[sumber] |
Oleh: Irham Thoriq
Munir, ini sebenarnya bukan surat untuk kamu, lebih tepatnya
hanya catatan dari seorang yang tidak pernah mengenalmu. Saat kamu dibunuh
sepuluh tahun silam, umur saya baru 14 tahun. Saya baru tahu sekelumit tentangmu
saat menginjak bangku kuliah.
Itu pun bukan dari mata kuliah, tapi dari sejumlah seminar
yang banyak membahas tentang kematianmu. Salah satu seminar yang saya hadiri
adalah yang diadakan oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, tempat
kamu berjuang dan mencari ilmu.
Saat seminar berlangsung, istrimu Suciwati hadir memberi
testimoni. Saya yang awam, melihat sendiri kejengkelan istrimu tentang
lambannya penegakan hukum terhadap orang-orang yang sudah menghabisi nyawamu.
Wajahnya memerah dan selalu menggebu-gebu saat disuruh membahas tentangmu. Saya
tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat itu, ditinggal oleh kamu
yang baru berumur 39 tahun.
Kini, kematianmu sudah sepuluh tahun, tapi bangsa ini yang
katanya negara hukum belum juga bisa mengusut pembunuhmu hingga tuntas. Dua
tahun lalu, setelah sewindu kematianmu, beberapa tokoh datang dan berkumpul di
Batu, tempat kamu dilahirkan.
Para Budayawan, sastrawan, dan sejumlah tokoh nasional
lainnya hadir mengenangmu. Tokoh-tokoh itu di antaranya Butet Kartaredjasa,
Goenawan Mohammad, AS Laksana, Usman Hamid, Sitok Srengenge, dan sejumlah tokoh
lain.
Mereka menyerukan satu hal yang sama: ’Menolak Lupa’. Di
sejumlah sudut kota, kata itu bertebaran, juga di kaus-kaus yang bergambar
wajahmu. Munir, dua kata itu seolah menegaskan kalau kamu sudah dilupakan oleh
para penegak hukum yang memang kelakuannya sering tidak masuk akal.
Mungkin karena inilah, Munir, semasa hidup kamu memilih
berjuang soal hukum, soal Hak Asasi Manusia (HAM). Munir, bukan hanya dulu
tingkah penegak hukum yang kerap tak masuk akal itu, saat ini, ketika
kematianmu sudah berlalu sepuluh tahun, semuanya masih tetap sama. Buktinya,
kasus pembunuhanmu yang kata orang hukum amat sederhana itu, tidak bisa mereka
usut hingga tuntas.
Kamu tahu, Munir, akhir tahun lalu, rumahmu di Batu sudah
dijadikan museum bernama Omah Munir, museum itu berisi tentangmu. Berulang kali
Suciwati menegaskan, kalau museum itu bukan untuk mengultuskanmu. Kita semua
yakin, kamu tidak lagi perlu dikultuskan.
Dari Omah Munir yang ukurannyaa tidak terlalu besar itu,
para pendiri ingin menjadikan museum tersebut sebagai tempat perjuangan dan
mengingat-ingat tentang Hak Asasi Manusia. Di negeri ini, tidak hanya kamu,
Munir, yang nyawanya hilang karena kezaliman. Kamu dan mereka yang terbunuh itu,
seolah jadi bukti kalau Kebenaran dan akal sehat kerap kali kalah dengan
kekuasan yang congkak.
Oiya, Munir, sebelum saya menutup tulisan pendek ini, apakah
kamu di sana yang tenang masih ingat kepada kedua anakmu: Sultan Alif Allende
dan Ifa Yuuki. Dua tahun lalu, teman saya mewawancarainya. Saya yang membaca
tulisannya trenyuh karena mereka begitu bangga punya bapak sepertimu.
Kepada teman saya itu, anak kamu, Alif, mengatakan kalau dia
bercita-cita ingin menjadi videografer. Dia ingin menyusun dan membuat banyak
film. Yang membanggakan, Munir, dia ingin membuat film tentang Hak Asasi
Manusia, tiga kata yang selalu kamu perjuangkan saat masih hidup.
Apa yang disebut Alif itu mungkin pernyataan yang tulus dari
hatinya. Dari seorang anak yang ditinggal mati bapaknya saat dia masih sangat
kecil. Dia mengatakan, melalui film, dia ingin memperjuangkan apa yang pernah
kamu perjuangkan.
Saya berharap, kamu merestui niat tulus anakmu itu, Munir.
Kita semua berharap, kamu tidak menghalang-halangi anakmu untuk memperjuangkan
apa yang sudah kamu lakukan. Saya yakin, karena kebenaran, kamu tidak kapok
menjadi pejuang Hak Asasi Manusia, meskipun akhirnya kamu dibunuh.
Biarkan anak-anakmu mengikuti jejak langkahmu, Munir. Kamu
tahu, di dunia yang culas ini, kita masih memerlukan banyak pejuang hukum
seperti dirimu. Jika tidak, kita takut hukum yang mulia ini malah akan
dijadikan cara untuk melegalkan kejahatan.
Munir, beberapa bulan ke depan, kita akan punya Presiden
baru. Joko Widodo namanya. Kamu kenalkah dengan dia, Munir? Orang banyak
menyebutnya Jokowi. Semoga saja, meskipun kamu tidak mengenalnya atau Jokowi
tidak pernah mengenalmu, dia bisa mengusut kematianmu. Kita semua tidak
ingin, Munir, orang benar selalu mati terbunuh di negeri ini. Munir, sepuluh
tahun ini tidak ada yang sia-sia. []
0 komentar:
Post a Comment