Oleh: Siti A’isyah
Fenomena PKB saat ini (tahun 2004) menjadikan citra politik
santri terpuruk. Visi besar PKB tentang Demokrasi dan Pluralisme terkubur oleh
perilaku politik yang tidak dewasa oleh kadernya. Akibatnya, politik santri
yang pada sejarah Indonesia
menorehkan tinta emas, akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam yang negatif. Apa
yang terjadi dengan santri kita dengan kesadaran politiknya ?
Nah, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajak
santri menjadi politisi atau terlibat secara langsung dalam percaturan politik
praktis. Pun tidak berniat untuk mengajarkan santri berebut kekuasaan. Penulis
hanya ingin menumpahkan keresahan tentang betapa kebutaan kita akan politik, ingin
berbagi tentang arti pentingnya politik, juga tentang efek politik dalam kehidupan,
tidak hanya dalam kehidupan publik tapi juga dalam sisi hidup kita yang paling
privat (pribadi).
Politik?
Membicarakan politik dalam proses pendidikan
pesantren tidak dianggap penting atau bahkan tabu. Terlihat dari literatur yang
diajarkan di pesantren tidak bersentuhan dengan
tema-tema politik. Tak perlu jauh-jauh, di pesantren kita saja,
literatur yang dibaca tidak jauh dari ilmu alat, fiqh atau tasawwuf. Literatur
Islam klasik yang membicarakan tentang politik, semisal al-Ahkam
al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi tidak terlalu dikenal di kalangan
pesantren karena memang tidak dianjurkan untuk dikaji, sebagai literatur
sekunder sekalipun.
Hal tersebut tidak dapat terlepas dari adanya
anggapan bahwa politik adalah cara memperebutkan kekuasaan. Bahwa berbicara
tentang politik berarti berbicara tentang kekuasaan negara dan birokrasi. Asumsi tersebut tidaklah salah,
tapi tidak sepenuhnya tepat. Politik tidak hanya membicarakan hal tersebut
tapi, jauh lebih mendalam, politik juga menyentuh bahkan menentukan
persoalan-persoalan yang paling pribadi.
Manusia adalah “zoon politicon” makhluk
berpolitik, tidak bisa menghindari politik. Sebuah ungkapan lain menyebutkan “Personal
is political”. Kalimat tersebut bukan sekedar jargon, tapi memiliki makna
yang dalam. Bahwa setiap orang adalah politis. Setiap diri orang memiliki posisi
politis, memiliki kepentingan politis, dan digunakan untuk kepentingan politik.
Dengan kata lain setiap individu adalah subjek sekaligus objek politik. Contoh
yang paling sederhana; seorang remaja putri bernama A ingin berkulit putih,
berpakaian seksi, menggunakan bahasa “lu gue”, bangga bila jalan-jalan dan
belanja di mall. Sepintas lalu, hal tersebut dianggap wajar karena
lingkungannnya mengajarkan demikian. Bila dilihat dari sisi agama dia mungkin
dianggap minus. Namun dilihat secara kritis, dia adalah korban politik.
Politik apa? Bila ditelusuri, Si A tersebut
korban bahasa iklan bahwa orang cantik adalah yang berkulit putih, memiliki
tinggi badan tidak kurang dari 160 cm, dengan berat badan tidak lebih dari 45
kg. Akhirnya dia membeli segala macam produk pemutih dan peninggi badan, obat
pelangsing dan sebagainya. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja si pembuat iklan
yang tak lain perusahaan besar yang memproduksi kosmetik dan obat-obat
kecantikan, serta pemilik mall-mall yaitu para konglomerat yang memperoleh
modal dengan cara kongkalikong dengan penguasa. Dalam diri si A tersebut paling
tidak ada empat kepentingan politik yang bermain, yaitu:
Pertama, politik budaya. Budaya adalah bentukan
manusia berdasarkan kebutuhannya. Budaya belanja dan jalan-jalan si A di mall untuk
membeli kosmetika dan mengikuti mode dilakukan karena dia merasa butuh untuk
menunjang ke-PD-annya. Persoalannya adalah kebutuhan itu ternyata juga diciptakan
dan dijejalkan dari luar; dari iklan, konsep kecantikan serta kepercayaan diri
yang disandarkan pada materi. Tanpa sadar ia menjadi korban dari hegemoni politik
budaya.
Kedua, politik media. Penanaman budaya tersebut
dilakukan melalui media yang tiap hari dilihat dan disaksikan oleh mata setiap
orang, seperti televisi, media cetak, radio dan sebagainya. Media-media berlomba mendapatkan iklan, karena semakin
banyak iklan akan semakin pemasukan yang diperoleh untuk biaya kelangsungan
medianya.
