Komentar atas buku Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme,
Kazuo Shimogaki LKiS, 1993
Oleh: Yahya Hayat
Pentingnya Revitalisasi Khazanah Islam Klasik
Ketika kita bicara seorang Hassan
Hanafi, setidaknya setelah kita mengenalnya dari tesis yang beliau tulis “Al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah
al-Islâmiyah,” beliau adalah seorang modernis—meminjam istilah Kazuo
Shimogaki dalam buku ini. Artinya, dia adalah seorang pembaharu Islam yang
berpendapat bahwa seharusnya orang-orang Islam melakukan revitalisasi khasanah
Islam klasik untuk kemajuan orang-orang Islam itu sendiri. Beliau termasuk
orang yang gelisah atas budaya orang-orang muslim yang hanya bertumpu pada
teks-teks yang ada dalam ilmu klasik.
Sebenarnya ketika kita berbicara
revitalitalisasi khasanah Islam klasik, pintu
untuk merealisasikan metode ini sangat terbuka semenjak zaman dahulu setelah periode
Muhammad ibn Jâbir ath-Thabarî
(w. 310 H.). Dia adalah seorang tâbi‘ at-tâbi‘în penulis kitab Jâmi‘
Al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân. Beliau adalah seorang ahli tafsir pada
masanya, yang mana pada periode sebelum Ath-Thabarî para mufassir hanya bertumpu pada riwayat yang ada. Metode seperti ini disebut
juga tafsir bi al-ma’tsûr dan
berlangsung sejak zaman para sahabat Nabi Muhammad, sehingga menafsiri Alquran harus
mempunyai sanad yang tersambung pada
Nabi Muhammad. Namun pada periode setelah Ath-Thabarî ini kebiasaan menafsiri Alquran
dengan ketentuan di atas mulai dikembangkan dengan munculnya metode tafsir bi
ar-ra’y atau disebut juga tafsir logika, hanya dengan catatan tetap menitikberatkan
relevansi dan korelasinya dengan Alquran atau hadis.
Setelah munculnya metode ini
pintu untuk merevitalisasi khasanah Islam klasik sangat terbuka lebar. Untuk
mengingat pengetahuan tentang kedua metode di atas, kami coba menerangkan kedua
metode tersebut:
- Metode Tafsir Riwayat (bi al-ma’tsûr). Dalam metode ini
seorang mufassir menjelaskan suatu
ayat sebagaimana yang ia dengar dari Nabi Muhammad. Maka tak heran bila
penafsiran dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan sangat jarang
seorang mufassir menyelipkan pendapat pribadinya.
- Metode Tafsir logika (bi ar-ra’y). Di atas telah kami sebutkan bahwa, metode Tafsir
Riwayat atau tafsir bi al-ma’tsûr berlangsung sejak zaman para sahabat
sampai tâbi‘ at-tâbi‘în dan mulai pudar pada priode Ath-Thabarî. Pasca periode
Ath-Thabarî, khususnya pada masa keemasan peradaban Islam dan semakin majunya
Ilmu pengetahuan, muncullah corak penafsiran yang menitikberatkan pada
penggunaan akal namun tetap memakai landasan Alquran dan hadis. Corak
penafsiran seperti inilah yang dikenal dengan metode tafsir bi ar-ro’y,
penafsiran dengan rasio.[1]
Namun kedua metode tafsir di atas masih harus mengikuti ketentuan yang
berlaku, antara lain seorang mufassir
harus mengetahui atau menguasai (1) ayat makkiyyah dan madaniyyah,
(2) kalam ‘âm dan kalam Khâshsh, (3) ilmu Ma‘ânî, Bayân,
Badî‘ dan sebagainya (diwakili oleh Ilmu Balâghah), (4) gramatika
bahasa Arab (Nahwu dan Shorrof), (5) asbâb an-nuzûl, (6) Nasikh dan
Mansukh, (7) ilmu Mauhibiyyah, (8) ayat mujmal dan mubham,
(9) Ushuluddin, dan (10) Ushul al-Fiqh.[2]
Dengan munculnya metode yang kedua di atas sangat mungkin bagi kita untuk
merevitalisasi teks-teks khasanah Islam klasik yang ada sebagaimana keinginan
Hassan Hanafi, apalagi dalam persyaratan yang tertulis di atas harus menguasai
ayat makkiyyah dan madaniyyah. Hal itu menunjukkan seharusnya
metode penafsiran tidak mengesampingkan letak geografis untuk memecahkan suatu
masalah.
