Oleh: Muhammad Madarik
Anakku...
Terlalu nista untuk kau lalai.
Perjuangan yang dikorbankan dan pengorbanan yang diperjuangkan.
Dalam puisi ini, penulis berposisi sebagai orang tua yang tengah
memberikan petuah-petuahnya. Penulis jelas menaruh harapan besar supaya dapat
mewakili seluruh sosok yang telah melahirkan, merawat, memelihara, menjaga dan
membesarkan segenap anak-anak.
Penulis memulai puisi ini dengan kalimat ajakan agar semua
anak-anak mau menyegarkan ingatan untuk sekali-kali tidak melupakan jasa-jasa
orang tua. Kalimat itu digambarkan dengan kata "lalai". Terperosok ke
dalam kubangan kehinaan bagi seorang anak yang tidak berupaya melawan lupa,
apalagi dengan sengaja menutup mata dan memalingkan pandangannya untuk
menghitung jerih payah kedua orang tuanya.
Betapa tidak, seperti yang diungkapkan penulis bahwa
"perjuangan yang dikorbankan" memaknai hidup orang tua merupakan
hiasan seluruh perjuangan yang diserahkan dengan serta merta tanpa pamrih.
Jelas, sebuah perjuangan yang berakhir bukan kembali pada kepentingan dirinya.
Beban menjadi orang tua masih diperparah dengan apa yang dilukiskan penulis
"pengorbanan yang diperjuangkan". Bagi kebanyakan orang, pengorbanan
akan dilakukan jika sebuah kepentingan benar-benar merupakan pokok
transaksional, hatta kepada Tuhan-pun mayoritas pengorbanan manusia harus
ditukar dengan pahala, surga atau keutamaan-keutamaan yang dijanjikan. Tetapi
bagi kedua orang tua, pengorbanan merupakan sebentuk sikap rela tak berhingga
terhadap suatu konsekuensi yang paling nihil sekalipun demi membela eksistensi
sang anak.
Apabila pengorbanan dan perjuangan telah luput dari perhatian sang
anak, kendati ukuran lupa yang sangat minimal, yaitu tanpa sengaja, maka ia
sudah sangat pantas dituding sebagai seorang bocah yang terjerembab dalam
kategori "tidak tahu diri" sebagaimana gambaran penulis "terlalu
nista".
Engkau dikandung dalam hitungan tak berjangka.
Lelah sekujur tubuh ini benar-benar telah melanda.
Fikiran kalut terombang-ambing di sela-sela was-was dan asa.
Kesedihan menyelimuti segenap yang ada.
Hanya harapan menjadi satu-satunya tiang penyangga.
Pada bait ini, penulis mulai merinci pengorbanan dan perjuangan
seorang ibu yang dilakukan dalam hidupnya. Dalam jangka waktu seputar sembilan
bulan, ia harus bergulat dengan kehamilan. Tentu banyak kelebihan dirinya
tertindih; kecantikan yang selama ini dibanggakan nyatanya bisa terbungkus oleh
kegemukan akibat mengandung, kemolekan lekuk tubuh yang sebelumnya dipamerkan
dapat rusak oleh perut yang terus saja membuncit, dan kelincahan yang mewarnai
setiap langkahnya rupanya tergantikan oleh ayunan yang kian terseok. Apalagi
berniat mempertontonkan potensi di setiap kujur badannya, hendak menyaksikan
diri sendiri saja ia harus menghela nafas panjang. Sang ibu bukan saja tak
berdaya secara fisik, tetapi juga lunglai secara psikologis, sebagaimana
diungkapkan penulis dengan kata "lelah sekujur tubuh" dan
"fikiran kalut". Belum lagi jika wanita hamil terkena kebiasaan
"ngidam" sesuatu yang tidak pada musimnya, lengkap dengan mitos bahwa
apabila tidak keturutan, si bayi akan ngiler, tidak hanya menjadikan calon ibu
itu yang repot, tetapi seisi rumah akan blingsatan. Tidak enak makan, dan
bahkan muntah-muntah meski sesuap nasi acapkali mendera keseharian kaum hawa
yang tengah berbadan dua.