Ketiga, politik ekonomi. Semua itu berujung pada
politik ekonomi. Penjajahan saat ini bukan penjajahan politik pemerintahan tapi
penjajahan ekonomi melalui politik ekonomi. Bukan satu negara menjajah negara
yang lain, tapi TnCs**
yang menjajah negara-negara.
Keempat, politik kebijakan negara, yaitu ketika negara
memutuskan memberikan modal pada para pengusaha untuk membangun mall-mal di
berbagai daerah tanpa mempertimbangkan tingkat kebutuhan maupun kondisi ekonomi
rakyat kecil. Yang dibangun bukan hanya gedung mall, tapi juga pola pikir dan gaya hidup masyarakat.
Satu contoh yang sudah massif di depan mata
kita adalah HP (Handphone). Kebutuhan akan HP menjadi sulit dihindari
karena alasan efisiensi dan efektifitas yang ditanamkan oleh pola pikir modern.
Di kalangan tradisionalpun kebutuhan itu tumbuh subur karena image.
Akhirnya semua orang menjadi butuh HP karena tanpa HP ia akan tertinggal banyak
informasi. Penulis sendiri mengalami ketika masih kuliah di Jogjakarta. Kelas perkuliahan dikendalikan
dengan HP. Jika dosen berhalangan hadir maka cukup mengirim SMS kepada semua
anggota kelas. Penulis yang tidak memiliki HP akhirnya sering “kecele” karena
hadir di kelas seorang diri atau penulis akan absen di kelas yang diadakan
secara mendadak juga melalui HP. Karena itulah akhirnya penulis mau tidak mau
harus memiliki HP (meskipun uang yang dimiliki pas-pasan) agar tidak
ketinggalan pelajaran. Penulis sadar bahwa dengan memiliki HP penulis adalah
korban politik ekonomi yang mau tidak mau harus terus membeli pulsa agar nomor
tidak hangus meskipun kondisi keuangan sedang sempit. Seperti itulah politik
mempengaruhi pola pikir, cara bertindak, bahkan tubuh manusia sendiri, dengan
disadari atau tidak.
Kenapa santri harus melek politik?
Paparan di atas dapat kita tarik pada kehidupan
santri yang notabene adalah manusia. Setiap santri adalah individu yang
berarti merupakan subjek sekaligus objek politik. Sebagai subjek politik,
setiap santri memiliki kepentingan untuk keberlangsungan dan eksisitensi
dirinya. Sementara sebagai objek politik --seperti si A yang menjadi korban
tanpa sadar atau penulis sendiri yang menjadi korban dengan penuh kesadaran--
dalam keseharian santri pengaruh politik dapat dilihat secara kasat mata. Mulai
dari kepentingan politik yang paling kecil, seperti kepentingan perorangan,
hingga politik kebijakan negara.
Yang kedua, dalam fakta sejarah, Islam tidak pernah lepas
dari politik. Dalam menyampaikan syiar Islam, nabi saw. juga menggunakan
politik, seperti da’wah bi al-sirr ketika masih lemah hingga da’wah
bi al-jahr ketika posisinya sudah menjadi kuat. Terlepas dari bahwa metode
itu adalah wahyu, politik juga telah digunakan oleh Junjungan kita itu. Begitu
juga dalam dinamika perjalanan selanjutnya, perkembangan Islam sangat lekat dengan
politik.
Yang ketiga, santri juga merupakan
sekelompok orang yang memiliki posisi politik yang penting di mata kekuasaan.
Hal ini terbukti sejak masa penjajahan asing di Indonesia, pesantren adalah
kekuatan yang sangat diperhitungkan. Begitu juga pasca penjajahan asing,
pesantren memiliki suara yang sangat diperhitungkan di panggung politik negara.
Tujuan santri melek politik?
Seperti yang disebutkan di awal tulisan ini,
tujuan santri melek politik bukan untuk ikut-ikutan berebut kue kekuasaan
sebagaimana yang mengemuka belakangan ini. Tujuannya adalah agar; pertama,
santri mengetahui posisinya secara politik, terutama di hadapan kekuasaan
(sosial, ekonomi, budaya, politik). Ketika seseorang sudah tahu posisinya maka
ia akan memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak dapat lagi diperalat
oleh kekuasaan. Kekuasaan ini, sekali lagi, tidak hanya kekuasaan yang dimiliki
oleh negara dan birokrasi, tapi juga kekuasaan-kekuasaan simbol yang kita lahap
setiap hari, setiap saat. Bukan hanya kekuasaan yang menggunakan pemaksaan dan
kekerasan tapi juga kekuasan yang halus (hegemonik).
