Tuesday, October 7, 2014

UU Yang Keblinger

8:44 AM

[sumber]
Oleh: Ghufron AM

Runtuhnya kekuasaan otoritarian di Indonesia, diamputasi oleh tujuan masyarakat yang berdaulat, yakni hadirnya reformasi 1998. Hadirnya reformasi mula-mula bukanlah tujuan utama penyediaan panggung bagi para reformis, namun di balik itu semua, reformasi memberikan angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengubah wajah baru Indonesia tidak cukup memerlukan reformasi birokrasi, yang paling memungkinkan dan paling fundamental saat itu, tekadnya mereformasi konstitusi. Salah satu tujuan reformasi konstitusi yang substantif adalah dengan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, dalam arti mengembalikan hak konstitusi (constitutional right) warga negara. Tujuan tersebut diterjemahkan ke dalam konstitusi (dari empat kali amandemen UUD) yang setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih secara langsung menjadi Presiden dan Wakil Presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. beserta pembenahan lembaga negara lainnya yang masih dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia.

Bagian yang terpenting lainnya dari amanat konstitusi ialah pembenahan pemerintahan daerah yang semula dari arah sentralisasi menuju arah desentralisasi. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan jaminan otonomi seluas-luasnya bagi daerah yang diberikan oleh negara, bertujuan terciptanya sistem yang kooperatif dan pemerataan kesejahteraan dalam beberapa aspek. Tujuan yang semula demikian, ternyata seiring berjalannya waktu tidak sebanding lurus dengan capaiannya. Hal ini yang kerap terjadi perselisihan antara pemerintah pusat dan daerah, tentu juga tidak bisa menafikan faktor x yang lainnya. Kemudian jalan tengahnya adalah lahirnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga UU Otsus (otonomi khusus), dan UU Keistimewaan. Ternyata tidak cukup berhenti di situ, mengingat iklim politik yang tak menentu, peta politik selalu berubah-ubah warna yang berkuasa. Sehingga pada hemat saya, energi politik lebih kuat ketimbang energi konstitusi.

Susah untuk dilupakan, beberapa waktu yang lalu DPR RI mengetuk palu melalui voting pertanda diputuskannya dua RUU secara tidak bersamaan, yang sarat kontrofersi, di antaranya RUU MD3, dan RUU Pilkada dengan pemilihan (Gubernur, Bupati/walikota) dipilih oleh DPRD. Pada tulisan ini, penulis lebih fokus pada UU Pilkada. Adanya RUU Pilkada ini memunculkan pro dan kotra di lingkungan masyarakat, termasuk partai politik yang berkepentingan di dalamnya. Alasan normatif bagi pihak yang mengusulkan adanya pembahasan RUU Pilkada di DPR, menilai Pilkada yang sejauh ini menggunakan sistem pemilihan langsung dinilai tidak efektif, biaya dan kost politik yang cukup besar, mudah terjadinya tindakan politik transaksional dan rentan terjadi konflik horizontal di masyarakat (pihak yang kalah) yang tidak merasa puas dengan hasilnya.

Sebelum lebih jauh membahas UU Pilkada, hendaknya dikesampingkan isu politiknya terlebih dahulu. Terdapat dua persoalan penting yang ada dalam UU Pilkada, pertama perdebatan mengenai demokrasi, dan kedua perdebatan tentang tercerabutnnya hak konstitusional masyarakat dalam memilih masing-masing kepala daerahnya. Secara teoritis pengistilahan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan konfigurasi demokrasi yang berdaulat atau disebut kedaulatan di tangan rakyat. Prinsip negara modern dewasa ini, bercirikan tiga aspek fundamental di dalamnya. Negara modern memegang prinsip dan menjunjung tinggi adanya kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat, dan yang terakhir pelindungan hak asasi manusia (HAM) bagi setiap warga negaranya. Sedangkan demokrasi itu sendiri merupakan ruh atau jiwa yang bersemayam di atas  tiga prinsip negara modern tadi.  Tentunya setiap negara memiliki tatanan dan sistem yang berbeda-beda untuk mengartikan demokrasi sebagai kedaulatan di tangan rakyat. Setidaknya dalam perkembangannya ada dua model demokrasi yang berkembang dewasa ini. Pertama, demokrasi liberal, model ini merupakan demokrasi yang membuka pintu seluas-luasnya bagi siapapun atas nama hak (individu, kelompok, dan golongan tertentu) untuk mencari kemenangan. Dan yang kedua, demokrasi deleberatif, model demokrasi semacam ini mendahulukan dan mengedepankan  prinsip dan asas-asas permusyawaratan untuk mencapai musyawarah-mufakat. Kiranya jelas di sini, demokrasi yang semacam apa yang bisa berkembang di Indonesia.

