Oleh: Irham Thariq
Pada 24 April lalu, saya tepat berumur 24 tahun. Tapi
tulisan ini tidak hendak membahas tentang pertambahan umur saya yang tidak ada
pentingnya bagi orang lain. Saya buat pengantar di tulisan, karena momen itulah
yang membuat saya ingin menulis tentang umur, yang selalu dipertentangkan
banyak orang, dan oleh lintas generasi.
Bagi masyarakat modern, selain uang yang selalu dicari siang
malam, umur merupakan salah satu hal terpenting. Selalu ada ceplokan telur,
siraman air, kue tar, dan bahkan pesta sebagai penanda pertambahan umur.
Sesekali muda-mudi merayakannya dengan foto selfie dengan jelepotan kue di pipi.
Jauh kesan heroik perayaan itu, saya membayangkan tidaklah
pernah ada hal itu di generasi sebelum kita. Dari kakek-nenek dan orang tua,
saya tidak pernah mendengar cerita mereka merayakan pertambahan umur. Jangankan
foto selfie, mengucapkan ulang tahun pun tampaknya tidak pernah.
Saya begitu yakin kalau hal itu tidak ada meskipun saya
tidak pernah bertanya, kakek-nenek dan orang tua saya tampaknya sudah
benar-benar terhindar kesibukan menyediakan perayaan pertambahan umur.
Bagaimana
mau merayakan, tanggal, bulan dan tahun mereka lahir pun sudah tidak lagi
hafal. Yang mereka hafal adalah hari lahir secara Jawa, yang memang bagi
generasi ibu saya setiap bulan hari lahir menjadi hari perayaan dengan doa-doa
dan sesekali membagi-bagikan jajan pasar ke tetangga.
Tidak pernah hafal tanggal lahir bagi generasi orang tua
saya memang bukanlah hal yang mengejutkan. Suatu hari saya liputan di sebuah
desa di Kabupaten Malang. Saya mewawancarai seorang perempuan, kira-kira
umurnya 55 tahun. Saat saya tanya berapa umurnya, ibu-ibu dengan kulit hitam
dekil ini tidak tahu. Berulang kali saya tanya untuk melengkapi data, perempuan
ini tetap menggeleng.
Tampaknya tidak dihiraukannya umur itu tidak hanya terjadi
di lingkungan keluarga saya dan masyarakat pedesaan. Dahlan Iskan, menteri BUMN
juga tidak pernah tahu kapan dia dilahirkan. Oleh karenanya, sebagai penanda,
Dahlan mengambil 17 Agustus sebagai tanggal lahirnya.
Itulah umur dan tanggal lahir bagi gerenasi sebelum kita,
selalu dibuat hal yang remeh temeh dan tidak penting. Saya merasakan betul
bagaimana tanggal lahir menjadi tidak penting, saat umur saya bertambah, saya
tidak pernah mendapatkan ucapan selamat dari orang tua. Karena sudah terbiasa,
saya tak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
Belakangan, setiap orang seolah diberi ruang lebih luas
untuk merayakan dan mengabarkan kalau umur mereka bertambah. Melalui Facebook,
secara otomatis ada peringatan kalau ada teman kita umurnya bertambah. Dinding
si umur yang bertambah pun dipenuhi dengan ucapan selamat.
Sama halnya dengan facebook, bagi kerja Jurnalistik umur
sangatlah penting. Ini mengapa saya bertanya dengan sedikit ngotot kepada
perempuan yang saya tulis di atas itu. Dalam karya Jurnalistik, menyebutkan
umur perlu agar pembaca bisa berimajinasi lebih detail tentang apa yang mereka
baca.
Dalam menulis profil seseorang misalnya, penulisan umur
penting agar menjadi cermin bagi si pembaca. Jika menulis profil pendiri
Facebook Mark Zuckerberg yang baru berumur 29 tahun, umur haruslah ditonjolkan.
Agar pembaca bisa bercermin: pemuda ini 29 tahun tapi sudah berbuat sedemikian
besar, kita sudah ngapain?
Syahdan, saya berkeyakinan di gerenasi setelah kita, umur
bakal jauh lebih dihargai. Baik dalam perayaan dan yang lain. Ini tentu saya
tidak hendak mengatakan kalau generasi setelah kita lebih heroik dan
melankolis. Karena memang masyarakat
modern tidak bakal bisa dilepaskan dari perayaan, apalagi menyangkut
umur. Selama facebook dan anak-anak kita sudah kita siapkan akun saat dia masih
kecil, soal pertambahan umur masih akan terus diingatkan.
0 komentar:
Post a Comment