Kedua, Tahu bagaimana menentukan sikap dan kemana
harus berpihak. Ketika kita sudah tahu siapa yang menguasai siapa, maka kita
akan tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dengan demikian kita
juga tahu kepada siapa harus berpihak. Pemihakan ini bukan lagi
pemihakan yang naif tapi pemihakan secara sadar karena diawali dengan pembacaan
dan analisis yang kritis.
Ketiga, Membangkitkan semangat untuk melawan.
Perlawanan di sini tidak identik dengan perlawanan secara fisik. Perlawanan
bisa diartikan dengan ghirah untuk merubah keadaan. Perlawanan yang
paling efektif justru lahir dari perlawanan yang menggunakan simbol-simbol. Dalam
sebuah novel karangan Dan Brown yang berjudul Malaikat dan Iblis disebutkan
bahwa musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang diremehkan.
Bagaimana agar santri melek politik?
Tidak ada kesadaran yang tumbuh dari kebodohan.
Segala jenis kesadaran hanya dapat muncul dari pengetahuan. Karena itu kunci
agar santri dapat melek politik adalah menanamkan pengatahuan. Pertama, Penanaman
dasar pengetahuan agama yang kuat dan luas. Hal ini tentu saja tidak cukup
dengan mempelajari bahasa dan fiqh saja, tapi juga tafsir, metodologi studi
agama Islam serta penanaman etika (atau lebih tepatnya) moral.
Kedua, Pengetahuan umum yang memadai terutama
pengetahuan sejarah (baik sejarah Islam maupun sejarah Indonesia) dan
pengetahuan tentang realitas masyarakat. Dengan belajar sejarah kita jadi tahu
asal diri, kita juga tahu tentang asal mula munculnya suatu realitas. Hal ini
menjadi penting untuk menentukan langkah yang akan diambil. Namun hal ini harus
dibarengi dengan cara pembacaan yang kritis sehingga tidak menciptakan
musuh-musuh atau korban-korban yang keliru. Karena itu penanaman perspektif
kritis dalam membaca realita menjadi keharusan yang ketiga.
Yang ke empat, penanaman pengetahuan
politik dan kewarganegaraan (civic education) bagi santri. Karena
bagaimanapun, pada level politik negara, santri adalah subjek sekaligus objek
politik yang harus tahu kewajiban dan, terutama, hak-haknya.
Dengan pengetahuan dan kesadaran, maka
diharapkan santri memiliki visi dan karakter yang kuat dalam mengarungi
perubahan. Terlebih ketika santri harus terlibat dalam politik praktis
(kekuasaan negara). tidak seperti saat ini, santri yang masuk dalam politik
justru terseret dalam arus perebutan kue kekuasaan sementara tugas awal sebagai
pemegang amanah rakyat terabaikan.
Last but not least, keterbukaan
pesantren terhadap wacana-wacana baru sudah tidak dapat dihindari lagi agar
pesantren tidak lagi menjadi katak dalam tempurung. Perubahan dalam berbagai aspek saat ini (terutama
tekhnologi beserta imbasnya terhadap kehidupan dan perilaku masyarakat) sudah
berlangsung dalam hitungan detik dan tidak dapat lagi direm. Hal itu tentunya
tidak dapat lagi dihadapi oleh pesantren hanya dengan satu sudut pandang tapi
harus dilihat dari berbagai perspektif, salah satunya adalah perspektif politik.
Dengan begitu pesantren tidak hanya akan menghakimi tapi juga dapat memahami
dan memberikan solusi yang tepat. Dengan sikap demikian, maka dapat dipastikan
bahwa pesantren akan kembali menemukan ruh awalnya sebagai motor penggerak umat
di Indonesia.
*Yang dimaksud santri di sini bukan hanya santri yang sadang nyantri di pondok pesantren tapi juga santri yang sudah hidup di masyarakat (alumni santri)
Bagi kalangan santri sangat diprlukan doktrin dri para kiai/nyainya sebagai suplemin/semangat, hal yg positif dengan adanya tulisan ini.
ReplyDeleteTulisan ini tidak dimaksudkan sebagai doktrin atau fatwa, mas Yahya, melainkan sebagai pemantik perenungan. Diharapkan, tulisan ini akan dikembangkan melalui tukar argumentasi.
Delete:)