Di malam yang sesunyi ini aku
sendiri, tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari dia telah
pergi, tinggalkan diriku
Adakah semua ‘kan terulang,
hanya dirimu yang kucinta dan kukenang di dalam hatiku
Tak pernah hilang bayangan
dirimu untuk selamanya
Mengapa terjadi pada diriku, aku
tak percaya kau telah tiada
Haruskah kupergi tinggalkan
dunia agar aku dapat berjumpa denganmu.
Aku menghela nafas panjang, tatkala
jemari ini tak lagi mampu menari di atas keyboard komputer. Makalah yang
ditugaskan kepadaku sebagai ketua kelompok masih dapat satu halaman. Pikiran yang
biasanya jernih dan fokus menyusun kata-kata seakan sirna, ketika mendayu-dayu
bait lagu itu terngiyang-ngiyang di gendang telinga ini. Suara sendu seorang
Chrisye dari radio ini mengantarkan aku untuk menggali kenangan satu tahun
silam yang kuusahakan sedapat mungkin terkubur. Saat aku duduk diawal semester
dua, seperti biasa sebelum sang mentari meninggi, aku duduk di pojok deretan
panjang meja kantin milik kampus untuk sekedar mengganjal perut dengan gorengan
dan kopi.
Seakan hapal dengan istiadatku, ibu
kantin yang biasa dipanggil Bu Jah itu langsung menyeduh kopi hitam manis
kesukaanku. Tak lama wanita paruh baya itu mengantarkan kopi panas ke hadapanku
sembari mempersilahkan, “monggo, Gus !” Katanya. Sapaan dengan logat Jawa
begitu kental ini, bagiku sekarang sudah tidak asing lagi, meskipun pertama
kali aku dengar membuat aku kaget.Tetapi setelah tahu semua mahasiswa yang
berada di warungnya akan dipanggil “Gus”, menjadikan aku paham bahwa tindakan
tersebut bagian dari tatakramanya.
Tanpa bersuara aku mengangguk
sambil mengeluarkan sebatang rokok Bentoel untuk kemudian aku sedot
dalam-dalam. Hisapan demi hisapan begitu nikmat saat aku memakan tempe goreng
hangat dan sesekali kopi panas aku sruput. Pemandangan rumput hijau dan
teduhnya dahan pepohonan di halaman kantin ini menambah kian damai hatiku tanpa
beban menghinggap, sesejuk suasana surgawi yang konon katanya tidak ada rasa gerah
sedetik pun. Angin sepoi di tengah iklim sejuk Kota Apel ini semakin
menyempurnakan suasana kalbu yang begitu tenang di pagi ini.
Pandanganku yang sejak tadi
mengarah kepada para mahasiswa yang lalu-lalang menuju tujuan masing-masing,
kini mulai terfokus pada sosok wanita tinggi semampai di antara sekelompok
mahasiswa yang akan ke kantin ini. Kaca mata yang menghias wajah ovalnya dan kuning
langsat warna kulit yang dibalut dengan kaos putih bertuliskan “Aku
Mencintaimu Sedalam Nafasku” pada tubuh langsing itu, membuat gadis ini
semakin menarik pandanganku. Ia duduk sebelah kiri berjarak dua meja dari aku
duduk. Posisi yang berlawanan, meski agak menyamping, menjadikan aku bisa leluasa
mencuri pandangan untuk sekadar manatap wajahnya. Sekali-kali tatapan kami
bertemu untuk selanjutnya saling membuang muka seakan-akan masing-masing memang
tak ingin saling mengenal, kendatipun hal itu kemunafikan yang disadari. Tanpa
terasa rokok yang aku hisap sejak tadi mulai menghangat diujung dua jemari ini.
“Heh, rokokmu itu, mau wafat…!”
Bentak seseorang dari belakang sambil memukul pundakku.
“Hei, Dzif. Sudah pesan apa?”
Tanyaku seraya berusaha menghilangkan kekagetanku.
Nadzif, sahabatku ketika di SMA
dulu ini, duduk disampingku sambil membawa piring berisi nasi pecel pedas
kesukaannya. “Fis, kayaknya kamu menoleh tok ke cewek itu ya. Naksir
ya?” Tanya dia sambil mulutnya tidak berhenti mengunyah nasi pecel-nya.
“Enggak kok.” Jawabku mengelak.
