Oleh:Ghufron AM
Hukum Tata Negara merupakan sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, Hukum Tata Negara membahas struktur organisasi negara dan hubungan struktur negara dengan warga negaranya. Seperti halnya yang dikatakan Vanderpot, Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing masing, hubungan satu dengan yang lainnya dan hubungannya dengan individu-individu.
Telah lama diasumsikan untuk mencapai sistem pemerintahan yang stabil, tidak hanya bersandar pada kontruksi politik dan hukum semata, perlu berpijak pada orientasi politik, sikap dan tujuan masyarakat sipil yang terpadu dan kuat. Dalam sebuah tesisnya, Francis Fukuyama mengatakan, diterimanya konsep demokrasi secara universal di penjuru dunia dikarenakan masyarakat dan warga negaranya memiliki orientasi politik yang jelas dan nyata secara bersama-sama.
Setelah bergulirnya Reformasi 1998, merupakan waktu yang tepat (golden moment) dan waktu paling memungkinkan untuk mengembalikan situasi nasional dan mengabulkan tuntutan rakyat Indonesia saat itu. Cara yang tepat dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mengubah dan mengamandemen UUD 1945, termasuk tentang penyelenggaraan negara di dalamnya. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga negara, serta mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara, dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi masing-masing.
MK, Amanah UUD 45
Amandemen UUD 1945 merupakan terobosan baru dalam sistem ketatanegaraan yang lebih baik. Termasuk amanat dari perubahan UUD 45 sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara adalah amanat membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003 silam. Sebuah lembaga yudikatif yang memiliki peranan yang luar biasa, tidak sekadar menjaga konstitusi. Lebih dari itu, lembaga yang dihuni sembilan Hakim Konstitusi ini mewakili 237 juta masyarakat Indonesia yang berhak, boleh, dan berwenang menafsiri dari apa yang dikehendaki oleh UUD tersebut. Sehingga Prof. Satjipto Raharjo mengatakan, lidah kesembilan hakim tersebut mengeluarkan api, karena sekali memutuskan seluruh rakyat Indonesia harus diam, patuh, tidak boleh protes, banding, tidak ada jalan untuk melawan. Di atas MK hanya ada langit. MK merupakan lembaga pemutus pertama dan terakhir.
Melihat UUD tidak hanya sebagai konstitusi melainkan yang oleh Hans Nawiasky disebut sebagai “staatsfundementalnorm”, merupakan fundamen dari ribuan undang-undang yang telah dihasilkan oleh para ligislator. Artinya, kesemua undang-undang harus dapat diuji (judicial review) dengan UUD apakah sesuai dengan konstitusi atau inkonstitusional, dan yang berhak menguji secara kelembagaan adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Kesembilan Hakim Konstitusi harus seorang ahli hukum dan hal ini merupakan syarat mutlak. Padahal di dalam UUD tidak hanya terkandung soal tatanan hukum saja, terdapat kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Bahasa UUD bukanlah bahasa biasa yang seperti bahasa peraturan pada umumnya. Bahasa UUD adalah bahasa moral, sebagaimana dikatakan Ronald Dworkin, membaca UUD perlu keseriusan dan bersungguh-sungguh (taking law seriously) karena bahasa UUD adalah pesan moral yang terdapat di dalamnya (the moral reading of the constitution).
Negara demokrasi seperti Indonesia perlu adanya kepastian hukum, dan UUD merupakan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum diorientasikan pada segala tindakan. Regulasi negara disandarkan pada hukum yang berlaku dan atas kepentingan segenap tumpah darah demi terwujudnya kesejahteraan, keadilan, dan persamaan di depan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 45 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, wajib melindungi hak konstitusi warga negaranya secara berkeadilan. Meskipun istilah dari negara hukum masih menjadi diskursus di kalangan akademik, negara hukum yang dimaksud apakah dalam arti “rechtsstaat” atau dalam arti “rule of law”, namun pada dasarnya konsep rechtsstaat maupun rule of law sama-sama bertumpu pada perlindungan terhadap hak asasi manusia. Yang membedakan hanya terletak pada operasionalisasi atas substansi yang sama. Biasanya konsep Rechsstaat ini berkembang di negara Eropa Daratan yang sistem hukumnya Kontinental dan sifat hukumnya bersifat administratif dan tertulis (civil law). Sedangkan Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Common Law yang sifatnya tidak tertulis lebih mengedepankan pada judicia dan berkembang di negara-negara Anglo-Saxon.