Penderitaan psikis kian menumpuk tatkala perasaan syak wasangka
antara optimisme dan pesimisme muncul begitu saja selalu menghantui di saat
kelahiran nanti, seperti diuraikan penulis dalam kalimat "terombang-ambing
di sela-sela was-was dan asa".
Kalaulah bukan karena cita-cita suci ingin merawat dan mengantarkan
cabang bayi menjadi manusia utuh dan sempurna, mungkin rasa optimis sang ibu
hanyalah merupakan perasaan membual belaka. Andai bukan sebab kasih sayang yang
diselipkan Tuhan dibalik asa itu, maka aborsi merupakan jalan pintas yang
dipilih banyak perempuan hamil, mengingat kenikmatan yang diperoleh tak sebanding
dengan kesengsaraan yang dipikul. Hal ini dapat diamati dalam kata "hanya
harapan menjadi satu-satunya tiang penyangga".
Engkau menjelma menjadi malaikat kecil yang terlahir.
Bersama darah dan peluh yang mengalir.
Pertaruhan hidup dan mati di ujung garis takdir.
Jerit serta suara tangis menyeruak bagai petir.
Kini, saat yang didamba telah tiba, sang bayi telah lahir ke alam
dunia. Senyum renyah dalam bibir serta wajah cerah sang ibu bak menjadi
sambutan hangat bagi makhluk baru ini. Ucapan "selamat" dari
sekeliling bagai penghapus lara yang sedang diderita, tak peduli bentuk rupa
bagaimana yang terpenting ia telah terlahir. Beginilah yang dimaksud penulis
dalam kalimat "engkau menjelma menjadi malaikat kecil yang terlahir".
Tetapi setiap anak haruslah ingat bahwa dibalik wujudnya terdapat
pedih tiada terkira, dan perjuangan panjang yang berpenghujung diantara dua
pilihan; hidup atau mati. Jika seutas senyum dari bibir sang ibu mampu ditebar
kala bayi telah lahir, itu merupakan gambaran puncak kebahagiaan yang didapat
meski jerit kesakitan tak berukur menjadi keharusan. Andai saja Tuhan memberi
pilihan, maka sang ibu akan lebih menunjuk diri yang sekarat ketimbang
menyaksikan sang bayi harus meregang nyawa. Abstrak ini bisa dicermati mulai
dari kata penulis "darah dan peluh yang mengalir", sampai kalimat
"jerit serta suara tangis menyeruak".
Tangan lembutmu menopang raga lucumu dengan tertatih.
Namun bersama sayangku, kau tegarkan kaki meski berlatih.
Mulut mungilmu mengeja aksara.
Tetapi beserta kasihku, kau piawai menyusun kata.
Akal picikmu tak sanggup temukan Maha Kuasa.
Hanya berkat ketulusanku, kausembah Sang Esa.
Bait-bait ini menguraikan tentang kesetiaan orang tua memelihara
dan mendidik putranya. Lihatlah! Betapa jemari kecil itu awalnya merangkak,
tetapi seorang bocah mampu berdiri dengan dua kaki berkat tangan-tangan lembut
sang ibu dengan berjuta-juta kasih sayang.
Sungguh luar biasa peran orang tua, terutama ibu, menciptakan
anak-anaknya menjadi pintar dari bodoh. Bayangkan! Dari keadaan buta huruf dan
membaca hanya terbata-bata bisa berbalik menjadi fasih mengeja hingga piawai
membentuk kata-kata indah tidak lain akibat sang ibu yang memiliki ketabahan
tiada banding.
Dan yang lebih mencengangkan lagi dari jasa tak terbalas adalah
karena orang tualah anak-anak dapat menemukan sinar ketuhanan setelah
sebelumnya ia bagai semut hitam di tengah ruang gelap.
Cermati! Semenjak dalam kandungan,
kedua orang tua selalu berhati-hati dalam setiap melakukan tindakan.
Sang ayah tidak akan mendulang rupiah, jika jaminan kehalalannya terbaca
remang-remang meskipun peras keringat dan banting tulang harus dijalani.