“Ayok,” katanya sembari menyambar
tanganku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengambil piring,
wadah makanannya, lalu menarikku seraya
membawaku ke meja gadis itu.
“Vit, ini mau kenalan. Nafis
namanya, anak Humaniora,” kata Nadzif sambil duduk dan meneruskan makannya.
Kami sama-sama terdiam, menahan
kecamuk seribu perasaan setelah tingkah Nadzif ini berjalan begitu cepat.
“Heh, salaman! Kok bengong
semua,” bentak anak Psikologi itu. Aku menjulurkan tangan untuk bersalaman. Sejenak
aku tertegun, saat tangan kami
bersentuhan. Tangan gadis ini begitu lembut selaras dengan parasnya yang cantik
menawan.
***
Semenjak perkenalan itu, aku tahu
gadis itu bernama Vita Dini Aningsih, anak Psikologi. Aku baru sadar tatkala
aku melihat pertama kali di kantin itu, Nadzif berada dalam kelompok itu.
Setelah pertemuan itu, aku dan gadis asal Kota Tahu itu sering kali bertemu di
berbagai tempat dan kesempatan.
Aku mengambil tempat duduk di
sebelah pojok dengan dua kursi satu meja di Virgo Café pada malam minggu ini. Seperti biasa rokok
kesukaanku yang menjadi teman abadi sebelum Vita, selalu menjadi pembuka awal
setiap kali aku mengobrol dengan siapapun. Seusai semua pesanan dihidangkan
oleh petugas Virgo Café, tanganku mulai menyentuh jemari Vita setelah
sebelumnya kami hanya guyon dan mengobrol ngalor-ngidul. Suasana hati kami
terasa gemuruh dengan sejuta rasa yang kian berkecamuk. Lagu-lagu Padi yang
terdengar lirih seakan menciptakan situasi yang terselimuti kesyahduan bagi dua
insan yang sedang di mabuk kasmaran. Lampu redup yang berjejer di sepanjang
dinding kafe sepertinya turut menginspirasi setiap dua anak manusia untuk
membingkai lambang-lambang cinta di lubuk hati mereka.
Tanpa kata dan kalimat, perlahan
kutarik tangan Vita agar aku dapat meremas tangan lembutnya. Elusan tangan ini,
bagiku, telah lebih dari cukup untuk mewakili selaksa ucapan yang harus aku
susun sebagai ungkapan perasaan kalbu kepadanya.
“Vit, aku sangat mencintaimu,”
suaraku begitu sangat samar di antara alunan lagu yang merdu.
“Yang, jangan pernah tinggalkan
Vita,” balasnya dengan sangat mendayu, mulutnya serasa mendesah kudengar di kuping
ini.
Virgo Café selalu menjadi saksi
bisu untuk kesekian kali saat kedekatanku dengan Vita seakan tak pernah
terhalang oleh apapun. Hembusan angin malam dari jendela-jendela kecil cafe ini
bagai melengkapi perasaan bahwa dunia ini hanya milik kami berdua.
***
“Mas, kenapa kau lakukan ini
kepadaku? Kenapa, Mas?” Suara Vita menghentak ruang rapat yang semula hening,
karena sebagian besar pengurus HJM Humaniora sudah meninggalkan tempat.
Aku sendiri sedang merapikan segala
berkas rapat dan mulai bergegas keluar ruangan, tiba-tiba Vita masuk menuju ke
arahku dan suaranya memecah keheningan teman-teman yang tengah bersiap pulang.
“Ada apa, Vit?” Tanyaku dengan
suara parau sembari aku berusaha menahan agar situasi tidak menjadi gaduh.
”Mas, kau jangan berlagak tidak
tahu. Aku sudah mengerti apa yang kau lakukan di belakangku.” Kembali ucapan
Vita menyeruak ke seluruh sudut ruangan, sebagian mahasiswa yang berada
ditempat terperangah dibuatnya.
“Vit, tenang dulu! Ada apa ini? Ayo
kita keluar saja!” Ajakku sambil menarik tangannya agar meninggalkan ruangan seraya
kusambar tas dan berkas yang sejak tadi aku tata.
“Ada apa denganku? Jangan keburu
marah-marah begitu !” Aku menenangkan suasana setelah berada di depan ruang
rapat HJM.
“Mas, kau jangan bergaya bodohlah. Siapa
Muziya itu? Aku dengar sendiri Mas, kau telah menduakanku dengan dia. Cobalah
kau terus terang saja. Jangan berkelit dengan seribu alasan,” dia mencercaku dengan
nada mulai serak.