Siapa Yang mengawasi MK?
MK diberikan amanat oleh UUD untuk menjaga konstitusi dengan memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Dengan seiringnya waktu, putusan dan penyelesaian perkara oleh MK, khususnya mengenai sengketa pilkada dari berbagai daerah, acapkali kontra produktif dan cenderung membingungkan (inkonsisten) menurut beberapa ahli, belum lagi polemik yang terjadi di internal MK sendiri. Oleh sebab itu, dari sinilah timbul sebuah pertanyaan, siapa yang berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi (MK)? Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang mengawasi kehakiman, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 18 tahun 2011. Namun UU tersebut tidak berlaku pada pada Hakim Konstitusi, dikarenakan mengacu pada Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian UU KY dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) terhadap UUD 1945, di mana putusan tersebut menyebutkan Hakim Konstitusi bukanlah Hakim profesi, berbeda dengan Hakim biasa. Lantas bagaimana jika tidak ada pengawasan pada Hakim Konstitusi atau lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mewujudkan asas check and balances, mengingat lembaga tersebut memiliki kedudukan dan wewenang yang begitu strategis dalam sistem ketatanegaraan di republik ini? Mahkamah konstitusi (MK) memilik 4 kewenangan dan 1 kewajiban, semisal penyelesaian perkara sengketa kewenangan sesama lembaga negara, Pilpres, Pilkada dan putusan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR.
Jika wewenang dalam pengawasan Mahkamah Konstitusi mengacu pada Peraturan MK No. 02 tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi, dan Pasal 3 Peraturan MK No. 02 tahun 2013 yang mempunyai wewenang mengawasi Hakim Konstitusi, maka perlu adanya telaah ulang. Peraturan tersebut dibuat oleh MK untuk Hakim Konstitusi itu sendiri. Artinya secara tidak langsung MK mengawasi dirinya sendiri, padahal seharusnya ada lembaga dan/atau dewan di luar MK yang bukan menjadi bagian dari MK itu sendiri, yang mempunyai wewenang mengawasi MK untuk menjaga independensinya dalam memutuskan perkara yang bertentangan dengan Konstitusi Negara tercinta ini. Dalam kasus terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pengujian persoalan perkaran tentang UU tentang dirinya sendiri (UU yang mengatur tentang MK).
Sudah tiga kali MK menguji terkait dirinya sendiri. Pertama, MK membatalkan ketentuan mengenai pengawasan dalam UU Komisi Yudisial dengan putusan no. 005/PUU-IV/2006. Kedua, pembatalan Majlis Kehormatan MK dalam UU No. 8 tahun 2011. Ketiga, pembatalan pengujian UU No. 1 tahun 2014. Jika didasarkan pada asas hukum nemo judex idoneus in propria causa (tak seorangpun boleh menjadi hakim perkaranya sendiri) maka pertanyaannya adalah bisakah produk hukum MK mengawasi Hakim Konstitusi itu sendiri? Dengan demikian, putusan yang dilakukan MK tidak mencerminkan adanya check and balance sebagaimana cita-cita berdirinya lembaga-lembaga pemerintahan pasca reformasi. MK justru menjadi sebaliknya, lembaga kehakiman yang kuat “super body” dan tak dapat tersentuh oleh lembaga yang lain kekuasaannya.
