Oleh: Muhammad Madarik
Sosok yang sudah terlihat garis-garis di wajahnya, pertanda usia
tak lagi muda. Tetapi gerak dalam setiap kegiatannya tatap enerjik, seakan
ketuaan tak menjadi penghalang baginya untuk terus bersemangat dalam hidup ini.
Abah, begitulah ia dipanggil oleh keluarga, tetangga dan
masyarakat. Sebagai seorang yang ahli di dalam bidang supranatural, tamu yang
datang ke rumah Abah memang nyaris tiada henti. Mulai dari pagi hari sampai
larut malam. Tetapi jika Anda ingin bertamu ke Abah di rumahnya, maka sebaiknya
waktu siang atau sore hari. Sebab, bila Anda datang di sekitar saat-saat
matahari terbit, bersiaplah untuk menunggunya. Jam yang paling memuaskan ketika
ingin bertemu dengannya adalah malam hari. Seberapapun Anda berbincang, Abah
akan siap meladeni Anda sekalipun sampai suntuk.
Kebetulan saat saya bertamu, orang-orang yang berada di rumah Abah
mulai memohon izin satu per satu. Hanya beberapa orang yang sudah saya kenal
masih menemani Abah. "Gus, mari masuk!" Seru Abah setelah saya
mengucapkan salam di luar daun pintu seperti biasa. Saya duduk di pinggir kiri
sebelah Abah, setelah sebelumnya saya menyalami seluruhnya.
"Wah, lama enggak ke sini, Gus?" Tanya Abah. Sejak awal
Abah memang memanggil saya dengan sebutan "Gus”.
"Ini Gus, Tamim tanya soal kenapa kehidupan makhluk hidup,
termasuk manusia, masih dibatasi dengan kematian." Cerita Abah tentang
obrolan dengan para "murid-murid setia”-nya sejak sebelum saya datang.
Setiap malam rumah Abah tidak pernah sepi, dan "murid-murid" ini yang
selalu menghidupkan malam di rumah Abah, kendati Abah serta Umik sedang keluar.
"Nah, kematian yang dialami setiap makhluk, dan utamanya
manusia, hanyalah merupakan 'tanda koma' dalam susunan kata-kata. Terdapat
kehidupan hakiki di balik kematian. Jadi, jika diurut selain kehidupan ruh,
hidup kita, secara garis besar cuma ada dua, yaitu alam dunia dan
akhirat." Imbuh Abah memberi wejangan.
Bagi saya, topik yang dibicarakan Abah cukup menarik, meskipun saya
harus mengerutkan dahi untuk mengejar pengertian dari kata-kata Abah.
"Sedalam apa alam akhirat? Di sinilah, maut berperan menjadi
pintu menuju ke sana. Semacam lubang kecil bagi masing-masing pribadi, yang
dipastikan semuanya memasukinya. Mau tidak mau, suka tidak suka. Kalau dalam
Alquran digambarkan bahwa kalian akan menemui kematian di mana saja kalian
berada, sekalipun kalian berada di kotak yang tertutup rapat. Nah, inilah pintu
pertama menuju alam keabadian."
"Jiwa menerawang nun jauh sekali. Kondisinya sangat lapang tak
terbatas, sehingga tak satupun pandangan mata yang mampu menjangkau batas
akhirnya. Luas keadaannya tak terbayangkan sama sekali. Situasi itu masih
ditambah gelap gulita tiada terukur."
Abah menghela nafas, sembari rokok diapit dua jemari tangan kanan
dihisap begitu dalam terlihat di raut wajahnya rona kesedihan tak berkesudahan,
seakan ia benar-benar tenggelam dalam bingkai ceritanya sendiri.
Sungguh-sungguh menghayati apa yang diucapkan.
Saya paham, saya tidak sendiri. Saya lihat Tamim, Abdi, Shomad,
Kang Makrus, Solikin, Sinal dan pak Marsam begitu serius mendengarkan ucapan
Abah. Dari sekian orang di ruang tamu ini, hanya Sinal yang tidak menikmati
hisapan kretek. Cara mereka, sama seperti saya, menyedot rokok benar-benar
dalam, menunjukkan pencarian yang tersisa dalam pikiran mereka.
"Cuma ini bagi jiwa-jiwa yang gersang dari siraman syariat
Nabi Muhammad SAW. Mereka terasing. Bahkan sangat terasing sekali!"
Sambung Abah.
"Jiwa-jiwa yang seakan-akan tak temukan arah mau kemana. Ya
Allah, nanti setelah itu akan menghadapi hal yang pasti terjadi. Sebuah alam,
apa yang dikatakan para ulama di dalam kitab-kitab itu benar, memang sungguh
benar. Bagi orang yang ketika ruh dicabut dari sekujur tubuh tanpa setitik
iman, akan temukan keadaan yang tidak bisa dibayangkan kengeriannya kala di
alam Barzakh. Keganasan para malaikat memang sangat nyata. Bengis dan kasar.
