(Sebuah Sketsa
Sejarah)
Oleh: Muhammad Adib
Semenjak
abad pertengahan, kitab kuning memiliki posisi yang penting dalam perjalanan
sejarah hukum Islam. Ketika umat Islam mulai merasa “asing” dengan aktifitas
ijtihad, maka kitab kuning kemudian segera menempati pisisi yang vital dan
“sedikit” menggeser posisi al-Qur’an dan al-Sunna sebagai rujukan utama dalam
setiap upaya pemecahan kasus hukum. Umat Islam lebih suka langsung merujuk
kepada “ajaran instan” kitab kuning ketimbang repot-repot masih harus memahami
al-Qur’an dan al-Sunna. Kemunculan dan perkembangan madhhab fiqh, diakui atau
tidak, tidak bisa lepas dari keberadaan kitab kuning. Sebab, ia telah
mendokumentasikan pemikiran yang terus berkembang dalam madhhab fiqh. Maka,
merebaknya tradisi ikhtisār, sharh dan hāshia,[1]
terutama pada abad pertengahan ketika aktivitas ijtihad mulai terasa “asing”,
merupakan konsekuensi logis dari posisi vital tadi.
Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas “memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madhhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermadhhab di kalangan umat Islam pada umumnya.
Tulisan ini, di tengah-tengah kesederhanaannya, akan mengetengahkan posisi kitab kuning tadi dalam legislasi hukum Islam. Mulai dari awal perjalanannya hingga sekarang. Mungkin tidak bisa terlalu mendetail, mengingat kapasitas penyusun dan tenggang waktu penyusun yang tidak memungkinkan. Namun, harapan penyusun, tulisan ini nantinya mampu memberikan wawasan mengenai posisi vital kitab kuning dalam proses interaksi hukum Islam dengan kebijaksanaan negara di Indonesia sepanjang sejarah.
Sekilas tentang kitab kuning
Terminologi “kitab kuning”, penyusun yakin, hanya dikenal di Indonesia, terutama di dunia pesantren. Ia menunjuk kepada buku-buku bahasa Arab karya ulama-ulama Sunni Timur Tengah abad pertengahan, dan meliputi berbagai disiplin keilmuan, seperti teologi, akhlaq-tasawuf, fiqh, tafsir dan teori bahasa Arab. Buku-buku tersebut kemudian mereka sebut sebagai al-kutub al-mu’tabara (buku-buku yang layak dipelajari dan dipedomani). Sedangkan label “kuning” dalam termonologi tersebut lebih disebabkan karena buku-buku yang ada kebanyakan dicetak dengan kertas berwarna kuning.
Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermadhhab Shāfi‘ī. Persoalan mengapa hanya bermadhhab Shāfi‘ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad-abad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula-mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.[2] Dan harus diingat, para pedagang kan kaum sufi tadi rata-rata bermadhhab fiqh Shāfi‘ī. Ibn Batūta (W. 1378), tokoh ekspedisi terkemuka yang menulis Tuhfa al-Nazzār fī Gharā’ib al- Amsār wa ‘Ajā’ib al-Asfār atau Rihla Ibn Batūta (Ekspedisi Ibn Batūta),[3] ketika, pada 1345, mengunjungi wilayah Pasai, sangat terkagum-kagum kepada Sultan Malik al-Zāhir (W. ….), seorang penguasa Kerajaan Samudera Pasai, dalam berdiskusi mengenai masalah-masalah Islam dan hukum Islam madhhab Shāfi‘ī. Terlebih-lebih, pada dekade tersebut, Pasai telah menjalin komunikasi diplomatis dengan Gujarat yang masyarakatnya mayoritas bermadhhab Shāfi‘ī.[4] Tersebarnya Islam, sekaligus madhhab Shāfi‘ī, tidak lepas dari anggota-anggota komunitas Muslim di atas yang turut melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam, hingga terus meluas keseluruh wilayah Nusantara. Termasuk di antara mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (W. ….), salah seorang “Wali Songo” yang dipercaya telah mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara pulau Jawa.[5]
Demikianlah, madhhab Shāfi‘ī, bersama literatur-literatur standarnya, terus menyebar dan bertahan hingga sekarang. Setidaknya, ada tiga faktor mengapa madhhab Shāfi‘ī begitu kuat dan sulit digeser oleh madhhab yang lain. Pertama, jaringan intelektual antara Nusantara dan Timur Tengah terjalin antara ulama-ulama yang bermadhhab Shāfi‘ī. Kedua, letak geografis yang begitu jauh dengan tempat asal dan pusat madhhab Shāfi‘ī itu sendiri, yaitu Timur Tengah, menyebabkan perkembangan madhhab di Indonesia relatif tidak memiliki akses terhadap wacana hukum Islam kemadhhaban yang berkembang di dunia luar. Jadi, ini berkait erat dengan masalah keterbatasan literatur. Ketiga, dalam madhhab Shāfi‘ī sendiri, terdapat aturan main yang ketat dalam bermadhhab. Disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan bermadhhab (al-‘āmī) diwajibkan ber-taqlīd kepada salah satu dari madhhab empat (madhāhib arba‘a). Selain empat madhhab tersebut tidak boleh dianut, karena tidak didokumentasikan secara utuh dari sistematis (lam yudawwan). Selain itu, pindah madhhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu (1) talfīq, yakni menggabung dua madhhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, (2) tatabbu‘ al-rukhas, mencari-cari pendapat yang ringan.[6] Hanya saja, perpindahan madhhab kemudian terkesan negatif, manakala dihubungkan dengan “doktrin” kemadhhaban bahwa, misalnya, bermakmum kepada seorang bermadhhab Hanafī yang telah menyentuh lawan jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madhhab Shāfi‘ī, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudu’. Persoalan bahwa orang tersebut, berdasarkan ketentuan madhhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk perhitungan.[7] Tiga faktor inilah yang, pada akhirnya, menyebabkan terminologi “kitab kuning” dalam bidang fiqh menunjuk kepada buku-buku fiqh klasik bermadhhab Shāfī‘ī.
Kitab Kuning dalam Legislasi Hukum
Di Indonesia, fenomenanya tidak jauh berbeda. Dari waktu ke waktu, kitab kuning tidak pernah berkurang, apalagi kehilangan posisi vitalnya. Tidak hanya dalam tradisi pesantren yang sudah jelas-jelas “memproklamirkan” diri sebagai bagian dari madhhab fiqh, dalam legislasi hukum negara pun posisi kitab kuning tidak bisa diabaikan. Mulai zaman kerajaan Islam hingga sekarang, legislasi hukum negara tidak pernah lepas dari kitab kuning. Menggambarkan betapa dominannya “doktrin” bermadhhab di kalangan umat Islam pada umumnya.
Tulisan ini, di tengah-tengah kesederhanaannya, akan mengetengahkan posisi kitab kuning tadi dalam legislasi hukum Islam. Mulai dari awal perjalanannya hingga sekarang. Mungkin tidak bisa terlalu mendetail, mengingat kapasitas penyusun dan tenggang waktu penyusun yang tidak memungkinkan. Namun, harapan penyusun, tulisan ini nantinya mampu memberikan wawasan mengenai posisi vital kitab kuning dalam proses interaksi hukum Islam dengan kebijaksanaan negara di Indonesia sepanjang sejarah.
Sekilas tentang kitab kuning
Terminologi “kitab kuning”, penyusun yakin, hanya dikenal di Indonesia, terutama di dunia pesantren. Ia menunjuk kepada buku-buku bahasa Arab karya ulama-ulama Sunni Timur Tengah abad pertengahan, dan meliputi berbagai disiplin keilmuan, seperti teologi, akhlaq-tasawuf, fiqh, tafsir dan teori bahasa Arab. Buku-buku tersebut kemudian mereka sebut sebagai al-kutub al-mu’tabara (buku-buku yang layak dipelajari dan dipedomani). Sedangkan label “kuning” dalam termonologi tersebut lebih disebabkan karena buku-buku yang ada kebanyakan dicetak dengan kertas berwarna kuning.