Masih teringat dengan kasus Akil Muchtar, ketua Mahkamah Konstitusi yang terlibat dalam sejumlah kasus suap pilkada beberapa bulan yang lalu. Akibat kasus tersebut, dari berbagai kalangan gencar desakan agar ada pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan tanparan telak bagi lembaga kehakiman yang terhormat ini, dan menunjukkan minimnya pengawasan hakim konstitusi hingga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana. Seorang legendaris Hakim Agung, Oliver Wendell Holmes, mengatakan: “janganlah memercayai hukum sebagai bangunan logis, sebab ia banyak dibelokkan dan dipatahkan oleh perilaku berhukum manusia”. Sukma hukum akan pudar jika perilaku berhukum tidak mencerminkan hukum itu sendiri, hukum hanyalah serangkaian kaidah dan asas yang terbahasakan jika hanya dilihat sebagai kerangka keadilan prosedural. Hukum akan hidup dan hadir dalam kehidupan (living law) jika penegak dan perilaku berhukum tidak mengabaikan substansi yang digali dari aspek filosofis, normatif-yuridis, sosiologis, dan lain-lain. Di sinilah perlunya penegakan dan perilaku hukum progresif. Penegakan dan perilaku yang bertumpu pada keadilan substansial, tentu tidak mengabaikan keadilan prosedural.
Tidak berhenti di situ, untuk mewujudkan negara hukum yang bekeadilan, dibutuhkan sistem hukum atau tatanan hukum yang oleh Lawrence M. Fridmen harus mencakup tiga aspek. Pertama, Legal Substance, yakni penegakan hukum hendaknya mengedepankan substansi dari apa yang diputuskan yang terdiri atas keseluruhan aturan-aturan, kaidah, dan asas hukum yang tertata dalam suatu sistem yang relatif utuh. Kedua, Legal Structure, yakni dalam unsur operasionalnya hukum bisa berjalan dengan baik jika adanya aparat, lembaga, dan pejabat baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang menjalankan hukum dengan baik dan berintegritas. Ketiga, Legal Culture, yakni bentuk aktualisasi keseluruhan tindakan dan putusan baik pejabat maupun warga masyarakatnya yang mencerminkan kesadaran untuk berbudaya hukum.
Dengan demikian kita bisa memercayai dan terjamin karena adanya hukum dan lembaga hukum yang melindungi, sehingga tidak ada lagi kecurigaan terhadap lembaga hukum yang disalahgunakan karena minimnya pengawasan. Baru dengan begitu, selanjutnya kita akan bisa berbicara tentang negara modern yang berdaulat secara hukum.
Hukum Tata Negara merupakan sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, Hukum Tata Negara membahas struktur organisasi negara dan hubungan struktur negara dengan warga negaranya. Seperti halnya yang dikatakan Vanderpot, Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing masing, hubungan satu dengan yang lainnya dan hubungannya dengan individu-individu.
Telah lama diasumsikan untuk mencapai sistem pemerintahan yang stabil, tidak hanya bersandar pada kontruksi politik dan hukum semata, perlu berpijak pada orientasi politik, sikap dan tujuan masyarakat sipil yang terpadu dan kuat. Dalam sebuah tesisnya, Francis Fukuyama mengatakan, diterimanya konsep demokrasi secara universal di penjuru dunia dikarenakan masyarakat dan warga negaranya memiliki orientasi politik yang jelas dan nyata secara bersama-sama.
Setelah bergulirnya Reformasi 1998, merupakan waktu yang tepat (golden moment) dan waktu paling memungkinkan untuk mengembalikan situasi nasional dan mengabulkan tuntutan rakyat Indonesia saat itu. Cara yang tepat dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mengubah dan mengamandemen UUD 1945, termasuk tentang penyelenggaraan negara di dalamnya. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga negara, serta mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara, dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi masing-masing.
MK, Amanah UUD 45
Amandemen UUD 1945 merupakan terobosan baru dalam sistem ketatanegaraan yang lebih baik. Termasuk amanat dari perubahan UUD 45 sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara adalah amanat membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003 silam. Sebuah lembaga yudikatif yang memiliki peranan yang luar biasa, tidak sekadar menjaga konstitusi. Lebih dari itu, lembaga yang dihuni sembilan Hakim Konstitusi ini mewakili 237 juta masyarakat Indonesia yang berhak, boleh, dan berwenang menafsiri dari apa yang dikehendaki oleh UUD tersebut. Sehingga Prof. Satjipto Raharjo mengatakan, lidah kesembilan hakim tersebut mengeluarkan api, karena sekali memutuskan seluruh rakyat Indonesia harus diam, patuh, tidak boleh protes, banding, tidak ada jalan untuk melawan. Di atas MK hanya ada langit. MK merupakan lembaga pemutus pertama dan terakhir.