Sementara sang ibu rela berbasah-basah air wudlu, walaupun dingin malam begitu
sangat menusuk. Ketika cabang bayi telah lahir, suara adzan dan iqamah seorang
bapak bakal dikumandang di gendang telinganya, kendatipun fikiran mulai
dipusingkan oleh biaya persalinan. Waktu berangkat ke sekolah dasar, dengan
setia ibu mengurus persiapan dan bahkan mengantarkannya tanpa berfikir tangan
dan kakinya mulai gemetar akibat sekujur tubuhnya sudah terasa letih. Tak cukup
itu, hingga dewasa, sang ayah selalu menyanggupi seberapapun isi dompet
terkuras hanya supaya sang anak bisa melewati gelar lulusan.
Seluruh jerih payah orang tua yang dikerjakan hanyalah
diperuntukkan buat putra-putrinya agar mereka mengenal siapa Tuhannya dan agama
sebagai tonggak peradabannya.
Anakku...
Aku buka lembar agenda untukmu.
Jasa tak kuhutangkan padamu.
Budi tak kan pernah ditukar oleh dayamu.
Aku tak mengemis darimu sebuah jatah, kau bangun istana megah, atau
kau julurkan rupiah.
Mulailah penulis mencoba menyentuh relung hati melalui panggilan
sayang "anakku". Di sini penulis mengajak anak-anak supaya menyadari
bahwa bobot pengorbanan dan perjuangan kedua orang tua jangan pernah ditakar.
Sebab, sejahat apapun karakter orang tua, sekali-kali tidak akan mengungkit
jasa-jasa yang telah mereka berdua lakukan. Tidak akan pernah! Kalaupun
ditemukan orang tua menuntut seluruh budi yang telah diberikan kepada anaknya,
maka anggapan yang seolah-olah menggenalisir sebuah kasus wajib dijauhi.
Seumpama kedua orang tua menagih jasa-jasa yang diserahkan kepada
anaknya, percayalah bahwa senoktah balas budi terhadap mereka berdua tak akan
pernah terlunasi. Andai uang tak terhitung jumlahnya ditumpuk, dan
berkeping-keping emas menggunung ditata, lalu disuguhkan ke haribaan orang tua,
maka pada sedetik kasih sayangnya saja belum terbayarkan.
Cukup kau jadikan kalimatku sebagai titah, kau tak perlu berlagak
gagah, dan jangan membuat aku susah.
Pada bait ini, penulis mengungkap hal yang pasti dirasakan oleh
semua orang tua. Tiada kebahagiaan paling besar di dunia ini kecuali senyum
mereka tatkala menemukan anaknya selalu tunduk kepada mereka. Sebaliknya, tak
ada malapetaka yang dahsyat melebihi ketika segenap orang tua menyaksikan
anak-anaknya mendurhakai mereka, walau hanya dengan sepotong kata "huh!"
yang diucapkan dihadapan orang tuanya.
Anakku...
Doaku bagimu adalah titian bahagiamu.
Tawaku untukmu adalah senyum Tuhanmu.
Wujudku buat dirimu adalah kunci sorgamu.
Kembali penulis menggunakan panggilan kesayangan untuk membuat
seorang anak lebih serius memperhatikan bait-bait ini.
Untaian permohonan para orang tua untuk anak-anak mereka bagai
sabda Nabi yang tidak akan pernah terhalang oleh apapun. Doa-doa mereka sejajar
dengan munajat Rasul yang mampu menembus pintu Arasy Ilahi.
Ridla mereka untuk anak-anaknya merupakan tanda perkenan Tuhan.
Kemarahan mereka bagi anak-anaknya cerminan kemurkaan-Nya.
Orang tua buat anak-anaknya adalah lorong menuju ketenangan abadi.
Bahkan di bawah telapak kaki ibu keagungan sorga berada.
Anakku...
Merangkaklah. Niscaya ku dekap tubuhmu.
Ciumlah telapak kakiku. Pasti ku kecup keningmu.
Di akhir puisi ini, penulis menutupnya dengan dua bait yang diawali
dengan julukan kesayangan. Bait-bait ini seakan menjadi seruan perdamaian
antara orang tua dan anaknya.
Orang tua bijak pasti membuka kedua lengannya untuk mendekap
anaknya sekalipun tumpukan dosa-dosanya terhadap orang tua telah menggunung.
Kasih sayang orang tua tidak bisa
dipungkiri akan sebanding dengan butiran bening air mata anak-anaknya.[]
sumber gambar: lockerdome.com
0 komentar:
Post a Comment