Tidak ada kata ampun. Pecutnya panjang melilit, terlihat seperti terdiri dari
bara api. Yah, bara api memerah berkali-kali lipat dari bara api di dapur kita.
Itu apa, hanya titik sangat kecil dari si jago merah yang tengah membara. Nah,
jika dipecutkan, maka seluruh yang menempel pada tulang akan mengelupas.
Lecutan dari ayunan menghempas, mengakibatkan seperti pancaran butiran api yang
semburat persis seperti kayu kering terbakar lalu dihempaskan ke kiri ke kanan,
kemudian memuncratkan berpuluh-puluh titik-titik kecil bara." Kembali Abah
terdiam seraya menghisap sedotan demi sedotan pada sebatang rokoknya begitu
dalam.
"Tak seorangpun dapat membayangkan remuk-redam jasad. Hancur
meleleh. Lebih mengenaskan lagi ialah suara jerit yang meraung-raung. Sangat
tidak salah Nabi kita mengungkap suara rintih di balik tumpukan tanah kuburan
terdengar oleh makhluk, kecuali manusia. Ya Allah, benar mengerikan,
mengenaskan lolong mereka. Jeritnya sangat dahsyat. Dahsyat sekali. Menahan
rasa sakit, dan perih yang parah. Begitu nestapa yang berkepanjangan. Kalau ada
seseorang yang sedang marah memuncak pada seekor kucing gara-gara mencuri lauk
yang dibuat persediaan makan nanti, lalu hewan itu disiksa dengan sangat keji.
Ia dipukuli berkali-kali, ditendang, dibanting, diinjak-injak dan belum cukup
itu, kucing itu disulut dengan api yang berkobar. Akibat penyiksaan itu, ia
mengalami luka-luka di sekujur badannya,
patah tulang, dan darah bercucuran. Apa yang dilakukan hewan tersebut? Pasti ia
bersuara 'meong-meong' sekeras-kerasnya menahan sakit tak terkira. Nah, siksa
kubur itu lebih tak tara berjuta-juta kali lipat dari hanya sekedar siksaan
yang dialami oleh seekor kucing itu.
"Bayangkan saja! Pada waktu larut malam, atau setidaknya saat
maghrib tiba, Sampeyan datangi lokasi kuburan, duduklah di dekat salah satu
nisan yang berjejer. Sampeyan masuk ke pemakaman tanpa teman, dan tak
seorangpun di tengah-tengah pekuburan itu. Kondisinya benar-benar sepi dan
senyap. Hanya angin sepoi-sepoi yang menjadikan dahan-dahan dan ranting-ranting
pepohonan di sekitar kuburan tersebut bergerak-gerak dan melambai-lambai. Lalu
Sampeyan hadirkan orang yang Sampeyan kenal: kerabat, tetangga, bahkan kalau
sudah wafat ayah, ibu, saudara, kakek, nenek atau malah anak Sampeyan. Mayat
yang terbujur dan terbungkus kain putih itu tidak lain adalah mereka. Tidak
sulit raut wajah mereka disemat di pelupuk mata kita, karena mereka orang
terdekat yang paling kita sayangi. Kemudian..." Abah menghentikan
kata-katanya, seraya menghirup kretek setelah sebelumnya membasahi krongkongan
dengan kopi hitam.
"Konsentrasikan pikiran, dan buanglah segala macam isi pikiran
dan bayangan apa saja. Fokuslah! Cobalah, sekejap saja bayangkan wajah ayah,
raut ibu Sampeyan, atau tubuh anak Sampeyan! Mereka ini, sosok yang Sampeyan
kenal. Orang-orang yang selalu menghiasi hidup sehari-hari Sampeyan. Jadi
sangat mudah membayangkan wajah-wajah mereka."
"Nah, sekarang bertanyalah pada diri Sampeyan, bagaimana
keadaan mereka detik ini. Akankah mereka, orang-orang yang Sampeyan kenali,
sedang dipecut oleh malaikat yang bengis? Benarkah jasad mereka tengah tercecer
berserakan? Apakah sama sekali tidak tersisa sedikitpun kain penutup tubuhnya?
Menjeritkah mereka? Meraungkah mereka? Melolongkah mereka? Renungkan
pertanyaan-pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, betul-betul khusuk dan
kerahkan seluruh perasaan agar tertuju pada soal-soal itu seraya menghadirkan
wajah dan jasad mereka, selagi Sampeyan punya kesempatan berada disamping
pusara mereka!"
Kini, keadaan di ruang tamu ini senyap. Kami semua terdiam seribu
bahasa, hanya asap yang mengepul dari masing-masing kami yang perokok. Dirasa
sudah cukup pencerahan malam ini, saya pun pamit mengundurkan diri untuk pulang
dengan membawa selaksa perasaan yang berkecamuk.[]
sumber gambar: kompasiana.com
0 komentar:
Post a Comment