Oleh: Irham Thoriq
Apa kesamaan antara Muktamar Nahdlatul Ulama’ (NU) Agustus lalu
dengan kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang membuat kita gaduh baru-baru
ini. Sebelum menjawab, saya ingin
melontarkan pertanyaan susulan kepada diri saya sendiri; Lalu kenapa kita menyamakan
keduanya..?. Bukankah keduanya tidak satu rumpun ideologis.
Membandingkan NU memang lebih tepat membandingkannya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang merupakan kawan sekaligus lawan HMI di Kampus. Kita tahu, PMII ketika lahir 1960 silam berada dalam rahim NU. Baru sejak 1972, PMII mendeklrasikan dirinya Independen.
Sedangkan HMI dalam sejarahnya tidak pernah berkaitan dengan NU. Meskipun, banyak alumni HMI yang berkarir di NU seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Wakil Gubenur Jawa Timur Syaifullah Yusuf. Singkatnya, HMI dan PMII sama-sama menjadi organisasi yang menyuplai tokoh NU.
Lalu ada apa dengan kongres HMI dan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU). Yang saya lihat dipermukaan adalah kegaduhannya. Pada muktamar NU, di handphone saya masih tersimpan rekaman pidato KH Mustofa Bisri yang sedih karena kongres NU gaduh. Terlebih, ada sebuah koran yang memberi judul beritanya di halaman depan seperti ini: Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh.
Saya yang membaca berita itu juga terenyuh. Kenapa mereka membandingkan dua organisasi yang berbeda itu dalam satu berita. Bukankah itu hanya menyulut api asmara, eh api pertikaian maksud saya.
Tetapi, di kongres HMI kegaduhannya tidak membuat kita terenyuh, justru menjadi olok-olok di media sosial. Mungkin karena kegaduhannya berurusan dengan nasi bungkus yang tidak dibayar, memblokade jalan, membakar ban, sampai menggunakan APBD Provinsi Riau Rp.3 Miliar.
Jika dirunut kebelakang dari serangkaian pristiwa itu, kegaduhan dalam kongres HMI ini sebenarnya disebabkan satu hal yakni banyaknya rombongan liar atau romli dalam kongres tersebut. Kau tahu, dalam kongres atau muktamar organisasi massa, rombangan liar selalu saja datang. Dan celakanya, mereka lebih banyak menyusahkan panitia.
Melacak rombongan liar ini sangatlah mudah. Biasanya mereka bergerombol, tidak mempunyai hak memilih dan bicara dalam kongres. Mereka juga hanya bermodal nekat. Sederhananya, rombongan liar ini seperti para sekawanan pemuda jomblo yang memilih mengganggu temannya ketika sedang malam mingguan. Sekawanan itu, menggangu dengan pura-pura batuk ketika sepasang kekasih mulai berpegangan tangan, atau mengajak mengerjakan tugas kuliah ketika temannya sedang asyik-asyiknya pacaran. Tindakan seperti itu tentu tidak elok, bukan..?
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama’ juga banyak rombongan liar. Jumlahnya mencapai puluhan ribu, satu diantaranya saya. Ketika itu, ditengah temaram lampu Alun-Alun Jombang, saya melihat pemilihan Ketua Umum NU dari layar berkuran jumbo. Seorang teman, juga bermodal nekat pergi ke Jombang. Dia mengandalkan makanan nasi bungkus yang disebar panitia saban hari.
Tapi, ‘perburuan’ teman saya itu tidak membuat gaduh. Sedangkan, tragedi nasi bungkus HMI membuat gaduh umat sejagat raya. Penyebabnya, karena 21 bus rombongan memakan kesebuah warung, lalu kabur. Pemilik warungpun mengeluh kepada wartawan.
Namun, ditengah kegaduhan kongres HMI itu, kita mendapatkan oase dari pernyataan Ketua Umum HMI Arief Rosyid Hasan. Dalam siaran pers-nya, dia meminta maaf kepada Pemerintah Riau, Masyarakat Indonesia dan umat muslim atas rentetan pristiwa yang mengecewakan itu. Tentu saja, ini pernyataan dari seorang pemimpin sejati yang mengakui kesalahan anak buahnya. Kita tahu, pemimpin yang bersikap seperti pecundang biasanya memilih cari aman dan cuci tangan.
Ketua Bidang Media Kongres Dhimam Tenrisau juga mengatakan kalau pembelokiran jalan dan pembakaran ban dilakukan oleh pengembira kongres. Dalam istilah saya, pengembira kongres adalah rombongan liar (romli). Menurut dia, rombongan pengembira ini datang dan tidak dijamu apapun oleh panitia.
Dari pernyataan inilah tentu kita patut haru. Para kader HMI itu rela jauh-jauh datang ke Pekanbaru, Riau hanya ingin menyaksikan kongres. Para romli itu akan sulit kita temukan pada kongres Partai Politik. Lantaran, pada partai politik, keanggotaannya lebih banyak lima tahunan.
Orang tiba-tiba berpartai politik ketika sudah mendapatkan uang pada detik-detik menjelang pemilu. Para politikus berprilaku seperti jomblo yang memuaskan nafsunya dengan membeli Pekerja Seks Komersial (PSK). Habis dipakai, mereka membayar, lalu ditingalkan. Ah, merana sekali nasib para pemilih partai politik itu.