Tak lama air mata menetes di pipinya
yang kian memerah menahan emosi yang terpendam. “Mas, kenapa kau tidak ingat
betapa aku selalu merindukan kehadiranmu. Aku selalu mengharapkan kebersamaan
kita tak pernah terpisahkan oleh tingginya gunung dan luas samudera. Aku tahu
kau paham itu. Aku yang selalu mengingatkan dan memperhatikan keadaan, agar
beraktivitas dan selalu menjaga kesehatan. Tapi, kini SMS-ku tak pernah kau
jawab, teleponku tak satupun yang kau angkat,” katanya dengan nada lirih
menyimpan perih kekecewaan.
“Vit, kau tahu sendiri kan, aku
sekarang sibuk. Kau lihat sendiri aku habis mengikuti rapat HMJ, bahkan menjadi
sekretaris rapat. Mengertilah bagaimana aktivitasku sekarang ini!” Tukasku
berupaya menepis isu yang di dengarnya tentang diriku.
“Mas, kau jangan selalu berkelit
dari kenyataan. Aku sudah tahu semuanya. Faktanya kau telah berpindah ke lain
hati,” paksanya seraya mengusap butiran bening yang mengalir di antara lekuk
pinggir hidungnya. “Sudahlah Mas, kau jangan selalu menghindar dari segalanya
yang kutahu tentang dirimu,” sekali lagi ucapan Vita tanpa dapat kusela.
“Vita, Muziya itu hanya teman
biasa. Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Hanya dia sering berkonsultasi, sharing
persoalan-persoalan kuliahnya. Itu saja, Vit!” Seruku menanggapi berita yang
sampai kepadanya.
“Sudahlah Mas, aku sudah tidak
percaya lagi padamu. Sebaiknya kita kembali kepada kondisi semula,” intonasinya
merendah sambil menunduk lesu.
”Maksudmu, Vit?” Ucapku penuh
tanda-tanya.
“Sudahlah Mas, antara aku dan kamu
seakan tidak pernah mengenal,” suaranya seakan menghilang sesaat ia bergegas
berlalu dari hadapanku.
“Vit…. Vita!” Panggilku sedetik
setelah aku tertegun mendengar ucapannya. “Vita, tunggu dulu! Dengarkan
penjelasanku!” Aku memanggilnya kembali setelah aku terbangun dari rasa kagetku
betapa cepatnya keputusan itu ditegaskan.
Aku tetap berdiri di tempat ini dan
aku menyadari bahwa aku dalam posisi bersalah. Tetapi yang membuat aku
terperanjak sebegitu singkat Vita mengambil kata akhir di luar perkiraanku
sebelumnya.
***
“Mas, kenapa kau lakukan ini? Sungguh
tega dirimu mendustakan aku. Aku tidak mengira kau perlakukan aku begini
setelah perasaanku betul-betul menyayangimu. Kenapa begitu mudahnya kau
hancurkan seorang perempuan? Kini aku mulai sadar bahwa kau bukan laki-laki yang
mengasihi wanita. Buktinya, sangat mudah kau lukai perasaan kaum Hawa, seakan
mereka kau anggap piaraan yang gampang untuk dikelabuhi. Kau anggap apa aku
ini? Seperti tanpa berpikir panjang dan tak mempertimbangkan akibat dari tingkahmu,
kau begitu gampang mengumbar kata-kata manis. Kau mengaku masih sendiri. Cinta,
jiwa dan ragamu hanya untuk diriku, padahal kau telah menjadi milik orang.
Mengakulah Mas! Siapa Vita Dini Aningsih itu Mas? Mas Nafis, mulai saat ini sebaiknya
aku menjauh darimu. Demi masa depan yang ingin aku gapai. Lebih baik aku tidak
mengenalmu lagi, seperti sebelum perjumpaan itu.” Tanpa aku dapat menjawab
segenap pernyataan dan pertanyaan yang mencerca diriku, suara parau Muziya lewat
telepon itu sudah ditutup begitu cepat.
Sejenak aku menghela napas panjang
tidak tahu aku harus berbuat apa, terlebih setelah aku mencoba menghubungi
kembali berulang kali tetapi tidak pernah diangkat. SMS yang memuat penjelasan
dan permohonan maaf, tak satupun yang terbalas.