Khusus dalam bidang fiqh, kitab kuning identik dengan kitab-kitab fiqh bermadhhab Shāfi‘ī. Persoalan mengapa hanya bermadhhab Shāfi‘ī, itu berkait erat dengan proses kedatangan Islam ke Indonesia. Semenjak abad-abad awal Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8, para pedangang dan kaum sufi dari Arab dan Persia datang berdagang dan menyebarkan agama Islam mula-mula di Pasai, wilayah pesisir utara pulau Sumatera. Bahkan, mereka dilaporkan melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk sebuah komunitas Muslim Indo-Arab.[2] Dan harus diingat, para pedagang kan kaum sufi tadi rata-rata bermadhhab fiqh Shāfi‘ī. Ibn Batūta (W. 1378), tokoh ekspedisi terkemuka yang menulis Tuhfa al-Nazzār fī Gharā’ib al- Amsār wa ‘Ajā’ib al-Asfār atau Rihla Ibn Batūta (Ekspedisi Ibn Batūta),[3] ketika, pada 1345, mengunjungi wilayah Pasai, sangat terkagum-kagum kepada Sultan Malik al-Zāhir (W. ….), seorang penguasa Kerajaan Samudera Pasai, dalam berdiskusi mengenai masalah-masalah Islam dan hukum Islam madhhab Shāfi‘ī. Terlebih-lebih, pada dekade tersebut, Pasai telah menjalin komunikasi diplomatis dengan Gujarat yang masyarakatnya mayoritas bermadhhab Shāfi‘ī.[4] Tersebarnya Islam, sekaligus madhhab Shāfi‘ī, tidak lepas dari anggota-anggota komunitas Muslim di atas yang turut melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam, hingga terus meluas keseluruh wilayah Nusantara. Termasuk di antara mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (W. ….), salah seorang “Wali Songo” yang dipercaya telah mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara pulau Jawa.[5]
Demikianlah, madhhab Shāfi‘ī, bersama literatur-literatur standarnya, terus menyebar dan bertahan hingga sekarang. Setidaknya, ada tiga faktor mengapa madhhab Shāfi‘ī begitu kuat dan sulit digeser oleh madhhab yang lain. Pertama, jaringan intelektual antara Nusantara dan Timur Tengah terjalin antara ulama-ulama yang bermadhhab Shāfi‘ī. Kedua, letak geografis yang begitu jauh dengan tempat asal dan pusat madhhab Shāfi‘ī itu sendiri, yaitu Timur Tengah, menyebabkan perkembangan madhhab di Indonesia relatif tidak memiliki akses terhadap wacana hukum Islam kemadhhaban yang berkembang di dunia luar. Jadi, ini berkait erat dengan masalah keterbatasan literatur. Ketiga, dalam madhhab Shāfi‘ī sendiri, terdapat aturan main yang ketat dalam bermadhhab. Disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan bermadhhab (al-‘āmī) diwajibkan ber-taqlīd kepada salah satu dari madhhab empat (madhāhib arba‘a). Selain empat madhhab tersebut tidak boleh dianut, karena tidak didokumentasikan secara utuh dari sistematis (lam yudawwan). Selain itu, pindah madhhab, pada dasarnya, tidak dilarang, sepanjang tidak terjerumus pada dua perbuatan terlarang, yaitu (1) talfīq, yakni menggabung dua madhhab atau lebih dalam sebuah perkara, dan, (2) tatabbu‘ al-rukhas, mencari-cari pendapat yang ringan.[6] Hanya saja, perpindahan madhhab kemudian terkesan negatif, manakala dihubungkan dengan “doktrin” kemadhhaban bahwa, misalnya, bermakmum kepada seorang bermadhhab Hanafī yang telah menyentuh lawan jenisnya adalah tidak sah, karena, dalam madhhab Shāfi‘ī, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram bisa membatalkan wudu’. Persoalan bahwa orang tersebut, berdasarkan ketentuan madhhabnya, tetap berkeyakinan sah, itu tidak masuk perhitungan.[7] Tiga faktor inilah yang, pada akhirnya, menyebabkan terminologi “kitab kuning” dalam bidang fiqh menunjuk kepada buku-buku fiqh klasik bermadhhab Shāfī‘ī.
Kitab Kuning dalam Legislasi Hukum
Perjalanan
sejarah kitab kuning dalam legislasi hukum Islam di Indonesia bisa dibedakan
menjadi dua periode. Pertama, periode ketika kitab kuning menjadi sumber
hukum formal dalam forum-forum pengadilan dan fatwa, dan, kedua, periode
ketika ia menjadi sumber material hukum nasional. Peralihan dari periode
pertama ke periode kedua dimulai ketika UU Perkawinan no. 1 tahun 1974
diberlakukan, dan semakin berlanjut ketika, pada 1991, Kompilasi hukum Islam
(KHI) diinstruksikan oleh Presiden RI agar disebarluaskan. Peralihan tersebut,
bisa dikatakan, menandakan dimulainya era pembaruan hukum Islam di Indonesia,
dari sistem hukum tradisional menuju sistem hukum modern.[8]
Dari dua periode di atas, yang akan mendapat porsi pembahasan lebih banyak adalah periode pertama, sebab periode kedua baru berlangsung sekitar dua dekade. Akan tetapi, agar lebih mudah, sistematika penuturannya diklasifikasikan sebagai berikut. Periode pertama dan kedua digabung dan dipecah menjadi empat masa. Pertama, periode 1200-1800 M., yaitu mulai dari masa ketika pengaruh Islam di Nusantara mulai nyata[9] hingga masa ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai menjajah bumi Indonesia, setelah sebelumnya, lewat kekuasaan VOC, hanya melakukan transaksi dagang dan lambat-laun berkembang menjadi monopolostik. Kedua, periode 1800-1045 M., yaitu masa penjajahan Belanda. Ketiga, periode 1945-1974 M., yaitu era kemerdekaan hingga diundangkannya UU Perkawinan no. 1 tahun 1974. Keempat, periode 1974 M. hingga sekarang.
~Periode 1200-1800 M.
Tadi telah disinggung bahwa sejak kali pertama Islam masuk ke Indonesia, aspek hukumnya menganut madhhab Shāfi‘ī. Temuan Ibn Batūtā, saat berkunjung ke Kerajaan Pasai pada 1345 M., bahwa kehidupan hukum penguasa dan masyarakatnya beraliran Shāfi‘ī,[10] secara tegas, membuktikan bahwa fiqh Shāfi‘ī telah dijadikan sumber hukum formal negara ketika itu. Kalau Mark Cammack menyatakan bahwa lembaga peradilan agama telah ada sejak abad ke-16, yaitu forum pengadilan “Serambi Masjid” bermadhhab Shāfi‘ī yang ditangani oleh penghulu atau kepala administrasi masjid,[11] maka, menurut hemat penyusun, berdasarkan bukti temuan Ibn Batūtā tadi, lembaga peradilan agama justru telah ada sejak abad ke-14.
Pada abad ke 17 M., di Aceh, ketika Sultan Iskandar Muda (W. 1636) mulai 1607-1636 M. memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, Nuruddin al-Raniri (W. 1658), salah seorang ulama terkemuka ketika itu, menulis sebuah buku fiqh madhhab Shāfi‘ī yang dia beri judul al-Sirāt al-Mustaqīm. Buku yang selesai ditulis pada 1628 M. ini kemudian disebarluaskan dan menjadi pegangan umat Islam di Aceh dan wilayah-wilayah lain di Nusantara.[12] Buku ini memang hanya memuat penjelasan sederhana tentang hukum fiqh dasar, misalnya tentang tata cara ibadah salat, puasa dan lain-lain. Namun, pengaruhnya tentu sangat besar terhadap penyebaran fiqh madhhab Shāfi‘ī di Nusantara, terutama di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Pengaruh tersebut bisa dilihat, misalnya, pada besarnya perhatian Sultan Iskandar Muda yang besar terhadap agama serta hubungannya yang dekat dengan ulama. Buktinya, dia menyusun sebuah kitab undang-undang tentang tata pemerintahan yang didasarkan kepada ajaran syari‘ah Islam, atau, lebih khusus lagi, fiqh madhhab Shāfi‘ī. Undang-undang ini kemudian diberi nama Adat Makuta Alam.[13] Berdasarkan hal itu, menjadi sangat logis bila lembaga “Peradilan Serambi” yang telah ada sejak lama tidak luput dari perhatian yang besar tersebut.
