi, kelompok dan partainya
masing-masing. Keempat, sejauh ini demokrasi kita terlalu diserahkan langsung terhadap pasar
“demokrasi liberal”, sehingga siapapun
yang memiliki kecukupan sosial kapital ia berhak mengikuti kontestasi politik.
Maka wajar jika ongkos politik begitu mahal, dan di situ
para investor dan pemodal mudah keluar masuk, dengan iming janji dan kotrak
politik antar kedua pihak. Jika demikian yang terjadi, maka wajar jika
pemilihan kepala daerah yang terjadi selama ini sarat dengan politik
transaksional, kost politik yang mahal, serta rentan terjadinya konflik di antara
sesama masyarakat, seperti yang terjadi di berbagai daerah di tanah air akibat
kasus sengketa pemilukada. Untuk
mencapai kualitas demokrasi yang substansial, tidak cukup bertumpu pada
cita-cita politik dan hukum semata. Perlu
adanya tujuan dan orientasi masyarakat dan negara yang jelas.
Oleh
karena itu, adanya RUU Pilkada yang substansinya mengatur adanya pemilihan
melalui anggota parlemen (DPRD) dirasa kurang tepat, karena perlu adanya
perbaikan sistem ketatanegaraan yang meliputi pemerintahan daerah, partai
politik, dan masyarakat yang ada di dalamnya. Bukanlah mekanisme pemilihan yang
berubah-ubah yang cenderung menimbulkan inkonsistensi terhadap undang-undang
yang sudah berlaku, di mana undang-undang tentang pemerintahan daerah beserta
mekanisme pemilihannya secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 24 ayat (5) UU
No.32 tahun 2004. Ke depan, polemik RUU
Pilkada bukan lagi perdebatan tentang mekanisme pemilihannya,
tetapi harus menyentuh substansi dan kualitas demokrasi yang substantif. Dengan
demikian Indonesia lambat laun akan bergeser dari kualitas demokrasi yang
prosedural menuju ke arah demokrasi yang substansial.
Pasca ditetapkannya RUU Pilkada
Kemenangan
politis dari kubu KMP (Koalisi Merah Putih) melalui voting, di saat detik-detik
diputuskannya RUU Pilkada mengundang reaksi keras di tengah masyarakat.
Sejumlah pihak menilai, keputusan RUU Pilkada syarat dengan muatan politis dan
dramatis, jika perumpamaan dalam sinetron ada yang berakhir dengan happy-ending dan ada yang sad-ending. Inilah
yang dialami dua kubu poros politik dewasa ini. Belum lagi drama yang
dipertontonkan sejumlah Fraksi Demokrat, yang memilih jalan walkout dari
arena sidang paripurna, karena beberapa tuntutannya tidak dipenuhi. Sejumlah
reaksi bermunculan, opini publik menjadi blunder, sampai-sampai Presiden SBY yang juga
selaku Ketua Umum PD menjadi bulanan opini yang dinilai sebagai dalang walkout-nya
fraksi Demokrat. Ketika reaksi opini negatif yang ditujukan pada FPD, jalan
tengah yang ditempuh dengan rencana menggugat UU Pilkada ke MK, dan rencana
mengeluarkan Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang) oleh Presiden. Maka pertanyaannya adalah
apakah dengan keluarnya Perppu cukup mengobati kekecewaan rakyat yang dibangun
oleh “opini publik dan media”, atau hal demikian hanyalah bagian dari politik
pencitraan? Juga cukup kuatkah dikeluarkannya Perppu
dalam situasi politik transisi, mengingat Perppu
bisa dikeluarkan ketika negara dalam keadaan
darurat?
Menjawab
dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Inilah yang penulis sebut di atas bahwa
pada kenyataannya energi politik lebih kuat daripada energi taat konstutusi dan
hukum. Dalam teori lain disebutkan jika politik lebih determinan atas hukum,
maka produk hukumnya pun tidaklah responsif atau bahkan otoriter dan konservatif.
Berbeda jika sebaliknya atau keduanya (politik
dan hukum) sejajar “interdeterminan”. Oleh karena itu, apa yang kita lihat dan
saksikan para elite politik yang bermanuver pada tindakan politiknya, sulit
untuk dibenarkan dan dijelaskan dengan teori, entah apa yang meraka lakukan
itu, dilakukan dengan sadar atau tidak. Tantangan pemerintahan (Jokowi-JK) yang
akan datang jauh lebih berat, tekanan politik datang dari berbagai penjuru,
akan tetapi hal demikian merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintahan
(Jokowi-JK), untuk melewati krisis demi krisis politik. Satu hal lagi, rakyat
mulai semakin dewasa dalam memaknai demokrasi, mana yang berkepentingan untuk
rakyat mana yang berkepentingan untuk kepentingan itu sendiri. Karena di atas
kekuasaan negara masih ada kekuasaan yang berdiri atas nama kedaulatan rakyat
yang hidup dan tumbuh subur dalam jiwa manusia merdeka.[]
Ghufron AM
alumni Santri PPRU I
sedang menempuh Program Pasca di UII
Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment