[sumber] |
Oleh: Muhammad Madarik
Sore cerah, angin
yang bertiup sepoi-sepoi dari jendela kamar Khairul menyapu wajahnya saat ia
masih tertegun dengan baju yang dikenakan. Di depan cermin, ia merasakan
kesejukan yang menjalari seluruh tubuhnya setelah sebelumnya ia menyegarkan badannya
di kamar mandi dengan air dingin. Sejenak, lelaki ini tertegun memandang dirinya
di dalam kaca yang disediakan. Ia perhatikan wajah yang masih terlihat muda dan
ganteng, meski satu persatu rambut putih mulai tumbuh di kepala yang ia
mahkotakan. Kulitnya yang kuning menjadikan bias ketampanan kian bersinar. Rambutnya
yang dipotong pendek semakin membuat ubannya terpinggirkan.
“Hem,” selanya
sambil mengambil nafas panjang seakan pandangan mengagumi sosoknya tak
terhenti. Dan, belum habis kebanggaannya atas dirinya, tiba-tiba seseorang
memasuki ruang kamarnya dengan mengagetkan.
“Na ning, na
ning. Jangan celewet ya, kacian Umi. Abi belangkat dulu ya,” celotehnya sambil
mengendus pipi mungil yang masih kemerah-merahan bocah yang didekap ibunya itu seperti
ingin menyatu.
Bunga-bunga
bahagia di hati Khairul terasa lengkap, ketika menyaksikan ia dihantar sang
istri sampai masuk dalam mobil taksi. Lambaian tangan dan secuil senyum yang menyelimuti
raut wajah ranum ibu rumah tangga itu menjadi saksi terakhir tatkala kendaraan
yang ditumpangi Khairul mulai dinahkodai sopir sambil beraksi.
Jam sudah
menunjukkan pukul 08:45, tetapi bagi Khairul gerakan mobil ini terasa berat kendati
jalanan agak lengang, padahal bandara masih jauh. Khairul mulai bergelagat
kurang bijaksana.
“Bang, agak
dipercepat ya! Jam 10:30 saya sudah harus boarding,” seru Khairul yang
duduk di belakang. Sesaat kemudian sopir lebih menancapkan gasnya setelah tuas
persneling dikokang.
Bersama derasnya
mobil-mobil di jalan, arus pikiran Khairul pun melaju kemana-mana, melayang
pada hal-hal yang akan ditemui, setumpuk pertanyaan dan jawaban beragam,
segudang cerita dan pengalaman bervariasi, serius, humor, gelak-tawa, dan
mungkin akan ada air mata. Terbayang di pelupuknya, bagaimana keadaan
sahabat-sahabat sekarang di belahan desa dan kota? Seperti apa eksistensi
mereka di tengah kehidupan individualistis masyarakat yang menggurita? Sebagian
mereka masih berkomunikasi dan bahkan terkadang dapat berjumpa, tetapi
rata-rata mereka sudah putus hubungan tanpa berita.
***
Kibaran bendera
dan lambaian umbul-umbul yang berderet di sepanjang kanan-kiri pinggir jalan
seakan melambangkan sambutan hangat pada semua yang hadir. Lebih-lebih sederet
kalimat yang terpampang di atas jalan “Selamat Datang Alumni Angkatan 1997 di
Madrasah Nurul Irsyad Pasuruan” memperkuat terwujudnya acara langka bagi
segenap sahabat yang sudah terpisah oleh takdir. Dalam waktu hampir-hampir
berdekatan, para hadirin mulai berdatangan, baik sendiri maupun bersama-sama
secara bergilir. Suasana pertemuan benar-benar diwarnai seribu rasa yang berkecamuk
antara bahagia dan haru tanpa batas akhir. Ragam sikap dan ekspresi terlihat kentara
pada gerak tubuh dan raut wajah mereka ketika satu sama yang saling bertatap
muka lalu bergantian menyindir. Ada yang masih tercengang lalu saling memukul,
terdapat pula yang berpelukan, bahkan sebagian yang lain menebak-nebak sebelum
kemudian tertawa lepas atau hanya sekadar nyengir.