Salah satu wilayah lain di Indonesia yang menerapkan buku al-Sirāt al-Mustaqīm karya al-Raniri adalah Banjarmasin, yaitu ketika Sultan Tahmidullah II (W. 1806) mulai 1778-1806 M. memerintah Kerajaan Banjar. Sebelum Sultan Tahmidullah II berkuasa, hukum Islam belum melembaga di Kerajaan Banjar. Semuanya berubah setelah kedatangan Muhammad Arsyad al- Banjari (w. 1812) dari Mekkah pada 1779 M. Tokoh ini, oleh Sultan Tamidullah II, langsung diangkat menjadi penasehat Kerajaan di bidang pemerintahan.[14]
Pada 1779 M., Sultan Tahmidullah II meminta kepada Muhammad Arsyad al-Banjari supaya menyusun sebuah buku fiqh Shāfi‘ī dalam bahasa Melayu Kesultanan Banjar, mengingat buku al-Sirāt al-Mustaqīm karya Nuruddin al-Raniri sarat dengan istilah berbahasa Aceh, sehingga agak sulit dipahami oleh rakyat Banjarmasin. Muhammad Arsyad al-Banjari pun memenuhi permintaan Sultan tersebut dan segera menyusun sebuah buku yang dirangkum dari beberapa buku fiqh klasik madhhab Shāfi‘ī, seperti Tuhfa al-Muhtāj karya ibn Hajar al-Haytamī (w. 1567), Mughnī al-Muhtāj karya Muhammad al-Sharbīnī al-Khatīb (w. 1569) dan Nihayā al-Muhtāj karya Shams al-Dīn al-Ramlī (w. 1595). Buku yang selesai disusun pada 1781 M. dan diberi judul Sabīl al-Muhtadīn serta merupakan sharh dari buku al-Sirāt alMustaqīm tersebut lalu disebar-luaskan dan dijadikan sebagai literatur pokok, terutama dalam bidang pengajaran keilmuan.[15]
Selain itu, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah tokoh yang sangat berperan dalam pembentukan lembaga peradilan agama yang bernama “Mahkama Shar‘iyya” di Banjarmasin. Bahkan, hukum Islam yang diberlakukan tidak hanya hukum keluarga saja, melainkan juga hukum pidana, seperti hukum zina, pencurian dan status murtad (ridda). Berkat kharisma intelektual-sosial Muhammad Arsyad al-Banjari, hukum Islam khususnya madhhab Shāfi‘ī, berhasil masuk ke istana, berkembang di masyarakat dan mengkristal menjadi hukum adat Banjarmasin.[16]
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah hukum acara seperti apa yang dipergunakan oleh para hakim Pengadilan Agama saat itu? Jawaban dari pertanyaan ini adalah bahwa, dalam kitab kuning, sebenarnya ada ketentuan yang mengatur hukum acara pengadilan. Biasanya, ketentuan tersebut dituturkan dalam pembahasan menjadi pengadilan (qadā’), persaksian (shahāda) dan gugatan dan bukti (da‘wa wa bayyina). Misalnya, dalam bab qadā’, disebut bahwa jabatan hakim hanya boleh dijabat oleh orang yang memiliki kemampuan berijtihad, dalam arti mampu memahami al-Qur’an , al-Hadth, qiyās beserta percabangannya, ilmu bahasa dan sastra Arab, pendapat para ulama dan ilmu pengenai para periwayat hadith (ahwāl al-ruwā). Jika tidak ada seorang pun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka staf pemerintah yang berdaulat (sultān dhu shawka), meski tidak memiliki kemampuan berijtihad, asalkan beragama Islam dan bermoral baik, bisa menjabat sebagai hakim.[17] Ketika mengadili dua orang yang bersengketa, hakim harus berlaku adil terhadap keduanya. Gugatan pihak penggugat dan pembelaan pihak tergugat harus sama-sama dihargai dan didengarkan.[18] Dalam hal pembuktian pun, hakim harus memperlakukan keduanya secara seimbang, baik melalui persaksian maupun alat-alat bukti lain.[19] Selain itu, ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf aqwāl al-‘ulamā’), maka, dalam hal mekanisme pengambilan keputusanatau tarjīh-nya, hirarkinya adalah sebagai berikut:
1. Pendapat yang disepakati oleh Muhy al-Dīn al-Nawawī (w. 1277) dan ‘Abd al-Karīm al-Rāfi‘ī (w. 1227). [ Dua orang tokoh ini, dalam madhhab Shāfi‘ī, disebut sebagai “dua begawan” (shaykhān). Keduanya mungkin bisa dianalogikan dengan Muhammad al-Bukhārī (w. 870) dan Muslim (w. 865) dalam ilmu hadith].
2. Pendapat yang kemukakan atau yang disetujui oleh al-Nawawī.
3. Pendapat yang dilontarkan atau yang disetujui oleh al-Rāfi‘ī.
4. Pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama Shāfi‘iyya, atau kalau tidak ada, oleh ulama yang lebih wara‘ (bisa menjaga diri).[20]
Akan tetapi, ketentuan hukum acara di atas nampaknya masih menyisakan persoalan. Literatur fiqh begitu banyak dan perbedaan pendapat yang ada terhitung rumit, sehingga mekanisme pengambilan keputusan seringkali perlu menempuh proses pemikiran dan perdebatan yang panjang.
Pada zaman kekusaan VOC, yaitu mulai 1602-1800 M., hukum Islam di Nusantara, dengan kitab kuning sebagai literatur pokoknya, tetap diakui dan berjalan seperti biasa. Awalnya, VOC berupaya meminggirkan peran peradilan agama dengan cara membentuk lembaga-lembaga peradilan yang menerapkan hukum Belanda. Namun, ternyata semuanya tidak efektif. Gairah umat Islam untuk menerapkan ajaran agamanya teramat kuat. Lebih-lebih, mereka sudah mulai tidak menyukai keberadaan VOC yang monopolistik serta sering menyebutnya sebagai “Kapir Londo”.[21] Menghadapi kenyataan itu, terpaksa VOC mengambil langkah akomodatif. Maka, dikeluarkanlah Statuta Batavia 1642 M. yang menegaskankan bahwa sengketa kewarisan antara orang-orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam yang berlaku di kalangan mereka. Untuk keperluan itu, D. W. Freijer (w. …) diminta menyusun sebuah ringkasan (compendium) hukum perkawinan dan pewarisan Islam, yang nantinya terkenal dengan judul Compendium Freijer. Setelah disempurnakan oleh para penghulu, ringkasan ini dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara umat Islam di daerah-daerah kekuasaan VOC.[22] Selain itu, di Semarang, disusunlah buku Mogharraer yang merupakan kumpulan hukum pidana. Buku ini diasumsikan sebagai berasal dari buku al-Muharrar karya ‘Abd al-Karīm al-Rāfi‘ī (w. 1226).[23] Dari data ini, nampak bahwa hukum pidana Islam masih diterapkan di Nusantara.
Semua ini ditempuh dalam rangka meraih simpati umat Islam. Dominasi ekonomi dan politik sudah pasti akan terancam, apabila cara yang ditempuh bersifat konfrontatif terhadap umat Islam. Maka, langkah-langkah akomodatif, sebagai bagian dari strategi politik, seperti yang juga diterapkan oleh Hindia Belanda pada masa berikutnya, menjadi logis dilakukan.
~Periode 1800-1945 M.
Tentang sikap pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap hukum Islam di kalangan masyarakat, Isma‘il Sunny membuat periodisasi yang cukup baik serta sangat membantu pemahaman kita. Menurutnya, ada dua periode, yaitu, pertama, periode penerimaan hukum Islam secara penuh (1800-1919 M.), yakni ketika kebijaksanaan Pemerintah Belanda dipengaruhi oleh teori Reteptio in Complexu rumusan L.W. C. Van den Berg (w. 1927), dan, kedua, periode penerimaan hukum Islam melalui kacamata hukum adat, yaitu ketika teori Reteptie rumusan C. Snouck Hurgronje (w. 1936) menggeser teori Retrptio in Complexu.[24]
a. Periode Pertama
Sebelum 1882 M., Pemerintah Kolonial Belanda sebenarnya masih mengakui keberadaan lembaga-lembaga peradilan agama yang ada di masyarakat. Terbukti, pada 1801 M., keluar instruksi kepada para bupati di seluruh pulau Jawa supaya menggunakan ketentuan hukum Islam, tentu yang tercantum dalam kitab kuning, dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan perkawinan dan pewarisan. Instruksi ini kemudian diikuti oleh keluarnya Stbl. no. 20 tahun 1820 pasal 13 yang menginstruksikan bahwa segala bentuk sengketa di antara orang-orang Islam harus diselesaikan menurut hukum Islam. Akan tetapi, wewenang peradilan agama dibatasi hanya dalam wilayah perdata. Sedangkan hukum pidana diserahkan kepada lembaga-lembaga peradilan umum bentukan Belanda, seperti yang ditetapkan melalui Regeeringreglement (RR) tahun 1854 pasal 78 dalam Stbl. no. 2 tahun 1855 M. Tindakan pembatasan ini dilakukan tentu saja sebagai langkah awal Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjauhkan umat Islam dari kekuatan kehidupan keberagamaan mereka. Dengan dipinggirkannya hukum pdana Islam, paling tidak, Pemerintah Hindia Belanda bisa menerapkan hukum pidana Belanda setelah, pada masa pemerintahan VOC, ditolak mentah-mentah oleh umat Islam. (Tindakan pembatasan inilah yang selanjutnya menjadi titik awal tidak berlakunya hukum pidana Islam di Indonesia). Kemudian, untuk meredam protes umat Islam, melalui Stbl. no. 152 tahun 1882, pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga pengadilan agama di seluruh pulau Jawa dan Madura.[25]
