[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
Zaman sudah berubah. Saat ini, memamerkan tulisan kepada
khalayak bukanlah perkara sulit. Cukup miliki blog pribadi, akun di media
online penyedia jurnalisme publik, atau yang paling simpel di catatan media
sosial. Tak perlu foto copy dan membagi-bagikannya di jalan-jalan, sebagaimana
zaman internet masih jadi barang langka.
Buntutnya, aneka macam tulisan bertebaran tanpa ada seleksi.
Jika kita pantengin media online penyedia jurnalisme publik, hampir
setiap menit atau bahkan detik selalu muncul tulisan baru, dengan aneka macam
persoalan, tanpa ada seleksi dan saringan. Entah ini berkah atau musibah dalam
dunia kepenulisan kita.
Disebut berkah karena orang yang baru belajar menulis bisa
memamerkan karyanya dengan mudah, cara ini bisa jadi motivasi untuk mengeluarkan
tulisan selanjutnya. Celakanya, kita menjadi kesulitan menyaring mana tulisan
yang layak dikonsumsi atau tidak. Kita sulit membedakan mana yang penulis
benaran atau orang yang hanya iseng-iseng menulis.
Meskipun dalam dunia kepenulisan tidak ada standar mana
orang yang layak disebut penulis atau sedang belajar menulis. AS Laksana,
seorang penulis kenamaan pernah menyatakan kegelisahannya tentang hal ini.
Menurutnya, banyak orang ingin menjadi penulis atau bahkan mengaku penulis,
tapi amat jarang yang mau membaca. Menurutnya, membaca adalah syarat utama yang
harus dimiliki penulis.
Dari pernyataan AS Laksana ini dapat ditafsiri kalau menulis
merupakan kerja militan. Harus banyak membaca lalu menulis, memperbaiki,
menulis lagi begitu seterusnya sebelum orang
layak disebut penulis. Menulis dalam hal ini tidak ubahnya sebagai kerja
kesenian. Butuh waktu panjang sekaligus ketekunan.
Menjadikan menulis sebagai proses kerja kesenian bisa
menjadi pembeda bagi para penulis serius dengan yang hanya iseng-iseng menulis.
Jika diibaratkan menulis dengan melukis, maka harus ada pembeda lukisan yang
akan dijual di Pasar loak dengan lukisan yang hendak dipamerkan di Museum.
Lukisan Monalisa, karya Seniman Prancis Leonardo Da Vinci
yang disebut-sebut sebagai lukisan paling dahsyat dalam sejarah, dibuat dengan
kerja yang tidak mudah. Hanya untuk melukis perempuan setengah badan yang
sedang tersenyum, Leonardo membutuhkan waktu tiga tahun serta permenungan yang
panjang. Itulah yang disebut kerja militan.
Begitu juga dengan menulis, dalam sejarah kepenulisan dan
perbukuan, belum ada penulis yang diakui karyanya sebelum dia melakukan kerja
yang militan. Buku yang laris manis selalu dibarengi dengan pengerjaan yang
tidak ecek-ecek dan ala kadarnya.
Kita tahu, Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya penulis
Indonesia yang berulangkali menjadi kandidat peraih Nobel sastra merupakan
contoh nyata kalau menulis bukan perkara mudah. Dari dalam penjara, dia
menyelesaikan banyak novel, termasuk karya monumentalnya Tetrologi Buru yang
menggetarkan itu.
Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya waktu itu Pram
dalam menulis. Tanpa ada laptop, mesin ketik dan refrensi bahan bacaan. Tidak
seperti zaman digital, yang hanya dengan mengetikkan kata, Google atau Wikipedia
dengan cepat bisa menjawabnya. Hasil dari kerja militan itu, saat saya belanja
buku di pertokoan buku tidak asli di Malang, hampir semua penjual mengenal nama
Pram, namanya tersohor hingga saat ini.
Contoh lain yang bisa dijadikan teladan adalah peraih nobel
asal Mexico Gabriel Garcia Marques atau yang akrab disebut Gabo. Pria yang pertengahan
April lalu meninggal dunia ini terkenal karena novel monumentalnya berjudul
Seratus Tahun Kesunyian. Untuk merampungkan novelnya, Gabo menyepi tanpa keluar
rumah selama 18 bulan lamanya. Novel inilah yang lantas menyelamatkan Gabo
setelah dia hampir putus asa karena kegagalan karya-karya sebelumnya.
Dari berbagai penulis hebat dunia itu, kita layak bercermin
bahwa sejatinya penulis itu tidak ubahnya sebagai pekerja seni. Selain butuh
kerja militan, penulis sebagaimana seniman harus menjadikan kerja tersebut
tidak hanya semata-mata karena urusan perut. Lebih dari itu, kepuasan batin
yang menjadi tujuan.
Sebagaimana pekerja seni, menjadi penulis harus siap-siap
hidup dengan tidak terlalu bergelimang harta. Di Indoensia, kita semua tahu
kalau pengakuan terhadap seniman dan penulis masih sangat memprihatinkan.
Kebanyakan, seniman dan penulis hidup dengan tidak terlalu banyak tumpukan
harta.
Tapi, itulah pilihan hidup. Bagi banyak seniman, urusan
perut merupakan perkara nomor dua. Melihat karyanya dipamerkan dan diakui oleh
banyak orang merupakan suatu kebanggan yang tidak bisa diukur oleh materi. Jika
penulis juga berprinsip seperti itu, saya yakin, dunia literasi kita bakal
lebih maju dan tersaring. Kita tidak lagi sulit mencari tulisan yang jernih dan
menghibur, sebuah hal yang langka kita temukan di zaman serba digital ini.[]
Pernah dimuat di Harian Radar Malang
0 komentar:
Post a Comment