Jika didasarkan pada sila keempat dan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka jelas bahwa Indonesia dalam memaknai demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan demokrasi yang dianut adalah keterwakilan, dengan menggunakan sistem presidensial. Menurut hemat saya, di dalam sistem presidensial bukanlah dimaknai sebagai “pemisahan” kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tetapi dimaknai sebagai “pembagian” kekuasaan, karena di dalamnya masih memiliki dengan adanya asas chek and balence. Sistem presidensial kepala negara menjadi kepala pemerintahan, dan eksekutif tidak bertanggungjawab kepada parlemen (DPR), dan kedua-duanya sederajad. Presiden dan DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, sebagaimana tercantum dalam pasal 22E ayat (2), pasal 19 ayat (1), dan pasal 18 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Lalu bagaimana dengan kepala daerah dalam sistem presidensial? Secara konstitusional, Gubernur, bupati, dan walikota merupakan kepala pemerintahan daerah (eksekutif), sama halnya dengan presiden sebagai kepala pemerintahan pusat. Namun, secara konstitusional kepala daerah tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa, kepala daerah dipilih langsung, akan tetapi dipilih secara demokratis, pasal 18 ayat (4) UUD 1945.  Dengan demikian tidak ada suatu keharusan dalam Pilkada menggunakan sistem pemilihan langsung atau tidak langsung.

Perbincangan aktual mengenai RUU Pilkada dewasa ini, sebagaimana dijelaskan dari sudut pandang konstitusi, tidaklah ada suatu keharusan untuk dipilih langsung atau dipilih melalui parlemen (DPRD). Akan tetapi polemik RUU Pilkada ini, di sisi lain menginginkan kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) tetap dipilih langsung, namun di sisi lain menginginkan pemilihan melalui parlemen dalam hal ini DPRD. Menggunakan pemilihan langsung artinya rakyat bisa menggunakan hak konstitusionalnya (constitusional right) dengan bebas memilih, mengenali, dan menilai langsung dari figur yang akan dipilihnya. Namun, jika menggunakan pemilihan melalui parlemen, rakyat tidak bisa menggunakan hak konstitusionalnya secara langsung, melainkan diwakilkan kepada wakil yang berada di parlemen. Alasan yang muncul kemudian, demokratis atau tidak demikian itu? menurut hemat saya, kedua-duanya sudah memenuhi unsur demokratis. Akan tetapi apakah yang dimaksud sudah mencapai demokrasi substansial atau tidak, maka cara pandangnya bukanlah dilihat dari pelaksanaan, atau mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung (melalui parlemen).

Untuk mencapai kualitas demokrasi yang substansial, pertama yang harus diperhatikan adalah partai politiknya, apakah partai politik yang ada sejauh ini memberikan pendidikan politik yang cerdas, jurdil, dan transparan kepada masyarakat atau tidak. Kedua, perlu adanya keterlibatan elemen masyarakat (civil soceity) yang pro aktif, dan dipandang perlu melakukan kontrak politik secara tertulis yang melibatkan calon kepala daerah, wakil rakyat (DPRD), kepada unsur elemen masyarakat, sebagai legitimasi kontrol dari rakyat kepada kepala daerah nantinya. Sehingga yang rakyat pegang bukanlah janji, tapi bukti yang termaterialkan dalam bentuk kontrak politik. Ketiga, pemerintah baik pusat atau daerah, beserta wakil rakyat yang duduk di perlemen sejauh ini, benar-benar mengurusi dan mencarikan solusi yang sejatinya masyarakat butuhkan, atau justru sebaliknya melakukan atas dasar kepentingan pribadi, kelompok dan partainya masing-masing. Keempat, sejauh ini demokrasi kita terlalu diserahkan langsung terhadap pasar “demokrasi liberal”, sehingga siapapun yang memiliki kecukupan sosial kapital ia berhak mengikuti kontestasi politik. Maka wajar jika ongkos politik begitu mahal, dan di situ para investor dan pemodal mudah keluar masuk, dengan iming janji dan kotrak politik antar kedua pihak. Jika demikian yang terjadi, maka wajar jika pemilihan kepala daerah yang terjadi selama ini sarat dengan politik transaksional, kost politik yang mahal, serta rentan terjadinya konflik di antara sesama masyarakat, seperti yang terjadi di berbagai daerah di tanah air akibat kasus sengketa pemilukada.  Untuk mencapai kualitas demokrasi yang substansial, tidak cukup bertumpu pada cita-cita politik dan hukum semata. Perlu adanya tujuan dan orientasi masyarakat dan negara yang jelas.