Pada masa ini, kebijakan politik Pemerintah Belanda, terutama berhadapan dengan kehidupan beragama umat Islam, dipengaruhi oleh teori Reteptio in Complexu hasil rumusan Van den Berg. Menurut teori ini, untuk kalangan masyarakat yang beragama Islam, yang dipergunakan sebagai acuan penyelesai sengketa adalah hukun Islam yang telah berlaku di kalngan mereka sendiri.[26] Van den Berg sendiri, sebagai salah seorang staf ahli pemerintah Kolonoal Belanda, berkecimpung langsung dalam penyusunan sumber hukum bagi lembaga-lembaga pengadilan yang telah dibentuk. Pada 1878 M., dia mulai menerjemah beberapa buku fiqh klasik, seperti buku Minhāj al-Tālibīn karya Muhy al-Dīn al-Nawawī dan Fath al-Qarīb karya Ibn al-Qāsim al-Ghazzi, ke dalam bahasa Belanda dan Prancis. Tujuannya adalah supaya buku-buku fiqh madhhab Shāfi‘ī dan terjemahannya itu bisa dijadikan sebagai semacam undang-undang peradilan Islam. Pada 1884 M., tiga jilid terjemahan telah selesai dicetak dan segera disebarkan ke lembaga-lembaga peradilan agama yang ada.[27] Hanya, inisiatif Van den Berg ini lantas dikritik oleh C. Snouck Hurgronje sebagai upaya yang sia-sia, mengingat di kalangan para ulama di Indonesia, buku-buku fiqh klasik yang dianggap paling standar adalah Tuhfa al-Muhtāj karya Ibn Hajar al-Haytamī dan Nihāya al-Muhtāj karya al-Ramlī, dua buku syarh buku Minhāj al-Tālibīn. Sementara buku Fath al-Qarīb jelas bukan sumber hukum standar, karena isinya sama dengan buku besar tadi.[28]
b. Periode kedua
Perode ini bisa disebut sebagai “masa-masa sulit” bagi hukum Islam, termasuk kitab kuning sebagai sumber hukum formalnya. Dimulai ketika Hurgronje mengkritik habis teori Receptio in Complexu dan pasal 75 dan 109 Regeelingsreglement dalam Stbl. no. 2 tahun 1855 yang melandasinya. Dalam kritiknya itu, hukum Islam disebutnya sebagai “propaganda Islam”. Menurutnya, hukum adat harus dilindungi dari propaganda Islam, karena hukum adatlah yang sebenarnya lebih mengakar dalam kehidupan masyarakat. Usaha keras pihak Islam untuk menghapus dan mengubahnya merupakan tindakan yang merusak tatanan yang sudah mapan dan, karenanya, harus dicegah. Upaya apapun untuk merombak hukum adat tidak akan pernah bisa berhasil, sehingga harus diabaikan. Maka pemerintah Hindia Belanda perlu melakukan “langkah bimbingan”, supaya hukum adat bisa tetap bertahan.[29] Kritiknya itu kemudian dia tindak-lanjuti dengan menawarkan teori Reteptie yang menegaskan bahwa yang berlaku adalah hukum adat, sementara hukum Islam baru memiliki nilai kekuatan hukum dan bisa diberlakukan hanya apabila telah diterima dan berlaku dalam hukum adat setempat.[30]
Teori yang, oleh Hazirin (w. 1975), disebut sebagai “teori iblis” ini ternyata mempunyai gaung pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan polotik Hindia Belanda. Semua atribut yang “berbau” teori Reteptio in Comlpexu segera dihapus dan diganti dengan atribut-atribut lain yang “berbau” Reteptie. Pada 1919 M., Regeelingsreglement (RR) diganti dengan Indische Regeeling (IS). Pasal 75 RR Stbl.no. 2 tahun 1855 dihapus melalui pasal 134 (2) IS yang melandasi teori Reteptie. Selain itu, melalui Stbl. no. 116 tahun 1937, kewenangan peradilan agama dibatasi hanya dalam masalah perkawinan semata. Masalah kewarisan sepenuhnya diserahkan kepada peradilan umum. Akibatnya, wewenang peradilan agama semakin sempit. Namun, di sela-sela kebijakan politik seperti itu, Pemerintah Belanda masih “menyempatkan diri” mendirikan lembaga peradilan agama di Kalimantan Selatan melalui Stbl. no. 638 dan 639 tahun 1937,[31] dalam rangka meredam protes dan emosi umat Islam.
Nampak sekali bahwa semuanya merupakan upaya sistematis Pemerintah Hindia Belanda untuk meminggirkan hukum Islam dan menggantinya dengan hukum Belanda. Langkah konfrontatif jelas tidak mungkin dilakukan, mengingat emosi keagamaan umat Islam yang sangat kuat. Oleh karena itu, langkah-langkah sistematis tadi adalah yang paling mungkin ditempuh. Meskipun peradilan agama beserta kitab kuningnya masih diakui, namun wilayah wewenangnya dipersempit hanya dalam bidang perkawinan semata. Sebuah kondisi yang tentu sangat tidak “nyaman” bagi kehidupan hukum Islam di Nusantara ketika itu.
~ Periode 1945-1974 M.
Setelah kemerdekaan berhasil direbut dan pemerintahan yang berdaulat dibentuk, maka beberapa langkah hukum berkenaan dengan lembaga peradilan agama segera dilakukan. Melalui PP no. 5/SD/1946, lembaga peradilan agama dimasukkan dalam wewenang kementerian agama, setelah sebelumnya berada di bawah naungan kementerian kehakiman. Dua tahun kemudian, melalui UU no. 190 tahun 1948, peradilan agama termasuk bagian dari Pengadilan Umum. Yang paling mengembirakan umat Islam ketika itu adalah dikeluarkannya UU Darurat no. 1 tahun 1951 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama dipertahankan, sementara pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat dihapus. Dengan begitu, “kondisi terpuruk” pasca teori Reteptie beranjak “normal” kembali. Dan sebagai salah satu bentuk realisasi UU Darurat tersebut, melalui PP no. 45 tahun 1957, pemerintah membentuk lembaga Pengadilan Agama di luar pulau Jawa dan Kalimantan Selatan. Maka sejak 1958 M., Pengadilan Agama dibentuk di wilayah-wilayah Nusantara yang memerlukan.[32]
Pada 1958 M., keluar Surat Edaran Biro Pengadilan Agama no. 8/1/735 tanggal 18 Februari 1958, sebagai pelaksanaan dari PP no. 45 tahun 1957. Isinya, antara lain, adalah pembatasan jumlah buku-buku fiqh klasik sebagai buku-buku formal Pengadilan Agama menjadi hanya 13 buku. Surat Edaran tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa begitu banyaknya buku-buku fiqh ang ada menyebabkan kesimpangsiuran dalam pengambilan keputusan di Pengadilan Agama. Banyaknya perbedaan pendapat (ikhtilāf aqwāl al-‘ulamā’) seperti yang tertera di dalamnya adalah salah satu faktor yang utama. Dengan dibatasi hanya menjadi 13 buku, maka kesimpangsiuran tadi, paling tidak, bisa diminimalisir. 13 buku tadi adalah: (1) Hāshia al-Bājūrī. (2) Fath al-Mu‘in. (3) Al-Qalyībī. (4) Fath al-Wahhāb. (5) Tuhfa al-Muhtāj. (6) Taghrīb al-Musaghfirīn. (7) Qawānīn Shar‘iyya. (8) Qawānīn Shar‘iyya. (9) Al-Syamsūrī fi al-Fara‘id. (10) Bughya al-Mustarshidīn. (11) Al-Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-Arba‘a. (12) Mughnī al-Muhtāj. (13) Hāshia al-Sharqāwī.[33]
Meskipun kitab kuning kembali menempati posisi vitalnya, namun wewenang Pengadilan Agama tetap mengikuti “sisa-sisa” kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dulu. Pengadilan Agama hanya berwenang menangani kasus-kasus dalam hukum perdata. Sementara kasus-kasus hukum pidana sepenuhnya ditangani oleh Pengadilan Negeri. Kalaupun wewenang Pengadilan Agama diperluas sampai kepada bidang hukum pidana, dalam pandangan penyusun, semua itu tidak akan efektif. Sebab, dalam sistem hukum kita, berlaku apa yang dinamakan hak opsi, yaitu hak untuk beralih dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Sudah tentu, masyarakat akan lebih suka memilih KUHP daripada hukum pidana Islam yang terkesan lebih “kejam” dan “berat”.
~Periode 1974 ….M.
Semenjak diundankannya UU Perkawinan no. 14 tahun 1974, kitab kuning, mengalami peralihan peran, dari sebagai sumber formal menjadi sumber material. Artinya, kitab tidak dipergunakan secara langsung dalan peradilan, namun ia berfungsi sebagai salah satu sumber penyusunan undang-undang yang dipergunakan dalam pengadilan. Lebih-lebih dengan diundangkannya UU Pengadilan Agama no. 7 tahun 1989, maka posisi kitab kuning sebagai salah satu sumber dalam hukum Islam menjadi semakin penting.
Akan tetapi, di masa mendatang, dalam pandangan penyusun, posisi vital kitab kuning perlu ditinjau ulang. Bukan berarti harus dihapus dan dibuang, melainkan harus dipergunakan dengan metodologi yang tepat. Alasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, kitab kuning disusun pada abad pertengahan di Timur Tengah sana yang kondisi sosial-budayanya sangat jauh berbeda. Maka, mengusung produk masa lampau ke realitas sekarang yang kondisi sosial-budayanya berbeda, tentu saja, merupakan tindakan yang tidak tepat.
Kedua, Wacana usūl al-Fiqh, dengan ajaran universal Islam (maqāsid al-sharī‘a) sebagai titik poros acuannya, telah begitu jauh berkembang, sehingga sikap untuk tetap mempertahankan kitab kuning seperti apa adanya jelas merupakan langkah mundur atau kontra produktif.
Ketiga, dalam kitab kuning, tidak sedikit ketentuan hukum yang hanya relevan untuk masanya, atau, kadangkala, malah tidak selaras dengan ajaran universal Islam. Sebut saja, misalnya, poligami yang, dalam madhhab Shāfi‘ī, persyaratannya jelas-jelas relatif lebih longgar ketimbang madhhab yang lain.[34] Contoh lainnya adalah ketentuan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, atau juga seorang muslim terhadap non muslim, tidak menyebabkan sang pelaku harus dihukum qisās. Alasannya, untuk kasus pertama, ayah adalah faktor penyebab (sabab) adanya anak. Maka, kematian anak tidak bisa dijadikan faktor penyebab kematian ayah. Sementara untuk kasus kedua, status muslim jelas lebih tinggi daripada status non muslim. Padahal, salah satu syarat qisās adalah bahwa pihak pelaku tidak boleh lebih rendah statusnya daripada pihak korban.[35]
Keempat, di kalangan pesantren sendiri, mulai muncul “gugatan” dan ”keinginan kuat” untuk mengubah tradisi kemadhhaban, dari tradisi taqlīd qawlī (menerapkan bunyi teks kitab kuning) menuju tradisi taqlīd manhajī (menerapkan metode ijtihad madhhab, tanpa harus selalu terikat kepada ketentuan kitab kuning). “Gugatan” dan “keinginan kuat” tersebut menandakan mulai tumbuhnya kesadaran bahwa kitab kuning memang hanya relevan untuk masanya saja.