Melihat UUD tidak hanya sebagai konstitusi melainkan yang oleh Hans Nawiasky disebut sebagai “staatsfundementalnorm”, merupakan fundamen dari ribuan undang-undang yang telah dihasilkan oleh para ligislator. Artinya, kesemua undang-undang harus dapat diuji (judicial review) dengan UUD apakah sesuai dengan konstitusi atau inkonstitusional, dan yang berhak menguji secara kelembagaan adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Kesembilan Hakim Konstitusi harus seorang ahli hukum dan hal ini merupakan syarat mutlak. Padahal di dalam UUD tidak hanya terkandung soal tatanan hukum saja, terdapat kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Bahasa UUD bukanlah bahasa biasa yang seperti bahasa peraturan pada umumnya. Bahasa UUD adalah bahasa moral, sebagaimana dikatakan Ronald Dworkin, membaca UUD perlu keseriusan dan bersungguh-sungguh (taking law seriously) karena bahasa UUD adalah pesan moral yang terdapat di dalamnya (the moral reading of the constitution).
Negara demokrasi seperti Indonesia perlu adanya kepastian hukum, dan UUD merupakan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum diorientasikan pada segala tindakan. Regulasi negara disandarkan pada hukum yang berlaku dan atas kepentingan segenap tumpah darah demi terwujudnya kesejahteraan, keadilan, dan persamaan di depan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 45 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, wajib melindungi hak konstitusi warga negaranya secara berkeadilan. Meskipun istilah dari negara hukum masih menjadi diskursus di kalangan akademik, negara hukum yang dimaksud apakah dalam arti “rechtsstaat” atau dalam arti “rule of law”, namun pada dasarnya konsep rechtsstaat maupun rule of law sama-sama bertumpu pada perlindungan terhadap hak asasi manusia. Yang membedakan hanya terletak pada operasionalisasi atas substansi yang sama. Biasanya konsep Rechsstaat ini berkembang di negara Eropa Daratan yang sistem hukumnya Kontinental dan sifat hukumnya bersifat administratif dan tertulis (civil law). Sedangkan Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Common Law yang sifatnya tidak tertulis lebih mengedepankan pada judicia dan berkembang di negara-negara Anglo-Saxon.
Siapa Yang mengawasi MK?
MK diberikan amanat oleh UUD untuk menjaga konstitusi dengan memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Dengan seiringnya waktu, putusan dan penyelesaian perkara oleh MK, khususnya mengenai sengketa pilkada dari berbagai daerah, acapkali kontra produktif dan cenderung membingungkan (inkonsisten) menurut beberapa ahli, belum lagi polemik yang terjadi di internal MK sendiri. Oleh sebab itu, dari sinilah timbul sebuah pertanyaan, siapa yang berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi (MK)? Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang mengawasi kehakiman, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 18 tahun 2011. Namun UU tersebut tidak berlaku pada pada Hakim Konstitusi, dikarenakan mengacu pada Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian UU KY dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) terhadap UUD 1945, di mana putusan tersebut menyebutkan Hakim Konstitusi bukanlah Hakim profesi, berbeda dengan Hakim biasa. Lantas bagaimana jika tidak ada pengawasan pada Hakim Konstitusi atau lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mewujudkan asas check and balances, mengingat lembaga tersebut memiliki kedudukan dan wewenang yang begitu strategis dalam sistem ketatanegaraan di republik ini? Mahkamah konstitusi (MK) memilik 4 kewenangan dan 1 kewajiban, semisal penyelesaian perkara sengketa kewenangan sesama lembaga negara, Pilpres, Pilkada dan putusan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR.
Jika wewenang dalam pengawasan Mahkamah Konstitusi mengacu pada Peraturan MK No. 02 tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi, dan Pasal 3 Peraturan MK No. 02 tahun 2013 yang mempunyai wewenang mengawasi Hakim Konstitusi, maka perlu adanya telaah ulang. Peraturan tersebut dibuat oleh MK untuk Hakim Konstitusi itu sendiri. Artinya secara tidak langsung MK mengawasi dirinya sendiri, padahal seharusnya ada lembaga dan/atau dewan di luar MK yang bukan menjadi bagian dari MK itu sendiri, yang mempunyai wewenang mengawasi MK untuk menjaga independensinya dalam memutuskan perkara yang bertentangan dengan Konstitusi Negara tercinta ini. Dalam kasus terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pengujian persoalan perkaran tentang UU tentang dirinya sendiri (UU yang mengatur tentang MK).