Aku teringat kisah pertemuan
pertama kali dengan Muziya, kala itu aku sedang asyik membaca buku di
perpustakaan. Tak lama kemudian duduk seorang gadis di depan mejaku dengan
membawa dua buku besar tentang kesehatan. Bukan buku itu yang membuat hatiku
tertarik, namun paras wajah sendu penuh keibuan itu yang menjadikan aku
menghentikan membaca buku ini.
“Maaf, Mbak, bisa pinjam pulpennya?”
Kataku secara refleks berupaya membuka komunikasi dengan ragam alasan. Ternyata
gadis itu merogoh tas dan sedetik kemudian menjulurkan pulpen yang aku pinta.
Betul saja, rupanya dugaanku tentang
raut wajahnya mencerminkan kedewasaan tidak salah sama sekali. Parasnya memang tak
secantik Vita, tetapi wajah malankolis dalam bingkai hitam manis itulah yang
membuat aku jadi tertegun.
“Mas, apa sudah selesai?”
Kata-katanya itu membuyarkan lamunan.
“Oh, ya sudah,” jawabku spontan
seraya menyerahkan alat tulis itu padanya tanpa berpikir panjang. Gadis itu
mengumbar senyum menawan seakan tahu bahwa aku belum menggunakan pulpennya.
Semenjak perjumpaan di perpustakaan
itu, aku mengenal Muziya, seorang mahasiswi Jurusan Kedokteran yang duduk di
semester seangkatan denganku. Hubunganku dengan anak Pulau Garam itu semakin
dekat, setelah aku berhasil mengunjungi dan acapkali mengajaknya keluar dari
tempat kosnya untuk sekadar bermalam panjang. Di ruang pojok itu aku duduk bersama
Muziya. Kretek filter, gemerlap lampu, serpihan angin sejuk dan alunan nada
slow menghantar kami berdua masuk ke dalam relung suasana mesra nan indah tak
berhingga.
Lagi-lagi Virgo Café menjadi tempat
merajut kasih, menyulam benang-benang hasrat dan membingkai pigura kemesraan.
Dari sini tumbuhlah pepohonan cinta berbunga kerinduan yang merekah nan
menyemburkan semerbak kenikmatan tak tertara.
***
“Heh, Fis!” Suara Nadzif yang
menyeruak ke seluruh sudut ruang kamar kosku, menjadikan lamunanku sirna tak
bersisa. “Fis, sudah! Selesaikan tugasmu itu! Jangan melamun terus !” Serunya
sambil duduk di sampingku. Seperti biasa, anak asal kota Batik itu merogoh
rokokku di atas meja tanpa permisi.
“Hei Fis, kenapa kamu ini? Kata
teman-temanmu di kosanku, studimu sekarang mulai menurun. Dua makalah yang
seharusnya dipresentasikan, ternyata sampai sekarang kamu tidak tampil. Nafis,
Nafis! Bagaimana anak Gondanglegi kok loyo begini? Padahal, kata teman-temanmu,
semester yang lalu kamu menguasai kelas, aktif dalam diskusi, dan makalahmu
sering dipuji dosen. Nilaimu kemarin juga bagus. Tunjukkan bahwa Arema itu
cerdas, pandai dan lincah !” Nadzif terus nyerocos seraya terus menyedot
rokoknya.
Aku hanya menghela napas panjang
sambil memperbaiki posisi duduk untuk kemudian menyeruput sisa kopi dan
mengambil sebatang rokok Bentoel.
“Heeh, kenapa jadi begini?” Pikirku
sambil menghisap kretek dalam-dalam seraya mengibaskan helaian rambutku yang
menjulur di dahi.
“Mana kunci sepedamu, Dzif?”
Tanyaku sambil berdiri. Nadzif menyerahkan kunci itu, lalu aku ambil jaket, senoktah
kemudian bergegas keluar.
“Heh, mau kemana kamu, Fis?” Tanya
Nadzif agak menjerit.
“Cari kopi dan rokok di warung sebelah. Mau menenangkan
diri dulu,” jawabku sambil menaiki sepeda motor.
“Tunggu! Aku ikut, Fis,” Nadzif
bergegas mengunci pintu kamarku dan membonceng di belakangku. Dan kami menerobos
dinginnya kota Malang.[]
sumber gambar: mmt.li
Melas e rekk.............
ReplyDeleteTerima kasih atas kunjungannya ;)
Delete