Penutup
Akhirnya, tulisan ini berhasil juga penyusun selesaikan penyusunan dan perbaikannya. Cukup panjang dan melelahkan, namun terasa sangat manis dan menyenangkan. Benar-benar sebuah “petualangan” intelektual yang menarik. Berkat penelitian ini, penyusun bisa mengetahui bahwa kitab kuning ternyata sangat berperan dalam perkembangan hukum Islam dari waktu ke waktu, meski kadangkala mengalami kondisi pasang-surut.
Last but not least, sudah pasti, tulisan ini tidak akan pernah lepas dari kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, saran dan kritik apapun tentu penyusun akan senang menyambutnya. Semoga bermanfaat.[]
Dari dua periode di atas, yang akan mendapat porsi pembahasan lebih banyak adalah periode pertama, sebab periode kedua baru berlangsung sekitar dua dekade. Akan tetapi, agar lebih mudah, sistematika penuturannya diklasifikasikan sebagai berikut. Periode pertama dan kedua digabung dan dipecah menjadi empat masa. Pertama, periode 1200-1800 M., yaitu mulai dari masa ketika pengaruh Islam di Nusantara mulai nyata[9] hingga masa ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai menjajah bumi Indonesia, setelah sebelumnya, lewat kekuasaan VOC, hanya melakukan transaksi dagang dan lambat-laun berkembang menjadi monopolostik. Kedua, periode 1800-1045 M., yaitu masa penjajahan Belanda. Ketiga, periode 1945-1974 M., yaitu era kemerdekaan hingga diundangkannya UU Perkawinan no. 1 tahun 1974. Keempat, periode 1974 M. hingga sekarang.
~Periode 1200-1800 M.
Tadi telah disinggung bahwa sejak kali pertama Islam masuk ke Indonesia, aspek hukumnya menganut madhhab Shāfi‘ī. Temuan Ibn Batūtā, saat berkunjung ke Kerajaan Pasai pada 1345 M., bahwa kehidupan hukum penguasa dan masyarakatnya beraliran Shāfi‘ī,[10] secara tegas, membuktikan bahwa fiqh Shāfi‘ī telah dijadikan sumber hukum formal negara ketika itu. Kalau Mark Cammack menyatakan bahwa lembaga peradilan agama telah ada sejak abad ke-16, yaitu forum pengadilan “Serambi Masjid” bermadhhab Shāfi‘ī yang ditangani oleh penghulu atau kepala administrasi masjid,[11] maka, menurut hemat penyusun, berdasarkan bukti temuan Ibn Batūtā tadi, lembaga peradilan agama justru telah ada sejak abad ke-14.
Pada abad ke 17 M., di Aceh, ketika Sultan Iskandar Muda (W. 1636) mulai 1607-1636 M. memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, Nuruddin al-Raniri (W. 1658), salah seorang ulama terkemuka ketika itu, menulis sebuah buku fiqh madhhab Shāfi‘ī yang dia beri judul al-Sirāt al-Mustaqīm. Buku yang selesai ditulis pada 1628 M. ini kemudian disebarluaskan dan menjadi pegangan umat Islam di Aceh dan wilayah-wilayah lain di Nusantara.[12] Buku ini memang hanya memuat penjelasan sederhana tentang hukum fiqh dasar, misalnya tentang tata cara ibadah salat, puasa dan lain-lain. Namun, pengaruhnya tentu sangat besar terhadap penyebaran fiqh madhhab Shāfi‘ī di Nusantara, terutama di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Pengaruh tersebut bisa dilihat, misalnya, pada besarnya perhatian Sultan Iskandar Muda yang besar terhadap agama serta hubungannya yang dekat dengan ulama. Buktinya, dia menyusun sebuah kitab undang-undang tentang tata pemerintahan yang didasarkan kepada ajaran syari‘ah Islam, atau, lebih khusus lagi, fiqh madhhab Shāfi‘ī. Undang-undang ini kemudian diberi nama Adat Makuta Alam.[13] Berdasarkan hal itu, menjadi sangat logis bila lembaga “Peradilan Serambi” yang telah ada sejak lama tidak luput dari perhatian yang besar tersebut.
Salah satu wilayah lain di Indonesia yang menerapkan buku al-Sirāt al-Mustaqīm karya al-Raniri adalah Banjarmasin, yaitu ketika Sultan Tahmidullah II (W. 1806) mulai 1778-1806 M. memerintah Kerajaan Banjar. Sebelum Sultan Tahmidullah II berkuasa, hukum Islam belum melembaga di Kerajaan Banjar. Semuanya berubah setelah kedatangan Muhammad Arsyad al- Banjari (w. 1812) dari Mekkah pada 1779 M. Tokoh ini, oleh Sultan Tamidullah II, langsung diangkat menjadi penasehat Kerajaan di bidang pemerintahan.[14]
Pada 1779 M., Sultan Tahmidullah II meminta kepada Muhammad Arsyad al-Banjari supaya menyusun sebuah buku fiqh Shāfi‘ī dalam bahasa Melayu Kesultanan Banjar, mengingat buku al-Sirāt al-Mustaqīm karya Nuruddin al-Raniri sarat dengan istilah berbahasa Aceh, sehingga agak sulit dipahami oleh rakyat Banjarmasin. Muhammad Arsyad al-Banjari pun memenuhi permintaan Sultan tersebut dan segera menyusun sebuah buku yang dirangkum dari beberapa buku fiqh klasik madhhab Shāfi‘ī, seperti Tuhfa al-Muhtāj karya ibn Hajar al-Haytamī (w. 1567), Mughnī al-Muhtāj karya Muhammad al-Sharbīnī al-Khatīb (w. 1569) dan Nihayā al-Muhtāj karya Shams al-Dīn al-Ramlī (w. 1595). Buku yang selesai disusun pada 1781 M. dan diberi judul Sabīl al-Muhtadīn serta merupakan sharh dari buku al-Sirāt alMustaqīm tersebut lalu disebar-luaskan dan dijadikan sebagai literatur pokok, terutama dalam bidang pengajaran keilmuan.[15]
Selain itu, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah tokoh yang sangat berperan dalam pembentukan lembaga peradilan agama yang bernama “Mahkama Shar‘iyya” di Banjarmasin. Bahkan, hukum Islam yang diberlakukan tidak hanya hukum keluarga saja, melainkan juga hukum pidana, seperti hukum zina, pencurian dan status murtad (ridda). Berkat kharisma intelektual-sosial Muhammad Arsyad al-Banjari, hukum Islam khususnya madhhab Shāfi‘ī, berhasil masuk ke istana, berkembang di masyarakat dan mengkristal menjadi hukum adat Banjarmasin.[16]
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah hukum acara seperti apa yang dipergunakan oleh para hakim Pengadilan Agama saat itu? Jawaban dari pertanyaan ini adalah bahwa, dalam kitab kuning, sebenarnya ada ketentuan yang mengatur hukum acara pengadilan. Biasanya, ketentuan tersebut dituturkan dalam pembahasan menjadi pengadilan (qadā’), persaksian (shahāda) dan gugatan dan bukti (da‘wa wa bayyina). Misalnya, dalam bab qadā’, disebut bahwa jabatan hakim hanya boleh dijabat oleh orang yang memiliki kemampuan berijtihad, dalam arti mampu memahami al-Qur’an , al-Hadth, qiyās beserta percabangannya, ilmu bahasa dan sastra Arab, pendapat para ulama dan ilmu pengenai para periwayat hadith (ahwāl al-ruwā). Jika tidak ada seorang pun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka staf pemerintah yang berdaulat (sultān dhu shawka), meski tidak memiliki kemampuan berijtihad, asalkan beragama Islam dan bermoral baik, bisa menjabat sebagai hakim.[17] Ketika mengadili dua orang yang bersengketa, hakim harus berlaku adil terhadap keduanya. Gugatan pihak penggugat dan pembelaan pihak tergugat harus sama-sama dihargai dan didengarkan.[18] Dalam hal pembuktian pun, hakim harus memperlakukan keduanya secara seimbang, baik melalui persaksian maupun alat-alat bukti lain.[19] Selain itu, ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf aqwāl al-‘ulamā’), maka, dalam hal mekanisme pengambilan keputusanatau tarjīh-nya, hirarkinya adalah sebagai berikut:
1. Pendapat yang disepakati oleh Muhy al-Dīn al-Nawawī (w. 1277) dan ‘Abd al-Karīm al-Rāfi‘ī (w. 1227). [ Dua orang tokoh ini, dalam madhhab Shāfi‘ī, disebut sebagai “dua begawan” (shaykhān). Keduanya mungkin bisa dianalogikan dengan Muhammad al-Bukhārī (w. 870) dan Muslim (w. 865) dalam ilmu hadith].