Segala macam
perasaan kian bertumpuk saat mobil taksi yang mengantarkan Khairul telah sampai
di depan gedung sekolahnya. Seusai menyelesaikan transaksi sopir mobil jasa
itu, Khairul mengeluarkan sebungkus alat hisap bernikotin dan sedetik kemudian
ia telah menikmatinya. Sejenak ia tertegun sesudah menatap wajah tak asing pada
zamannya, namun kini mulai tersamarkan oleh gilasan bulan dan tahun lamanya.
“Rul!”
“Ipul!”
Jabat erat,
saling berangkulan dan percakapan mereka berdua yang menenggelamkan alam
pikiran pada dunia masa silam, menjadikan sekelilingnya terlupakan. Sapa dan
teguran dari kawan lain yang terus bermunculan tak membuyarkan keasyikan mereka
berdua, sehingga percakapan itu harus disudahi karena perlu mengisi absen
kehadiran di pintu gerbang masuk halaman sekolah yang dijaga siswa-siswi yang
elegan.
Dekorasi tata
panggung yang begitu bergaya 97-an, serta aksesoris yang digunakan merupakan warna-warni
tatkala acara-acara masa sekolah dahulu menandakan peserta reuni akan diusung
kembali mengarungi sejarah usang dengan menembus lorong waktu reinkarnasi
psikologis. Terlebih, lagu-lagu yang diperdengarkan melalui sound system
telah benar-benar mewakili nyanyian kala itu dengan ragam bait, mulai dari yang
sadis sampai yang melankolis. Bagi sebagian alumni laki-laki kolaborasi Setiawan
Djodi, Iwan Fals dan Sawong Jabo membuat semangat “perlawanan terhadap
kemapanan dan status quo” seperti kala muda dulu seakan bangkit kembali, meski
zaman itu nada-nada “bongkar” menjadikan jengah kebanyakan kalangan gadis.
Memasuki ruang
acara, Khairul menghentikan langkahnya seraya terkesima memandang seseorang yang
berjilbab hitam. Bodi kurus dan wajah agak menua, memaksa Khairul harus membuka
lembar-lembar nostalgia sembari memutar ingatan siapa gerangan yang terkesan terjerembab
dalam nasib kelam. Tidak dapat dipungkiri sisa-sisa kecantikannya masih
membekas diwajahnya, meskipun garis keriput telah menutupi paras ayu yang
bersemayam. Kelihatan sekali kurus kering yang menimpa tubuhnya akibat sakit
yang dideritanya begitu mendalam.
“Ee … Pul, siapa
itu?” Khairul menunjuk perempuan di dekat jejeran kursi depan dengan menjauh
dari teman putri yang sedang berkumpul.
“Rul, Rul! Weleh,
dadi jutawan, mantan dilupakan…! Zainiyah, arek Suroboyo kidul.”
Bagai disambar
petir, Khairul tersentak mendengar jawaban teman dekatnya itu dengan ekspresi
termangu. Diam-diam Khairul memisahkan diri dari Saipul setelah sahabat asal
kota Tahu itu bercengkrama dengan teman-teman lainnya seakan tak terganggu.
Khairul sengaja mencari ketenangan dengan mencari tempat duduk menepi di
deretan pinggir kiri, agar diary yang sudah tercecer di antara
perjalanan waktu dapat dihimpun kembali tanpa belenggu.
***
Semenjak duduk
di kelas X Khairul sebetulnya sudah menaruh hati pada Zainiyah, tetapi karena
pihak madrasah dan asrama begitu ketat melakukan pengawasan terhadap pergaulan
putra-putri menjadikan kata kalbunya harus dikubur. Keberanian Khairul untuk mendekati
cewek yang memang banyak diburu banyak cowok itu tidak sebanding dengan
ketakutan dan ketaatan yang melebur. Khairul hanya bisa menikmati parasnya saat
ada kegiatan bersama untuk kemudian ia tanam dalam alam khayalannya dengan
sangat subur. Bayang-bayang wajahnya yang selalu mengiang di pelupuk mata
Khairul membuatnya semakin terjerumus dalam kubang lamunan panjang yang tak
pernah kabur.
Selama ini
sebagai teman curhat, cuma Saipul yang mampu menyediakan pundak untuk menyangga
segala macam keluhan Khairul dengan terbuka dan semangat yang tak tergoyah
apalagi kendur.