Sehingga terbuka pula bagi kita untuk menafsiri Alquran dengan menyesuaikan
fenomena atau masalah yang harus diselesaikan dengan tidak mengesampingkan
letak geografis di mana permasalahan itu berada, karena sudah barang tentu permasalahan
yang ada pada suatu tempat atau kawasan tertentu tidak sama dengan permasalahan
tempat atau kawasan yang lainnya. Walau bagaimanapun, masalah itu sangat mungkin
dipengaruhi oleh budaya, lingkungan, ras, agama, dan macam-macam perbedaan
lainnya yang sangat kompleks.
Mengubah Makna Hakikat keesaan Tuhan untuk Indonesia: Toleransi.
Sangat menarik ketika membaca
tulisan Shimogaki yang membahas tentang hakikat keesaan Tuhan, Shimogaki
mencoba mengarahkan arti dari keesaan Tuhan itu adalah “penyatuan”. Secara implisit
hal itu mungkin benar, karena ketika kita berbicara Agama sudah barang tentu di
sana sangat erat kaitannya dengan “Tuhan” dan apabila yang disebut Tuhan dalam
pembahasan itu adalah “Allah” maka yang dibahas adalah agama Islam, sedangkan
agama Islam sendiri dideklarasikan oleh penganutnya sebagai agama yang “universal”
yang tidak hanya menampung golongan, kawasan, ras, dan sebagainya yang membuat
agama itu sendiri menjadi sempit.
Setelah ini, Shimogaki berangapan,
ketika berbicara agama berarti di situ adalah “Islam”. Begitu pula ketika
berbicara Tuhan berarti di situ adalah “Allah yang Maha Esa” dan bukan yang
lain.
Benarkah esensi dari arti keesaan
Tuhan itu adalah “penyatuan”? Melihat dari konteks agama Islam sendiri, hal itu
sebenarnya tidak berlebihan karena Islam sangat menganjurkan toleransi yang
tidak mengkhususkan kalau Islam itu hanya untuk orang Arab atau untuk orang
timur-tengah, untuk orang kulit putuh, dan lain-lain. Tidak! Islam tidak begitu!
Tapi bukan berarti di situ dia mengatakan Islam adalah Agama untuk menyatukan
semua Agama karena sudah jelas dari hikayat yang kita kenal ketika Rasulullah
diajak untuk saling menjalankan agama secara bersamaan (baca: menggabungkan), Rasulullah dengan tegas menolak hingga turunlah
surat Al-Kâfirûn yang isinya:
Katakanlah: Hai orang-orang Kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah tuhan yang aku sembah, untukmulah agamamu dan untukkulah agamku.[3]
Melihat dari teks ayat tadi, sudah sangat jelas bahwa tidak dibenarkan
orang yang mengatakan semua agama itu benar hanya karena berlandaskan dari arti
“keesaan Tuhan” yang berarti “penyatuan”. Tapi tidak dibenarkan pula bagi
orang-orang Islam berniat membumihanguskan orang-orang di luar Islam hanya karena
mereka tidak menjadi Islam, karena sangat dilarang oleh Tuhan dengan turunnya
ayat:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar pada Thaghut[4] dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar dan maha mengetahui.[5] (Al-Baqarah: 256)
Dan sikap toleransi itu digambarkan oleh Nabi dengan adanya wasiat
pada para sahabat sebelum menyerang orang-orang kafir dalam perang Mu‘tah karena
mereka membunuh utusan Rasul.
Rasul berwasiat: kalian akan bertemu dengan orang-orang yang berada di gereja terpencil, janganlah kalian menghalangi aktivitas mereka dan janganlah kalian membunuh para perempuan, anak kecil, dan orang tua yang lumpuh, dan jangan pula kalian memotong pepohonan dan merobohkan bangunan.[6]
Sudah sangat jelas dengan adanya ayat, hadis dan hikayat itu
bahwa Islam sangat menganjurkan sikap toleransi dan dilarang mengganggu
aktivitas orang-orang di luar Islam, dengan catatan mereka tidak mengganggu
aktivitas orang-orang Islam sendiri. Meskipun begitu, tidak dibenarkan kita
mengatakan semua agama itu benar hanya karena bercermin pada sikap tokeransi
beliau.
Yahya Hayat
Santri di PP.
Raudlatul Ulum I Malang
0 komentar:
Post a Comment