2. Pendapat yang kemukakan atau yang disetujui oleh al-Nawawī.
3. Pendapat yang dilontarkan atau yang disetujui oleh al-Rāfi‘ī.
4. Pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama Shāfi‘iyya, atau kalau tidak ada, oleh ulama yang lebih wara‘ (bisa menjaga diri).[20]
Akan tetapi, ketentuan hukum acara di atas nampaknya masih menyisakan persoalan. Literatur fiqh begitu banyak dan perbedaan pendapat yang ada terhitung rumit, sehingga mekanisme pengambilan keputusan seringkali perlu menempuh proses pemikiran dan perdebatan yang panjang.
~◊☺☼☺◊~
Pada zaman kekusaan VOC, yaitu mulai 1602-1800 M., hukum Islam di Nusantara, dengan kitab kuning sebagai literatur pokoknya, tetap diakui dan berjalan seperti biasa. Awalnya, VOC berupaya meminggirkan peran peradilan agama dengan cara membentuk lembaga-lembaga peradilan yang menerapkan hukum Belanda. Namun, ternyata semuanya tidak efektif. Gairah umat Islam untuk menerapkan ajaran agamanya teramat kuat. Lebih-lebih, mereka sudah mulai tidak menyukai keberadaan VOC yang monopolistik serta sering menyebutnya sebagai “Kapir Londo”.[21] Menghadapi kenyataan itu, terpaksa VOC mengambil langkah akomodatif. Maka, dikeluarkanlah Statuta Batavia 1642 M. yang menegaskankan bahwa sengketa kewarisan antara orang-orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam yang berlaku di kalangan mereka. Untuk keperluan itu, D. W. Freijer (w. …) diminta menyusun sebuah ringkasan (compendium) hukum perkawinan dan pewarisan Islam, yang nantinya terkenal dengan judul Compendium Freijer. Setelah disempurnakan oleh para penghulu, ringkasan ini dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara umat Islam di daerah-daerah kekuasaan VOC.[22] Selain itu, di Semarang, disusunlah buku Mogharraer yang merupakan kumpulan hukum pidana. Buku ini diasumsikan sebagai berasal dari buku al-Muharrar karya ‘Abd al-Karīm al-Rāfi‘ī (w. 1226).[23] Dari data ini, nampak bahwa hukum pidana Islam masih diterapkan di Nusantara.
Semua ini ditempuh dalam rangka meraih simpati umat Islam. Dominasi ekonomi dan politik sudah pasti akan terancam, apabila cara yang ditempuh bersifat konfrontatif terhadap umat Islam. Maka, langkah-langkah akomodatif, sebagai bagian dari strategi politik, seperti yang juga diterapkan oleh Hindia Belanda pada masa berikutnya, menjadi logis dilakukan.
~Periode 1800-1945 M.
Tentang sikap pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap hukum Islam di kalangan masyarakat, Isma‘il Sunny membuat periodisasi yang cukup baik serta sangat membantu pemahaman kita. Menurutnya, ada dua periode, yaitu, pertama, periode penerimaan hukum Islam secara penuh (1800-1919 M.), yakni ketika kebijaksanaan Pemerintah Belanda dipengaruhi oleh teori Reteptio in Complexu rumusan L.W. C. Van den Berg (w. 1927), dan, kedua, periode penerimaan hukum Islam melalui kacamata hukum adat, yaitu ketika teori Reteptie rumusan C. Snouck Hurgronje (w. 1936) menggeser teori Retrptio in Complexu.[24]
a. Periode Pertama
Sebelum 1882 M., Pemerintah Kolonial Belanda sebenarnya masih mengakui keberadaan lembaga-lembaga peradilan agama yang ada di masyarakat. Terbukti, pada 1801 M., keluar instruksi kepada para bupati di seluruh pulau Jawa supaya menggunakan ketentuan hukum Islam, tentu yang tercantum dalam kitab kuning, dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan perkawinan dan pewarisan. Instruksi ini kemudian diikuti oleh keluarnya Stbl. no. 20 tahun 1820 pasal 13 yang menginstruksikan bahwa segala bentuk sengketa di antara orang-orang Islam harus diselesaikan menurut hukum Islam. Akan tetapi, wewenang peradilan agama dibatasi hanya dalam wilayah perdata. Sedangkan hukum pidana diserahkan kepada lembaga-lembaga peradilan umum bentukan Belanda, seperti yang ditetapkan melalui Regeeringreglement (RR) tahun 1854 pasal 78 dalam Stbl. no. 2 tahun 1855 M. Tindakan pembatasan ini dilakukan tentu saja sebagai langkah awal Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjauhkan umat Islam dari kekuatan kehidupan keberagamaan mereka. Dengan dipinggirkannya hukum pdana Islam, paling tidak, Pemerintah Hindia Belanda bisa menerapkan hukum pidana Belanda setelah, pada masa pemerintahan VOC, ditolak mentah-mentah oleh umat Islam. (Tindakan pembatasan inilah yang selanjutnya menjadi titik awal tidak berlakunya hukum pidana Islam di Indonesia). Kemudian, untuk meredam protes umat Islam, melalui Stbl. no. 152 tahun 1882, pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga pengadilan agama di seluruh pulau Jawa dan Madura.[25]
Pada masa ini, kebijakan politik Pemerintah Belanda, terutama berhadapan dengan kehidupan beragama umat Islam, dipengaruhi oleh teori Reteptio in Complexu hasil rumusan Van den Berg. Menurut teori ini, untuk kalangan masyarakat yang beragama Islam, yang dipergunakan sebagai acuan penyelesai sengketa adalah hukun Islam yang telah berlaku di kalngan mereka sendiri.[26] Van den Berg sendiri, sebagai salah seorang staf ahli pemerintah Kolonoal Belanda, berkecimpung langsung dalam penyusunan sumber hukum bagi lembaga-lembaga pengadilan yang telah dibentuk. Pada 1878 M., dia mulai menerjemah beberapa buku fiqh klasik, seperti buku Minhāj al-Tālibīn karya Muhy al-Dīn al-Nawawī dan Fath al-Qarīb karya Ibn al-Qāsim al-Ghazzi, ke dalam bahasa Belanda dan Prancis. Tujuannya adalah supaya buku-buku fiqh madhhab Shāfi‘ī dan terjemahannya itu bisa dijadikan sebagai semacam undang-undang peradilan Islam. Pada 1884 M., tiga jilid terjemahan telah selesai dicetak dan segera disebarkan ke lembaga-lembaga peradilan agama yang ada.[27] Hanya, inisiatif Van den Berg ini lantas dikritik oleh C. Snouck Hurgronje sebagai upaya yang sia-sia, mengingat di kalangan para ulama di Indonesia, buku-buku fiqh klasik yang dianggap paling standar adalah Tuhfa al-Muhtāj karya Ibn Hajar al-Haytamī dan Nihāya al-Muhtāj karya al-Ramlī, dua buku syarh buku Minhāj al-Tālibīn. Sementara buku Fath al-Qarīb jelas bukan sumber hukum standar, karena isinya sama dengan buku besar tadi.[28]
b. Periode kedua
Perode ini bisa disebut sebagai “masa-masa sulit” bagi hukum Islam, termasuk kitab kuning sebagai sumber hukum formalnya. Dimulai ketika Hurgronje mengkritik habis teori Receptio in Complexu dan pasal 75 dan 109 Regeelingsreglement dalam Stbl. no. 2 tahun 1855 yang melandasinya. Dalam kritiknya itu, hukum Islam disebutnya sebagai “propaganda Islam”. Menurutnya, hukum adat harus dilindungi dari propaganda Islam, karena hukum adatlah yang sebenarnya lebih mengakar dalam kehidupan masyarakat. Usaha keras pihak Islam untuk menghapus dan mengubahnya merupakan tindakan yang merusak tatanan yang sudah mapan dan, karenanya, harus dicegah. Upaya apapun untuk merombak hukum adat tidak akan pernah bisa berhasil, sehingga harus diabaikan. Maka pemerintah Hindia Belanda perlu melakukan “langkah bimbingan”, supaya hukum adat bisa tetap bertahan.[29] Kritiknya itu kemudian dia tindak-lanjuti dengan menawarkan teori Reteptie yang menegaskan bahwa yang berlaku adalah hukum adat, sementara hukum Islam baru memiliki nilai kekuatan hukum dan bisa diberlakukan hanya apabila telah diterima dan berlaku dalam hukum adat setempat.[30]
Teori yang, oleh Hazirin (w. 1975), disebut sebagai “teori iblis” ini ternyata mempunyai gaung pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan polotik Hindia Belanda. Semua atribut yang “berbau” teori Reteptio in Comlpexu segera dihapus dan diganti dengan atribut-atribut lain yang “berbau” Reteptie. Pada 1919 M., Regeelingsreglement (RR) diganti dengan Indische Regeeling (IS). Pasal 75 RR Stbl.no. 2 tahun 1855 dihapus melalui pasal 134 (2) IS yang melandasi teori Reteptie. Selain itu, melalui Stbl. no. 116 tahun 1937, kewenangan peradilan agama dibatasi hanya dalam masalah perkawinan semata. Masalah kewarisan sepenuhnya diserahkan kepada peradilan umum. Akibatnya, wewenang peradilan agama semakin sempit. Namun, di sela-sela kebijakan politik seperti itu, Pemerintah Belanda masih “menyempatkan diri” mendirikan lembaga peradilan agama di Kalimantan Selatan melalui Stbl. no. 638 dan 639 tahun 1937,[31] dalam rangka meredam protes dan emosi umat Islam.