“Rul!” Suatu
saat suara Saipul menghentak telinga Khairul sehingga lamunan tentang seorang
Zainiyah dalam hening menjadi buyar. Segera saja Khairul menyambar dari tangannya
secarik kertas yang anyar.
“Kepada Mas Khairul di asrama agung. Mas Irul
semoga dalam rahmat-Nya yang menggunung. Nia sudah mendengar cerita Mas Ipul
tentang Mas Irul begitu lengkap dan tidak tanggung-tanggung. Kala Mas Ipul
mengungkapkan bahwa Mas Irul menyimpan sebuah perasaan, Nia merasa disanjung.
Bak gayung bersambut, Nia pun merasakan apa yang Mas rasakan, walaupun awalnya
bingung. Aku, Zainiyah tersanjung.”
Khairul menghela
nafas panjang, terdapat sinar cerah di raut wajahnya pertanda tumbuh berjuta-juta
noktah kebahagiaan. Sebab, selama ini perasaan itu terhimpit oleh kehampaan dan
ketidakmampuan.
***
Kembali
Khairul meradang setelah surat yang kesekian kali lama tak terbalaskan. Memang
selama ini saling berkirim surat selalu lancar, meskipun terkadang agak
tersendat beberapa pekan. Sebagai kurir dari hubungan keduanya, banyak alasan Saipul
kepadanya yang dikedepankan. Di antaranya, karena Nia sedang sakit, terdapat
Divisi Keamanan di jalan gang asrama putra-putri, sebab padat kegiatan, atau
malah terkadang tulisan itu disimpan di loker Saipul yang terlupakan. Hanya
saja, keterlambatan yang terjadi tidak sampai membuat Khairul resah yang
menyesakkan.
Tetapi
kali ini, sesuatu yang ditunggu-tunggu semakin tak terlacak, sementara
kegelisahan kian memuncak. Di tengah rasa jenuh dan putus asa akibat penantian
yang menyiksa, seringkali terlintas di benak Khairul apakah Nia sudah mengkhianati
“kesetiaan” yang diciptakan Yang Kuasa?
Ternyata
benar jargon banyak orang bahwa menunggu merupakan pekerjaan membosankan.
Tergeletak di kasur lusuh tak terelakkan. Buku dan refrensi hanya berupa tumpukan.
Kalori dan protein belum bisa menyehatkan. Khairul hanya melangkah di altar
kehampaan, kendati kepatuhan pada peraturan tetap dijalankan. Kalau bukan
karena restu orang tua yang selalu dijadikan jimat hidup, tentu depresi
mengangkang sulit dihindarkan.
***
Gunung
es yang membatu serasa telah mencair dan gairah hidup menghinggap ke sekujur
tubuh begitu deras mengalir, saat surat yang sudah sekian lama didamba telah
hadir.
“Mas Irul. Keterlambatan penyambung lidah ini
bukan disengaja, sebab sabda Tuhan memang tak mampu dieja. Tetapi, terhadap
segala keterkungkungan yang melingkupi Nia, Mas Irul pastilah pribadi yang
bersahaja. Kini, yang perlu Mas maklumi, Nia bagai telur di atas tanduk setelah
ayah memerintahkan Nia untuk tunduk pada petuah saja. Beliau telah memilih
seseorang yang statusnya sudah mapan di balik meja, ketimbang Mas Irul yang dinilai
sebagai perjaka lemah yang tak bisa bekerja. Nia, pada saat ini, hanya
menangisi bunga-bunga cinta akan layu sebelum semerbak, padahal Nia mengimpikan
ia berkembang terus hingga masa beranjak senja. Mas Irul! Nia meminta supaya
bongkahan tirani yang memisahkan kita dapat dibongkar, meski kita tahu hal itu
perkasa sekuat baja. Nia ingin mengetuk nurani semua orang; kenapa bayang Siti
Nurbaya harus hidup kembali seiring doktrin bahwa menolak titah tidak dipuja?
Aku, Zainiyah yang ingin dimanja.”
***
Ucap
salam MC menjadikan lamunan Khairul terhenti dan seketika ia tersenyum
mengingat kenangan tertinggal yang belum sepenuhnya mati.[]
0 komentar:
Post a Comment