Oleh karena itu, adanya RUU Pilkada yang substansinya mengatur adanya pemilihan melalui anggota parlemen (DPRD) dirasa kurang tepat, karena perlu adanya perbaikan sistem ketatanegaraan yang meliputi pemerintahan daerah, partai politik, dan masyarakat yang ada di dalamnya. Bukanlah mekanisme pemilihan yang berubah-ubah yang cenderung menimbulkan inkonsistensi terhadap undang-undang yang sudah berlaku, di mana undang-undang tentang pemerintahan daerah beserta mekanisme pemilihannya secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 24 ayat (5) UU No.32 tahun 2004. Ke depan, polemik RUU Pilkada bukan lagi perdebatan tentang mekanisme pemilihannya, tetapi harus menyentuh substansi dan kualitas demokrasi yang substantif. Dengan demikian Indonesia lambat laun akan bergeser dari kualitas demokrasi yang prosedural menuju ke arah demokrasi yang substansial.

Pasca ditetapkannya RUU Pilkada
Kemenangan politis dari kubu KMP (Koalisi Merah Putih) melalui voting, di saat detik-detik diputuskannya RUU Pilkada mengundang reaksi keras di tengah masyarakat. Sejumlah pihak menilai, keputusan RUU Pilkada syarat dengan muatan politis dan dramatis, jika perumpamaan dalam sinetron ada yang berakhir dengan happy-ending dan ada yang sad-ending. Inilah yang dialami dua kubu poros politik dewasa ini. Belum lagi drama yang dipertontonkan sejumlah Fraksi Demokrat, yang memilih jalan walkout dari arena sidang paripurna, karena beberapa tuntutannya tidak dipenuhi. Sejumlah reaksi bermunculan, opini publik menjadi blunder, sampai-sampai Presiden SBY yang juga selaku Ketua Umum PD menjadi bulanan opini yang dinilai sebagai dalang walkout-nya fraksi Demokrat. Ketika reaksi opini negatif yang ditujukan pada FPD, jalan tengah yang ditempuh dengan rencana menggugat UU Pilkada ke MK, dan rencana mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) oleh Presiden. Maka pertanyaannya adalah apakah dengan keluarnya Perppu cukup mengobati kekecewaan rakyat yang dibangun oleh “opini publik dan media”, atau hal demikian hanyalah bagian dari politik pencitraan? Juga cukup kuatkah dikeluarkannya Perppu dalam situasi politik transisi, mengingat Perppu bisa dikeluarkan ketika negara dalam keadaan darurat?

Menjawab dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Inilah yang penulis sebut di atas bahwa pada kenyataannya energi politik lebih kuat daripada energi taat konstutusi dan hukum. Dalam teori lain disebutkan jika politik lebih determinan atas hukum, maka produk hukumnya pun tidaklah responsif atau bahkan otoriter dan konservatif. Berbeda jika sebaliknya atau keduanya (politik dan hukum) sejajar “interdeterminan”. Oleh karena itu, apa yang kita lihat dan saksikan para elite politik yang bermanuver pada tindakan politiknya, sulit untuk dibenarkan dan dijelaskan dengan teori, entah apa yang meraka lakukan itu, dilakukan dengan sadar atau tidak. Tantangan pemerintahan (Jokowi-JK) yang akan datang jauh lebih berat, tekanan politik datang dari berbagai penjuru, akan tetapi hal demikian merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintahan (Jokowi-JK), untuk melewati krisis demi krisis politik. Satu hal lagi, rakyat mulai semakin dewasa dalam memaknai demokrasi, mana yang berkepentingan untuk rakyat mana yang berkepentingan untuk kepentingan itu sendiri. Karena di atas kekuasaan negara masih ada kekuasaan yang berdiri atas nama kedaulatan rakyat yang hidup dan tumbuh subur dalam jiwa manusia merdeka.[]

Ghufron AM
alumni Santri PPRU I
sedang menempuh Program Pasca di UII Yogyakarta.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top