Nampak sekali bahwa semuanya merupakan upaya sistematis Pemerintah Hindia Belanda untuk meminggirkan hukum Islam dan menggantinya dengan hukum Belanda. Langkah konfrontatif jelas tidak mungkin dilakukan, mengingat emosi keagamaan umat Islam yang sangat kuat. Oleh karena itu, langkah-langkah sistematis tadi adalah yang paling mungkin ditempuh. Meskipun peradilan agama beserta kitab kuningnya masih diakui, namun wilayah wewenangnya dipersempit hanya dalam bidang perkawinan semata. Sebuah kondisi yang tentu sangat tidak “nyaman” bagi kehidupan hukum Islam di Nusantara ketika itu.
~ Periode 1945-1974 M.
Setelah kemerdekaan berhasil direbut dan pemerintahan yang berdaulat dibentuk, maka beberapa langkah hukum berkenaan dengan lembaga peradilan agama segera dilakukan. Melalui PP no. 5/SD/1946, lembaga peradilan agama dimasukkan dalam wewenang kementerian agama, setelah sebelumnya berada di bawah naungan kementerian kehakiman. Dua tahun kemudian, melalui UU no. 190 tahun 1948, peradilan agama termasuk bagian dari Pengadilan Umum. Yang paling mengembirakan umat Islam ketika itu adalah dikeluarkannya UU Darurat no. 1 tahun 1951 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama dipertahankan, sementara pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat dihapus. Dengan begitu, “kondisi terpuruk” pasca teori Reteptie beranjak “normal” kembali. Dan sebagai salah satu bentuk realisasi UU Darurat tersebut, melalui PP no. 45 tahun 1957, pemerintah membentuk lembaga Pengadilan Agama di luar pulau Jawa dan Kalimantan Selatan. Maka sejak 1958 M., Pengadilan Agama dibentuk di wilayah-wilayah Nusantara yang memerlukan.[32]
Pada 1958 M., keluar Surat Edaran Biro Pengadilan Agama no. 8/1/735 tanggal 18 Februari 1958, sebagai pelaksanaan dari PP no. 45 tahun 1957. Isinya, antara lain, adalah pembatasan jumlah buku-buku fiqh klasik sebagai buku-buku formal Pengadilan Agama menjadi hanya 13 buku. Surat Edaran tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa begitu banyaknya buku-buku fiqh ang ada menyebabkan kesimpangsiuran dalam pengambilan keputusan di Pengadilan Agama. Banyaknya perbedaan pendapat (ikhtilāf aqwāl al-‘ulamā’) seperti yang tertera di dalamnya adalah salah satu faktor yang utama. Dengan dibatasi hanya menjadi 13 buku, maka kesimpangsiuran tadi, paling tidak, bisa diminimalisir. 13 buku tadi adalah: (1) Hāshia al-Bājūrī. (2) Fath al-Mu‘in. (3) Al-Qalyībī. (4) Fath al-Wahhāb. (5) Tuhfa al-Muhtāj. (6) Taghrīb al-Musaghfirīn. (7) Qawānīn Shar‘iyya. (8) Qawānīn Shar‘iyya. (9) Al-Syamsūrī fi al-Fara‘id. (10) Bughya al-Mustarshidīn. (11) Al-Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-Arba‘a. (12) Mughnī al-Muhtāj. (13) Hāshia al-Sharqāwī.[33]
Meskipun kitab kuning kembali menempati posisi vitalnya, namun wewenang Pengadilan Agama tetap mengikuti “sisa-sisa” kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dulu. Pengadilan Agama hanya berwenang menangani kasus-kasus dalam hukum perdata. Sementara kasus-kasus hukum pidana sepenuhnya ditangani oleh Pengadilan Negeri. Kalaupun wewenang Pengadilan Agama diperluas sampai kepada bidang hukum pidana, dalam pandangan penyusun, semua itu tidak akan efektif. Sebab, dalam sistem hukum kita, berlaku apa yang dinamakan hak opsi, yaitu hak untuk beralih dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Sudah tentu, masyarakat akan lebih suka memilih KUHP daripada hukum pidana Islam yang terkesan lebih “kejam” dan “berat”.
~Periode 1974 ….M.
Semenjak diundankannya UU Perkawinan no. 14 tahun 1974, kitab kuning, mengalami peralihan peran, dari sebagai sumber formal menjadi sumber material. Artinya, kitab tidak dipergunakan secara langsung dalan peradilan, namun ia berfungsi sebagai salah satu sumber penyusunan undang-undang yang dipergunakan dalam pengadilan. Lebih-lebih dengan diundangkannya UU Pengadilan Agama no. 7 tahun 1989, maka posisi kitab kuning sebagai salah satu sumber dalam hukum Islam menjadi semakin penting.
Akan tetapi, di masa mendatang, dalam pandangan penyusun, posisi vital kitab kuning perlu ditinjau ulang. Bukan berarti harus dihapus dan dibuang, melainkan harus dipergunakan dengan metodologi yang tepat. Alasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, kitab kuning disusun pada abad pertengahan di Timur Tengah sana yang kondisi sosial-budayanya sangat jauh berbeda. Maka, mengusung produk masa lampau ke realitas sekarang yang kondisi sosial-budayanya berbeda, tentu saja, merupakan tindakan yang tidak tepat.
Kedua, Wacana usūl al-Fiqh, dengan ajaran universal Islam (maqāsid al-sharī‘a) sebagai titik poros acuannya, telah begitu jauh berkembang, sehingga sikap untuk tetap mempertahankan kitab kuning seperti apa adanya jelas merupakan langkah mundur atau kontra produktif.
Ketiga, dalam kitab kuning, tidak sedikit ketentuan hukum yang hanya relevan untuk masanya, atau, kadangkala, malah tidak selaras dengan ajaran universal Islam. Sebut saja, misalnya, poligami yang, dalam madhhab Shāfi‘ī, persyaratannya jelas-jelas relatif lebih longgar ketimbang madhhab yang lain.[34] Contoh lainnya adalah ketentuan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, atau juga seorang muslim terhadap non muslim, tidak menyebabkan sang pelaku harus dihukum qisās. Alasannya, untuk kasus pertama, ayah adalah faktor penyebab (sabab) adanya anak. Maka, kematian anak tidak bisa dijadikan faktor penyebab kematian ayah. Sementara untuk kasus kedua, status muslim jelas lebih tinggi daripada status non muslim. Padahal, salah satu syarat qisās adalah bahwa pihak pelaku tidak boleh lebih rendah statusnya daripada pihak korban.[35]
Keempat, di kalangan pesantren sendiri, mulai muncul “gugatan” dan ”keinginan kuat” untuk mengubah tradisi kemadhhaban, dari tradisi taqlīd qawlī (menerapkan bunyi teks kitab kuning) menuju tradisi taqlīd manhajī (menerapkan metode ijtihad madhhab, tanpa harus selalu terikat kepada ketentuan kitab kuning). “Gugatan” dan “keinginan kuat” tersebut menandakan mulai tumbuhnya kesadaran bahwa kitab kuning memang hanya relevan untuk masanya saja.
Penutup
Akhirnya, tulisan ini berhasil juga penyusun selesaikan penyusunan dan perbaikannya. Cukup panjang dan melelahkan, namun terasa sangat manis dan menyenangkan. Benar-benar sebuah “petualangan” intelektual yang menarik. Berkat penelitian ini, penyusun bisa mengetahui bahwa kitab kuning ternyata sangat berperan dalam perkembangan hukum Islam dari waktu ke waktu, meski kadangkala mengalami kondisi pasang-surut.
Last but not least, sudah pasti, tulisan ini tidak akan pernah lepas dari kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, saran dan kritik apapun tentu penyusun akan senang menyambutnya. Semoga bermanfaat.[]
Yogyakarta, 21 Juni 2001.
Artikel ini pernah dimuat di majalah Amanah edisi I.
Artikel ini pernah dimuat di majalah Amanah edisi I.