Dari tragedi nasi bungkus kawan-kawan HMI itulah seharusnya partai politik bercermin. Bahwa, di dunia yang fana ini masih banyak ‘pejuang’ yang tidak takut mati tapi takut lapar.[]
Membandingkan NU memang lebih tepat membandingkannya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang merupakan kawan sekaligus lawan HMI di Kampus. Kita tahu, PMII ketika lahir 1960 silam berada dalam rahim NU. Baru sejak 1972, PMII mendeklrasikan dirinya Independen.
Sedangkan HMI dalam sejarahnya tidak pernah berkaitan dengan NU. Meskipun, banyak alumni HMI yang berkarir di NU seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Wakil Gubenur Jawa Timur Syaifullah Yusuf. Singkatnya, HMI dan PMII sama-sama menjadi organisasi yang menyuplai tokoh NU.
Lalu ada apa dengan kongres HMI dan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU). Yang saya lihat dipermukaan adalah kegaduhannya. Pada muktamar NU, di handphone saya masih tersimpan rekaman pidato KH Mustofa Bisri yang sedih karena kongres NU gaduh. Terlebih, ada sebuah koran yang memberi judul beritanya di halaman depan seperti ini: Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh.
Saya yang membaca berita itu juga terenyuh. Kenapa mereka membandingkan dua organisasi yang berbeda itu dalam satu berita. Bukankah itu hanya menyulut api asmara, eh api pertikaian maksud saya.
Tetapi, di kongres HMI kegaduhannya tidak membuat kita terenyuh, justru menjadi olok-olok di media sosial. Mungkin karena kegaduhannya berurusan dengan nasi bungkus yang tidak dibayar, memblokade jalan, membakar ban, sampai menggunakan APBD Provinsi Riau Rp.3 Miliar.
Jika dirunut kebelakang dari serangkaian pristiwa itu, kegaduhan dalam kongres HMI ini sebenarnya disebabkan satu hal yakni banyaknya rombongan liar atau romli dalam kongres tersebut. Kau tahu, dalam kongres atau muktamar organisasi massa, rombangan liar selalu saja datang. Dan celakanya, mereka lebih banyak menyusahkan panitia.
Melacak rombongan liar ini sangatlah mudah. Biasanya mereka bergerombol, tidak mempunyai hak memilih dan bicara dalam kongres. Mereka juga hanya bermodal nekat. Sederhananya, rombongan liar ini seperti para sekawanan pemuda jomblo yang memilih mengganggu temannya ketika sedang malam mingguan. Sekawanan itu, menggangu dengan pura-pura batuk ketika sepasang kekasih mulai berpegangan tangan, atau mengajak mengerjakan tugas kuliah ketika temannya sedang asyik-asyiknya pacaran. Tindakan seperti itu tentu tidak elok, bukan..?
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama’ juga banyak rombongan liar. Jumlahnya mencapai puluhan ribu, satu diantaranya saya. Ketika itu, ditengah temaram lampu Alun-Alun Jombang, saya melihat pemilihan Ketua Umum NU dari layar berkuran jumbo. Seorang teman, juga bermodal nekat pergi ke Jombang. Dia mengandalkan makanan nasi bungkus yang disebar panitia saban hari.
Tapi, ‘perburuan’ teman saya itu tidak membuat gaduh. Sedangkan, tragedi nasi bungkus HMI membuat gaduh umat sejagat raya. Penyebabnya, karena 21 bus rombongan memakan kesebuah warung, lalu kabur. Pemilik warungpun mengeluh kepada wartawan.
Namun, ditengah kegaduhan kongres HMI itu, kita mendapatkan oase dari pernyataan Ketua Umum HMI Arief Rosyid Hasan. Dalam siaran pers-nya, dia meminta maaf kepada Pemerintah Riau, Masyarakat Indonesia dan umat muslim atas rentetan pristiwa yang mengecewakan itu. Tentu saja, ini pernyataan dari seorang pemimpin sejati yang mengakui kesalahan anak buahnya. Kita tahu, pemimpin yang bersikap seperti pecundang biasanya memilih cari aman dan cuci tangan.
Ketua Bidang Media Kongres Dhimam Tenrisau juga mengatakan kalau pembelokiran jalan dan pembakaran ban dilakukan oleh pengembira kongres. Dalam istilah saya, pengembira kongres adalah rombongan liar (romli). Menurut dia, rombongan pengembira ini datang dan tidak dijamu apapun oleh panitia.
Dari pernyataan inilah tentu kita patut haru. Para kader HMI itu rela jauh-jauh datang ke Pekanbaru, Riau hanya ingin menyaksikan kongres. Para romli itu akan sulit kita temukan pada kongres Partai Politik. Lantaran, pada partai politik, keanggotaannya lebih banyak lima tahunan.
Orang tiba-tiba berpartai politik ketika sudah mendapatkan uang pada detik-detik menjelang pemilu. Para politikus berprilaku seperti jomblo yang memuaskan nafsunya dengan membeli Pekerja Seks Komersial (PSK). Habis dipakai, mereka membayar, lalu ditingalkan. Ah, merana sekali nasib para pemilih partai politik itu.
Dari tragedi nasi bungkus kawan-kawan HMI itulah seharusnya partai politik bercermin. Bahwa, di dunia yang fana ini masih banyak ‘pejuang’ yang tidak takut mati tapi takut lapar.[]
sumber gambar: di sini.
0 komentar:
Post a Comment