Sunday, October 5, 2014

Merenungkan Demokrasi

9:45 PM


[sumber]

Oleh: Muhammad Jabir*

Jum’at tanggal 03 Oktober 2014 sang petani berjalan menyusuri jalan kecil di tengah persawahan desa yang asri dan sepi dari polusi. Sejak pagi ayunan paculnya tidak pernah berhenti dan melemah bahkan semakin kencang.

Matahari semakin terik menyengat punggung sang petani dan peluh berkucuran bagai hujan,  Dari tengah sawah terdengar suara bacaan Yasin dari masjid, pertanda dia harus berhenti untuk salat Jumat sebagai kewajiban umat islam. Dan dalam khutbahnya sang imam menyampaikan pesan untuk semangat bekerja karena itu merupakan ibadah.

Sang petani tambah semangat bekerja setelah mendengar khutbah dari imam salat Jumat tadi. Bulan ini hasil panen petani lebih banyak dari biasanya dan dia menjualnya ke penadah. Namun hasil panennya nampaknya dibeli dengan harga murah. Mau apa lagi, si petani terpaksa menjualnya dengan harga murah karena hanya orang itu yang mau membeli dan apabila dijual ke luar desa atau ke kota si petani tidak punya kendaraan untuk mengangkutnya dan jalan di desa itu rusak dan sempit sehingga tambah mempersulit si petani.

Hari demi hari si petani terus bekerja dan bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan sebagai amal ibadah yang dia yakini setelah mendengar khutbah jumat itu.

Namun petani tidak sadar bahwasanya khutbah di hari jumat itu pesanan seseorang agar petani tambah semangat bekerja dan keuntungannya bertumpuk pada orang itu.Begitulah gambaran Indonesia saat ini. Bukan cuma rakyat kecil saja yang berhasil diperalat oleh politikus-politikus kejam namun sang kiai pun diperalat demi hasrat politik  sang politikus kotor.

Bulan Agustus, bulan di mana kita kita menentukan pilihan kita dalam pesta demokrasi pemilihan presiden. Lucu sekali kita lihat televisi menyiarkan berbagai kegiatan calon presiden dari santunan hingga pengajian yang semua itu tak ubahnya pesanan dari politikus-politikus kejam yang mengiginkan kemenangan di pemilihan presiden. Masyarakat diadu domba lewat televisi untuk mendukung atau membenci calon presiden. Seperti contoh TVOne yang menyiarkan kebaikan Prabowo dan sedikit menyindir Jokowi. Begitu pula Metro TV menyiarkan kebaikan Jokowi dan menyindir Prabowo.

Lalu bagian mana lagi yang selamat dari manipulasi politik anjing-anjing demokrasi di senayan itu?!

Rapat Paripurna seakan jadi mainan politik sang politikus. Saling baku hantam dan saling berteriak demi kepentingan sendiri dengan dalih demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Demokrasi yang mana? Demokrasi yang membiarkan rakyat tertindas atau demokrasi yang membiarkan anak kecil tak sekolah dan kelaparan dan mengemis untuk makan?  Apa itu Demokrasi yang membiarkan para pencuri uang rakyat?

Demokrasi seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Demokrasi seharusnya memberikan makanan bagi rakyat yang kelaparan. Memberikan sekolah dan pekerjaan pada pengangguran.

Mari kita merenung bersama di mana posisi mahasiswa saat ini. Hanya di kampus dan hanya melihat fenomena tersebut seperti kucing atau seperti anak kecil yang hanya bisa bermain di sekolah? Apa gunanya mahasiswa jika tidak pernah mencoba melakukan sesuatu untuk negaranya? Maka sebenarnya mereka adalah seperti anak TK atau SD yang hanya menerima pelajaran namun tidak ada aksi.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top