Sudah tiga kali MK menguji terkait dirinya sendiri. Pertama, MK membatalkan ketentuan mengenai pengawasan dalam UU Komisi Yudisial dengan putusan no. 005/PUU-IV/2006. Kedua, pembatalan Majlis Kehormatan MK dalam UU No. 8 tahun 2011. Ketiga, pembatalan pengujian UU No. 1 tahun 2014. Jika didasarkan pada asas hukum nemo judex idoneus in propria causa (tak seorangpun boleh menjadi hakim perkaranya sendiri) maka pertanyaannya adalah bisakah produk hukum MK mengawasi Hakim Konstitusi itu sendiri? Dengan demikian, putusan yang dilakukan MK tidak mencerminkan adanya check and balance sebagaimana cita-cita berdirinya lembaga-lembaga pemerintahan pasca reformasi. MK justru menjadi sebaliknya, lembaga kehakiman yang kuat “super body” dan tak dapat tersentuh oleh lembaga yang lain kekuasaannya.
Masih teringat dengan kasus Akil Muchtar, ketua Mahkamah Konstitusi yang terlibat dalam sejumlah kasus suap pilkada beberapa bulan yang lalu. Akibat kasus tersebut, dari berbagai kalangan gencar desakan agar ada pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan tanparan telak bagi lembaga kehakiman yang terhormat ini, dan menunjukkan minimnya pengawasan hakim konstitusi hingga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana. Seorang legendaris Hakim Agung, Oliver Wendell Holmes, mengatakan: “janganlah memercayai hukum sebagai bangunan logis, sebab ia banyak dibelokkan dan dipatahkan oleh perilaku berhukum manusia”. Sukma hukum akan pudar jika perilaku berhukum tidak mencerminkan hukum itu sendiri, hukum hanyalah serangkaian kaidah dan asas yang terbahasakan jika hanya dilihat sebagai kerangka keadilan prosedural. Hukum akan hidup dan hadir dalam kehidupan (living law) jika penegak dan perilaku berhukum tidak mengabaikan substansi yang digali dari aspek filosofis, normatif-yuridis, sosiologis, dan lain-lain. Di sinilah perlunya penegakan dan perilaku hukum progresif. Penegakan dan perilaku yang bertumpu pada keadilan substansial, tentu tidak mengabaikan keadilan prosedural.
Tidak berhenti di situ, untuk mewujudkan negara hukum yang bekeadilan, dibutuhkan sistem hukum atau tatanan hukum yang oleh Lawrence M. Fridmen harus mencakup tiga aspek. Pertama, Legal Substance, yakni penegakan hukum hendaknya mengedepankan substansi dari apa yang diputuskan yang terdiri atas keseluruhan aturan-aturan, kaidah, dan asas hukum yang tertata dalam suatu sistem yang relatif utuh. Kedua, Legal Structure, yakni dalam unsur operasionalnya hukum bisa berjalan dengan baik jika adanya aparat, lembaga, dan pejabat baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang menjalankan hukum dengan baik dan berintegritas. Ketiga, Legal Culture, yakni bentuk aktualisasi keseluruhan tindakan dan putusan baik pejabat maupun warga masyarakatnya yang mencerminkan kesadaran untuk berbudaya hukum.
Dengan demikian kita bisa memercayai dan terjamin karena adanya hukum dan lembaga hukum yang melindungi, sehingga tidak ada lagi kecurigaan terhadap lembaga hukum yang disalahgunakan karena minimnya pengawasan. Baru dengan begitu, selanjutnya kita akan bisa berbicara tentang negara modern yang berdaulat secara hukum.
Penulis
adalah Santri RU 1
dan Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Tata Negara
Fak. Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Terima kasih
ReplyDeleteDengan senang hati, Linda....
Delete