[1] Ikhtisār
adalah peringkasan suatu naskah buku yang dirasa terlalu panjang atau supaya
lebih mudah dihafalkan, misalnya buku fiqh Manhaj al-Tullāb karya Abū
Yahyā Zakariyyā al-Ansārī (W. 1518) yang merupakan ringkasan dari buku Minhāj
al-Tālibīn karya Muhy al-Dīn al-Nawawī (W. 1277). Sementara syarh
adalah menjelaskan atas ringkasan tadi atau atas naskah lain yang dirasa
terlalu ringkas dan sulit dipahami. Ketika penjelasan tersebut masih juga
dirasa kurang maksimal, maka dibuatlah hāshia, yakni komentar atas
penjelasan itu. Sebut saja, misalnya, buku Fath al-Qarīb karya Ibnu al-
Qāsim al-Ghazzī (W. ….) yang merupakan syarh atas buku Matn al-Taqrīb
karya Abū Shujā‘ (W. 1196). Komentar atas buku Fath al-Qarīb adalah buku
Hāshiah al-Bājūrī karya Ibrāhīm al-Bājūrī (W. 1861). Pada perkembangan
berikutnya, aktifitas ikhtisār, sharh dan hāshia ini menjadi
semacam “gerakan berputar” (atau malah “Lingkaran setan”?), di mana tidak
jarang buku hāshia diringkas, di-syarh, di-hāsyia lagi,
lalu diringkas kembali dan begitu seterusnya. Orang-orang pesantren
membanggakannya sebagai kekayaan khazanah intelektual. Namun, Nurcholis Madjid
menyebut aktivitas tersebut sebagai stagnasi pemikiran, artinya ada kemandekan
kapabilitas dan kreativitas yang menyebabkan mereka hanya berkutat pada bidang
garap yang itu-itu saja. Lihat: Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarh dan Hasyiah
dalam Fiqh Islam dan Masalah Stagnasi Pemikiran”, dalam M. Wahyuni Nafis
(ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah, ctk. 1 (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm. 314.
[2] Azyumazdi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak
Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, ctk. IV (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 26-27. Tentang kontroversi seputar tempat asal, pembawa dan
waktu kedatangan Islam ke Indonesia,
bandingkan dengan Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia, ctk. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm.73-94.
[3] Ferdinaud Toutle,
al-Munjid fī al-Adab Wa al-‘Ulūm: Mu‘jam li A‘lām al-Sharq wa al-Gharb
(Beirut:Al-Matba‘a al-Kāthūlīkiyya, 1975), hlm. 78.
[4] Muhammad Daud Ali,
“Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tjun Surjaman (ed. ),
Hukum Islam di Indonesia:
Pemikiran dan Praktek, ctk. 1 (Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya, 1991),
hlm.69.
[5] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, hlm. 30.
[6] Abū Bakr ibn Muhammad
Shatā al-Dimyātī, I‘āna al-Tālibīn ‘ala Fath al-Mu‘īn (Mesir: Matba‘a
al-Maymaniyya, t.t.), IV: 218-219.
[7] Ibrāhīm al-Bājūrī, Hāshia
al-Bājūrī (Indonesia: Dār Ihya‘ al- kutub al-‘Arabiyya, t.t.), I: 198.
[8] Tahir Mahmood
menuturkan, salah satu kriteria telah dilakukannya pembaruan hukum Islam di
sebuah negara adalah dilakukannya kondifikasi dan legislasi hukum, dari
aturan-aturan hukum yang tersebar dalam berbagai teks fiqh klasik menjadi
aturan hukum tertulis yang baku, semisal undang-undang, peraturan pemerintah,
ordinasi, dekrit dan sebagainya. Lihat: Tahir Mahmood, Personal Law in
Islamic Countries: History, Text and Comprative Analysis, ctk. 1 (New
Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 1. Berdasarkan kriteria ini,
maka Indonesia masuk dalam kategori negara-negara yang telah mereformasi sistem
hukumnya. Baca: Idem, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N.
M. Tripathi PVT. LTD., 1972), hlm.2-8.
[9] Memang benar bahwa
Islam telah masuk ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijriyah.
Namun, hanya setelah abad ke-12 lah pengaruh Islam kelihatan lebih nyata, yaitu
setelah kedatangan para guru dan penyebar “profesional” --yakni mereka yang
memang khusus bermaksud menyebarkan Islam. Lihat: Azyumazdi Azra, Jaringan Ulama…, hlm.31.
[10] Bisa dilihat kembali
dalam tulisan ini pada halaman 3.
[11] Mark Cammack, “hukum
Islam dan Politik Hukum Orde Baru”, dalam Sudirman Tebba dkk. (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia
Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, ctk. 1
(Bandung: Mizan, 1993),hlm. 39.
[12] Muhammad Daud Ali,
“Hukum Islam…”, hlm. 70; Abdul Hakim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di
Indonesia: Dari Orientasi Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis Responsif
(Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2000), hlm. 35.
[13] M. Yahya Harun, Kerajaan
Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, ctk. 1 (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Sejahtera, 1995), hlm.13.
[14] Ibid., hlm.
83.
[15] G. F. Pijper, Fragmenta
Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX,
alih bahasa oleh Tudjimah, ckt. 1 (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987),
hlm. 54-55.
[16] M. Yahya Harun,
Kerajaan Islam…, hlm. 83-84.
[17] Ibid., hlm.
10-11.
[18] Al-Ansārī, Fath
al-wahhab….., II: 207.
[19] Ibid., hlm.220
[20] Abū Bakr ibn Muhammad
Shatā al-Dimyātī, I‘āna al-Tālibīn…, 1 19.
[21] Martin Van
Bruinessen, Tareqat Naqsyabandiyah di Indonesia, ctk. I (Bandung: Mizan,
1992), hlm. 21.
[22] Muhammad Daud Ali,
“Hukum Islam…”, hlm. 71.
[23] Zaini Ahmad Noeh dan
Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia
(Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 31.
[24] Isma‘il Sunny,
“Kedudukan hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Nasional”, dalam Amrullah
Ahmad dkk. (ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang
65 Tahun Prof. Dr. Busthanil Arifin, SH., ctk. 1
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 131-132.
[25] Amrullah Ahmad dkk.,
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun
Prof. Dr. Busthanil Arifin, SH., ctk. 1 (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hlm. 3-4.
[26] Ibid., hlm. 5.
[27] K. A. Steenbrink,
Pengantar buku: L. W. C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di
Nusantara, alih bahasa oleh Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1989), hlm.
XIV-XV.
[28] C. Snouck Hurgronje,
“laporan tentang peradilan agama Islam” (1890), dalam A. J. Wensinck (ed.),
Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Bagian VII, alih bahasa oleh Soedarso
Soekarno (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 93.
[29] Idem, “Nasehat guna
menyusun kitab hukum adat” (1893), dalam A. J. Wensinck (ed.), Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje Bagian VIII, alih bahasa oleh Sordarso Soekarno
(Jakarta: INIS, 1993), hlm. 24-25.
[30] Teori ini sebenarnya
merupakan pengembangan dari gagasan dan pemikiran C. Van Vollenhoven (w. 1933).
Lihat: Amrullah Ahmad dkk., Dimensi
Hukum…, hlm. 5. Isma‘il Sunny, “Kedudukan Hukum…”, hlm. 123.
[31] Amrullah Ahmad dkk., Dimensi
Hukum…, hlm. 5.
[32] Maka, saat itu, ada
tiga peraturan Pengadilan Agama, yaitu, pertama, Stb. l. no. 152 tahun 1882
jo Stbl. no. 116 dan 610 tahun 1937 tentang Pengadilan Agama di pulau Jawa dan
Madura, kedua, Stbl. no. 638 dan 639 tahun 1937 mengenai Pengadilan
Agama di Kalimantan Selatan, dan, ketiga, PP no. 45 tahun 1957 tentang
Pengadilan Agamadi lusr pulau Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan. Lihat: Ibid.,
hlm. 6-7.
[33] Amrullah Ahmad dkk., Dimensi
Hukum…, hlm. 10-11; 44; Zarkowi Soejoeti, “Sejarah Penyusunan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia”, dalam M. Mahfud MD dkk. (ed.), Peradilan Agama
dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII
Press, 1993), hlm. 47-48. Selain 13 buku tersebut, seperti yang telah
ditetapkan melalui Kerja Sama Menteri Agama RI dan Rektor IAIN tanggal 19 Maret
1986, ada tambahan 24 buku lagi, yaitu: (1) I‘āna al-Tālibīn, (2) Bulgha
al-Sālik, (3) al-Mudawwana, (4) Bidāya al-Mujtahid wa Nihāya
al-Muqrasid, (5) al-Umm, (6) al-Islām: ‘Aqīda wa Sharī‘a, (7)
al-Muhallā, (8) al-Wajīz, (9) Nihāya al-Muhtāj, (10) Fath
al-Qadīr, (11) Fiqh al-Sunna, (12) Kashf al-Ghinā’, (13) Majmū‘
al-Fatāwā al-Kubrā, (14) al-Mughnī, (15) al-Hidāya Sharh
al-Bidāya, (16) Nawāb al-Jalīl, (17) Sharh Ibn ‘Ābidīn, (18) al-Muwatta’,
(19) Hāshia al-Dasūqī, (20) Badā’i‘ al-Sanā’i‘, (21) Tabyīn
al-Huqūq, (22) al-Fatāwā al-Hindiyya, (23) Fath al-Qadīr dan (24)
al-Nihāya. Lihat: Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Raja Gravindo Persada, 1998), hlm. 52-53.
[34] Dalam madhhab
Shāfi‘ī, persyaratan poligami hanya satu, yaitu kemampuan berlaku adil.
Diizinkan oleh istri ataupun tidak, itu juga ada alasan medis ataupun tidak,
sama sekali tidak mempengaruhi status keabsahan poligami. Lihat:Al-Ansāri: Fath
al-Wahhāb…, 1: 43.
[35] Muhammad al-Sharbīnī
al-Khatīb, al-Iqnā‘ Fi Hall Alfadh Abī Shujā‘, ctk. terakhir (Mesir:
Mustafā al-Bābī, 1940), 11: 155-156.
0 komentar:
Post a Comment